Hello :) Saya author baru di ffn.
FF ini terinspirasi dari dorama Jepang Mirai Nikki (Future Diary), GANTZ movie, sama Death Note.

Jadi ya pasti ada beberapa kemiripan. Dan maaf kalau biasnya saya bikin antagonis di sini. Hehe.
So, here you are~

Title: The Chaser
Cast: - Kim HyunA (4Minute) as Kim HyunA
- Jeon Jiyoon (4Minute) as Jeon Jiyoon
- Choi Minho (SHINee) as Choi Minho
- Lee Sungjong (Infinite) as Lee Sungjong
- L (Infinite) as Kim Myungsoo/L
-Kanata Hongo as Kanata Hongo
Genre: Thriller *?*, Fantasy, Crime, Sci-fi
Rate: M, minimal umurnya 16 deh. soalnya banyak adegan kekerasan.
Warning: OOC dan banyak typo

After You kill all The Chasers,
You will be The Chaser

HyunA PoV

BRAK!

Lagi-lagi aku membunuh orang. Dan yang lebih parahnya lagi, kali ini aku membunuh orang yang hampir saja jadi pacarku. Barusan aku membanting sebuah meja kayu ke tubuhnya hingga patah hampir di setiap bagian. Tentu saja aku membantingnya berkali-kali. Gosh!

Aku adalah "The Wanted One (Yang Dicari)" dan Hyunseung, orang yang barusan ku- yeah, kubunuh, adalah The Chaser (Pengejar).

Aku terengah. Aku bermandikan keringat. Tangisanku tidak kunjung berhenti.

"Oppa, mi.. hiks.. anhae," gumamku sambil terisak.

Tiba-tiba ponselku bordering di saku celana jinsku. Kuambil dengan tanganku yang lembab dan kulihat layarnya. Telepon dari Minho-ssi, si "yang dicari" juga. Aku menghapus air mataku dan menarik napas dalam, lalu menggeser jariku di layar ponselku untuk mengangkat teleponnya.

"Yeobose-"

"Hyuna! Cepat ke apartemen Jiyoon sekarang!" semburnya panik.

"Ne," jawabku tak bersemangat. Aku terlalu lelah dan sedih untuk menanyakan 'ada apa?'. Tenagaku hampir terkuras habis hanya untuk membanting meja sekuat-kuatnya. Dengan kaki yang gemetar, menopang tubuhku yang bisa dibilang hampir ambruk, aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan banyak noda darah yang menempel di sekujur tubuhku. Aku mengambil jaket panjang milik Hyunseung oppa yang terletak di sofa tempat kami duduki tadi. Panjang jaketnya cukup untuk menutupi noda yang ada di pakaianku. Dengan langkah gontai aku meninggalkan rumah Hyunseung Oppa menuju apartemen Jiyoon eonni.


Sebulan sebelumnya…

"Eonni-ah, annyeong!" seru Sohyun dari depan pintu rumahnya sambil melambaikan sebelah tangannya kepadaku. "Hati-hati!"

"Annyeong! Sampai jumpa besok, Sohyun-ie!" seruku balik dan berjalan menuju rumahku di blok selanjutnya. Sohyun adalah adik kelasku di Holly Art Academy. Aku mengambil kelas tari dan ia mengambil kelas lukis. Hampir setiap hari kami pulang sekolah bersama karena jarak rumah kami tidak terlalu jauh dan searah.

Aku mengecek kotak pos di depan rumahku. Hari ini terdapat sebuah amplop surat berwarna merah tua. Di pojok kanan bawah belakangnya tertulis

Untuk Kim HyunA

Tidak ada nama pengirim dan di bawah namaku tercetak fotoku. Aku tertawa pelan. Sungguh aneh yang mengirim surat ini.

"Aku pulang!" seruku seraya membuka pintu.

"Ne!" balas Ibuku. Aku mencium wangi sesuatu dan segera ke dapur. Ibuku, dengan celemek bergambar bintang-bintangnya, sedang berdiri di depan kompor, mengaduk-aduk. Aku menghampirinya dan melihat beberapa udang yang besar sedang digoreng. Udangnya berwarna kuning karena dilapisi tepung. Aku jadi lapar seketika. Baunya begitu harum, mengalahkan harum di restoran seafood nomor 1 di kota ini.

"Eomma, boleh kuambil satu?" tanyaku memelas dan mengangkat jari telunjukku.

"Tidak untuk sekarang, Hyuna. Ini untuk makan malam," jawabnya sambil terus mengangkat udang yang sudah matang dan memasukkan beberapa lagi untuk digoreng. Aku mengerucutkan bibirku. Lalu ibuku tertawa kecil dan berkata, "Ada kue yang baru Eomma beli di Bubble Bakery yang baru buka itu. Makanlah setelah mandi." Aku tersenyum dan segera menuju kamarku dan mandi secepat yang aku bisa. Aku ini sangat suka cemilan! Setiap hari harus ada cemilan di sore hari. Mulutku ingin terus mengunyah.

Sambil menonton tv aku dan Ibuku menyantap kue keju yang menggiurkan itu. Berdasarkan penelitian (tentunya bukan aku yang meneliti), menonton tv sambil menyantap cemilan itu bisa menyebabkan gemuk. Aku tidak percaya. Karena setelah bertahun-tahun aku melakukan rutinitas ini, berat badanku ideal sesuai umur dan tinggi badanku. Hehe. Oh! Aku hampir saja lupa dengan surat yang tadi. Kebetulan tinggal sepotong kecil kue lagi. Kumasukkan itu ke mulutku, meletakkan piring kosong di atas meja di depanku dan berjalan ke kamar di lantai atas.

"Hyuna! Cuci piringnya!" seru ibuku.

"Nanti saja. Aku tidak lama," jawabku.

