A/N: Hey, semuanya...!
Aku ingin minta maaf tapi… aayyy, you know what they say:
Kadang sesuatu itu berumur seperti arak! ;)) :,(
Mau ngasih tau aja, aku reupload chapter 1 dan mengubah sedikit dan menghapus scene yang tidak penting walau tidak terlalu mempengaruhi plotnya. Aku sarankan baca dari awal untuk lebih masuk akal tetapi tidak apa baca lanjut juga. Selamat membaca~
.
Tags/Warnings: Body Swap!Canon Divergence, Aged-Up
.
Aomine terbangun oleh denyutan kepalanya sendiri. Ia mengerang sembari mengerjap, pelipisnya basah oleh keringat dan rasanya ia seperti menghirup gumpalan. Ruangan silau sinar mentari oranye, membuat pandangannya memburam. Ia mendengar desiran ombak yang bergulung dari kejauhan, burung camar bersahutan.
Ini bukan kamarnya.
Ia yakin kamar luas bernuansa jingga pucat itu bukan ruangannya; yang gelap, dingin bukan main karena AC yang ia setel terlalu rendah suhunya, dan berantakan oleh sampah.
Aomine mengayunkan kakinya turun dan berdiri. Migren menyerang—ugh, silaunya. Aomine kembali duduk. Jam berapa ini? Mana HP-nya? Ia berbaring dan merasakan kasur terlalu besar untuk satu orang. Ia menggeram, memberontak, mengeluh tetapi kasur ini wangi deterjen, bukan wangi keringat (kaena terlalu malas mencucinya). Mungkin ia bisa… tidur lagi…
'Zzzzzztttt… zzzztttt….'
Aomine mendengar suara itu dari balik bantal, bergetar lembut tapi merusak suasana yang sepi. Ia merogoh, rasanya… tipis? Huh? Ia menyapu layar dengan jarinya—menghiraukan layar yang berbeda, fitur dan wiget berbeda—tangannya otomatis dan bibirnya terkatup seperti tak berotot.
I menghembus napas panjang, "hmrg…"
"BANGUN, AOMINE!"
Telinganya seperti ditembak oleh senapan, Ia mengangkat tubuhnya terlalu cepat sampai pandangan goyah dan kaki sempoyongan.
Ia masih mengerjapkan mata linglung tetapi suara kecil di kepalanya mengatakan ada yang aneh pada suara penelepon. Dalam proses menguap, matanya terbuka lebar memandang sekelilingnya: kasur ukuran double rapi tanpa tisu berserakan, tirai terbuka lebar, pemandangan pantai di luar (sial, aku dimana?), satu meja belajar dengan buku teks rapi berjejer, dan seperangkap iMac dengan headset HyperX Cloud tergeletak di atas kursi putarnya.
"Hrng? K'mar sypa ni…?"
Penelepon mendengus kesal, "Terkejut, kan? Bagus."
Kenapa, sih, orang ini menyebalkan?! Menyebalkan… menyebalkan seperti... ia merasa perutnya terputar, yakin ia kenal suara itu. Oh, ya, bahkan ia selalu mendengar suara itu setiap saat ia membuka mulut.
Ia seharusnya memeriksa tubuhnya dahulu…
Ia menunduk dan nyaris menjerit. Kulit beige keemasan. Kaus hitam lengan panjang. Celana boxer merah. Ia membuka celana boxernya—
M-merah…?!
"Hei, sudah selesai paniknya?! Tolong nyalakan komputerku."
"…Apa yang terjadi?!" Aomine membentak, ia melepas iPhone—kampret, baru sadar! Pantas rasanya beda—dari telinganya dan mencari-cari jam. 13:05. Malibu. Saturday, April 17 20XX.
"Kita—ugh, aku susah menjelaskan," Aomine melihat refleksinya, di layar gelap iMac, memicingkan mata pada wajah yang familiar yang sebelumnya hanya dari cam. "Tapi kau sadar, kan, sekarang kau berada di tubuhku?"
