Sebuah fanfic gaje, yang mungkin gak bakalan ada yang baca. Sebenarnya iseng aja, pernah kepikiran gimana kalau Fourze punya AU world ala Decade, pemainnya masih sama, inti cerita sama namun dengan kisah yang berbeda dan sifat karakter yang sangat berbeda.
Tentu saja, gak bakalan sebagus aslinya fanfic ini. Ini cuma iseng aja kok… hehe…
Silahkan dinikmati~
Warning: AU, OOC, Dark, miss typo
Disclaimer: Kamen Rider sih jelas bukan punya saya…
The Other Universe of Space
"Aaagh… uhuk…,"
Seorang pemuda tersungkur jatuh ke lantai dengan sebuah tangan menggenggam belt besar yang terdapat banyak switch di dalamnya. Ia berusaha untuk menelan kembali apa yang akan keluar dari mulutnya namun gagal begitu tetesan berwarna merah bertetesan jatuh ke lantai. Dadanya seperti terbakar, kepalanya begitu pusing dan detak jantungnya begitu cepat.
"Kengo-kun! Kengo-kun!"
Pemuda itu mendengar seseorang memanggilnya, namun ia terlalu kesakitan untuk merespon. Belt yang ia pegang segera jatuh ke lantai, sementara kedua tangannya segera menggenggam baju bagian dadanya.
Rasanya sesak, seakan ingin mati, paru-parunya kehabisan udara dan begitu panas.
Ia bisa merasakan ada seseorang menariknya, menyuguhkan sesuatu ke dalam mulutnya dengan paksa, ia berusaha menolak. Rasanya terlalu sakit, darah merah mengalir dari mulutnya, memberikan rasa amis dan mual pada perutnya.
Ia akhirnya berhasil menelan apa yang dimasukkan ke dalam mulutnya dan berangsur keadaan tubuhnya membaik. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan bagaimana rasa sakit itu perlahan pergi meninggalkan tubuhnya yang lemah.
"Kengo-kun…"
Ia menengadah, memandang sosok gadis yang matanya berkaca-kaca melihatnya.
"Yuki...," gumamnya pelan, akhirnya berhasil mengenali siapa yang ada di sampingnya sejak tadi.
"Kengo-kun, kau harus hentikan ini… ini tidak mungkin… dengan kondisi tubuhmu yang seperti itu, kau akan…," gadis bernama Yuki itu menghentikan bicaranya, rasanya terlalu berat untuk dikatakan. Kengo pun paham betul apa yang dimaksud sahabatnya itu.
Ia melirik ke tetesan darah di lantai. Ia tahu apa akibatnya bila ia terus memaksakan hal ini.
"Tapi, tak ada pilihan lain… kau tahu itu…," kata Kengo, berusaha bangkit dengan badan sempoyongan. Yuki segera menyokong tubuhnya yang hilang keseimbangan, gadis itu tidak sanggup mengatakan apa-apa, hanya mampu menahan tangis melihat temannya mengikis hidupnya sedikit demi sedikit.
IoI
"Kabur… ia terlalu kuat!"
"Aaaaahhhh!"
Telrihat para yankee, berandalan sekolah, lari tunggang langgang seperti dikejar sesuatu yang menakutkan. Mereka babak belur dan hanya mampu lari, menyelamatkan diri.
"Cih…"
Seorang pemuda hanya berdiri memandang para yankee tersebut lari darinya. Di tangannya terdapat sebuah tongkat besi dimana banyak bekas darah di sana. Di pipinya terdapat satu luka lebam, namun selebihnya pemuda itu berdiri dengan tegak.
"Sial, kena pukul satu kali…," gumamnya, ia segera membuang tongkat di tangannya. Ia segera menghapus noda darah yang sempat terciprat ke wajahnya lalu ia mengambil tas sekolahnya yang sempat terlupakan di tanah.
"Dasar, baru juga masuk, sudah ada yang cari ribut," gumamnya lagi. Ia mengacak-acak rambutnya yang hitam yang tak tentu arahnya.