Kuambil surat itu dan duduk di tepi tempat tidurku. Kubuka penutup amplopnya dan kuambil secarik kertas hitam dengan tulisan berwarna putih. Hanya ada 11 kata dalam bahasa Inggris :

After You kill all The Chasers,
You will be The Chaser

"Setelah kau membunuh semua pengejar, kau akan menjadi pengejar?" Gumamku bingung. Bahasa Inggrisku lumayan payah. Sepertinya ini surat iseng. Kuremas kertas itu beserta amplopnya dan kulempar ke dalam tong sampah di samping meja belajarku. Aku turun ke lantai bawah dan mulai mencuci piring.

Esoknya, saat aku sedang berbicara dengan para sahabatku, Jiyoon eonni, Sunggyu oppa, dan Hyunseung oppa, di kantin, aku mendapat e-mail dengan nama pengguna 'Unknown' di ponselku yang isinya sama dengan isi surat yang sehari sebelumnya kuterima. Benar-benar kurang kerjaan! Menyebalkan!

"Hyuna, waeyo? Kau kelihatan kesal," tanya Jiyoon eonni.

"Cuma e-mail iseng, eonni. Aigo aku ngantuk," ujarku sambil menyandarkan kepalaku ke bahu Jiyoon eonni dan memejamkan mata.

"Pantas matamu seperti panda," ledek Sunggyu oppa. Aku melempar pipet ke arahnya yang biasa dipanggil Gyu itu.

"Ya! Kau ini! Tak sopan terhadap seniormu!" serunya. Yeah, sahabat-sahabatku adalah senior yang menyebalkan. Aku hanya menjulurkan lidah dan melanjutkan makananku yang sempat tertunda karena e-mail tadi serta melanjutkan pembicaraan kami. Ponselku bergetar, tanda pesan masuk.

From: Unknown
Being chased all the time or just kill them directly.

"Mwoya?" keluhku.

"Wae? E-mail iseng lagi?" kali ini Hyunseung oppa si pengganggu, yang duduk di samping Sunggyu oppa, yang bertanya. Aku hanya mengangguk kesal.

"Ada yang pintar bahasa Inggris?" tanyaku. Semua yang di depanku menggeleng dengan polosnya.

"Emangnya kenapa, Hyuna-ya?" tanya Jiyoon eonni. Kuserahkan ponselku kepadanya dan mereka bertiga membacanya.

"Being itu apa, ya?" tanya Gyu oppa, begitu panggilannya.

"Ini kalimat pasif, kan?" tanya Jiyoon eonni.

"Jangan tanya aku, dong," jawab kami bertiga bersamaan.

Jiyoon eonni memutar kedua bola matanya seperti berkata 'Iya, deh.'

"Daripada kita susah-susah cari artinya, lebih baik kita Tanya langsung sama guru bahasa Inggris," celetuk Gyu oppa.

"Eoh! Benar juga." Sahut Hyunseung oppa dan dilanjutkan dengan anggukan Jiyoon eonni sambil menatapku.

"Tidak perlu. Toh hanya SMS iseng. Tidak usah dipedulikan. Aku akan mengganti nomor dan e-mailku. Mudah kan?" ujarku dan mengambil ponselku. Tepat setelah itu bel masuk berbunyi dan kami berpisah menuju kelas masing-masing.

Jam kosong. Guru Sejarah tidak masuk. Ah, kebetulan sekali. Aku bisa tidur sebentar. Aku sangat mengantuk karena tadi malam aku menonton Bioskop TRAX TV (bwakakakak author ngarang). Kusuruh Naeun untuk membangunkanku jika ada guru yang masuk. Aku memejamkan mataku.

"Hei, kalian ada dengar berita tadi pagi?" Suara Dongwoon di belakangku bertanya. Aku tetap dalam posisiku, kepala di atas kedua lenganku di atas meja. Beberapa siswa di sekitarnya menjawab tidak tahu.

"Seorang pelajar SMA meninggal dunia di depan sebuah bar. Dia pengedar narkoba yang sembunyi dari polisi," jelas Dongwoon tapi dipotong suara Naeun.

"Dongwoo-ssi, ini bukan sekolah detektif tapi sekolah seni! Tepatnya akademi, sih." kata Naeun kesal. Beberapa gumaman terdengar setuju dengan Naeun.

"Hei, dengar dulu. Berita ini beda dengan yang lainnya. Di bahu mayat itu ada tato aneh. Tato yang sama dengan pengedar narkoba yang meninggal akhir pekan lalu." Sela Dongwoon dengan nada seperti suara animasi detektif Conan.

"Kemungkinan itu tato organisasi atau kelompok pengedar narkoba," tebakku, tetap dalam posisi. Aku yakin mereka sedang melihat ke arahku sekarang.

"Suara siapa tuh?" tanya Dongwoon. Oh yeah, dugaanku salah.

"Jangan-jangan makhluk halus," sahut Luna. Geez! Aku menegakkan tubuhku dan berbalik.

"Apa aku terlihat seperti makhluk halus?" tanyaku malas.

"Untuk saat ini, iya," jawab Naeun. Dongwoon mengangguk cepat dengan polosnya.

"Lihat saja matamu yang seperti panda itu. Kayak sadako dengan rambut panjangnya. Tapi yang ini dengan versi rambut keriting," ledek Dongwoon sambil menahan tawa. Dengan sudut mataku kudapati Naeun dan beberapa anak lainnya juga melakukan hal yang sama. Aku menghela napas kesal dan melanjutkan tidurku yang sempat tertunda.

"Tadi itu suara Hyuna." Kudengar Naeun berkata setelah berhenti cekikikan.

Aku sempat bermimpi.