"Kagami… ini mimpi? Apa aku merasukimu...? Tapi suara kamu—"
Aomine merengut karena ia tahu helaan napas ugh-kamu-melelahkan itu, "Maka dari itu, Aomine Daiki, biar aku yang jelaskan setelah kau membuka Skype dan kita akan berbicara dengan benar…"
Aomine dengan menurutnya menyalakan CPU, menatap kagok keyboard yang berbeda dari keyboard miliknya. "Password…?"
Aomine mengikuti Kagami melafalkan password dalam bisu. Ia menekan icon Skype dengan tangan bergetar, memasukkan nama akun dan password-nya, memanggil Kagami_Taiga, dan memasang headset, semua dalam satu proses surreal karena ia baru bangun dan otaknya masih memproses segala hal dengan kecepatan 0,001 Mbps.
Beberapa menit berlalu, ia mendapati wajahnya sendiri memelototinya, hanya diterangi cahaya komputer, berlatar kamar gelap penuh poster pin-up Horikata Mai dan band GRANDRODEO. Ia menginspeksi wajah yang sekarang ia kenakan dengan kotak kecil di sisi atas kotak utama skype; alis bercabang, rambut merah marun, iris marun-almond—
"K—koook…?!" suaranya terlalu berat dan kasar. Ia membelalakkan mata, "Apa-apaan ini…?!"
Kagami—dengan wajah Aomine—menggeram, "mana aku tahu?! Tiba-tiba aku terbangun di kubang sampah ini!"
Aomine berhenti menatap horor dirinya sendiri dan memicingkan matanya kepada seseorang yang memakai tubuhnya, "hei! Jaga omonganmu! Bukan hanya kau yang bingung," ia melirik refleksinya kembali dan merasa aneh melihat Kagami nyinyir.
Kagami terkesiap dan menggebrak meja, samar Aomine mendengar suara kaleng kosong berjatuhan. "Aargh! Ini semua salahmu, Aomine! Apa kau tahu aku terbangun dengan migrain dan sendi-sendiku sakit bukan main, apa kau tidak pernah gerak?! Lalu ada apa dengan kulitmu yang biru-biru dan kering…?" Aomine menghembuskan napas frustasi. Ia baru bangun dan ia tidak butuh Kagami meneriak dan mengomelinya.
"I-Ini pasti karena gempa yang kemarin! Aku enggak tau, itu tidak masuk akal tapi kondisi sekarang juga tidak masuk akal!"
"Tch, tenaang…" ia mengacak-acak rambut. Panik membuatnya tiba-tiba mual. Suasana kamar yang terlalu sepi dan damai, kontradiktif dengan dadanya yang berdegup kencang dan adrenalinnya berpacu. 'Bagaimana ini bisa terjadi…?' Ia menatap kanan-kirinya dan mengusap wajahnya.
"Apa yang kau ingat?"
"Uhm… entahlah," Kagami menguap sembari mengucek matanya, "aku tidur. Tepat setelah kamu tidur. Aku bergadang hanya untuk main, kan?"
Aomine memijit akar hidungnya dan menjilat bibir bawahnya, "ah, ya. Kebiasaan burukmu. Sebelumnya?"
"Hey! Eh… Kita sedang memainkan Battlefield seperti biasanya dan tiba-tiba ada gempa di Tokyo yang ternyata arahnya dari Oda."
Aomine membuka matanya, "coba cek Xbox-ku atau listriknya. Itu juga hal terakhir yang aku lakukan," selanya.
Kagami menghilang dari pandangan, menuju lemarinya dan mengambil kotak hitam hard drive yang ia letakkan vertikal, "tidak terlihat ada masalah… kenapa…?" ia memunculkan dirinya kembali, dengan Xbox di kedua tangan, "…tidak mau menyala," tangannya mengutak-atik konsolnya juga.
"Coba cek parakabelnya."
