OOO

Disclaimer: Kuroko no Basket belongs to Fujimaki-sensei

OOO

Seorang manusia itu, dalam hal memiliki suatu kemampuan atau bakat, ada yang mendapatkannya dengan usaha keras. Ada pula yang mendapatkan bakat tersebut sejak lahir. Tentu saja, mereka tidak bisa memilih untuk memiliki bakat bawaan ini atau itu. Dan ya, kau termasuk salah satu manusia yang memiliki suatu bakat bawaan semenjak lahir, terlepas dari kau suka atau tidak.

Mungkin kau akan mensyukuri bakatmu itu.

Atau mungkin juga tidak.

OOO

Chapter 1: Aku Menunggumu

OOO

Kau meluruskan pandanganmu ke depan. Apa yang kau pandang? Langit? Kabel listrik yang bergelayut? Kawat pagar pembatas? Mungkin kau tidak peduli apa yang sebenarnya sedang kau pandang. Apapun itu, yang penting kau tidak bertatap pandang dengan mereka.

Peluit ditiup. Kereta akan segera tiba. Kau tetap di posisimu, di belakang garis pembatas. Kerumunan manusia menapak mendekat, bersiap menyambut datangnya kereta pagi itu.

"Hei, hei, tahu tidak?" Dari sebelahmu, kau dapat mendengar seorang gadis bercakap-cakap dengan temannya. Melirik ke arah mereka, kau menyadari seragam yang mereka kenakan adalah seragam SMA sebelah.

"Kemarin, di tempat ini ada yang melompat bunuh diri ke rel. Langsung mati ditabrak kereta lho." Gadis itu melanjutkan ceritanya.

Ya, aku tahu. Pikirmu kepada dirimu sendiri.

Kalian tahu tidak? Yang melompat itu, masih ada di sini kok.

"Tidak! Tidak! Ada yang mendorongku waktu itu! Tidak! Tidak!"

Kau mengeratkan peganganmu pada tasmu, merapatkan bibirmu erat-erat. Lagi, kau mengalihkan pandanganmu entah ke mana. Ke mana saja boleh, asalkan kau tidak menatap seorang lelaki paruh baya yang bersimbah darah, yang sedari tadi berteriak histeris di tengah rel kereta. Sebagian tubuhnya hancur, hampir putus.

"Aku tidak melompat! Tidak! Tidak! Ada yang mendorongku! Aku tidak bunuh diri! Tidak—"

Kereta tiba. Meluncur begitu saja melewati pria di tengah rel tersebut. Teriakannya teredam oleh bunyi mesin kereta, serta hikuk pikuk manusia yang berkerumun untuk masuk ke dalam kereta.

Kau menghela nafas yang sedari tadi kau tahan. Kepalamu terasa berat. Tubuhmu bergetar. Mengikuti arus manusia, kau pun segera melangkah masuk ke dalam kereta, segera mencari tempat duduk yang kosong. Masih terngiang di telingamu, teriakan pria itu.

Tidak! Tidak!

Menyayat hati.

Kau memijat-mijat dahimu, ingin sekali mengenyahkan pemandangan yang kau lihat tadi. Kalau bisa, kau juga ingin mengenyahkan segala kegilaan yang kau tangkap lewat sepasang matamu. Dan kalau bisa, kau amat sangat ingin mengenyahkan kemampuan yang kau miliki.

Kemampuan untuk melihat arwah mereka yang telah meninggal dunia.

Kau tidak pernah berharap dilahirkan dengan kemampuan seperti ini. Kau juga tidak pernah tahu mengapa kau dilahirkan begini. Kau hanya tahu, kemampuan ini tidak diturunkan dari ayah dan ibumu. Mereka normal. Mereka bahagia.

Mungkin apa yang kau miliki ini berasal dari kakek atau nenekmu yang telah meninggal? Entahlah. Kau sudah berhenti bertanya semenjak orang-orang di sekitarmu menatapmu aneh saat kau mengatakan ada orang lain di kamar yang kosong melompong, atau saat berbicara sendiri sambil tertawa, atau saat kau menjerit sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang wujudnya tidak ada.

