The Game of Life

.

.

.

Disclaimer : Aoyama Gosho


Chapter 1.

The Beginning

.

Terdengar langkah kaki memantul di gang kecil. Tampak sosok pria ramping berlari sambil terengah-engah. Dia berhenti sebentar untuk mengambil nafas kemudian dan menghapus keringatnya. Matanya sebentar-bentar menoleh untuk memastikan kalau tidak ada orang yang mengejarnya. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dan jantungnya berdetak kencang. Setengah jam terakhir dihabiskannya dengan lari menyusur lorong demi lorong. Mungkin pengejarnya sudah menjauh sekarang. Disekelilingnya sekarang sepi dan sinar bulan menyinari sebagian tubuhnya membentuk bayangan memanjang.

Saguru Hakuba mengambil tempat menyender di dinding terdekat dan dibiarkannya badannya merosot mengikuti gravitasi. Dia bukan tipe pria atletis karena baginya isi otak lebih penting dari kekuatan otot. Dan hari ini sepertinya dia mulai menyesalinya diam-diam.

Hari pertama di Tokyo saja dia sudah terlibat kesulitan. Saguru tersenyum menyeringai. Dicarinya handphonenya di kantong. Sial. Tidak ada. Apa jatuh saat dia berlari tadi? Dilihatnya keadaan sekeliling. Lorong kumuh di pelabuhan yang tak terpakai lagi. Setengah jam yang lalu dia tak sengaja memergoki beberapa orang yang berpakaian hitam sedang bertransaksi. Dia tak tau apa yang terjadi sesungguhnya, tapi naluri detektifnya menyadari kalau orang-orang itu bukan orang baik-baik dan mencurigakan. Demi apa, sekelompok orang melakukan pertemuan di tengah malam buta di tengah lorong pelabuhan yang tak berpenghuni lagi di pinggiran teluk Beika. Dan demi apa, dia sendiri, detektif brilian dari Inggris dimana Scotland Yard pun mengakui kemampuannya, bisa tersesat hingga malam walau tujuannya adalah ke teluk Beika untuk menikmati pemandangan laut dan terjebak di bagian pelabuhan yang sudah tak berfungsi lagi. Dan sialnya, orang-orang itu menyadari kalau penganggu yang mengintip dan mengejarnya.

Saguru mendengus, dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga tak sadar kalau ada bayangan hitam mendekatinya.

Sosok pria tinggi dengan jas hitam dan mata dingin menatapnya dengan senyum samar. Saguru tak sempat bergerak karena pria itu menodongkan pistol baretta ke arahnya.

"Kau tau apa ganjaran untuk orang yang sok tau?" tanyanya dengan tanpa ekspresi.

"Aniki, jangan menggunakan pistol. Mungkin ada orang lain di sekitar sini." Ujar seseorang mendekat. Pria itu pendek dan berkacama hitam.

Pria berambut pirang itu tersenyum mengejek,"Racun itu masih ada kan?" tanyanya sambil menelengkan kepalanya ke pria yang baru datang. Yang ditanya mengangguk dan mengangsurkan kotak kecil. Pria berambut panjang pirang itu kemudian mendekat dan memukul gagang pistol ke kepala Saguru, detektif itu berteriak kesakitan. Disodokkan kapsul kecil ke dalam mulut Saguru supaya menelannya dengan menekankan bibirnya kasar.

Saguru merasa kapsul itu melewati tenggorokannya dan melebur di dalam lambungnya.

Pria itu bangkit berdiri dan meninggalkan Saguru yang setengah pingsan di tanah. Ada senyuman samar mengejek di wajahnya. Pria yang lain mengikutinya. Bayangan mereka menjauh terasa samar di mata Saguru. Pelan-pelan meredup, dan gelap menyelimutinya.

.

.

.

Conan Edogawa bangkit dari tempat tidurnya sambil mengucek matanya, kemudian mencari-cari kacamata dan memakainya dengan otomatis.

"Conan-kun. Makanannya sudah siap." Terdengar seruan dari bawah.

