Dejun awalnya tidak peduli dengan eksistensi Hendery, si model terkenal itu. Hingga ia diseret olehnya untuk menghindari para stalker. Lalu pertengkaran si Xiao dengan Yangyang yang mana juga melibatkan si model malah membuat semuanya menjadi dramatis.
Masa, ia malah harus menjadi stalker?
*
Character:
Hendery x Xiaojun
dan karakter lain dari WayV, NCT, dan mungkin grup lain.
Mengandung:
BXB, highschool!AU, fluff
Disclaimer:
Karakter milik SM Entertainment, tetapi cerita murni milik author.
Note:
[190113] Hi, this is my first fic here, semoga kalian suka meski ada kekurangan. Happy reading!
*
"Ini pesananmu, terima kasih."
Dejun tersenyum kepada pelanggan yang mampir ke cafe kecil itu. Seperti biasa, dia yang masih dibalut seragam sekolah langsung bekerja. Di tempat ini, dia mencoba menghasilkan sejumlah uang saku tambahan. Keluarganya memang kaya di China sana. Namun, orang tuanya bertitah bahwa dirinya harus belajar mandiri saat merantau. Jadi, mereka hanya mengirimi uang pas-pasan untuk biaya sekolah. Sisanya, dia harus berusaha sendiri.
Berakhirlah dia menjadi pelayan cafe kecil-kecilan.
"Kenapa hari ini sepi sekali?" protes Yangyang, rekannya, dengan bahasa mandarin.
Anak itu memang orang China tapi berkewarganegaraan Jerman. Lalu tinggal di Korea dalam program pertukaran pelajar. Kebetulan, program itu melibatkan sekolah internasional tempat Dejun belajar. Si Xiao itu sendiri merupakan salah satu murid yang ditunjuk pihak sekolah untuk turut mengurus program itu. Dari sana, dia mengenal Yangyang sebagai adik kelasnya. Mereka malah bertemu lagi saat pertama kali melamar kerja di cafe ini setengah tahun yang lalu.
Dejun mengangguk karena suasananya memang hening. Mereka sudah bekerja dari pukul satu —selekas pulang sekolah— hingga sekarang pukul empat sore. Jumlah pelanggan yang datang bisa dihitung jari. Karena kekurangan pengunjung, mereka berdua yang bertugas pun serasa menganggur kebosanan. Mereka hanya bercakap-cakap kecil dan bebas memainkan ponsel.
Bos mereka sendiri bahkan kelihatan seperti seorang pelanggan, duduk santai menyesap americano.
Ten nama panggilannya. Dia pria Thailand dengan nama asli yang membelit lidah. Pemelik cafe itu tinggal dan berkuliah di Korea Selatan mengambil jurusan pariwisata. Oleh sebab itu, Ten bisa berbicara lima bahasa. Dia tidak akan kesulitan berkomunikasi dengan karyawannya yang bukan orang Korea.
Dejun dan Yangyang keduanya merupakan berdarah China, walau adik kelasnya berkebangsaan Jerman. Lalu ada satu lagi karyawan khusus shift malam bernama Mark —tentu, dia tak datang di siang hari. Anak itu adalah orang Korea yang besar di Kanada sehingga terbiasa berbahasa Inggris. Oh, juga ada manager bernama Nakamoto Yuta yang berkebangsaan Jepang. Namun, pria itu jarang menampakkan diri di cafe dan lebih sering berbicara dengan Ten di luar jam buka. Itu adalah daftar karyawan di cafe kecil ini.
"Ah, sepi sekali. Yangyang, Xiaojun, hari ini kita tutup lebih awal. Kalian boleh pu—"
Kring!
Suara lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi. Tanda ada tamu yang membuka pintu itu. Lantas Ten pun berhenti berbicara bahasa mandarin, begitu pula dengan Dejun dan Yangyang. Mereka menatap figur pria asing berpakaian serba hitam itu. Ketiganya terdiam sedangkan si tamu hanya berdiri diam di pintu sejenak.
Dejun dapat membaca ekspresi pria itu, walau wajahnya tertutup masker dan topi. Mata pria itu berlarian dan kelihatan seperti orang tersesat. Ah, dia pasti bingung karena ketiga orang di cafe itu menatapnya dengan intens. Sangat canggung. Padahal seharusnya tamu itu dilayani dan disapa. Akhirnya, Dejun mencoba tersenyum.
"Selamat datang!" sapanya dengan bahasa Korea —karena tamunya kemungkinan orang asli daerah Seoul.
Itu membuat Yangyang dan Ten tersadar—sontak mengalihkan pandangannya. Yangyang sibuk menghitung uang dan Ten menyeruput kopinya lagi. Mereka kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Membiarkan Dejun menangangi tamu mereka sendiri. Si pria itu sendiri tengah menatap si pelayan dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Masih buka 'kan?" tanya si pria dengan ragu.
Dejun mengangguk, "Tentu saja, apakah ada yang mau dipesan?"
Pria itu pun melangkah ke depan kasir. Ia mendongak dan membaca menu yang tertulis di papan. Tangannya mengetuk-ngetuk meja kasir dengan tempo konstan. Dejun cukup diam menunggu si pelanggan menentukan pilihan. Serambi menunggu, dia ikut membunyikan meja dan membentuk irama yang sama dengan si tamu. Ketukannya terhenti, Dejun ikut berhenti dan menatap si tamu.
"Doppio, satu—" ucapan si tamu terputus sebentar kemudian tersenyum kecil pada Dejun, "lalu tiramisu, satu."
"Baiklah. Doppio satu, dua ribu. Tiramisu satu, dua ribu juga. Totalnya empat ribu won. Apa ada lagi?" tanya Dejun masih dengan senyum lebar.
