Disclaimer: Bleach milik Tite Kubo
Warning: author yg kembali jadi newbie, bahasa kaku, diksi mengenaskan
Pairing: HitsuRuki dan pasangan lain
.
.
.
.
.
'Berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di sore hari.'
Dua bendera putih berkibar, tanda menyerah.
"Rangiku-san, ini baru lima belas detik!" Si pemberi teka-teki, Nanao, meradang kecewa. "Kusajishi-fukutaichou, kertasnya jangan dibuat pesawat!"
Rangiku menghempaskan gemulai pirang berombaknya. "Maaf, Nanao, aku tidak mau kepalaku seperti Ikkaku."
Di kejauhan sana, Ikkaku bersin-bersin.
Yachiru menuju jendela, menerbangkan kertas teka-teki ke angkasa luas, dan dari saban tahu bahwa si pesawat terparkir mulus di kepala super mulus Ikkaku.
Nanao tidak habis sabar dan harapan. Masih ada empat orang.
Satu bendera biru diangkat.
"Aah, Soifon-taichou, silakan jawabannya!"
"Orang utan."
Muka Nanao langsung kehabisan nyawa. "Ke-kenapa?"
"Pagi hari dia menggendong anaknya di punggung, jadi merangkak. Siang hari, dia menggendong anaknya di dada, jadi berjalan. Sore hari, untungnya anaknya sudah bisa berjalan sendiri."
"Penjelasan terakhir sangat tidak masuk akal!" Tenang, Nanao, tenang. Masih ada tiga orang, tiga orang yang ... memang tidak meyakinkan.
Dua kain biru melambai; satu lesu, lainnya antusias.
"Saya, saya, saya, Ise-fukutaichou!" Tangan Kiyone teracung, meminta perhatian si empat mata seperti murid SD yang kelebihan tingkah.
Nanao menyilakan saja, meski Kiyone adalah orang terakhir yang diharapkan.
"Komamura-taichou," yakin sekali si pirang menjawab. "Saya dengar dari Iba-fukutaichou kalau―"
"Salah, Kotetsu-sanseki. Silakan selanjutnya, Kotetsu-fukutaichou."
Isane menyempatkan diri menenangkan Kiyone yang semurka anak beruang kehilangan induknya. "A-ano, kalau yang kakinya empat itu ... bukannya meja, ya?"
"Salah." Nanao bisa saja bilang kalau Isane harus belajar membaca soal baik-baik. Ada kata 'berjalan' dan meja tidak bisa berjalan. Tapi, muka si letnan jangkung sudah kuyu mau menangis.
Perasaan gagal karena tidak bisa membuat muridnya pintar memburu Nanao. Habis sudah harapannya. Nasi sudah menjadi pakan ternak.
Bendera terakhir berkibar tinggi, tapi tidak setinggi asa si letnan jenius. "Silakan, Kuchiki-fukutaichou."
Kaki yang bertelut bergerak rikuh. Rukia tidak kesemutan. Hanya malu jadi perhatian semua pasang mata. "Ma―" bagaimana kalau ia salah, "―ma-manusia?"
Kecuali Yachiru yang asyik menghabiskan kue kering, empat pasang mata berpaling pada si kacamata. Wajah Nanao hening reaksi, sebelum hitungan countdown, 3-2-1, hanabi meledak di langit parasnya.
"Wuaaaah, kau benar, Kuchiki-fukutaichou!" Warna-warni kebahagiaan dan air mata haru. Untunglah, nasi belum menjadi pakan ternak.
Rukia kikuk, gerak tubuhnya sekaku robot. Terlebih dikerumuni jutaan pujian.
"Kau hebat, Kuchiki!"
"Kau luar biasa, Kuchiki-fukutaichou!"
"Kuchiki-san memang yang terbaik!"
"Rucchan bisa jadi profesor!"
"Tidak buruk, Kuchiki."
Rukia dihempas malu. Apa ia perlu bilang kalau Ishida pernah melayangkan teka-teki sama, dan berujung pada si Quincy sendiri yang menjawabnya?