Ia segera berjalan, dari belakang gedung menuju gedung sekolahnya yang baru. Ia diam sebentar, melihat sekolah yang sepi dan sunyi. Tampaknya sudah masuk, ia terlambat deh. Namun, ia tidak tergesa-gesa. Ia hanya berjalan santai, memasuki gedung, mencari dimana kelas barunya berada.
Tak butuh waktu lama sebelum ia menemukannya. Kelas 2-B.
Tak sungkan, ia segera membuka pintu, mengejutkan murid-murid dan guru yang berada di dalam tersebut.
Pandangan mereka semua terpaku padanya, seorang yankee yang memakai gakuran hitam yang terbuka menampilkan kaus merah dibaliknya, rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang kotor dan terdapat bekas luka. Anak kecil pun tahu bahwa ia baru saja bertarung.
Ia melirik ke seluruh isi kelas sebelum pandangannya jatuh pada sang guru, atau wali kelas, seorang wanita muda dan cantik berambut panjang yang tampak terkejut melihatnya.
"Yo, maaf aku terlambat," katanya dengan santai. Wali kelasnya hanya mengedipkan mata. Ia segera masuk, berjalan ke sampingnya.
"Aku, Kisaragi Gentaro, murid baru di sini," katanya lagi, ia lalu berputar, menghadap teman-temannya.
"Salam kenal," katanya datar, tanpa senyum dengan tampang sedikit bosan.
Wali kelasnya masih tampak syok, begitu pula teman-temannya. Ia hanya menghela napas, menggaruk belakang kepalanya, menunggu sampai mereka berhasil mencerna informasi mengejutkan itu.
"Oh… ternyata kamu anak barunya… maaf, saya kira kamu tidak jadi masuk hari ini, silahkan tulis namamu di papan tulis," kata wali kelasnya, mencoba untuk ramah. Ia hanya mendengus, berputar, mengambil kapur dan segera menulis namanya dengan besar dan jelas di depan kelas.
Kisaragi Gentaro.
Selesai. Ia berputar kembali.
"Baiklah… kau bisa duduk di…"
"Greeekkk…."
Pintu terbuka kembali, menampilkan seorang siswa lain, memakai seragam sekolah, namun dengan wajah seperti pasien rumah sakit. Wajahnya pucat, rambutnya tampak sedikit basah oleh keringat, matanya sayu dan kantung matanya sedikit hitam.
"Maaf, aku terlambat," katanya dengan suara sedikit serak.
Wali kelasnya kembali terperanjat, namun kali ini dengan cepat menyesuaikan diri. Ia sudah sering berhadapan dengan yang satu ini.
"Tidak apa-apa, Utahoshi-kun, silahkan duduk," katanya.
Gentaro memandang pemuda yang bernama "Utahoshi" tersebut berjalan sempoyongan ke bangkunya. Dari cara jalannya saja, Gentaro takjub pemuda itu tidak ambruk. Kenapa pula ada orang sekarat masih masuk sekolah? Ia tidak bisa mengerti.
"Kisaragi-kun, kamu bisa duduk di… samping Utahoshi-kun," kata wali kelasnya. Gentaro mendengus dan segera berjalan menuju meja yang di maksud. Setidaknya berada di belakang, ia suka itu, meski ia tidak bisa menyukai kenyataan bahwa ia duduk di samping seorang pemuda sakit yang tampaknya akan segera meninggal.
Begitu ia duduk, pelajaran pun segera dimulai. Ia hanya memperhatikan dengan tampang malas, tak ada niat untuk mendengarkan sama sekali.
Ia melirik ke 'Utahoshi', yang kini sibuk berbicara dengan suara berbisik kepada temannya, seorang gadis, yang duduk di belakangnya. Dari tampangnya, ia bisa tahu bahwa sang gadis khawatir, namun pemuda sekarat itu bersi keras bahwa ia baik-baik saja.
Huh… baik-baik saja, Gentaro saja yakin ia lebih cocok berada di rumah sakit daripada di sekolah.
Namun, ini bukan urusannya.
Dan ia tidak peduli.