Kagami melepas dan memasangnya kembali, mengulang apa yang ia lakukan untuk mendapatkan nihil. "Enggak bisa."
Aomine menghempas tubuhnya dan mengerang frustasi, "gaaah, sial! Baru beli juga!"
Kagami memutar bola matanya dan Aomine memicingkan mata, "itu yang kau permasalahkan?! Kita harus cari tahu bagaimana ini terjadi. Aku akan… mmm… cari di Google."
Aomine menaikkan satu alis, "Cari di Google?" beonya. Suaranya meninggi dan Kagami menyelanya dengan "Kamu akan cari di Google bagaimana kamu bisa bertukar tubuh dengan seseorang yang beda kontinen denganmu? Kagami, kamu genius sekali."
"Kamu—aku bisa melempar HP-mu dari jendela kamarmu sekarang juga! Aku sudah mencari tentang berita gempa ini, tidak masalah jika aku mencari Google. Mungkin ada forum atau seseorang di sosial media yang mengatakan sesuatu yang janggal…?"
Aomine terdiam, masih menahan rengutan bibirnya—bibir Kagami—tapi akhirnya melambai tangannya dan menghempaskan punggungnya pada tubuh kursi gaming. "Terserah, beri tahu aku setelah ini."
"Apa yang kau lakukan sekarang…?"
"Tidur, lah."
"O-Oi—"
.
.
(Malam itu, Tokyo berguncang sampai sekitar 4.5 SR—walau ia berada di lantai paling atas dan nyaris tidak merasakan apa-apa, hanya melihat air di gelasnya bergejolak—dan listrik sempat mengadat.
"Kau yakin tidak mau evakuasi, Aomine?" suara Kagami terdengar dari speaker headset-nya. Murni khawatir di balik suara sintetis.
"Hah!" Aomine menyeringai saat berhasil menembak habis lawannya, jarinya dengan gesit menekan bahu joystick berkali-kali; fire, fire, reload, switch weapon—"dan membiarkanmu menang secara default?! Tidak akan."
Kagami tidak berkata apa-apa tetapi Aomine mempunyai firasat ia memutar bola matanya. "Bodoh. Kita bisa lanjutkan nanti. Hati—hat—kau—nan—ati…"
"…Hey, Kagami?"
Layarnya berguncang. Menjadi garis-garis horizontal yang bergoyang—mejanya juga bergoyang. Ia merengut, mulai merinding. Apa ia harus keluar? Lampunya berkedip dan Aomine mendengar gemuruh samar dari kejauhan. sial! Dia sudah hampir selesai—"Kagami? Hei! Kau dengar aku…?"
"Aomi—ne kau harus berhen—"
"Oi!" Ia berdecak sembari memencet esc berkali-kali, layarnya membeku.
FireBasketball02 signed out.
Aomine mengedip sekali. Dua kali. Ia mendengus.
Guncangan mereda tepat beberapa detik setelah Kagami sign out. Ia berdecak dan mematikan Xbox-nya—mengerutkan alis beberapa kali tombolnya tidak mau bekerja, lalu akhirnya mati setelah ia mengetuk kepalanya. Ia mematikan komputernya.
Gempa selesai dan sekarang ia bosan. Kagami mungkin tidak akan bermain lagi dalam beberapa waktu ini, padahal ia hampir mencapai rekor mengalahkan Kagami minggu ini! Si pecundang itu akan menjilat kakinya—dan bukan secara sexy. Belum lagi ia merasa ingin membicarakan bullshit dosennya lagi ke Kagami. "Gggeeeh…"
Aomine mencopot headset-nya dan meringis saat dengungan terpengang yang pernah ia dengar mengganggu kedua telinganya. Seperti yang kau rasakan saat kau mengorek kupingmu terlalu dalam, membuat kulitnya geringgingan. Ia mengorek-ngorek hampa, tetapi dengungan itu masih ada. Dengungan itu memekakakan seperti ruangan yang kelewat sepi.
