Warning: genre gak jelas, entah family, romance, hurt comfort, atau friendship. Author pemula. Spontan. Mungkin gaje?
Disclaimer: Boboiboy punya animonsta/monsta. Selamanya akan tetap begitu. Iyakah? Tapi saya tetap berharap semoga Ochobot bisa saya dapatkan. :-D
A/N
Hai semua.. Saya author baru. Bukan hanya di fandom ini tapi juga di dunia perfanfictionan.. hehe.. oke sebenarnya saya baru mulai menyukai cerita Boboiboy tahun ini gara-gara kebiasaan nemenin adik saya nonton #cukup curhatnya.
Jadi karena masih belajar diharapkan masukan, kritik, dan sarannyaya.. Maaf juga kalau ceritanya jelek. Saya Cuma menyampaikan apa yang pikiran saya khayalkan.
Silahkan dibaca bagi yang berkenan ^_^
.
.
Percikan dan suara letusan kemban api membuatku tersadar dari lamunan panjangku. Api yang terbakar, mengalirkan panas pada setiap hal di sekelilingnya. Api yang ramai, menghangatkan, dan menciptakan bentuk-bentuk indah pada langit biru kelam yang membumbung tinggi di atas kepalaku bahkan tak mampu mengembalikanku pada kehidupan yang kujalani saat ini. Kehidupan yang tak lagi memaksaku untuk selalu bertindak lebih dewasa daripada usiaku sebenarnya. Kehidupan yang ku mulai lagi karena api yang tak bisa ku kendalikan. Dan entah kenapa kesepian terasa menjalar di setiap sudut hatiku selama lima tahun terakhir setelah aku meninggalkan pulau Rintis, meninggalkan kakekku dan Ochobot, meninggalkan teman-temanku, meninggalkan tugas yang tak lagi membutuhkan peranku di dalamnya, dan meninggalkan sejuta kenanganku bersama gadis dengan hijab merah muda yang selalu setia membalut kepalanya.
Oke, mungkin terdengar berlebihan. Mungkin kenangan yang ku miliki tak sampai berjumlah sejuta. Namun, yah walau bagaimanapun potongan-potongan gambarnya dalam ingatanku selalu terpatri dengan jelas. Seolah tak mampu terhapus karena tergambar dengan spidol permanen.
Enam bulan yang ku miliki secara privasi, sejak hari pertama aku meninggalkan pulau yang memberiku rangkaian hal-hal paling luar biasa yang pernah terjadi dalam hidupku itu sudah cukup untuk sekedar mengalihkan perhatianku dari embel-embel superhero pada namaku. Aku berusaha menjadi anak kecil yang normal seperti pada umumnya. Tanpa harus memikirkan untuk terus menolong orang lain dan tanpa harus memikirkan beban dari jam kuasa pemberian robot kuning yang tanpa sengaja ku dapatkan.
Perlahan ingatan-ingatan tentang kejadian lima tahun silam juga kembali hadir di otakku. Ingatan bahwa aku adalah orang yang membahayakan. Ingatan bahwa aku tak dibutuhkan lagi. Ingatan bahwa aku memutuskan sesuatu yang mungkin menjadi daftar terakhir dalam keinginanku selama hidupku. Keputusan untuk menjauh dari semua orang dari pulau itu, termasuk dari gadis dengan hijab pinknya. Namun tentu kakekku menjadi pengecualian dari daftar orang-orang yang harus ku jauhi. Dan keputusan itu ku lakukan gara-gara seorang-eh..mungkin lebih tepatnya sebuah alien berwarna hijau dengan kepala kotak yang terlalu berhasrat untuk menguasai bumi.
Entah bagaimana misinya itu berhasil tidaknya aku tidak tahu, dan ku rasa juga aku tidak terlalu memikirkannya. Akan tetapi pikiranku yakin bahwa dia masih belum mampu menyelesaikan misinya. Terbukti pada kehidupanku di tempat ini yang masih terasa damai-damai saja tanpa pernah ada peringatan bahwa alien menyerang bumi.
Yah mungkin demam alien dan robot memang hanya terjadi di pulau Rintis saja, bahkan buktinya orang-orang di tempat tinggal asalku yang sebenarnya ini sama sekali tidak tahu menahu tentang adanya alien dan serangan-serangannya yang sempat mengancam nyawaku lima tahun lalu setidaknya.
Acara-acara tv nya pun tak pernah memberitakan tentang kejadian-kejadian aneh di pulau Rintis. Sepertinya stasiun tv yang meliput semua kejadian lama, termasuk pertarungan di bulan melawan lima panglima Scammer itu memang hanya stasiun tv lokal saja. Walaupun aku tidak mengerti bagaimana bisa pertarungan epic seperti saat itu tidak menggerakkan sistem pertahanan keamanan negara-negara lain dan juga hati seluruh penduduk dunia ini untuk waspada terhadap serangan alien. Ah sudahlah aku tak mau repot-repot memikirkannya lagi. Tapi sebenarnya itu juga cukup membantuku untuk menjalani kehidupun baruku yang lama di sini, di Kuala Lumpur, tempat orang tuaku. Tempat di mana aku menjadi diriku yang biasa-biasa saja. Hanya menjadi seorang Boboiboy. Walau tidak sepenuhnya.
"Boboiboy.."
Suara lembut dari seorang wanita berusia paruh baya yang amat ku kenal menyentakkan kesadaranku yang belum seratus persen ku peroleh.