"Baik, Ran-neechan." Conan kemudian mengganti bajunya dan bersiap-siap untuk turun ke bawah.

Di ruangan makan, Kogoro Mouri sedang membaca koran sambil menatap sekilas ke berita politik dan ekonomi, pandangannya berakhir ke kolom olahraga dan selebritis. Conan mengambil tempat duduk di salah satu kursi dan mulai menikmati sarapannya dengan nikmat.

"Nanti kau pulang jam berapa, Conan-kun?" tanya Ran sambil tersenyum.

"Mungkin aku akan mampir ke rumah Hakase dulu, Ran-neechan."

"Baiklah. Makanan sore akan kupanaskan begitu kau pulang nantinya."

Conan mengangguk. Setelahnya dia pamit kepada Kogoro dan Ran untuk berjalan ke sekolah SD Teitan. Baru lima langkah ada seseorang menyergapnya dari belakang. Conan meronta-ronta dan matanya terbelalak ketika menyadari orang atau tepatnya anak itu. Sosok anak kecil dengan rambut blonde dan mata biru mengawasinya. Dan anehnya anak itu mengenakan baju yang kebesaran. Ada luka di dahi anaknya itu, darahnya sudah mengering. Anak itu memberi tanda supaya Conan diam dan mengikutinya di lorong sepi terdekat.

"Siapa kau?" tanya Conan heran. Dia sepertinya mengenal anak kecil itu tapi dia tak bisa mengingat siapapun.

"Conan Edogawa. Aku butuh bantuanmu." Kata anak itu dengan nada mendesak.

"Jelaskan dulu padaku. Siapa dan bagaimana aku bisa membantumu."

"Aku Saguru Hakuba. Kita pernah bertemu sebelumnya. Ada orang menyerangku dan memaksaku memakan sesuatu. Pagi ini aku terbangun dengan keadaan begini. Menjadi anak kecil." Raut matanya tampak kebingungan dan putus asa. "Kau percaya padaku kan? Aku tak tau harus menghubungi siapa di Tokyo."

Conan menatapnya dengan mulut menganga. Jadi ada korban APTX 4869 lagi. Entah apa kata Haibara jika mengetahui hal ini. Saguru Hakuba. Dia pernah bertemu dengan detektif Inggris ini beberapa kali. Dan dia yakin kalau anak kecil ini benar dengan semua perkataannya. Naluri detektifnya menyadarkannya ada sesuatu yang tidak beres.

"Kau belum memberitahui siapa-siapa kan?" tanya Conan cemas.

"Tidak. Kau orang pertama yang kuingat. Jadi aku mencari alamat Kogoro Mouri dan menunggumu dari pagi." Saguru tampak lemah dan pucat. Conan segera menenangkannya."Kau harus ikut denganku sekarang."

Kedua anak kecil itu setengah berlari dengan Conan di depan menuju rumah professor Agasa. Sesampai disana, Conan menekan bel dengan buru-buru.

Pintu terbuka. Ai Haibara berdiri dengan muka terganggu. Dia hendak mengomeli Conan ketika menyadari ada orang yang berada disamping Conan. Haibara hanya mengangkat alisnya dan menyilakan jalan untuk mereka masuk ke dalam.

Setelah menutup pintu, Conan segera berseru,"Haibara! Ada korban lagi selain kita!"

"Apa maksudmu?" tanya Haibara shock. Matanya membulat dengan cemas.

"Kau kenal Saguru Hakuba? Dia anak ini." Kata Conan dengan dramatis.

Haibara menyipitkan matanya."Tidak terlalu pagi untuk lelucon kan?"

"Ini serius, Haibara."

"Haibara-san? Aku Saguru Hakuba." Potong Saguru dengan sopan. Sepertinya walau telah mengecil, sifat perlentenya tak berubah.

"Oh." Haibara menyalami tangan Saguru dan menyadari kalau kulit pria itu terasa begitu dingin.