"Ah, bicara tentang manusia," Rangiku beringsut mundur, meraih sekeping kue yang untung masih tersisa satu, "aku dengar Ichigo melamar Orihime, ya, Kuchiki?" Sebelum Nanao mengumandangkan teka-teki baru, ia harus mengubah haluan topik.
Rukia menjawab cerah, "Itu benar. Anda dengar dari mana, Matsumoto-fukutaichou?"
"Ckckck," Rangiku mengayunkan telunjuk, "jangan meremehkan informan gosipku di Karakura." Lalu menggigit kue coklat yang renyah.
"Kabar baiknya lagi, dua bulan ke depan mereka akan menikah."
Seruan seketika menggema tajam, hampir merontokkan atap ruangan Komunitas Shinigami Wanita. Jangkrik jadi takut berdendang dan kodok melompat ngeri ke dalam kolam.
Nanao dengan polos menyambung, "Kalau begitu, kapan kau dan Hitsugaya-taichou menyusul, Kuchiki-fukutaichou?"
Matsumoto spontan memekik, membekap mulut si mata empat, dan menyeretnya keluar dari ruangan. Mungkin Nanao adalah yang terpintar, tapi bukan yang terpeka.
Hawa ruangan jadi semuram musim dingin.
Sayang, Rukia tidak punya jawabannya. Tapi mungkin, bulan perak raksasa yang menggantung di angkasa hitam punya jawabannya.
#1#
.
Snowdrop - hope
Ilmu fisik yang dasar saja. Es bakal meleleh kalau kena panas, berubah jadi air, dan berujung menjadi uap. Lenyap.
Es adalah tipe kekuatan roh Toushiro Hitsugaya, dan sudah nalurinya untuk membenci musim panas.
Haori tergeletak di kepala kursi. Keringat membanjiri batang leher. Toushiro mengutuk pencipta musim ini.
"Anda sibuk sekali, Taichou?" Rangiku duduk, mengucek mata.
"Dan jika kau tidak keberatan, Matsumoto, bangun dan bantu aku segera!" Suhu tinggi menambah panas emosinya.
Wanita itu baru pulang jam sepuluh semalam, dan baru bangun jam sepuluh pagi.
Pintu diketuk. Takezoe berdiri di ambang, menjepit selembar map di kepitan ketiaknya. Seruan masuk berkumandang, ia menuju meja kerja dan mengangsurkan map berisi berkas dari Shinoureijutsuin. Keluar tak lama setelahnya ditemani titipan Rangiku yang menyuruhnya membeli kesemak.
Map itu kemudian berdebam di meja kayu depan sofa. Rangiku membuka mata beratnya.
"Itu bagianmu―kalau kau masih ingin aku libatkan di Turnamen Musim Panas."
Bangun malas setengah terpaksa, Matsumoto membuka lima detik, dan menutupnya. "Kenapa Anda juga harus mengambil Turnamen Musim Panas, Taichou? Kemarin, kan, Anda sudah terlibat dengan Turnamen Musim Dingin?"
"Kau bisa tanyakan itu pada divisi ke-11." Toushiro menata berkas-berkas, memilah-milah.
Kesibukan ada di mana-mana, mejanya rusuh berantakan seakan baru diterjang badai, dan perkataan bijak si letnan sama sekali tidak menolong.
"Sisihkan sedikit saja waktu Anda, Taichou." Wanita itu bangun, melenggang keluar tanpa tanggung jawab. "Kuchiki bisa bosan menunggu Anda."
Tiga puluh tiga derajat celsius. Panas hampir sampai di ubun-ubun. Toushiro mengutuk pencipta musim panas dan ... dirinya sendiri.
"Aku tahu itu ... karena―"
. . . . .
" ―aku pun sangat ingin bersamanya!" Renji berseru menegaskan. Menyantap beringas dango di tusukan bambu, dan tersisa satu tusuk di piring untuk si sobat.
"Jadi, Hirako-taichou―"
"Dia menyindirku habis-habisan kemarin. Masa' dia bilang aku lebih suka bersama Ichigo daripada Hinamori?"