"Baiklah, ice cream chocolate porsi kecil, satu. Berapa semuanya?"
"Itu seribu won. Jadi totalnya lima ribu won."
Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan uang dari dompetnya. Ia meletakkan uang pas lima ribu won ke atas meja kasir. Kakinya kontan bergerak cepat ke arah kursi paling pojok dan duduk di sana dengan wajah agak risau. Dejun hanya mengernyit heran tetapi tak banyak pikir, dia memilih memasukkan uang itu ke laci dan mengerjakan pesanannya saja.
Kring!
Gerak tangan Dejun yang sibuk meramu doppio terhenti sesaat ketika lonceng pintu berbunyi. Mengejutkan mengetahui ada tamu kedua datang lagi ketika mereka berniat akan tutup. Matanya melirik ke arah pintu sekilas. Ia menemukan segerombolan gadis dengan seragam sekolah yang sama dengan milik Dejun. Si Xiao tidak menghapal seluruh murid sekolahnya tapi wajah mereka juga familiar. Kalau tidak salah, gadis-gadis itu adalah para anggota cheerleader.
"Selamat datang, sunbaenim."
Kali ini, Yangyang yang melayani mereka dengan ramah dan akrab.
Dejun memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Sesudah semua sudah siap, dia menatanya ke atas nampan. Dengan sigap dan profesional, ia mengantarnya ke meja pria itu. Senyum manis masih melekat ketika meletakkan nampan itu, "Pesanan Anda. Selamat menikmati."
"Tunggu."
Sebuah tangan mencekat Dejun ketika hendak pergi ke arah kasir. Langkah kakinya terhenti. Ia segera membalik badannya lagi. Matanya terpaku pada netra gelap si pria. Dejun tersenyum pada tamunya dengan ramah, "Ya, apa ada yang bisa dibantu?"
"Duduklah sebentar dan mengobrol padaku."
Volume suara pria itu mengecil dan terdengar seperti berbisik dengan lembut. Netra mereka berdua masih tertaut dan Dejun tak berkedip karenanya —ia terpaku. Tamu itu membisikkan kata tolong sekali lagi. Dejun kontan mengalihkan pandanganya. Ia menggelengkan kepala dengan pelan, "Tidak, aku harus bekerja, Tuan."
Pria itu tak bergerak dan malah menarik tangan kanan Dejun dengan kuat mendekatinya. Alhasil, si Xiao itu hampir terjatuh —tapi tertahan oleh cengkraman si pria di bahu kiri. Segera, ia menatap si tamu dengan tajam dan penuh kekesalan. Lagi-lagi, manik mata mereka bertemu. Jarak antara wajah mereka cukup dekat dan Dejun sadar akan hal itu. Ia menjauhkan dirinya.
Usahanya gagal karena pergelangan tangan kanannya masih terjebak di cengkraman si pria.
"Lepaskan," perintah Dejun.
Perintahnya tak diacuhkan. Dejun mencoba melepaskan cengkramannya lagi tetapi tetap tak bisa. Ia memilih tidak menatap pria itu. Ia membuang muka kemudian bergumam dengan bahasa mandarin. Meski dia tau hal yang dia lakukan tidak sopan, dia tetap maki-maki tamunya dalam bahasa lain. Namun, suara tertawa kecil malah terdengar dari pria itu.
Dejun menoleh dan menemukan mata pria itu menyipit —ada senyum tersembunyi di balik maskernya. Ia mengerutkan keningnya heran. Apakah pria itu mengerti? Kenapa tertawa tiba-tiba? Si tamu kemudian berbisik lagi, "Duduk saja, biarkan temanmu yang melayani mereka."
Dejun segera membuka mulutnya kaget seusai mendengar pria itu berbicara dengan bahasa yang sama dengannya. Dia baru saja ketahuan memaki seseorang. Begitu sial nasibnya! Tak ingin percaya, ia pun bertanya sekali lagi dengan bahasa ibunya untuk memastikan, "Kau bisa berbahasa mandarin?"
Pria itu mengangguk.
"Aku bisa melapor ke bosmu tentang makianmu itu," ancam pria itu dengan tatapan yang menurut Dejun benar-benar menunjukkan aura sinis.
Dejun memikirkan apa yang akan terjadi jika Ten mengetahui dirinya memaki seorang tamu. Ia tahu bosnya tidak akan memecatnya, tapi hukuman akan menunggunya. Pria itu bisa-bisa disuruh shift malam menggantikan Mark. Gajinya juga bisa saja dipotong. Ah, membayangkan uang tak mengalir ke rekeningnya terasa sesak. Apalagi belakangan ini, dia sedang dalam masa krisis akhir bulan.
Dejun tak ingin hal itu terjadi!
"Baiklah, lepaskan dulu, baru aku akan mengobrol denganmu."
Tangan Dejun akhirnya terlepas. Ia sebagai seorang lelaki jantan tak mengingkari ucapannya. Maka, dia menempatkan dirinya di depan si pria itu. Tamunya sekarang tampak melepas maskernya lalu melahap es krim coklat miliknya. Namun, itu membuat si Xiao agak kesal. Kenapa memintanya duduk jika ujung-ujungnya dirinya diabaikan demi seporsi makanan?
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Dejun dengan nada kesal. Pria di depannya berhenti melahap es krimnya. Ia memandang si pelayan cafe dengan senyum yang tampak begitu tenang dan misterius. Si Xiao hanya terdiam masih dengan perasaan agak kesal karena ekspresi tamunya begitu sulit dibaca. Membuat dirinya kebingungan untuk memulai topik.
"Bagaimana dengan namamu dulu?"
"Hendery, dan kau—" pria itu melirik sekilas nametag si pelayan, "Xiao Dejun."
TBC.