Kau sudah lelah dianggap gila karena kau dapat melihat sesuatu yang tidak seharusnya dapat dilihat. Dan entah sejak kapan, kau berpura-pura tidak dapat melihat mereka. Sungguh, kau sangat ingin kepura-puraanmu itu menjai kenyataan. Sampai kapan kau akan terus melihat hal-hal seperti itu?

"Stasiun X, Stasiun X!"

Kau mendongakkan kepalamu. Terdengar dari speaker, kereta telah tiba di stasiun yang kau tuju. Kau menghela nafas, menenangkan diri. Setelah itu kau turun bersama kerumunan dari gerbong yang sama denganmu, melangkah keluar stasiun.

Sejenak perhatianmu teralihkan oleh sebuah sosok yang berdiri di luar stasiun. Biru muda di tiap helai rambut laki-laki yang kau lihat itu memberikan kesan teduh. Laki-laki itu masih terlihat muda. Kau yakin ia seumuran denganmu, melihat dari jersey yang ia kenakan. Seirin. Kau familiar dengan nama sekolah itu.

Dan saat sosok itu tertembus begitu saja oleh lalu lalang manusia, kau baru mengalihkan pandanganmu.

Oh. Pemuda berambut biru langit itu sudah mati.

Esoknya, serta esoknya lagi, kau selalu mendapati kehadiran pemuda itu. Ia selalu berdiri di tempat yang sama. Pandangannya selalu kosong. Bahkan saat hari sudah malam—di mana saat itu kau harus pulang malam karena ada urusan di sekolahmu—sosok itu tetap berdiri di titik itu.

Lalu hari itu, kau mulai bertanya-tanya. Mengapa lelaki itu tetap berada di sana?

Dan hari setelahnya—di hari Sabtu yang tidak seramai biasanya—kau berdiri tepat di sebelah pemuda dengan rambut biru langit itu. Kau menolehkan kepalamu ke samping, menatap lelaki itu dalam-dalam.

"Kau sedang apa di sini?" Akhirnya, kau bertanya. Suaramu pelan dan tenang, sebisa mungkin tidak menarik perhatian orang. Tidak ingin ada yang melihatmu berbicara sendiri.

Pemuda itu menoleh kepadamu. Selama beberapa saat ia hening, mungkin bertanya-tanya apakah kau benar-benar sedang berbicara kepadanya.

"Kau selalu berada di sini. Kenapa?" Kau bertanya sekali lagi. Matamu fokus menatap pemuda tersebut. Ya, kau benar-benar sedang berbicara dengannya.

"Kau bisa melihatku." Itulah hal yang pertama kali dikatakan oleh pemuda itu. Suaranya sama lembutnya dengan warna rambutnya. Suara yang lembut, tapi datar. Pemuda itu kembali mengarahkan pandangannya ke depan.

"Aku sedang menunggu seseorang."

Mengikuti pemuda itu, kau juga menatap kembali ke depan, mengalihkan pandanganmu darinya.

"Oh." Kau berucap singkat. "Teman?"

"Semacam itu."

Sekumpulan anak muda berkumpul di sekitarmu. Kau bungkam, tidak ingin mereka melihatmu berbicara seorang diri. Tahu kalau sekumpulan anak muda itu akan berdiam lama di sana, kau menoleh kepada pemuda biru muda dan menganggukkan kepalamu singkat, sebelum melangkah menjauh dan meninggalkan tempat itu.

OOO

Lusa, sepulang sekolah, kau kembali menemui pemuda itu. Kau berdiri di tempat yang sama, menganggukkan kepalamu samar sebagai tanda sapaan kepada sang pemuda. Kali ini, yang pertama bertanya adalah si biru muda itu.

"Kenapa kau bisa melihatku?"

Kau mengangkat bahumu dan menghela nafas, baru berbicara saat kau yakin tidak ada yang memperhatikanmu. "Aku juga ingin tahu."

"Ngomong-ngomong," tambahmu. "Kau sadar kan kalau kau sudah mati? Kau bilang kau menunggu seseorang, tapi apa seseorang itu akan datang? Maksudku, apa yang kau tunggu itu sadar bahwa kau sudah mati?"