Risih, ia mengambil smartphone-nya, mencari pengalih. Ia menemukan Kagami mengirimnya pesan Line,
'Nanti lagi saja, Ahomine. Stay save.'
Aomine menuruti dan beranjak tidur.)
.
.
"Coba cek artikel ini…" Aomine membuka link yang Kagami kirim sembari mengusap wajahnya dari kantuk yang masih menggantung nakal, "…aku tidak percaya kamu tidur lagi. Sama baca ini…" lagi Kagami mengirim link, membuat Aomine bertanya apa anak ini sudah membaca semuanya. Semuanya ada kata 'scientific', 'lucid dreaming', 'astral projection', melihat kata-kata itu di paragraf pertama saja sudah membuatnya mual.
Body swapping can happen with the notion of biocentrism—um, ya, tidak mengerti. "aku menyerah."
"Apa?!" jeritan Kagami terdengar aneh dengan suaranya.
Aomine menghela napas sembari mengorek telinga dengan kelingking, "aku tidak akan membaca sampah itu."
Kagami menghembuskan napas pada mic, membuat suara gemuruh, "artinya kita harus memikirkan bagaimana caranya kita menjalani aktivitas masing-masing."
Aomine merasa mood-nya semakin kecut mengingat itu, keeh… tentu saja ada entitas di atas sana yang melihat nilai bahasa Inggrisnya dihiasi angka minus, memberinya hadiah teleportasi ke Amerika tanpa subtitel kanji, apalagi katakana.
Kagami kembali menghela napas pasrah dan beranjak dari duduknya, membuatnya melirik pada lawan bicaranya yang menunjukkan ekspresi murung. Ia melirik Kagami menyopot headset lalu memasang speaker dan microphone.
'Apa dia benar-benar sedih? Aku tidak bagus dalam menghibur…'
Kagami membuka tirai jendela yang tertangkap periferi cam, langit kota semburat magenta dengan bola matahari mengintip dari garis horizon. Dari jauh, bulan samar mengabur. Masih fajar.
"Hey, Kagami, kau tidak ada pornografi disini?"
Kagami menoleh pada monitor menatapnya tidak percaya, "tidak, lah!" seru Kagami, "disaat seperti ini masih sempatnya…" rutuknya sembari berjalan melewati komputer, Aomine mendengar suara rusuh plastik-plastik, "Sampah dimana-mana. Ugh, bagaimana kau masih bisa hidup?"
'Apa ia membereskan kamarku?' Aomine berhenti membuka file dan folder Kagami—yang hanya berisi tugas-tugas, silabus, dan materi kampusnya atau gambar-gambar NBA yang terunduh—dan menggigit bibirnya canggung. Seseorang selain dia mengutak-atik barang pribadinya membuatnya sedikit risih.
"Tidak pernah melihat kamar cowok? Aku yang seharusnya terkejut dengan tempat sesepi ini. Dimana kau menaruh barang-barangmu?"
"Hanya itu barang-barangku." Kagami sekarang sudah mendapati satu kantung plastik ukuran sedang penuh sampah dan mencari-cari tongnya. Ia keluar ruangan dan beberapa menit kemudian Daiki mendengar Kagami masuk kembali, berdiri menepuk-nepuk kedua tangannya. "Aomine, aku harus ke kamar mandi."
Aomine mengepalkan tangan dan membeku. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tetapi ia juga merasakan ada gumpalan dingin di dasar perutnya, "uh…" ia terbatuk, "sama. Cari saja di ujung lorong. Disitu juga ada krim sendi kalau…"
"I-iya, bukan—kamu juga, er… kamar mandiku ada di kamar itu, kok…" Kagami terlihat maju mundur tidak jelas, terlihat gugup, sampai tubuhnya menghilang dari radar cam. Aomine tidak mengakuinya tetapi Kagami membuatnya juga gugup.
"Bakagami?" ia menguji.
Kagami kembali ke depan kamera dengan ekspresi pasrah, "...aku harus memakai celana dalammu…?"