"Um..dia ini siapa?" tanya Saguru pada Conan dengan pandangan mata bertanya-tanya. Conan tak menjawab, dia sepertinya sedang berpikir keras.

"Kau bisa terkena pneumonia dan lukamu harus diobati. Siapa yang melakukan padamu?" tanya Haibara lagi. Saguru menghela nafas,"Aku tidak tau siapa. Ada dua pria yang menyerangku. Berbaju hitam dengan rambut pirang panjang dan yang lain berkacamata hitam."

Gin dan Vodka. Haibara dan Conan saling bertukar pandang dalam horror.

"Mereka memaksaku untuk memakan sesuatu dan paginya aku bangun dengan keadaan begini. Aku tidak tau harus bagaimana, jadi hanya Conan Edogawa yang terpikir pertama kali. Karena kupikir sesama detektif pasti bisa saling membantu." Lanjut Saguru lagi.

"Kau tidak boleh memberitahu siapapun atau semua akan dalam bahaya!" seru Haibara gugup.

Saguru menatapnya dengan heran,"Ada apa sebenarnya?"

Conan menatap Haibara untuk meminta persetujuan dan gadis cilik itu mengangguk. Tingkat pengertian mereka telah sampai pada titik begitu tinggi sehingga mereka bisa saling memahami tanpa harus mengatakannya secara gamblang.

Setelah Conan memberitahui professor Agasa supaya menghubungi sekolah kalau mereka bolos hari itu, dia mengikuti Haibara dan Saguru yang sedang duduk di dalam lab. Haibara sedang merawat luka Saguru dan menyimak dalam diam mendengarkan penjelasan Conan. Walau sepertinya Conan masih menyembunyikan banyak hal, seperti masa lalu Haibara. Bagi Conan bagaimanapun rahasia Haibara biarlah gadis itu sendiri yang menceritakannya, dia tak berhak untuk memberitahu siapapun.

Saguru terhenyak. Kepalanya pusing terasa mau pecah. Dia terlibat masalah besar. Ternyata Conan dan Haibara berada di keadaan yang sama dengan dia. Tiga anak kecil melawan organisasi hitam terhebat sepanjang masa? Membuat adrenalinnya hidup dan mengalir dengan menggebu-gebu. Dan gadis cilik ini adalah penemu obat sialan yang mempunyai efek samping mengecilkan dirinya. Untung saja dia tidak mati dan hanya mengecil seperti lainnya. Dia masih muda, belum siap untuk mati. Dia bahkan belum menikah (walau Saguru tampan, dia masih jomblo sih).

Haibara mengerutkan keningnya ketika melihat perubahan wajah Saguru.

"Mereka bukan orang yang bisa dilawan dengan tangan kosong, Hakuba-kun."

Saguru menatapnya,"Aku harus membalas mereka yang membuatku menjadi begini, Haibara-san."

Conan ikut mengerutkan keningnya seperti Haibara,"Satu langkah meleset dan semua orang yang dekat dengan kita akan mati." Saguru menggertakan giginya,"Aku tidak akan pernah meleset." Katanya lagi sambil menipiskan bibirnya.

"Jadi bagaimana sekarang?" tanya Haibara pelan. Pandangan matanya jatuh pada Conan. Mereka saling menatap.

"Hakuba bisa tinggal disini. Dan kau harus menghubungi keluargamu di Inggris sebelum mereka menjadi cemas. Sepertinya kau tidak akan bisa pulang kesana sebelum menjadi dirimu kembali." Kata Conan setelah berpikir beberapa saat.

Saguru terdiam sejenak, lalu bersuara,"Baiklah."

"Haibara sedang mengerjakan antidote untuk racun APTX yang kau makan itu. Jadi sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali hanya menunggu saat yang tepat untuk menyerang mereka hingga ke akar-akarnya."

"Aku sudah tau kalau kau bukan anak kecil biasa, Kudo. Lagian sepertinya enak kembali menjadi anak kecil lagi. Tidak ada yang curiga pada anak kecil dengan segala kenaifannya."

