(UN)NOTICED by Reisuke Celestine
Disclaimer: Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
.
Cast: NijiKuro, slight sibling!MayuKuro, NashMayu.
.
Warn: Sho-ai, AU, typo, sedikit fluffy (walau saya juga gak yakin ^^), OOC, dll.
.
.
Enjoy~
.
Ada satu orang yang selalu diperhatikan oleh Kuroko Tetsuya—dari kejauhan. Kadang kebetulan terlihat, atau memang ia sengaja mencari kesempatan untuk melihatnya. Seperti stalker, walau ia enggan menyebut dirinya sendiri seperti itu. Lagipula sebutan itu terdengar seperti memiliki image buruk.
Ia hanya memperhatikan, bagaimana orang itu berbicara, tersenyum ataupun merengut kesal. Semuanya benar-benar tidak sengaja, toh itu dilakukannya ketika jam istirahat siang di kantin sekolah, jadi itu bukan seperti ia sengaja ingin melihatnya.
Namanya Nijimura Shuuzou.
Senior beda dua tingkat yang kebetulannya berteman sangat akrab dengan sepupu jauhnya yang berambut abu-abu dan berwajah datar seperti miliknya—seringkali mereka disangka kakak-adik dengan hawa keberadaan yang sama tipisnya, walau tinggi badan jelas menunjukkan hal sebaliknya padahal mereka hanya berbeda dua tahun. Hanya saja yang bersangkutan selalu dan selalu menyangkal, perihal keakrabannya dengan remaja berambut hitam itu.
Kuroko sih, setengah percaya, separuhnya lagi tidak. Kepribadian mereka memang berbeda, tapi mereka menempel seperti pohon dengan tanah. Dimana ada sang sepupu—Mayuzumi—di situ pasti ada Nijimura, tapi dimana ada Nijimura, Mayuzumi selalu berusaha untuk tidak terlihat bersamanya. Jadi intinya, sebenarnya Nijimura lah yang ngotot untuk berada dekat-dekat dengan si abu-abu.
Tapi, tetap saja. Rasanya sedikit iri. Bahkan Mayuzumi yang hawa keberadaannya lebih tipis darinya bisa dinotis oleh orang yang selalu diperhatikannya.
Intinya, Kuroko cemburu—setengah mati pada si abu-abu.
.
.
Mayuzumi Chihiro sedikit bergidik. Ketika makan malam, dan si sepupu yang kurang tinggi menatapnya tajam dengan raut wajah datar. Jangan ditanya, kenapa ia bisa menyimpulkan kalau Kuroko Tetsuya tengah menatapnya seolah ingin menelannya hidup-hidup. Hanya insting—sebagai sesama manusia berwajah datar.
Mungkin, lain kali ia harus sedikit menjauhkan sang sepupu dari temannya yang berambut merah dan hobi membawa-bawa gunting kalau ia ingin si sepupu tetap jadi anak manis seperti waktu masih kecil dulu.
"Tetsuya, kalau tatapan bisa membunuh, aku pasti sudah mati kehabisan darah sejak tadi."
"Kau berlebihan, Chihiro-nii."
"Kau sedang kesal padaku."
Kedua alis Kuroko sedikit berkerut. Itu tadi bukan pertanyaan. Sekilas dengar saja sudah jelas kalau itu pernyataan.
"Apa?"
Alih-alih bertanya secara rinci, cukup satu kata itu saja yang keluar. Lagipula Kuroko tahu, kalau Mayuzumi mengerti maksud pertanyaannya itu.
"Kau kesal padaku—bahkan sejak dari sekolah tadi."
Kuroko sedikit mengerucutkan bibirnya, menyamarkannya dengan sesuap nasi yang langsung dimasukkan ke dalam mulut. Kenapa yang menoticenya malah sepupu tripleknya ini?
Mayuzumi tidak mengatakan apapun lagi, sedikit ekspresi yang ditunjukkan Kuroko tadi sudah merupakan jawaban dari pernyataannya.
"Anoo, Chihiro-nii."
"Hm?"
Pembicaraan mereka terkesan datar, kebanyakan orang tidak akan menyangka bahwa kedekatan mereka bahkan setara dengan kedekatan seorang adik dengan kakak—versi sedatar triplek, tentunya.
"Bagaimana caranya membuat orang yang disukai menyadari keberadaan kita?"
Kuroko bukan orang nekat—setidaknya bukan orang yang ngotot minta diperhatikan dengan melakukan hal-hal konyol. Tapi berbulan-bulan tidak dinotice itu, rasanya menyesakkan. Seperti ditenggelamkan dalam laut, dan terus ditekan untuk tetap berada di bawah air tanpa diberi kesempatan untuk sekedar mengambil nafas di permukaan.