Rukia nyaris saja tergelak jika ia tidak sadar kalau mereka sedang di tempat umum. Misi Renji beberapa bulan ini cuma berkutat di Karakura. Malas mndengar sindiran 'menumpang tanpa bayar' dari Jinta dan Ururu, apa lagi pandangan menyebalkan Urahara, ia akhirnya menginap di rumah Ichigo. Kebersamaannya dengan Ichigo lebih banyak ketimbang Momo, pacarnya sendiri.
"Tenang saja. Ichigo akan segera menikah, kok."
"Apa maksud perkataanmu, Rukia?!" Woi, ia normal!
Panas memanggang, tapi seperti angin lalu untuk pengunjung distrik pusat Seireitei. Shinigami membanjiri distrik pertokoan dan rumah makan seperti barisan semut yang tanpa habis. Beberapa dari mereka melirik, tertarik dengan suara keras Renji, dan tawa Rukia yang sesekali lepas kendali.
Selesai membayar sepuluh piring dango (Renji sangat berbahaya saat sedang kesal), dan sekantung dango untuk Rukia bawa pulang, mereka menyusuri keramaian yang makin meledak. Tidak satu dua kali, butuh kekuatan lebih untuk menang adu bahu dengan orang yang berselisih jalan.
"Kenapa ramai sekali? Ada bintang film yang berkunjung?"
Tidak ada tanggapan.
"Rukia?"
Tidak ada sahutan.
Renji menoleh ke samping, hanya ada orang yang tidak dikenal. Ke belakang, sama saja.
Si shinigami mungil tertinggal jauh di belakang sana. Gara-gara kantung dango yang lepas dari genggaman, Rukia hilang dari pengawasan Renji. Ia bermaksud memungut, tapi isi telah berhamburan. Kue beras sudah bermandikan tanah, tidak bisa dimakan lagi.
Rukia bangkit berdiri, tapi satu senggolan membuatnya kembali jatuh. Bermodal badan sekecil kurcaci, sulit bersaing dengan kumpulan badan raksasa mirip gorila. Tangan megap-megap meraih apa pun di atas sana, ia tenggelam di antara ombak para Shinigami.
Hero baru datang di kala genting. Kalimat menyebalkan ini menyelamatkan Rukia dalam bentuk seulur tangan tan menggenggam pergelangan tangan pucatnya. Genggaman yang ia kenal, genggaman yang familiar, genggaman yang ia rindukan. Satu sentakan, Rukia berdiri tepat di depan Toushiro Hitsugaya.
Siapa yang perlu basa-basi? Toushiro langsung menariknya keluar dari lautan kejam, dan meloloskan diri hingga tiba di tepi jalan lowong. Ada Toushiro, ada Rukia, dan ada sebuah tangan yang masih mendekam nyaman di jari-jari kasar namun melenakan si kapten. Rukia tidak mau repot meminta dilepaskan.
Sayang, Toushiro bertindak sebaliknya. Berjongkok, menggunakan tangan yang menjadi milik Rukia sedetik lalu, menyingkap hakama hitam tanpa tedeng aling-aling.
Rukia menjerit kecil. Kulit putih mata kaki sampai lutut menjadi santapan dunia. "A-apa yang Anda lakukan?"
Toushiro berdiri, tanpa dosa. "Lututmu memar."
Rukia tidak sadar sama sekali. Dan menurut saja saat Toushiro membawanya pergi dari keramaian, memulangkan genggaman itu padanya. Ia selalu hilang kata saat si Tuan Jenius bersamanya, ia selalu lupa segalanya saat Toushiro memasuki benteng pertahanannya. Iya, Rukia lupa segalanya.
Termasuk Renji yang berada di tempat pemberitahuan anak hilang.
. . . . .
"Kau menghilangkan apa, Isane?"
Isane membungkuk sembilan puluh derajat. "Ma-maafkan saya, Taichou. Pengunjung di kota sedang ramai sekali." Dan berujung pada tumpahnya kotak agar-agar mizu yokan di jalanan. Tiga kali mencoba, dan hasilnya selalu sama.
"Kalau begitu, beli lagi sampai kau membawanya pulang dengan selamat, Isane."