Pemuda itu terdiam sejenak. Pandangannya kembali kosong. Dan kau menggumamkan kata maaf, mungkin apa yang kau ucapkan barusan itu agak kelewatan.

"Entahlah." Pemuda itu akhirnya kembali buka suara. "Sejak hari itu, aku tidak pernah beranjak dari tempat ini. Aku tidak pernah melihatnya lagi, melihat keluargaku, teman-temanku. Tapi ya, kurasa dia pasti tahu kalau aku sudah…mati."

Kau menatap pemuda itu. Ekspresinya selalu datar. Kau tidak tahu apakah pemuda itu sedih, marah, kesepian, atau tidak merasakan apa-apa. Kau bertanya dalam hati, apakah semasa hidupnya pemuda itu memang sedatar ini.

"…lalu? Untuk apa kau menunggunya?"

"Karena dia menyuruhku untuk menunggu."

"Sampai kapan?"

"Sampai ia datang menjemputku."

Dan kau terdiam. Kadang kala, orang yang sudah meninggal memiliki logika yang tidak kau pahami, meski keberadaan mereka sendiri memang jauh dari logika.

Contohnya dalam kasus ini.

Menatap langit-langit stasiun, kau merangkai kembali jawaban-jawaban si biru langit. Pemuda ini mati. Arwahnya tetap berada di sini karena temannya menyuruhnya untuk menunggu. Tapi untuk apa menyuruh orang mati menunggu? Kalau si teman tidak pernah datang untuk menjemput si biru langit, apakah si biru langit akan tetap di sini, entah sampai kapan?

Saat kau ingin bertanya kembali, kau mendapati seseorang memanggil namamu. Orang itu adalah teman sekelasmu. Terkadang kau makan siang bersamanya. Hari itu, percakapanmu dengan si biru langit berakhir sampai situ.

OOO

Restoran cepat saji itu bernama Maji Burger. Kau menghisap cola yang kau pesan, sambil mendengarkan celotehan temanmu yang duduk di kursi seberang. Celotehan itu kau dengarkan setengah hati, karena apa yang temanmu bicarakan memang biasanya tidak penting.

Pintu restoran terbuka dengan bunyi yang khas. Kau mengalihkan perhatianmu ke arah sekumpulan pengunjung yang baru datang. Apa yang menarik perhatianmu? Tidak lain dan tidak bukan adalah jersey hitam dan putih yang mereka kenakan. Sama dengan milik si biru langit.Kau masih menatap mereka lekat-lekat. Apakah mereka kawan pemuda yang sudah mati itu?

"Seperti biasa, Kagami, makanmu banyak sekali." Salah satu dari mereka, pemuda berkacamata dengan rambut hitam yang dipotong pendek berujar kepada pemuda lainnya yang rambutnya berwarna hitam dengan semburat gelap di ujungnya, yang membawa nampan berisi tumpukan burger dengan jumlah yang tidak manusiawi.

Kau mencatat namanya di dalam pikiranmu. Kagami. Pemuda itu hanya mencelos dan langsung ambil tempat duduk di pojok ruangan, meletakkan nampannya di atas meja. Yang lain mengikuti setelah mereka selesai dengan pesanan mereka.

Kau dapat melihat, selama beberapa saat, mereka tidak langsung makan. Mereka bertukar pandang dengan satu sama lain. Dari jauh, kau dapat merasakan atmosfir berat yang tercipta di antara mereka.

"Yah…" Pria berkacamata itu berkata lagi. "Selamat atas kemenangan kita di kejuaraan lalu. Dan…" Ia diam sejenak, memandang ke arah nampannya yang hanya berisi satu burger dan segelas orange juice. "…tentang Kuroko…"

"Hei!"

Perhatianmu ditarik paksa oleh suara dari temanmu. Kau mengerjapkan mata beberapa kali. "Eh? Ya? Apa?"

"Jahattt! Kau tidak mendengarkan ceritaku dari tadi ya?" Temanmu memasang muka sebal. Baiklah, kau sama sekali tidak mendengarkan apa yang ia bicarakan. Perhatianmu sukses tertambat oleh sekumpulan pemuda dengan jersey hitam dan putih itu.