IoI
Kengo berjalan sempoyongan dan segera bersandar pada dinding terdekat. Badannya terasa lemas dan sakit, pandangannya sedikit kabur tapi ia harus terus berjalan.
Ia menjinjing tas berwarna hitam yang berisi belt yang merupakan sumber kesakitannya.
Meski sakit ia harus melakukan ini…
Ia mendengar tasnya berbunyi, menandakan bahaya. Ia segera membukanya, setelah mengecek tak ada orang di sekitarnya dan ia melihat apa yang ia takutkan selama ini menjadi kenyataan.
Monster-monter itu akhirnya datang…
Tak pikir panjang, Kengo segera menutup tasnya dan berlari. Badannya memberontak hebat namun ia tidak peduli. Ia harus melakukannya, tak ada pilihan lain.
Bahkan meskipun ia harus mati.
Ia segera berlari ke belakang gedung sekolah, dimana ia bisa melihat para siswa yankee berlarian menghindari sesuatu. Dan apa yang ada di belakang mereka adalah sesosok monster yang mengerikan.
Sosok monster yang selalu menghantui pikiran Kengo.
Kengo menelas ludah, ia bisa merasakan tubuhnya gemetaran melihat sosok monster besar yang ada di depan matanya. Sosok yang memancarkan aura begitu kuat, aura yang menekan dan membunuh.
Namun, tak ada waktu untuk takut.
Tak ada!
Kengo segera membuka tasnya dan mengeluarkan beltnya. Ia memposisikan beltnya di depan pingganya dan dengan segera belt itu terpasang pada pinggangnya.
Monster itu hanya menatapnya diam, tak mengerti apa yang ia lakukan.
Kengo menekan dua swith masing-masing di kiri dan kanan beltnya, kemudian menekan tuas dan sebuah cahaya pun muncul bersama kepulan asap.
Sosoknya kini tergantikan oleh sosok berbaju armor putih dengan kepala berbentuk seperti roket.
"Kau siapa?" tanya monster itu, akhirnya bicara.
"Kamen Rider Fourze!" teriak Kengo sebelum akhirnya ia berlari, menerjang monster tersebut.
Sementara itu, Yuki yang mendapat sinyal bahaya dari robot kecil ciptaan Kengo, segera menghampiri lokasi kejadian dan terkejut melihat sosok monster dan Kengo yang sudah berubah kini sedang bertarung.
"Kengo-kun! Jangan!" pekik Yuki, begitu khawatir. Namun, suaranya tidak mencapai mereka yang sibuk menghajar satu sama lain.
Tubuh Yuki gemetaran, membayangkan apa yang harus ditanggung Kengo setelah ini. Ingin rasanya ia menangis, meronta, meminta temannya itu untuk berhenti. Namun, ia tidak bisa.
Yang dihadapi Kengo sekarang adalah alasan kenapa Kengo memaksakan diri melakukan semua ini.
Demi menghentikan monster itu. Zodiart, begitu Kengo menyebutnya. Monster yang terlahir karena kekuatan jahat dari cosmic power,sama dengan kekuatan yang digunakan Kengo untuk berubah hanya saja kekuatannya lebih bersih.
Namun, perubahan tersebut memiliki efek samping yang begitu hebat bagi Kengo.
"Ugh…," Kengo mengerang, tubuhnya mulai meronta kesakitan. Lengah, sang Zodiart segera menghantamnya keras, membantingnya ke tanah.
Yuki ingin menangis, melihat bagaimana Kengo menjadi bulan-bulanan, tak bisa melawan. Kengo yang kewelahan, segera menekan salah satu switch dan tangannya pun membentuk sebuah roket.
Dengan cepat ia memukul keras Zodiart tersebut dengan roket di tangannya itu, membuat sang Zodiart terbang menghantam dinding.
"AAARRGGHHH…," Kengo memekik kesakitan. Konsekuensinya terlalu besar, rasa sakit yang begitu hebat menyerang tubuhnya, memaksanya untuk menon-aktifkan perubahan, membuatnya tersungkur ke tanah.