Si ramping kurus berseru mengeluh, minta diselamatkan. Tapi, kilatan mata sipit Unohana tidak berniat menolongnya. Berlatar teriknya matahari, si letnan semampai berangkat dengan suram. Unohana lalu menuju urusan lain, yaitu Kiyone dan Kotsubaki yang sedang menonton di kamar rawat umum.
"Ya, ampun, aku betul-betul menyesal tidak bawa kamera." Mata Kiyone menyusup di sela kecil pintu ganda.
"Aku tidak tahu Hitsugaya-taichou dan Kuchiki sudah sejauh itu." Mata Kotsubaki berjajar di atasnya.
"Itu normal. Mereka sudah berjalan tiga tahun."
"Betul, betul, kau bodoh sekali, Kotsubaki. Apa yang dikatakan Unohana-taichou benar."
"Anda memang luar biasa, Unohana-taichou."
Lanjut mengintip. Satu-dua-tiga detik, petir lengkingan meledak. Mengagetkan burung yang beradem ria di pohon untuk terbang ketakutan. Kiyone dan Kotsubaki berseru gagap pada Unohana yang melempar senyum marabahaya. "Mau lanjut menonton atau mengambil obat untuk Ukitake-taichou?"
"Lanjut menon―maksud saya, mengambil obat untuk Ukitake-taichou." Hampir saja Kiyone membawa kepalanya ke tiang gantung.
"Kalau begitu, dari tadi kalian salah ruangan. Ruangan saya ada di sebelah sana."
Dua orang itu lalu mengikuti induk para Shinigami bagai pinguin mengekori beruang.
Setelah hening berkunjung, pintu ditutup Toushiro dari dalam. "Dua bawahanmu itu selalu heboh."
Rukia tersenyum saja, menyingsingkan hakama setelah disembuhkan.
"Sudah lebih baik?"
Rukia pura-pura tersinggung. "Anda terdengar meremehkan saya. Saya bukan anak kecil tiga tahun, saya fu-ku-ta-i-chou, Hitsugaya-taichou."
Si jenius tersenyum ribuan arti. "Aku tahu." Membawa perangkat medis di wadah perak menuju rak. Rukia turun dari ranjang, menatap punggung Toushiro yang berkutat pada pintu lemari. Tampaknya macet.
Jam berdetak lambat. Bumi seperti bosan berputar, dan berhenti di titik waktu kini.
Rukia tersengat. Bisikan ringkih memberitahunya akan empat ranjang putih kosong tanpa penghuni. Lama sekali, ia menunggu waktu-waktu seperti ini. Ketika hanya ada ia, Toushiro, dan juga sepi. Darah berdesir kencang, membawanya pada napas berdengap, dan jantung membalap membuat katup kepayahan.
Rukia rindu. Punggung Toushiro ingin direngkuhnya, dipeluknya, didekapnya. Keinginan itu meletup-letup tanpa kekangan seiring kaki yang beringsut tanpa suara. Tangan ia julurkan menuju pada akhir penantian, tapi hasrat dikalahkan akal sehat; membantu Toushiro menutup pintu yang macet. Rukia mendahulukan pintu kiri sebelum kanan, dan tertutup rapat setelah menendang tepi papan bawah dengan paksa. Hah, Hitsugaya sedari tadi melakukan sebaliknya.
Toushiro lantas menatapnya, tapi Rukia memilih memberinya punggung, berjalan menuju pintu. Ludah ditelan dengan pahit. Kecewa.
Segunung ketidakpastian menunggu untuk segera dipastikan.
. . . . .
"Tungkai agak menekuk, tapi harus tetap tegap. Kumpulkan kekuatan dari lutut hingga mata kaki. Kekuatan kuda-kudalah yang menentukan kekokohan pertahanan kalian. Apa kalian mengerti?"
Bawahan berseru paham, menyusul sebuah sahutan dari belakang, "Anda betul-betul tegas, ya, Hinamori-fukutaichou?"