Di kelasku, Dongwoon sedang mengedarkan sebuah bungkusan kecil ke setiap murid dan menerima uang sebagai bayaran. Anehnya, Dongwoon hanya memakai singlet dan celana seragam sekolah kami. Di bahu kirinya terdapat tato yang tidak jelas. Saat sampai ke tempat dudukku, ia menawarkan bungkusan berwarna cokelat tua itu tapi aku menggeleng. Ia mengangkat sebelah alis matanya dan berkata, "Ayolah Hyuna. Ini hanya penyedap makanan baru yang dibuat oleh ibuku. Aku yakin makananmu akan jauh lebih enak dengan ini. Aku hanya membantu usaha orangtuaku. Kau tak mau mencobanya? Jangan kecewakan bibimu sendiri." Tiba-tiba badanku bergetar kencang.

"Hyuna! Hyuna! Bangun!" Rupanya Naeun membangunkanku. Pasti guru sudah masuk. Aku segera menggosok mataku untuk menghilangkan kantuk. "Hyunseung sunbae mencarimu," lanjutnya. Apa? Menyebalkan! Mengganggu tidur orang saja! Aku menemukan Hyunseung oppa sedang berdiri di dekat pintu sedang melihatku. Aku memaksakan senyum manis dan bangkit lalu berjalan ke arahnya. Kami berdiri di depan pintu, terhindar dari pandangan teman-temanku.

"Mianhae. Sepertinya aku mengganggu tidurmu," katanya menyesal.

"Aa, gwaenchanayo," dustaku. Aku ingin bilang "Aku masih ngantuk tau, gak! Pergi sana!" Tapi aku takut dimarahi oleh Sunggyu Oppa. Karena segala tindakanku akan dilaporkan ke dia yang bisa dibilang paling berkuasa di antara kami berempat.

"Jadi, ada apa mencariku?" tanyaku.

"Ah iya. Kau tahu restoran sushi yang ada di ujung jalan sekolah kita?" Aku mengangguk. "Nanti sore, jam 4, kita berempat bertemu di sana, oke?"

" Wah, sudah agak lama aku tidak makan sushi, oppa! Ne. Aku pasti datang," jawabku semangat.
Dia tertawa kecil, "Sudah ya. Aku tunggu kedatanganmu, Hyuna. Silahkan lanjutkan tidurmu. Annyeong." Aku memelototinya sesaat sebelum ia melesat pergi. Aku menghela napas sambil tersenyum kecil. Hyunseung oppa melambai-lambai kepadaku dengan sebelah tangannya tanpa menatapku. Aku melangkah menuju kelas dan segera duduk di tempatku.

"Yaaa, Kim Hyuna," panggil Dongwoo. Perasaanku jadi tak enak melihat ekspresinya, "Kau pacaran dengan Hyunseung hyung?" 'Tuh kan.

"Mweo? Pacaran?" responku, "Mana mungkin. Bisa-bisa aku diancam sama fans-fansnya yang brutal itu. Hiii!" aku bergidik dan membetulkan letak poniku. Hyunseung oppa adalah murid yang populer di sekolah. Banyak siswi yang tergila-gila padanya karena parasnya yang tampan, suara yang membuat orang merinding ketika ia bernyanyi, dan sifatnya yang ideal di mata mereka, namun tidak bagiku. "Lagipula dia itu sangat menyebalkan," lanjutku kesal.

"Whoa! Dari nada bicaramu sepertinya kau menyukai Hyunseung hyung, ya kan?" tanyanya jahil. Anak ini!
Aku meliriknya galak, "Kau mau diikat ibumu lagi di pagar saat kau menggangguku waktu SD, Son Dongwoon?" Aku menekankan nada pada namanya. Sontak seisi kelas hening."Ups! Mianhae, aku keceplosan, Dongwoon-ie." lanjutku sambil terkikik penuh kemenangan. Habislah kau, Dongwoon. Sebagai sepupu aku tak akan mengampunimu!

"Mweo?" pekik Naeun, "Diikat di pagar?" Dan seisi kelas meledak dalam tawa.

"Ya! Ya, kalian! Jangan percaya sama sepupuku yang satu ini. Dia suka merekayasa!" Dongwoon berdiri, membela dirinya sendiri dengan nada panik.

"Merekayasa?" tanyaku sambil meliriknya yang menjulang di depan kursinya, "Bukankah itu kau? Bahkan kau tak pandai berakting untuk merekayasa, Dongwoon-ie. Kekeke."

Butuh beberapa saat bagi kami untuk berhenti tertawa sedangkan Dongwoon mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Sudah, sudah, kalian! Ssstt!" Perintah Kibum, ketua kelas, memecahkan keramaian. "Seungseong seonsaengnim sedang menuju kemari." Aku baru sadar bahwa dari tadi ia mengintip di jendela yang menghadap koridor area kelas 2. Lalu ia cepat-cepat duduk di tempatnya di pojok kanan depan. Dan benar, kepala sekolah kami itu masuk ke kelas kami, sepertinya mengganti guru sejarah. Bukannya mengajar, beliau malah menceramahi kami yang dicap sebagai kelas paling ribut dan suka mengganggu. Whoa, aku tidak seperti itu!

"Arrasseo?" tanya Seungseong seonsaengnim mengakhiri ceramah selama satu jam itu. Jangan heran, beliau suka menyelipkan kisah-kisah masa sekolahnya saat berceramah. Bahwa dulu beliau jalan kaki sepanjang 5 km ke sekolah, membanding-bandingkan kami yang naik mobil maupun angkutan umum. Dan lain-lain.

"Neeeeee," jawab kami malas.

"ARRASSEO?" tanya beliau lebih keras, membuat beberapa teman sekelasku yang hampir tertidur tersentak.

"NEEEE," jawab kami tak kalah kerasnya.

"Bagus. Kalian boleh pulang." Kami bingung dan saling menatap satu sama lain. Padahal sekarang masih jam 12 siang dan pulang sekolah itu jam 3 sore. "Ee, para guru ada rapat penting. Annyeong higyeseyo," lanjut beliau dan berlalu dengan suara sepatunya yang khas.