"Kau menyukai Shuuzou, ya?"
Tebakan tepat untuk kesekian kalinya. Dari si abu-abu.
"H-hah?"
Mayuzumi mendongakkan kepalanya. Dari yang awalnya fokus ke suapan terakhir makan malamnya, ke arah sang adik sepupu yang—bersemu merah.
Pemandangan langka. Sayang sekali ponselnya tertinggal di kamar, kalau tidak, pasti ia sudah mengabadikannya dalam file berbentuk JPG atau PNG dan menyimpannya dalam folder khusus—dan menjualnya dengan harga tinggi pada si pelangi yang hobi sekali mengekorinya.
"Aku benar kan? Kau tiba-tiba kesal padaku, dan hobimu jadi stalker si bodoh itu di kantin benar-benar… membuatku bergidik."
Sungguh, kenapa juga yang sadar malah si abu-abu menyebalkan ini?
"Kau menyebalkan, Chihiro-nii."
.
.
Truth or Dare adalah permainan paling bodoh dan menyebalkan sedunia. Mengungkap aib seseorang, atau mempermalukan seseorang. Memilih satu di antara keduanya seperti berhadapan dengan tebing curam di depan dan sekumpulan binatang buas yang siap menerkam di belakang. Tidak ada pilihan yang menguntungkan. Satu-satunya cara untuk terhindar dari keduanya hanyalah dengan tidak perlu mengikutinya sejak awal.
Dan permainan bodoh itu semakin terlihat menyebalkan, ketika dengan nistanya bocah-bocah pelangi mengusulkan untuk melakukan permainan itu (sebenarnya hanya Kise yang mengusulkan) dan peraturannya diubah. Tidak ada pilihan Truth, hanya Dare dan Dare. Intinya, selamat dari membuka aib, tapi bersiaplah mempermalukan diri sendiri. Apalagi kebanyakan dari bocah-bocah itu punya otak iseng level akut, yang artinya, bersiaplah mempermalukan diri sendiri dengan ekstrim.
Nijimura menghela nafas kesal. Kalau saja hujan tidak mendadak turun ketika mereka selesai latihan basket, usul itu tidak akan pernah keluar dari bibir siapapun. Tapi keberuntungan sedang tidak berpihak padanya, dan akhirnya malah terjebak dengan bocah-bocah berambut warna-warni. Merah, kuning, hijau, biru tua, biru muda, dua abu-abu, ungu, dan merah-hitam.
"Ayo, kita mulai, ssu~"
Kise mengacungkan sebuah botol kosong—bekasnya tadi, meletakkannya di tengah lingkaran pelangi itu dan mulai memutarnya. Seratus persen orang-orang di sana berkomat-kamit dalam hati, berharap si moncong botol tidak mengarah pada mereka, walau sebagian memasang wajah sok cool—atau memang datar. Dare memang perintah untuk melakukan sesuatu—yang tidak boleh ditolak sememalukan apapun itu, tapi berpotensi besar untuk membuka aib seseorang, bahkan dalam versi jauh lebih parah ketimbang dengan Truth.
Putaran botol melambat dengan dramatis, seperti mempermainkan perasaan setiap yang di sana. Bahkan si pengusul permainan juga ikut berkomat-kamit seperti yang lainnya. Siapa juga yang sudi mendapat dare dari makhluk-makhluk absurd ini.
Detik berlalu bagaikan berjam-jam, hingga akhirnya si moncong botol berhenti tepat pada si abu-abu yang paling tua—yang hanya mendengus kesal. Korban pertama adalah Mayuzumi Chihiro. Dalam hati, Kuroko menertawakan kesialan sang kakak sepupu hari ini dengan raut wajah masih statis—balas dendam karena kejadian di makan malam kemarin.
"Baiklah, apa darenya?" Mayuzumi menatap satu-satu wajah-wajah yang lebih muda darinya (bukannya ia mengakui kalau dirinya sudah tua). Sebagian besar siswa SMA Teiko sudah pulang sejak tadi, dan kebetulan sekali gedung olahraga tempat mereka berada sekarang berada terpisah dari gedung utama—artinya kalaupun darenya memalukan, ia hanya akan mempermalukan dirinya di hadapan bocah-bocah ini.
"Telepon kekasihmu sekarang dan katakan padanya kau mencintainya dengan suara keras."
"A—" Shuuzou, bego.
Semua orang tahu, kalau Mayuzumi itu tipe kuudere akut mendekati tsundere—walau tidak setsundere si surai hijau. Makanya, dare dari Nijimura tadi sebenarnya cukup membuat semua penasaran, kecuali Kuroko tentunya. Sebagian ingin melihat bagaimana raut wajah yang akan ditunjukkan si abu-abu selain raut sedatar teflon yang sering dipakai Kagami untuk membuat pancake.