Kepala bercepol berpaling, sepasang figur memasuki wilayah latihan rookie divisi ke-5. Dua tungkai yang memproklamirkan mode kuda-kuda siap turun perang, kembali pada posisi normal. Hinamori berlari kecil antusias setelah memberi komando untuk lanjut tanpa arahan.
Bersama dua piring semangka, mereka bertiga berselonjor santai di tepi beranda. Rimbunan daun berjarak dekat memberi atap perlindungan.
"Wah, bahagianya! Jadi tidak lama lagi, Inoue-san akan menjadi Kurosaki-san?"
"Dua bulan lagi, kalau semuanya berjalan lancar."
Melumat daging merah semangka, Toushiro berubah jadi kumbang musim panas. Keberadaannya sudah tepat, tapi diabaikan betul-betul.
"Pasti pestanya nanti meriah."
Jika menilik karakter si sepasang jingga, pernikahan sederhana adalah yang paling pantas. "Saya belum tahu. Sudah cukup lama saya tidak berkunjung ke Karakura." Renji-lah yang jadi informan selama ini.
Potongan semangka kelima sudah habis, pun habis pula ketahanan Toushiro. "Hinamori…!"
"Apa, Hitsugaya-kun!" Kepalanya miring melewati sosok Rukia yang duduk di tengah. Itu adalah usikan ketiga Toushiro. "Kita lagi seru-serunya! Habiskan saja dulu semangkanya! Kan masih ada satu piring!"
Rukia tersenyum geli. Tidak setiap hari kau menjumpai si kapten jenius ditegur keras layaknya bocah yang dibentak ibunya. Obrolan Hinamori kembali berjalan tanpa kendat, dengan Rukia sebagai pendengar dan Momo sebagai pembicara.
Setelah ketahanan, kini ranting kesabaran yang seawal memang rapuh jadi habis dimakan ulat. Sudah cukup, Toushiro akan mencari Shinji Hirako dengan tangannya sendiri.
"Hirako-taichou sedang bersama Ootoribashi-taichou menonton teater kabuki di distrik pusat."
Jadi, gara-gara itu distrik pusat begitu ramai tadi.
Pilihan pertama pupus, Toushiro bergerak pada pilihan kedua. Ke hadapan Hinamori. Gadis itu mendongak pada tubuh menjulang yang membayang. "Kalau begitu, beritahu pada Hirako. Rapat dimulai jam 07.00 besok pagi di markasku, Hinamori. Ayo, Rukia!"
Tujuannya kemari bukan hanya soal itu. Ada pembicaraan tentang kerja sama dua divisi untuk turnamen. Tapi, apa boleh buat.
"Oh, iya." Rukia berbalik pada Hinamori, pergelangan digenggam Toushiro. "Saya juga ingin menyampaikan pesan kalau Ukitake-taichou ingin bertemu dengan Hirako-taichou."
Hinamori manggut-manggut banyak. Dihujani banyak pesan, kepalanya mumet juga. Ah, hampir lupa. Ia berdiri berseru sebelum Rukia keluar dari jangkauan suaranya. "Rukia-san! Kalau bertemu Renji-kun, bilang ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya!"
Di titik kecil sana, Rukia mengangguk. Melintasi pintu gerbang, ia berupaya mengimbangi langkah Toushiro yang tidak begitu panjang, namun agak cepat. Nona mungil kepayahan, si kapten menurunkan intensitas. Lagi, hanya ia dan Rukia. Mulut itu terbuka, tapi Rukia yang bersuara.
"Ah?"
"Ada apa?"
Rukia menoleh kaku, wajahnya sepucat daun kekurangan gizi. "Saya ... lupa soal Renji."
Renji baru diingat setelah dua jam kemudian.
. . . . .
Dua jam kemudian, Renji memohon maaf pada Byakuya Kuchiki. Membungkuk dalam, meminta pengampunan.
"Maafkan saya, Taichou! Tidak bisa menjaga Rukia dengan baik! Harusnya saya memegang tangannya! Dengan badan sekecil itu, dia mudah sekali menghilang di keramaian!"
Byakuya mengangkat wajah, dua pasang tapak kaki tidak asing memasuki wilayah kantornya.
"Rukia?"