"Lihat apa sih? Hayo~ Melihat anak-anak dari sekolah Seirin ya~? Ada yang kau taksir ya~?" Sambil menyatakan kesimpulan yang terlalu percaya diri, temanmu menoel-noel pipimu. Kau meringis dan menolak mentah-mentah tuduhan kawanmu.

OOO

"Kuroko."

Kau menyebut nama itu pada pertemuanmu yang kesekian kalinya dengan pemuda biru langit.

"…ya?"

Kau tersenyum dan mengeluarkan ponselmu. Stasiun sore ini cukup ramai, namun kau sangat ingin bercerita panjang lebar dengan si biru langit. Ponsel adalah kamuflase. Tidak ada yang memandangmu aneh saat kau berbicara sendiri dengan ponselmu.

Kau menempelkan ponselmu di telinga, pura-pura menelpon. Dengan pandangan tertuju pada si pemuda, kau mulai berkata-kata. "Kuroko, itu namamu, benar?"

Pemuda itu mengangguk. "Kuroko Tetsuya, ya."

"Kau tahu, hari ini aku kebetulan bertemu dengan teman-temanmu. Mereka pakai seragam yang sama dengan yang kau kenakan."

Kau menyadari raut pemuda itu, yang baru diketahui namanya adalah Kuroko Tetsuya, mengalami perubahan.

"…kau bertemu dengan…mereka?"

"Ya. Aku hanya melihat mereka dari jauh. Dan kalau mendengar ini bisa membuatmu merasa lebih baik, mereka memenangkan kejuaraan. Meski aku tidak tahu kejuaraan apa yang mereka bicarakan. Dan…" Kau menjilat bibirmu sebelum melanjutkan. Ragu sejenak.

"Saat namamu muncul di pembicaraan itu, mereka terlihat…sedih. Mungkin. Suasananya tidak enak."

Kuroko menundukkan pandangannya. "…oh."

Dan kau menunggu sampai Kuroko lanjut berkata-kata.

"…itu tentang kejuaraan basket. Kejuaraan pertama di mana aku diturunkan ke lapangan sebagai pemain reguler."

Kau dapat melihat, Kuroko mengepalkan tangannya kuat-kuat. Oh, kau sudah dapat menebak bagaimana cerita ini berakhir.

"…tapi aku mati sebelum semua itu terlaksana."

Kau memasukkan kembali ponselmu dan berujar lirih. "Lanjutkan. Aku mendengarkan. Apapun yang ingin kau ceritakan."

Kuroko mengangkat satu tangannya, memandang lekat-lekat pada wristband hitam yang melingkari pergelangan tangannya.

"Aku menyukai basket." Kuroko memilih untuk mengawali ceritanya dengan kalimat itu. "Meski aku sangat menyukai basket, aku sama sekali tidak mahir. Staminaku di bawah rata-rata. Berbeda dengan mereka yang diberkahi oleh bakat natural, aku harus berusaha keras—amat sangat keras—untuk mahir dalam basket yang aku sukai. Aku iri dengan Kagami-kun—temanku itu—kalau kau tahu. Dia diberkati oleh bakat dan stamina. Dia langsung menjadi cahaya yang gemerlap di lapangan."

Kau menyadari nama itu. Kagami. Nama yang kau dengar dari salah satu kumpulan pemuda yang kau temui di restoran cepat saji itu.

"Aku berlatih, terus berlatih. Aku ingin bermain di lapangan. Aku ingin bangkit dari bangku cadangan. Aku sudah muak hanya menonton gemerlap Kagami-kun dari pinggir lapangan. Akhirnya saat itu tiba. Saat di mana aku dapat bermain di kejuaraan. Aku benar-benar akan bermain. Aku akan benar-benar turun ke lapangan."

"Hari itu, hari pertandingan, hujan turun dengan deras saat aku tiba di stasiun. Aku tidak membawa payung. Di telepon Kagami-kun bilang ia akan menjemputku. Akan membawakanku payung. Dia menyuruhku menunggu."

"Tapi itu tidak kulakukan. Cemas kalau aku bisa terlambat datang ke pertandingan, aku nekat menerobos hujan. Tepat saat aku melangkah keluar stasiun, sepeda motor menabrakku. Aku mati saat itu, aku tahu."