Aomine merasa ingin membanting keningnya. Kembali gumpalan dingin itu berdesir tetapi ia bisa merasakan kedua pipinya panas. "Tch… secara fakta itu tubuhku, bodoh. Jika kau tidak memakai celana dalam hanya karena kau jijik, awas, ya."
"Tch! Aku tahu itu, Ahomine!" suaranya mengecil, "tetap saja memalukan."
.
.
Aomine mendapati bayangan Kagami di cermin, kedua lengan menahan kedua sisi wastafel. Dalam kamar mandi yang hanya ada showernya. Kamar mandi wangi khas yang ia tidak pernah cium sebelumnya dan membuatnya secara tidak sadar berpikir, seperti ini wanginya Kagami.
Panik dengan pikiran yang terbersit tanpa rem, Aomine membuka kabinet obat di balik kaca, melebarkan kedua pupil mendapati barang-barang yang… membosankan. Ia menghela napas, tentu saja, ini Bakagami. Ia menelengkan kepala sembari menekuk bibirnya, meraih botol-botol dari nootropik, krim otot, lalu terjatuh pada botol… pelumas basis air.
'Kau belajar sesuatu yang baru setiap hari…'
Meletakkan semuanya kembali semula, ia menyentuh satu alis bercabang, menyentuh tulang pipinya, mencubit anak rambut. Ugh, Setiap gerakan terasa salah dan ia bingung harus melakukan apa. Oh, ya. Mandi. Ia membuka kaus dan melihat setiap lekuk tubuh Kagami, darahnya berdesir dan ia merasa ingin teriak heboh atau meninju cermin atau menjambak rambut. 'Kagami tidak akan suka aku melakukan itu semua…'
Ia membuka celana dengan buru-buru. Matanya tidak tahan untuk tidak melihat. Ia pernah melihat alat kelamin orang lain, tentunya. Ia sering melihat punya rekan tim basketnya, semua juga seperti itu—jadi, ia tidak salah melihat, kan? Orang mana yang tahan untuk tidak melihat? Ini… ini sesuatu yang pribadi dan baru dan aneh dan—dan oke, mungkin, ia ingin membandingkan,
Siang itu Aomine mandi dua puluh menit lebih lama.
.
.
Itu adalah pengalaman terburuk yang aku alami, pikir keduanya sembari duduk di kursi komputer tak berani melihat kamera webcam.
Sepuluh menit penyesalan berlalu—"um… mana kalungku?"
Aomine menoleh perlahan, "ha?" Kagami hanya menunjuk-tunjuk tulang belikatnya dan Aomine otomatis meraba lehernya.
"Kalung yang aku pakai! Sebelum mandi kamu masih memakainya."
Oh, Aomine mengacungkan satu jari dan beranjak, "'tar, ada di kamar mandi kayaknya."
"Jangan hilang!" seru Kagami dari jauh. Aomine menemukan kalung itu di atas wastafel. Ia menutup pintu kamar mandi dan tidak sengaja menemukan sebuah bola basket, terselip di antara jaket-jaket musim dingin dalam lemari luar, dimana Kagami menyimpan handuk, stok tisu toilet, dan barang-barang lainnya.
Aomine kembali dengan memakai kalung itu dan bola basket di tangannya. Melirik Kagami yang memperhatikannya dengan penasaran dan lega, ia menatap balik bertanya. Kagami menyunggingkan satu senyum. "Waktu itu ayahku memintanya dari kolektor merchandise NBA."
Aomine mendengus, "pasti enak. Apa kau juga sering menonton permainan mereka?"
"Tentu saja, lah," ujar Kagami melebarkan senyumnya, "Jika kamu mau ke L.A. Clippers Training Center dari rumahku, menujunya tidak susah. Kau bisa satu jam saja sampai sana. Jika kamu ingin menonton permainan mereka, kau bisa ke Staples Center yang sedikit lebih jauh. Satu setengah jam."
"Keh… artinya aku harus pergi ke salah satu permainan."