"Tumben sekali Seungseong seonsaengnim mengucapkan itu kepada kita duluan?" gumam beberapa murid. Aku juga heran.

Tanpa bicara apa-apa lagi aku menyandang tasku dan beranjak ke luar kelas bersama yang lain. Hari ini aku tidak pulang dengan Sohyun. Saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, aku merasa gatal sekaligus sakit di telapak kaki kiriku. Aku ingin menggaruknya tapi sepatu yang kupakai menghalangiku. Aku menggerutu dan terus berjalan menuju stasiun kereta, menahan rasa gatal dan sakit yang semakin menjadi-jadi. Aku menghentak-hentakkan kaki kiriku untuk mengurangi rasanya saat menunggu di stasiun namun orang-orang di sekitarku mulai memerhatikanku. Aku membungkuk, meminta maaf, dan memutar-mutar pergelangan kakiku. Aish, menjengkelkan.

Akhirnya kereta yang kutunggu datang. Aku masuk dan duduk tepat di samping pintu. Aku terus menggoyang-goyangkan kaki kiriku. Sungguh menyakitkan dan gatal. Kucoba alihkan perhatian ke sekelilingku. Kulihat beberapa orang sedang membaca surat kabar, majalah, novel, atau komik, namja yang memejamkan matanya dengan headset di kedua telinganya, kelompok siswi yang berbincang seru dan tertawa, seorang ibu yang sedang berbicara dengan anaknya yang masih bayi. Untuk sementara waktu rasa gatal dan sakit itu mereda. Aku tetap memerhatikan sekelilingku.

"Arrrkkkhhh!" erang seseorang. Aku melihat ke arah datangnya suara. Betapa terkejutnya aku! Seorang namja yang kelihatannya seorang mahasiswa jatuh dari tempat duduknya dengan darah yang keluar dari mulutnya. Darah itu terus mengalir tanpa henti sementara ia terbatuk-batuk dan memegang lehernya dengan kedua tangan. Sepertinya ada darah putih juga karena ada cairan putih yang ikut mengalir bersama darah merahnya. Sementara novel yang tadi dipegangnya ikut terjatuh di sampingnya.

"Astaga!" pekik beberapa siswi yang kulihat tadi. Mereka saling berpelukan, tidak tega melihat apa yang ada di depan mereka. Bayi yang sedang di gendongan ibunya menangis kencang karena terkejut sedangkan ibunya memeluknya keras tanpa memerhatikan pria itu. Namja dengan headset di telinganya terkejut dan berdiri. Semua penumpang sibuk histeris dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku memerhatikan orang yang tadi duduk di sebelahnya, namja dengan hidung mancung dan tubuh kurus. Ia terlihat tenang, bahkan ia menenangkan ibu yang membawa bayinya. Pandangan kami bertemu dan oh, tatapannya membuatku merinding. Ia terlihat asing, sepertinya bukan orang Korea. Cepat-cepat aku memalingkan mukaku dan memainkan ponselku.

"Denyut nadinya melambat!" seru seseorang. Banyak penumpang memasang wajah tegang, termasuk aku.

Kereta ini akhirnya berhenti dan dengan cepat aku melangkah ke luar. Aku menggenggam tali tasku dengan erat, masih terkejut dengan kejadian tadi. Telapak tanganku sudah lembab dari tadi. Begitu aku berada di luar pintu stasiun dekat rumahku, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.

"Maaf." Aku menoleh dan menemukan namja yang tatapannya membuatku merinding tadi. Aku menahan napas dan berlari namun ia menahan tanganku.

Aku menepis tangannya kasar. "Mau apa?" tanyaku waspada.

"Ee, jwiseonghabnida," katanya dengan logat yang berbeda, "Apa kau dari Holly Art Academy?" Aku curiga dengan orang ini.

"Anio." dustaku dan segera berlari sekuat tenaga menuju rumahku.

HyunA PoV Ends

Author PoV

"Anio." dusta Hyuna dan berlari sekuat tenaga untuk menghindari laki-laki yang mencurigakan baginya itu. Laki-laki itu baru saja ingin memanggilnya tapi ia mengurungkan niatnya. Ponsel di kantung celananya berdering. Ia mengambilnya dan membaca pesan yang masuk.

"Sial!" gerutunya dan berbalik.

"Aku pulang," teriak Hyuna ketika sampai di rumahnya dan bergegas membersihkan diri.

Begitu keluar dari kamar mandi, ia teringat kaki kirinya. Ia duduk di kursi depan meja belajarnya, melipat kaki kirinya ke atas lutut kanannya, dan melihat telapaknya. Terdapat bulatan merah muda berdiameter 6 sentimeter di tengahnya. Hyuna mengerutkan keningnya, heran. Ia merabanya dan itu bukan benjolan. Kalau digigit serangga pasti menimbulkan benjolan atau ada lubang bekas gigitan, pikirnya. Lalu ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan memejamkan matanya untuk tidur setelah lelah berlari tadi. Mau tidak mau Hyuna mengingat kembali namja itu. Mata yang tajam, tulang idung yang menonjol, gigi yang tidak terlalu rapi, rahang runcing, dan tubuh yang kurus tinggi. Hyuna menggeleng-gelengkan kepalanya dan memeluk gulingnya.

Baru saja mimpinya dimulai, ponsel Hyuna berdering keras, mengagetkannya. Ia bangkit dan mengambil ponselnya di meja belajar. Jiyoon meneleponnya.

"Yeoboseyo, Eonni?"

"Ya!" seru Jiyoon, "Apa yang kau lakukan? Kau tidak lupa dengan ajakan Hyunseung tadi kan?" Hyuna membelalakkan matanya yang barusan masih tertutup.

"Aigo! Mianhae, eonni-ah! Aku lupa. Jeongmal mianhae. Aku akan segera ke sana." kata Hyuna memelas.