"Tidak bisa diganti yang lain?"
"Tidak," nada suaranya terdengar tegas, tidak salah kalau Nijimura menjabat sebagai kapten tim basket sekalipun kepribadiannya di luar basket benar-benar membuat Mayuzumi ingin menendang kepalanya, "kecuali kau ingin dare yang jauh lebih nista lagi sih, tidak masalah."
Ingin sekali Mayuzumi berharap kalau lucky item Midorima hari ini adalah voodoo doll. Setidaknya ia bisa meminjamnya, lalu mencabut paksa sejumput rambut si kapten pelangi dan mengguna-gunainya seumur hidup.
"Tch."
Si surai abu-abu merogoh saku jaketnya, mengambil benda berbentuk persegi putih dan ketika akan menekan tombolnya, ia teringat sesuatu. "Tunggu, perbedaan waktu di sini dan di sana terlalu jauh. Aku tidak mau mengganggunya."
"Kalau kau yang menghubunginya, semengganggu apapun, dia pasti tidak akan merasa terganggu."
Skak mat.
"Chihiro-senpai, lakukan saja, kau malah membuang waktu percuma." Si surai merah bertubuh kurang tinggi ikut menyela. Sedikit tidak sabar, dan lebih dari ini kesalnya akan memuncak kalau dua senpai yang akrab tapi tidak ini masih melanjutkan perdebatan bodoh mereka.
Mati saja kau, Akashi. Batin Mayuzumi—sedikit OOC.
Mayuzumi menekan beberapa tombol, menghela nafas perlahan, lalu menekan tombol hijau. Beberapa kali terdengar nada sambung, sementara jantungnya berdegup kencang. Ini bahkan jauh lebih memalukan daripada ketahuan oleh Nijimura kalau ia mengidap brother-complex pada sepupunya.
'Ha—'
"Nash, aku mencintaimu!"
Klik.
Sambungan diputuskan secara sepihak oleh Mayuzumi. Tiga kata tabu yang bahkan jarang diucapkannya sekalipun tidak ada siapapun di sekelilingnya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana reaksi orang diseberang. Sudah kalimatnya dipotong olehnya, sambungannya pun langsung diputuskan begitu saja. Siap-siap saja dalam waktu dekat akan ada kunjungan dadakan dari Amerika ke apartemennya.
"Sudah kan?"
Nijimura menyeringai. "Sudah. Suaramu sudah kurekam dan wajah memerahmu sudah kuabadikan."
"A—" Shuuzou, sialan.
Akashi menghela nafasnya. Kalau boleh jujur, ia tidak habis pikir dengan kelakukan dua senpainya yang bahkan lebih parah dari bocah-bocah pelangi di sini.
"Baiklah, lanjutkan. Putar botolnya, Chihiro."
Mayuzumi menuruti perkataan Nijimura, walau dalam hati sumpah serapah dari yang ringan sampai yang harus kena sensor terus ia rapalkan dalam benaknya seperti mantra.
Botol terus berputar, awalnya cepat, lalu kembali melambat dengan dramatis, dan berhenti tepat pada si kapten pelangi.
Hampir semua bersorak dalam hati. Setidaknya, bukan mereka yang akan dinistakan. Dalam hati, Mayuzumi bersorak kegirangan—walau wajah masih tetap datar. Jaga image. Dan lagi, pembalasan memang datang dengan cara yang sangat dramatis.
"Nyatakan perasaanmu pada orang yang kausukai."
Mayuzumi menyeringai tipis, sekalipun tidak ada seorangpun yang menyadarinya. Tapi Nijimura sudah terlalu hafal tabiatnya, dan seringai itu tidak luput dari penglihatannya.
Pembalasan, eh?
"Eh, memangnya Niji-senpai sedang menyukai seseorang, ssu?"
Atensi teralih sepenuhnya pada sang kapten. Termasuk dari iris biru muda yang menatapnya datar. Kenyataan baru yang diketahuinya sekarang. Senpai yang menarik perhatiannya ternyata sedang menyukai seseorang. Sakit? Memang. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian ratusan kilometer dan mendarat di tepi tebing lalu didorong jatuh ke dasar tebing.
Sakitnya dobel.
Walau penasaran, tapi tetap saja sakit mendominasi. Inginnya sih berharap, tapi ia takut jatuh lebih keras lagi. Kenyataannya, bahkan sang senpai tidak pernah menyadari keberadaannya.
"Ya, dan kebetulannya si orang yang bersangkutan juga ada di sini."