Kuroko memejamkan matanya erat-erat. Sesal dan perih tergambar di wajahnya, yang biasanya tenang dan datar. "Itu adalah penyesalanku. Andai saja aku menunggu Kagami-kun saat itu…"

"Dan sekarang aku menunggunya. Selalu menunggunya. Kalau aku beranjak dari tempat ini, aku akan menyesali sesuatu lagi. Karena itu aku akan terus menunggu di sini."

Kau tertawa lirih. Ayolah, untuk apa Kuroko tetap menunggu di sini? Semua tidak akan berubah. Kagami tidak akan menjemputnya. Kagami tidak tahu Kuroko tetap menunggu di sini. Tidakkah Kuroko merasa bahwa ia melakukan hal yang sia-sia?

"Bodoh." Itu adalah hal terakhir yang kau ucapkan kepada Kuroko sebelum kau meninggalkan stasiun itu.

OOO

Hari itu hujan turun dengan deras. Berlindung di bawah payung berwarna kelabu, kau berdiri di depan gerbang SMA Seirin. Kau sudah di sana selama lebih dari satu jam. Sepatu dan kaus kakimu ternodai oleh lumpur. Tapi kau tetap menunggu di sana. Tidak peduli dingin yang merasuk tubuhmu.

"Ah." Kau baru beranjak dari tempatmu saat kau mendapati sesosok pemuda dengan rambut merah dengan semburat gelap—ya, yang waktu itu kau temui dengan nampan berisi tumpukan burger—muncul dari dalam gedung sekolah yang sudah sepi. Pemuda itu ternaungi payung merahnya.

Kau berlari mendekati pemuda itu. Suaramu bergetar oleh rasa dingin saat kau memanggil namanya. "Kagami-kun!"

Pemuda itu menatapmu heran. Ia tidak pernah melihatmu sebelumnya. "…siapa?"

Kau menyebutkan namamu dan tertawa lega. Lega karena kau bisa bertemu dengan dia yang bernama Kagami ini.

"Aku ingin minta tolong. Ini tentang Kuroko."

Kau dapat melihat ekspresi Kagami mengeras saat nama itu disebut. Kau tahu Kagami masih terbayang-bayang oleh kematian Kuroko.

"Tolong jemput Kuroko!" Suara lantangmu beradu dengan hujan. Kau bungkukkan tubuhmu dalam-dalam, tanda bahwa permohonanmu itu benar-benar serius. Tapi mungkin kau salah memilih kalimat.

"…ha?" Kagami menatapmu. Tidak paham apa yang kau bicarakan. Menjemput siapa katamu tadi? Kuroko? Kau ini bercanda atau sudah gila?

"Tolong jemput Kuroko!" Kau masih bertahan dengan posisi membungkukmu dan mengulangi kembali kata-katamu. "Kuroko terus menunggumu di stasiun itu! Tolong! Tolong jemput Kuroko! Jangan biarkan dia terus menunggu di sana!"

"Oi." Kagami menarik bahumu, menegakkan kembali tubuhmu agar kau bisa menatap rautnya yang kental oleh emosi. Apa itu? Marahkah dia?

"Kau datang dengan lelucon macam apa, hah? Kau ini siapa? Kuroko itu sudah mati tahu!"

Kau menjatuhkan payungmu, membiarkan tubuhmu dibasahi oleh derasnya hujan. Matamu membelalak menatap Kagami, terkejut atas perlakuan kasar yang kau dapatkan. Kau bernafas dari celah di bibirmu, merasakan air hujan masuk dari sana. Tubuhmu menggigil. Dingin.

"Iya, Kuroko memang sudah mati." Kau berucap dengan getaran di suaramu. "Dia sudah mati. Tapi dia terus menunggu. Sampai kau menjemputnya. Entah sampai kapan. Dia sudah mati, tapi dia tetap menunggu Kagami untuk menjemputnya, KAU TAHU!" Kau berteriak lantang. Kepalamu sudah berkabut, susah dibuat berpikir.