"Ne. Yang cepat, ya. Gyu mengancam bahwa kami akan pergi tanpa kau. Katanya dia tunggu 3 menit."

"Mweo? 3 menit?" tanya Hyuna sambil cepat-cepat menyisir rambutnya.

"Ya iya! Kau pikir kami di mana sekarang?" tanya Jiyoon kesal. Hyuna melangkah menuju jendela kamarnya dan melongok ke bawah. Ketiga sahabatnya sedang berdiri menunggunya, di depan rumahnya. Ibunya terlihat sedang berbincang dengan Hyunseung.

"Ne," kata Hyuna mengakhiri panggilan.

Begitu susah bersahabat dengan mereka. Setidaknya itu yang dipikirkan Hyuna. Tapi ia tidak bisa membenci apalagi berpisah dengan mereka. Persahabatan mereka dimulai dari 10 tahun lalu di acara reuni sekolah ibunya di mana mereka diwajibkan membawa serta anggota keluarganya.

Mereka bertemu, berkenalan, bermain bersama, memiliki impian yang sama di dunia seni dan hiburan. Perbedaan umur bukanlah masalah. Unbreakable friendship, begitu pikir Hyuna, melupakan bahwa ia menerjemahkan kata-kata itu dari Korea ke Inggris menggunakan Google Translate. Jeon Jiyoon, Jang Hyunseung, dan Kim Sunggyu, sahabat yang seperti kakak bagi Hyuna yang merupakan anak tunggal.

Hyuna mengganti pakaian rumahnya dengan baju berbahan wol merah muda berkerah lebar dengan lengan panjang. Bagian bawahnya dimasukkan ke dalam celana jins biru tua yang memperlihatkan bentuk kaki jenjangnya. Ia memoleskan bedak secara asal di wajahnya lalu mengambil ponsel dan dompet dan memasukkannya ke dalam tas selempang yang berwarna cokelat susu. Ia keluar dari kamarnya, menuruni tangga, dan memakai sepatu flat berwarna putih. Semua itu dilakukan dengan sangat cepat namun Hyuna tetap terlihat rapi dan fashionable.

"Tepat 3 menit," ucap Sunggyu ketika Hyuna sampai di pagar rumahnya. Hyunseung bertepuk tangan pelan namun segera berhenti saat menangkap tatapan tajam Jiyoon.

"Mianhae. Tadi aku tidur," kata Hyuna menyesal.

"Kau belum cukup tidur tadi di kelas?" celetuk Hyunseung.

Ibu Hyuna memelototi anaknya.

"Ups," kata Hyunseung tanpa suara.

"Ehehe," kekeh Hyuna, "Tadi nggak ada guru kok, Eomma."

"Oke, Eommonim. Boleh kami permisi sekarang?" potong Sunggyu sambil tersenyum dan Hyuna tahu bahwa itu senyum yang dipaksakan. Tapi ia bersyukur karena itu.

"Oh, ne. Hati-hati, ya. Jangan pulang terlalu malam. Jaga Hyuna baik-baik," himbau Ibu Hyuna lembut sambil membuka pintu pagar untuk Hyuna.

"Annyeong, Eomma," ucap Hyuna sambil melambaikan tangannya.

"Annyeong, Eommonim."

"Ne," jawab Ibu Hyuna dan menutup pintu pagar.


"Hmm.. sushinya enak sekali!" seru Hyuna dengan mulut hampir penuh.

Jiyoon yang duduk di sebelahnya mengangguk menyetujui. "Lain kali aku akan mentraktir kalian ke sini."

"Jeongmalyo?" tanya Sunggyu, "Bagaimana kalau di hari ulang tahunmu? Itu kan beberapa minggu lagi."

"Ne. Aku janji jika umurku panjang. Haha," balas Jiyoon.

"Kau mau mati?" tanya Hyunseung dengan nada serius. Hyuna, Jiyoon, dan Sunggyu menatap Hyunseung heran dan keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik.

"Aa, Hyunseung. Kau ini apa-apaan? Haha," kata Sunggyu memecah keheningan, "Ayo makan-makan. Hari ini aku yang bayar."

"Tumben sekali kau mau membayar kami," cetus Hyuna senang, "Boleh aku pesan lagi?"

"Aku juga!" seru Jiyoon dan Hyunseung bersamaan dan mereka, selain Sunggyu, tertawa bersama.

Sunggyu menelan seteguk soda, "Hmm.. kebetulan aku baru terima gaji dari hasil kerja sambilan. Tapi jangan banyak-banyak! Awas kalian!"

"Joha!" seru Hyuna dan mengangkat sebelah tangannya, tanda memanggil pelayan di restoran itu. Sementara Jiyoon dan Hyuna memesan, Hyunseung asyik menggaruk lengan kiri atasnya dan meringis.

"Wae?" tanya Sunggyu.

"Gatal dan sakit. Ah," jawab Hyunseung, "Aku pesan menu yang sama dengan mereka berdua," lanjutnya kepada pelayan dan pelayan itu pergi.

"Mungkin digigit nyamuk," ujar Sunggyu.

"Digigit nyamuk tidak segatal dan sesakit ini." Hyunseung terus menggaruk.

"Wae, oppa?" tanya Hyuna, "Gatal dan sakit? Kakiku juga begitu."

"Kau tahu kenapa?" tanya Hyunseung. Hyuna menggeleng.

"Mungkin jamuran," ujar Sunggyu.

"Jangan digaruk terus. Nanti bisa luka," Jiyoon memberi nasihat.

Hyuna mengangguk, "Ne. Itu hanya sebentar. Kau beruntung karena bisa menggaruknya. Sedangkan aku tidak bisa karena tadi aku lagi pakai sepatu." Lalu ia menceritakan kejadian sore itu.

"Akhir-akhir ini ada kasus pembunuhan tanpa diketahui tersangkanya. Bahkan bukti dan saksi pun tidak ada," ucap Sunggyu sambil memegang dagunya dengan jari telunjuk dan jempolnya.