"Iya, Rukia! Adik Anda, Taichou! Maafkan saya karena sudah―" Lanjutan maaf melayang bersama dengan bokong ditendang dan kepala meluncur menabrak sisi depan meja si kapten. Tumpukan berkas rapi bergetar hampir jatuh sebelum Byakuya menahannya.
"Siapa yang kau sebut badan kecil, hah?!"
Toushiro melewati dua sobat dengan adu kuat tidak seimbang. Rukia murka, menjadikan sohibnya samsak tinju; sedangkan Renji berusaha memeluknya karena sobat kentalnya tidak jadi anak hilang.
Rukia mendesah keras sekali. Mengatasi Renji yang hanya butuh satu ronde, ia menghilang ke dapur. Si kapten muda melirik punggung kecil itu, lalu membungkuk kuyu dan menatap genggaman tangan yang terjalin ragu.
"Apa semuanya baik-baik saja, Hitsugaya-taichou?" Byakuya bertanya, dengan kuas tetap menari di lembaran berkas.
"Aa, dia baik-baik saja."
Byakuya tidak bertanya soal Rukia. Renji bangun dari tengkurap, duduk bersila ingin tahu soal percakapan misterius kaptennya dan Hitsugaya-taichou.
"Aku dengar kau mengambil alih tugas penanganan Turnamen Musim Panas dari tangan divisi ke-11?"
"Ji-jii tidak mau kegagalan turnamen tiga tahun lalu terulang." Itu adalah saat turnamen diserahkan pada divisi spesialis pertarungan.
"Itu akan cukup merepotkan." Komentar ini bukan hanya karena Byakuya sudah berpengalaman sebanyak lima kali, tapi lebih seperti memberi peringatan.
Toushiro tahu betul itu. Selain waktu yang akan terkuras habis, seseorang pun harus dikorbankan.
"Apa Rukia tahu?"
Diskusi ditutup tanpa jawaban. Rukia datang bersama nampan dengan sepasang cangkir mengepul di atasnya. Satu disajikan di meja depan Toushiro, dan satunya disajikan untuk Nii-sama.
Waktu lebih banyak dihabiskan dengan Toushiro yang merenung dan si mungil yang mengobrol bersama Renji soal pesan Momo barusan.
. . . . .
"Pesan Anda sudah saya sampaikan, Ukitake-taichou." Rukia duduk bertelut berjarak selangkah dari Ukitake yang duduk lesu di futon. "Tapi, mungkin baru nanti petang Hirako-taichou datang. Dia sedang pergi bersama Ootoribashi-taichou saat saya berkunjung tadi."
"Tidak masalah, Kuchiki. Terima kasih."
Rukia tidak pernah duduk tegak layaknya prajurit di hadapan sang kapten. Punggungnya selalu setengah membungkuk, seolah meminta permohonan atau seperti seorang putri yang merajuk pada ayahnya.
"Ada apa, Kuchiki?"
Sepasang bibirnya mengecap kering, terbuka lamat-lamat, tapi ketukan pintu menggantikan suara yang mau meluncur.
Kiyone berdiri di luar dan meminta izin masuk. Ia mau menghidangkan teh herbal chamomile dan beberapa botol obat dari divisi ke-4.
Tidak, Rukia tidak boleh melibatkan orang lain. Ini masalahnya, dan ia yang akan menyelesaikannya sendiri.
"Kalau begitu, saya permisi, Taichou."
Perhatian Ukitake kembali pada Rukia. Mata sayunya yang kian sayu saja memberi senyum menguatkan. "Sampaikan salamku untuk Hitsugaya-taichou." Rukia berharap senyum itu bukan karena sang kapten mengetahui badai yang tengah menyelinap diam-diam.
"Tentu saja, Taichou." Masih bersimpuh, Rukia menyeret lipatan kaki hingga melewati kerangka pintu. Membungkuk izin, lalu menutup shouji. Ia tidak bilang kalau Toushiro sedang berada di depan kamarnya, menantinya.
"Apa mereka akan baik-baik saja, Taichou?" Kiyone menuang beberapa butir tablet pada piring berukuran mini.