"Hanya karena kau tidak bisa lihat, bukan berarti ia tidak ada di sana!" Kau mencengkeram bagian depan seragam Kagami dan menarik-nariknya. "Kuroko masih ada di sana! Di stasiun itu! Menunggumu yang tidak akan pernah datang untuk menjemputnya! Itu terlalu menyedihkan tahu!"

Masih dilanda oleh kebingungan, Kagami meremas tanganmu untuk menghentikan gerakanmu. "Oi, oi, hentikan! Apa maksudmu Kuroko masih ada di sana?! …maksudmu…hantu?"

Kau terisak. Entah sejak kapan kau menangis. Air matamu sudah jadi satu dengan tetes air hujan. "Arwah Kuroko. Dia masih di sana. Setiap hari aku melihatnya. Aku bisa lihat. Setiap hari. Selalu di situ. Kemudian dia bercerita tentang dirinya yang mencintai basket. Tentang pertandingan pertamanya yang tidak bisa ia datangi. Tentang bagaimana ia menyesal karena ia tidak menunggumu."

Tangismu semakin menjadi. Kau tidak paham lagi apa yang kau katakan. "Kumohon! Datanglah dan jemputlah dia! Jangan buat dia menunggu lagi! Kumohon! Kumohon!"

Kagami membisu. Ia memperhatikanmu dengan ekspresinya yang campur aduk. Kau sama sekali tidak terlihat bercanda. Kau lebih terlihat seperti seseorang yang kurang waras. Dan ya, terkadang kau memang perlu mempertanyakan kewarasanmu.

Dan kau harus bersyukur. Kagami memilih untuk percaya kepadamu.

Kalian berdua berlari di bawah hujan. Kau tidak peduli lagi dengan seragammu yang sudah basah kuyub. Kagami masih menggenggam payungnya, meski payung itu tidak lagi berguna karena air hujan dan lumpur sukses menodai tubuhnya.

"Di sini!" Kau menarik tangan Kagami saat kalian sudah dekat dengan stasiun. Kau membawanya menembus kerumunan orang di sana, menuju titik di mana biru langit selalu berada.

Kuroko terlihat terkejut mendapati kedatanganmu yang basah kuyub, lebih terkejut lagi saat kau datang bersama seseorang yang sudah amat sangat familiar baginya.

"Kagami-kun… Kenapa…?"

Kau melangkah mendekati Kuroko dan berdiri di sebelahnya. Bibirmu membentuk sebuah senyuman, meski gigimu bergemelutuk oleh rasa dingin. Kau dapat melihat, Kagami sama sekali tidak menyadari keberadaan Kuroko yang tepat berada di depannya.

"H, hari ini hujan deras." Kau berusaha keras berbicara dengan jelas. "Hari ini, K, Kuroko Tetsuya," kau menunjuk-nunjuk sosok yang berada di sebelahmu—yang bagi Kagami terlihat seperti tidak ada apa-apa—sambil berkata-kata.

"Ku, Kuroko Tetsuya akan berpartisipasi dalam per, pertandingan pertamanya di ke, kej, kejuaraan. Sayang, sungguh s, sayang, Kuroko melupakan p, payungnya di hujan deras ini. Beruntungnya dia, kawannya, Kagami T, Taiga—"

Kau ganti menunjuk Kagami.

"D, dat, datang membawakan payung untuknya."

Rasanya semakin susah bagimu untuk berkata-kata dengan baik dan benar. Dingin sekali. Kau dapat melihat beberapa orang memandangmu dengan tatapan aneh. Tapi kau tidak peduli lagi dengan mereka. Ini bukan urusan mereka yang tidak bisa melihat apa yang kau lihat.

"H, hari it, itu. Kagami d, datang menjemput K, Ku, Kuroko." Kau melirik Kagami dan memberikan isyarat baginya untuk melaksanakan bagiannya.

Kau mengangguk mantap, seolah menghapus keraguan Kagami. "Kuroko, ada di sini."

Kagami menatap kehampaan di depan matanya. Kuroko ada di sini. Menunggu dirinya.

Membuang jauh-jauh keraguan yang tersisa di dalam dirinya, Kagami tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. "Yo, Kuroko!"