"Tapi kasus tadi lain halnya. Bahaya kalau ada polisi yang datang ke rumahku untuk dimintai keterangan," kata Hyuna khawatir.

"Jangan takut. Toh bukan kau yang membunuhnya. Dan lebih bagus lagi kalau dia nggak mati," ujar Hyunseung menenangkan.

"Tapi darah yang keluar sebanyak itu bisa mengambil nyawa orang, Oppa. Apalagi tadi denyut nadinya melambat."

"Hei," kata Sunggyu sambil menunjuk televisi di restoran, "lihat."

"Setelah diotopsi, para medis menemukan zat racun yang tidak diketahui jenisnya di dalam darah korban. Diduga korban melakukan bunuh diri. Dan ternyata, korban adalah ketua geng motor yang keberadaannya tengah dicari dan ia melakukan balap liar di tengah malam bersama anggota geng lain yang telah ditahan oleh polisi sejak seminggu yang lalu." jelas sang reporter.

"Dengar? Bunuh diri. Jangan khawatir," ujar Hyunseung lagi. Hyuna hanya diam dan menyantap sushi tambahan yang baru dibawa sang pelayan.

"Mulai sekarang kita berempat harus lebih sering bersama. Hanya untuk berjaga-jaga," cetus Sunggyu, "Apalagi Hyuna yang sering pulang sendiri."

"Tidak juga," kata Hyuna,"Aku sering pulang dengan Sohyun, kok."

"Ya sepertinya kalian tidak bisa pulang bersama lagi mulai minggu depan."

"Waeyo? Rumah kami dekat. Kalian tahu itu."

"Sohyun tidak memberitahumu bahwa ia akan pindah rumah?" tanya Sunggyu, "Kemarin kulihat dia bersama kedua orangtuanya sedang memasuki rumah yang baru dibangun 3 blok dari rumahku. Kebetulan teman sekelasku, Jinki, sepupu jauh Sohyun, ada di sana. Jadi kutanya tadi pagi di kelas."

"Sohyun mungkin lupa beritahu aku. Tapi aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatirkan aku. Aku sudah 17 tahun."

"Andwae," kata Hyunseung menunjukkan ketidaksetujuan, "Suaramu cempreng." Hyuna mendelik.

"Aa hubungannya?" sela Sunggyu sebelum meneguk sodanya.

"Berani-beraninya Oppa menghina pemberian orangtuaku!" seru Hyuna dengan suara yang dipelankan.

"Aku nggak menghina. Tapi itu memang kenyataan. Week," ledek Hyunseung dengan menjulurkan lidahnya.

"Ya!" seru Jiyoon, "Jangan bertengkar seperti anak ke-"

"Kami tidak bertengkar," potong Hyuna dan Hyunseung bersamaan lalu melanjutkan perdebatan meraka. Jiyoon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka berdua sering sekali berdebat tentang hal-hal kecil. Pernah mereka berdebat tentang gaun baru Hyuna saat berumur 10 tahun. Hyuna ngotot bahwa gaun itu adalah trend waktu itu. Sedangkan Hyunseung ngotot bahwa itu trend tahun sebelumnya. Mereka terus berdebat hingga saling jambak-menjambak rambut satu sama lain. Hingga akhirnya mereka dilerai oleh Sunggyu dan Ayah Hyuna yang kebetulan masuk ke kamar anaknya. Hyuna memang keras kepala dan tidak bisa diam saat itu. Namun seiring bumi berevolusi mengelilingi matahari, Hyuna mulai mengubah perilakunya.

"Ngomong-ngomong aku berubah pikiran, nih," ujar Sunggyu di sela-sela perdebatan Hyuna dan Hyunseung semakin seru dan mulai mengundang perhatian pelanggan lain. Jiyoon yang melihat ekspresi masam Sunggyu menendang kaki Hyuna pelan namun Hyuna malah meletakkan kaki yang ditendang Jiyoon ke atas kaki sebelahnya.

Sunggyu menggeram lumayan keras, "Kalian!" Hal itu berhasil membuat Hyuna dan Hyunseung berhenti dan menatapnya sesaat. Ekspresi yang dilihat Sunggyu bukan takut melainkan acuh tak acuh dari mereka. Begitu Hyuna ingin membuka mulutnya, Sunggyu, dengan kedua lengan dilipat di dadanya, mengancam mereka, termasuk Jiyoon, bahwa ia tak jadi membayar makanan mereka kecuali miliknya sendiri. Ancaman Sunggyu berhasil dan mereka pun makan dalam diam, tidak berani melawan.

Hyuna tidak setuju ia harus mengeluarkan uang untuk dua porsi sushi. Harga satu porsi saja harus membuatnya berpikir berkali-kali. Apalagi ia sedang mengumpulkan uang untuk membeli mantel musim dingin yang baru. Mantel lamanya hilang musim dingin lalu di toilet sebuah pusat perbelanjaan. Ia meletakkan mantelnya di wastafel namun hilang setelah ia keluar dari salah satu bilik di toilet itu. Ia merasa dirinya sangat ceroboh dan merutuki dirinya sendiri. ia sangat sedih. Mantel bulu berwarna hitam biru itu sudah melindungi tubuhnya selama beberapa musim dingin. Saat ia mengatakan hal itu kepada orangtuanya dan meminta yang baru, mereka hanya mengomeli Hyuna karena ceroboh. Harga sebuah mantel tidaklah murah.

Merasa tak enak terhadap orangtuanya, Hyuna memutuskan untuk membeli sendiri apa yang ia butuhkan. Tentunya ia melakukan penghematan besar-besaran terhadap uang jajan yang diterimanya setiap sebulan sekali. Ia tidak lagi membeli pakaian baru dan aksesori untuk kepentingan fesyennya, tidak juga membeli cemilan yang selalu disantapnya setiap sore. Uang yang kadang-kadang diberikan oleh neneknya jika ia datang berkunjung juga disimpannya dengan baik. Kini ia menyerahkan hal cemilan kepada ibunya dan memakai pakaian seadanya namun tetap memperhatikan stylenya.