Conan tersenyum kecil,"Kau akan menyesal berkata begitu, Hakuba." Wajahnya berubah sedih. Haibara yang sedang menatapnya hanya menghela nafas. Dilemparkan pandangannya ke samping, ke arah Hakuba dan detektif blonde itu juga kebetulan sedang menatapnya juga.

"Siapa nama aslimu, Haibara-san? Jika kau tidak keberatan tentunya…" tanyanya sopan.

Haibara mengangguk pelan,"Shiho Miyano."

Mata Saguru membesar,"Kau anak Hell Angel?" Haibara tersentak mendengar nickname itu dan mecengkeram kerah baju Saguru dengan panik.

"Kau kenal ibuku?" desisnya tajam.

"Tidak. Tidak secara personal…aku cuma pernah mendengar kakekku bicara tentang keluarga Miyano yang menghilang. Dia bilang kalau ibumu adalah kandidat penerima nobel tetapi menghilang tanpa jejak."

Haibara melepaskan cengkeramannya. Nafasnya perlahan normal. Saguru merasa cemas,"Kenapa? Dimana ibumu sekarang?"

Haibara tak menjawab. Wajahnya menunduk, poninya menyamarkan apa yang tersirat di rautnya saat itu. Conan yang menyadarinya segera memotong,"Hakuba, aku akan membawakanmu beberapa baju untukmu. Kau tidak bisa keluar begitu saja tanpa membuat orang curiga, karena disini tidak ada anak kecil blasteran, jadi aku dan professor Agasa akan membuat identitas palsu untukmu. Dan sepertinya kau harus sekolah juga sama seperti kami."

Saguru menoleh kearah Conan dengan percaya diri,"Aku tidak mau sekolah untuk anak kecil. Lebih baik aku sibuk mencari cara untuk menumpas mereka daripada menghabiskan waktu menghafal perkalian."

Haibara tak bisa menyembunyikan senyum mengejeknya mendengar kata-kata Saguru. "Semua detektif yang kukenal selalu optimis, percaya diri dan luar biasa sombong." Gumamnya pada diri sendiri.

Conan dan Saguru menoleh kearah Haibara,"Kau bicara tentang aku?" tanya mereka hampir berbarengan.

Haibara hanya melemparkan tatapan mata bosannya dan meninggalkan mereka. Conan dan Hakuba hanya saling berpandangan dan mengangkat bahu.

"Kau harus masuk ke sekolah yang sama dengan kami, Hakuba. Kau terlalu mencolok kalau tidak bersekolah dan berkeliaran disana sini. Kau tau arti dari 'menyembunyikan daun di hutan'?"

"Aku tidak bisa berpura-pura seperti kau dan Haibara-san." Kata Saguru keras kepala.

"Kau tau kalau kau yang telah mereka duga telah meninggal malah mengecil maka nasib kami juga dalam bahaya." Gertak Conan.

Saguru Hakuba menatapnya bosan,"Terserah. Yang penting sekarang aku harus menghancurkan mereka."

Haibara yang duduk di seberang kursi sambil mengetik sesuatu di laptopnya, mengangkat wajahnya dan berkata dengan sarkastik,"Seperti kata Suntzu—mengenali musuhmu sudah memenangi setengah pertempuran—kau mengerti? Kita tidak hanya diam saja selama ini. Hati-hati dan tidak gegabah adalah cara yang terbaik untuk memenangkan pertarungan."

Dua detektif cilik itu terdiam dan akhirnya Saguru bersuara,"Baiklah."

Conan tersenyum penuh kemenangan. Haibara hanya menguap. Tapi matanya berkilauan ketika saling bertubrukan dengan iris biru Conan lagi. Ada senyum samar di bibir gadis cilik itu.

.

.

.

Setengah jam setelahnya, Saguru , Conan dan Haibara sedang duduk bersama di Lab bawah tanah rumah professor Agasa. Mereka hanya memperhatikan gerak-gerik Haibara yang sedang sibuk mengetes berbagai larutan. Dan setelah menit ketiga puluh satu, Haibara tidak tahan lagi.