Kuroko membelalakkan matanya. Senyuman itu, Kuroko rindu.

"Maaf ya aku telat menjemputmu." Kagami menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "Hujannya deras sekali sih."

Senyuman tipis tergaris di bibir Kuroko. Rasanya Kagami benar-benar sedang berbicara dengannya, meski ia tahu Kagami tidak bisa melihat keberadaannya.

Kagami mulai lagi dengan nada bersemangatnya. "Hari ini pertandingan perdanamu sebagai reguler kan? Jangan buang-buang waktu di sini. Ayo cepat ke—"

Kata-kata itu terputus begitu saja. Kagami tidak mampu lagi melanjutkan. Ia membungkam isak tangisnya dengan tangannya. Punggungnya bergetar pelan.

"Kenapa hari itu aku tidak menjemputmu lebih cepat?!" Sebuah teriakan lepas dari bibir Kagami. Baik kau maupun Kagami, sepertinya sudah tidak peduli lagi di mana kalian berada sekarang.

"Kalau hari itu aku menjemputmu lebih cepat, mungkin kau tidak akan—" Kagami jatuh terduduk di hadapan Kuroko. Air matanya menetes, menitik membasahi lantai. Di antara mereka berdua, bukan hanya Kuroko yang merasakan sesal. Kagami pun dibebani oleh sesal.

"Maaf. Maaf karena aku tidak mejemputmu lebih cepat."

Kuroko mensejajarkan posisinya dengan Kagami. Tangannya menepuk-nepuk bahu pemuda yang lebih tegap itu. Percaya atau tidak, saat itu Kagami dapat merasakan sentuhan samar di bahunya. "Tidak. Terima kasih karena telah menjemputku, Kagami-kun."

"Dan kau juga." Kuroko memandangmu. Senyumannya tulus, membuat dadamu hangat oleh perasaan senang. "Terima kasih."

Kau hanya menanggapinya dengan tawa pelan.

"Benar juga ya." Kuroko kembali berdiri. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Sudah waktunya aku pergi."

"Ah… Un." Kau mengangguk dan menepuk punggung Kagami. "Kuroko. Sudah waktunya dia pergi."

Kagami turut berdiri dan menghapus sisa-sisa air matanya. Senyuman mantap itu kembali menghiasi bibirnya. Dengan pandangan yang tegas dan tanpa ragu ia menatap tempat di mana Kuroko berada. "Ya."

Kuroko mengangguk. "Kejuaraan-kejuaraan selanjutnya, berusahalah juga demi bagianku."

Kau langsung menanggapinya. "Kuroko bilang, kau juga harus berusaha demi bagiannya juga."

Kagami tertawa dan menjulurkan satu genggaman tangannya ke depan. "Tentu saja. Sampai jumpa lagi, Kuroko."

Kuroko menyambut genggaman tangan itu dengan genggaman tangannya sendiri. "Sampai bertemu lagi, Kagami-kun."

OOO

"Stasiun X, Stasiun X!"

Kau melangkah turun dari kereta bersama kerumunan orang dengan tujuan yang sama denganmu. Derap langkah memenuhi telingamu, bersamaan dengan celotehan mereka yang melangkah bersamamu. Sering kau berhenti sejenak, menatap bidang kosong di suatu sudut stasiun.

Kau ingat, tentang pemuda yang rambutnya sewarna dengan langit biru.

Dan tentang senyumnya yang memercikkan bahagia di dalam dadamu.

Ada kalanya kau berpikir, kemampuan yang kau miliki ini tidak buruk juga

OOO

Chapter 1 –END-

OOO

Chapter 1 selesai! Terima kasih sudah membaca! ^^ Rencananya fic ini mau dibikin cerita lepas masing-masing chapter-nya. Jadi antara satu chapter satu dan lainnya nggak ada hubungannya. Cerita ini mengambil sudut pandang pembaca yang memiliki kemampuan untuk melihat arwah. Maaf ya kalo karakter reader-nya jadi keliatan aneh orz

Anyway, akan sangat berterima kasih kalau ada review dan masukan~ :D Kira-kira enaknya chapter selanjutnya pakai karakter siapa ya~