Mayuzumi yang menjawab. Memang tidak sopan, tapi siapa peduli. Mereka pada dasarnya tidak pernah bersikap sopan terhadap satu sama lain.
Kau benar-benar ingin membalas dendam ya? Nijimura menatap tajam si rambut abu-abu.
"Baiklah."
Nijimura menghela nafas, beranjak dari tempatnya duduk. Semua mata menatapnya penuh rasa ingin tahu. Sedikit penasaran, dengan siapa sebenarnya yang disukai si kapten. Beberapa nama sempat terlintas dalam pikiran mereka. Kalau yang bersangkutan ada di sini, kemungkinan jatuh pada Haizaki atau Akashi. Tadinya nama Mayuzumi sempat terlintas juga, tapi mengingat si abu-abu sudah memiliki kekasih, opsi itu langsung hilang dengan sendirinya. Nijimura itu bukan seorang PHO, walau penampilannya kadang mengesankan hal itu.
Ia berjalan, melangkahkan kaki mendekati seseorang hingga langkahnya berhenti di depan seseorang. Nijimura berjongkok, menggenggam tangan remaja di depannya. "Kuroko-kun, aku menyukaimu. Mau jadi pacarku?"
Kuroko mengerjapkan kedua matanya, yang lain kicep. Mayuzumi? Sudah tenggelam dalam dunia bernama light novel.
"H-hah?"
"Aku menyukaimu, sejak si bodoh ubanan itu mengenalkanmu padaku."
Apa?
Kalau begitu, sedari awal sebenarnya Mayuzumi sudah tahu bagaimana perasaan Nijimura dan bagaimana perasaannya sendiri. Ini sih seperti dibantu untuk mendapatkan sang pujaan hati. Pertanyaannya ketika makan malam kemarin, bukannya dijawab malah langsung dipraktekkan dengan cara aneh oleh si sepupu.
Memang baik sih.
Tapi ujung-ujungnya pasti Mayuzumi akan meminta sesuatu darinya.
"Jawabannya?"
Kuroko tidak tahu harus menjawab apa. Semua mata tertuju padanya. Dari yang kepo sampai yang tidak terima. Rasanya risih, ternyata dinotice oleh banyak orang itu tidak menyenangkan. Lidahnya kelu dan bibirnya kaku. Ingin sekali rasanya menenggelamkan diri di kolam renang sekolah lalu melebur dengan air.
Ini memalukan.
Sedikit ragu, setelah menimbang beberapa kali. Si surai biru langit menganggukkan kepalanya perlahan, lalu menunduk. Senyum lebar terbit di wajah Nijimura.
"Terima kasih."
Dan detik berikutnya, kedua mata Kuroko melebar kaget, ketika bibirnya kemudian bersentuhan dengan bibir Nijimura.
.
.
"Uwaa! Niji-senpai mencium Kurokocchi, ssu!"
"Kise, kau berisik!" Itu teriakan Aomine—ngomong-ngomong.
Duagh.
Sebuah bola basket terlempar dengan cukup keras ke kepala Nijimura, membuat tautan singkat itu terlepas begitu saja.
"Aku hanya menyuruhmu menyatakan perasaan, bukan menciumnya, bodoh!"
Satu pelajaran untuk anak-anak pelangi. Jangan pernah mengganggu Kuroko Tetsuya dengan keterlaluan, kalau tidak mau membangkitkan iblis yang tertidur dalam tubuh remaja bersurai abu-abu yang mengidap brother-complex akut.
"Kelepasan, bodoh." Nijimura menyahut singkat, mengusap bagian belakang kepalanya yang baru saja terkena lemparan yang kekuatannya setara ignite pass si biru muda. Yang terkena bro-con akut memang menakutkan.
Kuroko?
Ia diam mematung. Dengan wajah menunduk yang menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Ternyata rasanya dinotice oleh pujaan hati rasanya menyenangkan.
.
.
—END—
.
a/n: Plis, apa ini? Saya bukannya kerja malah bikin ff. -_- buat yang merasa request ke saya, masih on-progress ya. Ini aja kebetulan bikinnya gara-gara mendadak dapet ide tadi pagi.
Terinspirasi dari kejadian yang saya alami waktu buka bareng Nihon Club kemaren. Dinotice sama (ex) pujaan hati itu memang bikin hati berbunga-bunga—biarpun sebenernya udah move on. xD Masalah Truth or Dare, saya terinspirasi dari permainan ToD yang diganti jadi DoD (Dare or Dare) yang sering dimainin pas saya masih di cover dance. Asli lah, itu nista pake banget. -_-
Sekian dari saya, RnR? ^^