Darah menyembur dari mulutnya dan ia terbatuk, napasnya begitu berat, tubuhnya begitu sakit hingga ia sulit bergerak.
"Kengo-kun!" pekik Yuki, apa yang ia takutkan terjadi. Ia segera berlari menghampiri Kengo yang tersungkur di tanah.
"Yuki! Lari!" pekik Kengo dengan suara parau, penglihatannya mulai kabur, namun ia tahu Yuki sedang berlari menghampirinya.
Ia mendengar suara-suara dan Kengo tahu bahwa sang Zodiart kembali bangkit, belum berhasil dikalahkan. Ia berusaha bangkit namun tubuhnya menolak, justru darah kembai mengalir keluar dari mulutnya. Kengo berusaha bergerak namun gagal, ia hanya mampu menggenggam kuat belt yang ada di tangannya, tak mampu melarikan diri.
"Sepertinya hanya sampai di sini ya," kata Zodiart itu, menghampiri Kengo yang tak bisa berbuat apa-apa.
"Jangan! Kengo-kun!" Yuki sampai di sampai Kengo, segera menarik pemuda itu.
"Bodoh, cepat lari!" pekik Kengo marah, namun juga tak berdaya. Yuki tak mampu menarik Kengo untuk melarikan diri, ia hanya mampu memeluk pemuda itu, berusaha melindunginya.
"Aku tidak akan lari!" katanya, setengah menangis, dengan erat memeluk Kengo yang sekarat. Kengo terkesima, namun ia kembali batuk darah, menodai seragam Yuki.
"Pemandangan yang indah…, sayangnya, kalian akan mati di sini," kata Zodiart tersebut, mengacungkan tangannya, siap menembak kedua pemuda dan pemudi di hadapannya.
Yuki menutup matanya, memeluk Kengo erat sementara Kengo menggeretakkan giginya, merasa tidak berdaya.
Kenapa meski ia sudah memiliki kekuatan ini, ia tidak bisa menggunakannya?
"Duak!"
Sebuah batu melayang dan menghantam kepala sang Zodiart, membuatnya berhenti. Ia menoleh, melihat siapa yang melakukannya. Kengo dan Yuki terbelalak, memandang siapa yang menghampiri mereka.
"Jadi kamu yang sudah mengusir semua yankee di sini? Mengganggu kesenanganku saja."
Kisaragi Gentaro berdiri tak jauh dari mereka, dengan tangan memainkan sebuah batu. Wajahnya nampak kesal, tapi tak ada ketakutan di sana.
Ia melirik melihat Kengo yang sekarat juga Yuki yang masih menangis, ia tidak mengerti keadaannya, tapi…
"Apa asiknya melawan seorang cewek cengeng dan cowok sekarat macam mereka? Ke sini kalau berani!" katanya, segera memasang kuda-kuda bertarung.
Kengo terkejut, menantang seorang monster dengan tangan kosong. Dia itu gila atau bodoh?
Sang Zodiart segera tersulut kemarahannya, ia menerjang Gentaro dengan cepat, namun sang yankee berhasil berkelit.
Kengo dan Yuki memandang pertarungan tersebut. Bagaimana serangan Gentaro tidak memberikan efek, namun sang Zodiart juga kesulitan untuk membalas serangan Gentaro.
Pemuda itu memiliki gerakan yang lincah, refleks yang bagus dan otot yang kuat. Dengan mudah ia berkelit dari serangan sang Zodiart dan melancarkan serangan demi serangan. Ia tahu serangannya tidak berguna, namun senyum terpulas di wajahnya karena ia tahu bahwa sang monster pun kesulitan menyerangnya.
Sang Zodiart merasakan amarahnya memuncak, ia segera meluncurkan tembakan, yang berhasil dihindari Gentaro namun masih terhempas karena ledakannya.
"Huh, mulai dari sini, tidak ada main-main lagi," kata Zodiart tersebut, tampak begitu marah.
Gentaro menatapnya tajam, ia segera bangkit dan menghapus debu di wajahnya.
"Gentaro-kun!"