Di penghujung sore itu, mereka kembali ke kediaman masing-masing setelah Sunggyu membayar semua pesanan mereka.

"Gila! Aku nggak pernah mengeluarakn uang sebanyak itu hanya untuk makan!" Sunggyu menggerutu sepanjang perjalanan di kereta bawah tanah. Ia menegaskan bahwa Jiyoon harus mentraktir mereka di hari ulang tahunnya untuk membayar kerugian yang telah dikeluarkannya. Hyuna harus memberinya kado bermerek di hari Natal dan Hyunseung harus membayarnya ke tempat karaoke.

"Tenang saja," janji Jiyoon sambil tersenyum.

"Enak saja!" seru Hyuna dan Hyunseung saat mendengar perintah Sunggyu yang semena-mena menurut mereka.

"Aku lagi mengumpulkan uang untuk beli mantel musim dingin yang baru!"

"Aku tidak bekerja sambilan sepertimu! Aku juga lagi mengumpulkan uang untuk membeli gitar."

Sunggyu hanya melongo, matanya entah ditutup atau tidak karena terlalu sipit. Tidak disangkanya kedua orang itu sedang menabung.

"Oke. Aku mengerti. Biarkan aku memikirkan balasan yang lebih murah dan mudah," ujar Sunggyu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sedangkan Hyuna dan Hyunseung mendengus kesal sampai hawa di sekitar Sunggyu terasa panas.

Keesokan harinya..

"Aku ada lihat beritanya kemarin. Mengerikan sekali. Kau tidak apa-apa kan?" tanya Naeun ke Hyuna setelah Hyuna menceritakan kejadian di kereta api kemarin.

"Tidak apa-apa. Hanya saja aku takut bila bertemu namja itu lagi," jawab Hyuna lemas, "Apalagi dia tahu nama sekolah kita."

"Mana tahu dia cuma mau bertanya hal penting."

"Aku tidak bisa memercayai orang yang baru kutemui. Semua orang pasti juga begitu." Hyuna menghembuskan nafasnya ke poninya.

"Ayo kita berbicara di luar saja, Hyuna. Di sini panas. AC boleh dihidupkan setelah guru kita masuk. Jangan berkeringat sebelum kita mulai menari," saran Naeun dan disetujui Hyuna. Mereka bangun dari lantai dan melangkah keluar. Jam pertama hari ini bagi murid-murid kelas 2 adalah kelas jurusan yang mereka pilih.

Kanata Hongo, remaja laki-laki berumur 18 tahun, pindah dari Jepang ke Korea karena ayahnya yang seorang pengusaha besar menanam saham di Korea. Berakting adalah tugasnya. Jadi ia melanjutkan pendidikan di Holly Art Academy yang bisa menambah kemampuannya. Kemarin, ia mengenal seragam yang dipakai Hyuna. Namun ketika ia ingin bertanya tentang seluk beluk sekolah barunya, Hyuna malah berlari meninggalkannya. Padahal ia bisa saja bertanya saat masuk sekolah hari ini.
Kanata keluar dari mobil sedan hitamnnya dan masuk melalui gerbang Holly Art Academy dengan tas di sebelah bahunya. Beberapa murid merasa familiar dan berbisik-bisik ketika melihatnya.

Di sebelah kirinya terdapat kantin yang luas dan ruang kontrol kamera CCTV serta ruang olahraga di atas kedua tempat itu. Gedung tersebut lebih tinggi satu lantai dari gedung utama. Sebelah kanan hanya ada tempat parkir dan gudang. Ia menaiki tangga utama dan masuk ke pintu utama. Lalu menaiki tangga yang terletak di tengah ruangan utama menuju lantai 2.
Untuk menuju kelasnya di lantai 3, Kanata harus melewati kelas-kelas seni. Ia pun berbelok ke kiri dan memerhatikan sekelilingnya. Matanya bertemu dengan mata Hyuna yang sedang bersama Naeun di luar kelas tari. Kanata tersenyum, namun ia dibalas oleh tatapan terkejut dan panik dari Hyuna. Hyuna menarik Naeun -yang terkejut dengan reaksi Hyuna yang tiba-tiba- dan masuk ke dalam ruang tari. Senyum Kanata memudar, lalu ia terus berjalan lurus, berbelok ke kiri dan menaiki tangga menuju kelasnya tepat di samping tangga sekaligus samping kanannya, 3F. Kanata berbelok ke kanan dan masuk ke dalam kelasnya. Keadaan yang awalnya sedikit ramai menjadi diam saat ia masuk. Ia membungkuk dan memberikan salam. Sunggyu memanggil dan menyuruhnya duduk di belakangnya. Kanata mengucapkan terima kasih dan menduduki tempatnya seraya meletakkan tasnya di atas meja.

"Aku ketua kelas ini," ujar Sunggyu –berniat memberikan kesan yang baik, "Beritahu aku bila ada yang kau perlukan."

"Ah, hai. Arigato gozaimasu, eh maksudku-"

Sunggyu tertawa. "Tidak apa-apa. Aku tahu dari wali kelas kita kalau kau dari Jepang." Kanata mengangguk dan tersenyum dengan canggung.

"Kau kenapa?" tanya Naeun kesal,"Seperti melihat santu saja! Lihat! Tanganku jadi luka karena kuku panjangmu," lanjutnya sambil meniup 3 buah goresan berwarna merah muda yang cukup panjang di lengan bawah kirinya.

Hyuna yang mesih memasang ekspresi panik meminta maaf. "Kau lihat namja yang pakai tas hitam tadi kan? Dia—"

Naeun yang masih kesal memotong tanpa menatap mata Hyuna, "Banyak yang pakai tas hitam."