"Please, aku tidak bisa berkerja dengan tenang kalau ada dua orang yang tak henti-hentinya memandangku seperti menganggapku adalah specimen hidup." Nada suara Haibara mulai berbahaya. Conan dan Saguru segera menyadarinya. Mereka pura-pura meringis malu dan sibuk memperhatikan alat percobaan yang berserakan di meja.

"Please." Cuma itu yang dikatakan Haibara lagi dan itu sudah cukup membuat Conan dan Saguru hampir berlari meninggalkan ruangan lab.

"Haibara-san sangat menakutkan." Ujar Saguru. Tapi dia cute sih…

Conan ikut bergidik,"Kau belum tau bagaimana aku harus membayarnya kalau harus menyuruhnya melakukan sesuatu." Tapi oke-oke aja sih, soalnya senyum Haibara setelahnya cukup kok untuk menebus seberapa mahal apapun permintaannya…

Mereka saling bertukar pandang dan menaikkan alis. Seakan bisa membaca pikiran masing-masing.

"Kita mau kemana sekarang?" tanya Saguru akhirnya.

"Bagaimana kalau kita bermain bola di taman?"

"Aku tidak bisa bermain bola."

Conan menatapnya heran,"Bukannya Inggris itu negara yang fanatik bola?"

"Aku tidak tertarik dengan permainan antara dua puluh dua orang yang berkeringat hanya untuk merebut satu bola saja."

Detektif berkacamata itu tertawa,"Bodoh. Kau tak tau bagaimana serunya bermain bola. Ayuk. Kita bisa bermain berdua dulu sebelum menunggu yang lain bergabung dengan kita."

"Yang lain?"

"Ya. Yuk!" ajak Conan sambil nyengir. Hakuba hanya mengangguk mengikutinya.

Suasana di taman saat itu sepi dan hanya ada beberapa orang saja yang berlalu lalang. Conan yang sedang memanggul bola sepak, hampir setengah berlari di tanah lapang. Dia menoleh untuk menunggu Saguru yang terengah-engah mengikutinya. Entah kenapa tubuh dewasa maupun anak kecil selalu membuat Saguru kerepotan. Rambutnya yang elegan jadi berantakan dan tubuhnya basah keringat. Dia sebenarnya enggan menghabiskan waktu bersama Conan (dia lebih memilih menatap Haibara berjam-jam di lab sih tapi sepertinya gadis cilik itu pasti akan menendangnya keluar), jadi Saguru Hakuba—detektif terkenal di Inggris yang bahkan Scotland Yard mengakui kemampuannya—terjebak di taman Beika dengan tubuh kecil dan bermain bola sepak dengan Conan Edogawa. Dalam mimpi pun dia tak akan pernah berharap demikian. Sangat membosankan.

Benar, tepatnya amat sangat membosankan. Jauh lebih menyenangkan bisa berada di London sambil berkutat memecahkan berbagai miste—

Terdengar jeritan lantang dari salah satu sudut taman Beika. Saguru dan Conan saling berpandangan.

Kemudian jeritan lagi,"Pembunuhan….."

Conan melemparkan bolanya dan segera berlari menuju arah jeritan. Saguru berlari mengikutinya.

Membosankan? Belum tentu. (Sepertinya gabungan dua detektif ini membuat rasio tindak kriminal dalam radius jarak satu kilometer menjadi berlipat ganda dari sebelumnya)

Well, ini baru permulaan.

.

.

.

tbc


A/N : Fic untuk iseng. Setelah sekian lama banyak menulis tentang genre angst dan drama, kali ini fokusnya ke humor dan lebih ringan. Seperti biasa, gw suka cerita cinta segitiga. Dan juga seperti biasa, tokohnya itu-itu aja hihi. Dan kayaknya ada tokoh lain lagi yang mengecil. XD

Gimana? Lanjut? Any thoughts?

Thanks for reading ^_^