"Kenapa kau bertanya begitu, Kiyone?" Ukitake tidak jadi menyesap teh herbalnya.
"Saya tidak tahu." Si pirang bingung sendiri. "Menjalin hubungan seperti mereka di sebuah tempat bernama Soul Society dan berstatus Shinigami pasti sangat―"
Ukitake mengangkat tangan, mengerti. "Jangan cemas. Dari awal, Kuchiki dan Hitsugaya-taichou paham sepenuhnya soal itu." Kata-kata itu bukan hanya untuk Kiyone, tapi untuk dirinya pula, menguatkan kepercayaannya. Juushiro mengembalikan teh yang belum diseruput. "Kau betul-betul peduli pada Kuchiki, ya, Kiyone."
Sepuluh jari Kiyone memelintir hakama hitamnya. Ia adalah salah satu saksi hidup yang menyaksikan metamorfosa seorang gadis kikuk dan rendah diri bernama Rukia Kuchiki.
"Kuchiki-san sudah melalui banyak hal. Dia pantas bahagia."
Ukitake menginginkan hal yang sama.
. . . . .
Sepasang bayangan memudar seiring matahari yang tumbang. Tapi, berkas sinar jingganya masih tersisa di antara lembayung langit.
Di waktu-waktu kemarin, sepi selalu menjadi sekutu terbaik ia dan Rukia. Tapi kali ini, sepi seperti musuh bebuyutan yang tertawa mengoloknya.
"Kau mengabaikanku." Toushiro memecah diam. Pandangan tetap pada lorong panjang temaram berubin Seireitei. "Sepanjang hari ini, kau mengabaikanku."
"Perasaan Anda saja."
Satu per satu lampu jalan menyala berpendar terang.
Toushiro tahu ini salahnya. Tiga tahun mereka bersama, tiga tahun pun tanpa apa-apa, tiga tahun tanpa namanya kencan. Tiga tahun tanpa kenangan indah nan menyenangkan untuk disimpan. Kesibukan dalam tiga tahun terakhir memburunya seperti tebasan samurai ulung, yang bahkan bernapas pun hampir tidak bisa.
Lampu jalan mengundang laron mendekat dan mengitarinya seperti magnet.
Toushiro berhenti. Rukia menyusul, berjarak satu langkah di depan.
"Kita harus bicara."
"Kita sudah bicara."
Iya, bicara dengan punggungmu.
Satu tarikan napas, mengeluarkannya panjang dan serampangan. Hari ini, Toushiro merasa kesabarannya diuji habis-habisan sampai tetes terakhir.
Melepaskan haori putih, menyelimuti punggung Rukia dari belakang, menyusul tangan yang jatuh menggenggam lima jari ringkih si gadis pujaan.
"Aku tahu ini tidak cukup untuk menggantikan tiga tahun yang mungkin membuatmu bosan."
Ubin jalan mendadak begitu menarik di mata Rukia.
"Tapi, aku akan menunggumu besok sore di gerbang barat." Pesan yang ditutup dengan kecupan ringan di pucuk kepala dan sentuhan Toushiro menjauh, hilang, dan lenyap seutuhnya.
Butuh waktu untuk Rukia mengangkat kepala, melepaskan napas yang tadi dikekangnya. Segulung kertas sepanjang jari tengah berada di tangan. Ia membuka dan membaca.
Festival Musim Panas Hokutan
Pukul 18.00
To be continued…
.
.
.
.
.
A/N:
Betul-betul mencoba kembali dari jurang ketidakpedean#lebaymodeon
Saya betul-betul merasa kembali jadi newbie, gak tahu sama sekali soal tulis-menulis, hehe.
Jiwa HitsuRuki saya, alih-alih nurun, justru semakin menggelora(?) dan berharap bisa semakin meningkat. Dan hei, mana author HR yg lain? Hayi, Yuki, Kujo#kedip2 Balik dong! Ramein lg fandom ini (lu yg dari kemarin ke mana aja?)
Dan betul-betul berterima kasih pada Keiko dan Shofia. Pengingatnya di PM betul-betul berarti.
Yosh, berniat review?
31 Agustus 2016