"Laki-laki yang kau pikir adalah anak baru, Naeun. Ingat?" tanya Hyuna tak sabar.

"Oh. Iya," jawab Naeun. "Wae?"

"Dia namja yang kuceritakan tadi."

"Hah? Yang meninggal itu? Berarti kau memang lihat hantu." Naeun panik. "Oh Tuhan. Ini parah."

Hyuna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Naeun! Kenapa kau bisa melupakan kejadian 45 detik yang lalu begitu saja? Ayolah!Yang kau bilang mirip aktor Jepang, Kanata Hongo," jelas Hyuna yang mulai frustasi menghadapi teman dekatnya yang pelupa itu.

Naeun membulatkan mulutnya. "Ooh. Jadi dia yang tahu nama sekolah kita? Kau dalam bahaya Hyuna." naeun menepuk pundak kanan Hyuna pelan.

Hyuna menepis tangan Naeun pelan. "Hei! Seharusnya kau menenangkanku, bukan bilang aku dalam bahaya! Aish."

"Kim Hyuna," tegas Naeun, "jangan selalu berpikiran negatif terhadap seseorang yang kau lihat melalui tatapan matanya. Bisa saja dia mau minta tolong."

Hyuna mendesah pasrah. "Harusnya kau bilang itu setelah kuceritakan tentang namja tadi, dasar telmi!" Naeun hanya ber-hehe ria.

Ponsel Hyuna bergetar di kantung celananya. Ia mengambilnya dan membuka isi pesan yang masuk.

From: Unknown
Being chased all the time or just kill them directly.

Hyuna terkejut sekaligus marah. Padahal ia sudah mengganti nomor ponsel kemarin setelah pulang dari restoran sushi, namun pengirim yang tak diketahui olehnya itu masih bisa mengerjainya. Ia pun belum memberitahu nomor barunya kepada siapapun, termasuk orangtuanya.

"Wae?" tanya Naeun. Hyuna hanya menggeleng.

"Hyuna Eonni," panggil Sohyun saat Hyuna dan Naeun sedang menikmati sarapan mereka di kantin. Hyuna maupun Naeun menoleh ke arahnya yang sedang membawa kotak bekal berisi sarapan miliknya. Sohyun menyapa Naeun.

"Eoh, Sohyun-ie. Duduklah," ujar Hyuna dan Sohyun duduk di depannya.

"Begini. Aku mau minta maaf. Mulai hari ini kita tidak bisa pulang bersama lagi karena aku sudah pindah rumah," kata Sohyun menyesal.

"Gwaenchanayo. Kapan-kapan ajak aku ke rumah barumu, ya," canda Hyuna.

"Ne, Eonni. Gomawoyo."

"Aigo. Kenapa berterima kasih? Sudahlah. Tidak masalah. Ayo makan."

"Hyuna!" panggil Dongwoon yang baru memasuki kantin. Hyuna menoleh ke kanan atasnya. "Nanti jangan lupa, ya. Pasti samchon dan imo telah memberitahumu." Hyuna hanya mengangguk sebagai balasan karena mulutnya penuh. Dongwoon pun berlalu.

"Mau ngapain kalian?" tanya Naeun.

"Mollayo. Kemarin ayahku bilang bahwa hari ini kami diundang ke rumahnya," jawab Hyuna setelah menelan makanannya. Naeun hanya mengangguk mengerti.

Sepulang sekolah, Hyuna berjalan menuju gerbang sekolah bersama Dongwoon. Dongwoon memberitahu Hyuna bahwa mereka akan dijemput ibu Dongwoon untuk ke rumahnya.

"Eoh. Dia sudah di sini rupanya," kata Dongwoon sambil melihat seorang namja dengan pakaian serba hitam yang ada di depan pagar sekolah mereka.

"Siapa dia?" tanya Hyuna.

Dongwoon tersenyum. "Nanti kau juga bakal tahu."

"Myungsoo!" panggil Dongwoo dan namja yang berpakaian serba hitam itu berbalik dan tersenyum. Beberapa siswi yang lewar terperangah melihat senyumnya yang membuatnya lebih tampan dari sebelumnya. Hyuna merasa familiar dengan Myungsoo yang melambai-lambaikan tangannya.

"Annyeong haseyo," sapa Myungsoo sambil membungkuk setelah melakukan high five dengan Dongwoon dan mereka saling menepuk pundak satu sama lain, "Lama tak berjumpa, Hyuna-ssi."

Hyuna membalas sapanya dan berpikir. "Kau-? Maaf aku lupa."

"Aku Myungsoo. Sahabat Dongwoon dari taman kanak-kanak hingga SMP. Dulu kita juga sering bermain bersama. Aku juga masih ingat dengan Gyu hyung, Hyunseung hyung, dan Jiyoon noona," Jelas Myungsoo panjang lebar.

"Oooh iya iya. Myungsoo-ssi. Kau masih saja cerewet seperti dulu," ujar Hyuna dan mereka bertiga tertawa. Beberapa siswi berhenti hanya untuk melihat Myungsoo yang tampan. Bahkan Naeun bertanya dari jauh,'Pacarmu?' kepada Hyuna dan dibalas dengan gelengan dan tawa oleh Hyuna.

"Ah, ibuku sudah datang. Ayo! Aku risih dengan yeoja-yeoja itu. aku jadi tidak merasa tampan. Aish," kata Dongwoon percaya diri dan mereka bertiga memasuki mobil merah yang berhenti di depan mereka.

Myungsoo mengambil ponselnya yang bergetar di tangannya dan menyentuh layarnya.

From: Unknown
Being chased all the time or just kill them directly.

"Shit!" desis Myungsoo.

TBC

Bagaimana ceritanya? TT_TT

part ini emang agak ribet.. semoga chapt depan nggak lagi deh~