Kagami tertawa renyah dan sejenak Aomine lupa mereka berada dalam tubuh yang berbeda, "dasar. Kita seharusnya pergi bersama. Kau tidak akan tahu arah dan terakhir aku ingat, kau tidak bisa bahasa Inggris."
Aomine menggigit bibirnya karena kali-kali seperti ini ia tidak bisa membiarkan. Kagami kembali menggodanya, secara kode mengajaknya kencan. Tetapi Aomine tidak ingin menekannya lebih dalam. "Bangsat... kau pikir aku setidak berdaya apa?" Kagami tertawa dan itu yang terpenting, "tapi kau benar. Kita harus pergi bersama kapan-kapan."
Agak aneh melihat telinganya sendiri memerah, tersenyum khas Kagami. Tetapi ada perasaan hangat di ujung perutnya yang membuat Aomine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "apa kau ada makanan? Aku mulai lapar."
Mendukungnya, perut Kagami—perutnya yang belum makan sedari malam—bernyanyi, "Ah, yaa… Aomine, kenapa aku lapar banget, ya?"
Aomine terkekeh, "Aku belum makan dari semalam." Merengut seperti ingin mengomel Aomine bangkit dari kursinya, "apa kau tidak ada laptop? Aku tidak bisa bolak-balik ke komputer seperti ini."
Kagami memutar bola mata, "serius, Aomine, apa kau mau mati cepat? Dan untuk info, ya, aku punya. Ambil saja di laci bawah meja ini. Aku juga butuh laptopmu. Kau punya, kan? Aku memasak lasagna semalam dan masih ada sisannya. Hangatkan saja di microwave."
"Huii… err… cek saja lemari bajuku. Lupa semalam taruh mana." Aomine menarik sebuah macbook dari laci dan menekan tombol on, "kau bisa masak?!"
Samar ia mendengar Kagami berdecak saat membuka lemari bajunya. Aomine tidak terbiasa memakai laptopnya kecuali untuk kuliah, oke? Tetapi akhirnya Kagami kembali dengan memangku Dell Inspiron 15 di pahanya, "aku hidup sendiri, Aomine. Apa pin-mu?"
"Aku hidup sendiri, aku masih tidak bisa masak," Aomine keluar , "0904. Kamu?"
"Ugh, jangan bilang kamu tipe anak kuliahan seperti itu. 0208," Kagami kembali menghadap komputer, log out akun skype-nya. Aomine merengut pada layar monitor yang sekarang kosong. Mencerminkan Kagami, ia menyalakan, memasukkan password, dan membuka skype, mendapati Kagami merapikan posisi layar, latarnya berubah menjadi dapur kecilnya.
"Apa yang kau bicarakan, sih?" gumam Aomine mengangkat
Kagami memutar tubuhnya dan membuka lemari makan, "tipe yang tidak mengurusi diri demi irit—apa kau tidak ada makanan sama sekali?!"
"Ada Ippudo, Maruchan, dan ada juga indomie. Lihat, aku masih ada usaha untuk makanan variatif."
Kagami terlihat tidak terhibur.
Aomine berdeham dan mengalihkan pembicaraan, "jadi? Apa, menurutmu, yang menyebabkan semua ini?"
Ekspresi Kagami mendung. Ia terlihat berpikir dalam, seakan ia mempunyai firasat buruk. "Apa kita melakukan kesalahan sehingga terjadi seperti ini?"
"...ha?"
"Maksudku. Mungkin ada suatu karma yang menyulap kita, mungkin kau belum membayar hutang atau apa, Ahomine!"
"…kesalahan…?" suaranya bergemuruh oleh tawa, "kesalahan apa yang sampai alam semesta memutuskan untuk memberi lelucon ini?!"
"Aku tidak tahu! Tetapi bukankah seperti itu di cerita-cerita! Entahlah hanya saja itu yang masuk akal!"
"Eeeeeh?—"
'kriingg…!'
.
.
TBC