"Ah..iya Bu.." Sahutku sambil berusaha tidak terdengar sedang memikirkan sesuatu.
"Apa ada masalah yang mengganggu pikiranmu Nak?" Tanyanya sembari mengelus rambut yang tertutup topi dinosaurusku.
Oh rupanya raut wajahku terlalu gampang dibaca. Atau mungkin juga karena dia adalah perempuan yang melahirkanku jadi dia bisa merasakan ada yang mengganjal pikiran anaknya.
"Tidak apa-apa Bu, aku hanya sedikit merindukan kakek." Ujarku setengah berbohong. Setidaknya aku tidak sepenuhnya tidak jujur kan.
"Jangan berbohong pada ibu, rindu sedikit atau banyak heh? Dan apa hanya kakek yang kau rindukan?" Ibuku memasang senyum menyelidik terhadapku. Mungkin aku memang harus menceritakan semuanya pada perempuan yang paling aku sayangi ini. Tapi, ah tidak. Aku tak ingin membagi kenangan buruk. Aku tak ingin melihat senyum yang mengingatkanku pada sesosok gadis yang sangat gemar membuat biskuit itu hilang.
"Hehe.. Aku memang bukan pembohong yang sangat baik di depan Ibu." Jawabku sambil menggaruk-garuk pipiku yang tidak gatal.
"Itu karena kamu anak ibu." Ucap ibuku gemas sambil memencet hidungku.
Aku tersenyum bahagia karenanya. Aku memang menyukai momen-momen seperti ini. Momen dimana aku menjadi anak biasa yang perlu kasih sayang. Aku bahagia di sini. Bersama ayah dan ibuku. Aku bahagia mengetahui orang tuaku tetap memperhatikanku walau kini aku sudah berada di bangku sekolah menengah atas yang baru enam bulan ku duduki. Hidupku terasa cukup walau tak cukup membuatku hidup.
"Kau tidak menyukai kembang apinya Boboiboy?" Terdengar suara parau yang berwibawa di telingaku.
"Ayah lihat dari tadi hanya ragamu yang berada di sini, sedangkan jiwamu sepertinya berada di tempat lain." Ayahku berkata dengan penuh kebijaksanaan. Skak mat bagiku. Ayahku sangat benar. Tapi aku tak ingin mengecewakannya dengan menggagalkan rencananya untuk membuatku semakin hidup dan mencari banyak teman.
"Bu-bukan begitu Yah.." Kata-kataku terputus-putus. Terlukis jelas aku bingung mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan situasiku yang sebenarnya.
"Aku hanya.. aku.." Entah kenapa kata-kata tak mau bekerja sama untuk keluar dari mulutku, beruntung ibuku menyelamatkanku dari kebingunganku mencari kata-kata sendiri.
"Rindu dengan ayah Aba yah.. Boboiboy merindukan beliau. Sudah lima tahun kan Boboiboy tidak pernah mengunjunginya lagi setelah enam bulan tinggal bersamanya. Dan terakhir mereka bertemu waktu idul fitri dua tahun lalu. Itupun hanya sebentar karena ayah tak ingin meninggalkan kedainya terlalu lama." Jelas ibuku panjang lebar.
Ibuku benar, aku memang merindukan kakek, walau aku sering mendengar suaranya melalui sambungan telepon, tapi aku juga rindu bertatap muka dengannya lebih lama lagi, juga rindu pada teman-teman yang ku tinggalkan, rindu pada gadis dengan hijab pink itu.
"Begitu ya.." Ujar ayahku manggut-manggut seolah memikirkan sesuatu.
"Berarti usaha kita kali ini juga sia-sia ya Bu" Ayahku melirik ibuku dengan tatapan yang menurutku datar.
"Mungkin kita memang harus menerima Boboiboy yang lebih suka berteman dengan orang-orang di pulau Rintis Yah" Ku lihat ibuku tersenyum miris.
Lagi-lagi ibuku berkata dengan tepat sekali. Aku memang tak membatasi interaksiku dengan orang lain. Bahkan saat smp aku sempat menjabat sebagai ketua OSIS. Hanya saja memang tak ada orang yang cukup dekat denganku untuk ku anggap sebagai teman dekat dan mengajaknya ke rumah atau pergi bersama seperti yang ku lakukan dulu dengan sahabat-sahabatku di pulau Rintis.
"Mau bagaimana lagiā¦" Ujar ayahku tanpa terdengar putus asa. Beliau sengaja menggantungkan kalimatnya hingga membuatku bertanya-tanya. Aku setia menunggu kalimat selanjutnya yang akan ayahku ucapkan. Tapi..
"Sudah pukul 00:30. Ayah rasa merayakan tahun baru ini di tengah keramaian yang penuh dengan kembang api juga tidak berguna dengan efektif sekarang. Sebaiknya kita pulang saja. Lalu.." Ayahku lagi-lagi menggantungkan kalimatnya.
"Lalu ayah akan segera mengurus kepindahan Boboiboy kembali ke pulau Rintis menemani Ayah Aba" Ujar ayahku mantap tanpa keraguan sedikit pun dalam kalimatnya.
Seketika kalimat terakhir yang ayahku ucapkan sukses menyentak kepalaku.
"APA?" Ujarku berteriak pada kedua orang tuaku.
'Ayah akan memindahkanku ke pulau Rintis?' batinku disertai wajah dengan ekspresi kaget yang membuat kedua orang tuaku saling menatap bergantian satu sama lain.
.
.
TBC
.
.
Mind to Review?