Ia menoleh, melihat sebuah benda dilemparkan ke arahnya. Dengan refleks cepat, ia menangkapnya, memandangnya dengan bingung.
"Cepat pakai di pinggangmu, tekan semua switch dan tekan tuasnya!" pekik Yuki.
Kengo terperanjat dengan tindakan Yuki namun tidak bisa melawan, tidak dengan keadaan sekarat seperti sekarang.
Gentaro menatap Yuki dan Kengo kemudian sang Zodiart lalu ia tersenyum.
"Permainan yang aneh, tapi baiklah… akan kuikuti," katanya, ia segera melakukan apa yang dikatakan Yuki. Memakai belt, menekan semua switch dan menekan tuas.
"Henshin!"
Dan ia pun terkejut saat dirinya berubah menjadi Kamen Rider Fourze.
"Ok… ini memang benar-benar aneh," katanya, takjub sendiri dengan penampilannya sekarang.
"Jangan main-main kau!" teriak sang Zodiart, kesal. Ia kembali menerjang Gentaro, namun Gentaro berhasil menghindarinya, lebih cepat.
Gentaro sedikit terperanjat. Suit yang ia pakai memberikan tenaga, kecepatan dan refleks yang lebih baik. Ia kemudian tersenyum.
Hm… tidak buruk.
Kengo dan Yuki melihat bagaimana Gentaro yang sudah berubah bertarung dengan sang Zodiart. Tampak begitu mudah, dari gerakannya saja, Kengo dan Yuki tahu kalau Gentaro masih bermain-main. Namun, tetap saja sang Zodiart kesulitan menyerang Gentaro yang kini semakin kuat.
"Yuki! Tasku!" pekik Kengo, mengejutkan Yuki. Yuki mengangguk, ia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati menyandarkan Kengo pada pagar kemudian ia segera mengambil tas Kengo.
Begitu Kengo menerima tasnya yang juga berfungsi sebagai komputer, ia menganalisa data pertarungan Gentaro.
Tubuhnya masih sakit dan pandangannya berkunang-kunang, namun ia berhasil mendapatkan datanya.
"A… akselerasinya… 87%..," gumam Kengo terbata-bata. Yuki terkejut dan mengecek ulang data yang tampil pada monitor tersebut.
"Tidak mungkin! Kengo-kun saja hanya berhasil mencapai akselerasi 43%!" sahut Yuki.
Kengo menatap Gentaro yang tengah bertarung, memainkan sang Zodiart seperti mainan.
Ia tidak tahan melihatnya, membuatnya mual. Pemuda itu hanya menganggap pertarungan sebagai permainan, untuk bersenang-senang. Tidak ada maksud lain… tapi kenapa…
"Kisaragi!"
Gentaro menoleh pada Kengo yang masih tersandar pada pagar jauh darinya.
"Gunakan limit break! Tekan salah satu switch dan tekan tuasnya!" pekik Kengo, memberikan instruksi pada Gentaro.
Dalam suit, Gentaro memutar matanya. Tidak bisakah mereka melihat bahwa ia sedang bersenang-senang?
Namun, lawan ini memang membosankan, terlalu lemah.
Ia segera melakukan apa yang Kengo katakan padanya, menekan switch, menekan tuas.
"Limit Break!"
Dengan segera, ia mengirimkan serangan penuntas pada Zodiart tersebut, membuatnya meledak tak tersisa.
"Membosankan…," ujarnya, ia segera meng-undo henshin, kemudian melepaskan beltnya.
Ia memandang Kengo yang menatapnya dengan tajam juga Yuki yang melihatnya dengan pandangan sedikit ragu juga takut.
Pemuda sekarat dan gadis cengeng aneh itu…
Huh… ia tertawa kecil, Gentaro berbalik sambil menenteng belt itu di tangannya, membuat Kengo terkejut.
"Kisaragi! Kembalikan belt itu, itu terlalu berbahaya untukmu!" pekik Kengo, menghentikan langkah Gentaro.
Gentaro berputar, menatapnya, kemudian menatap belt di tangannya dan ia tersenyum.
"Tapi, aku bisa menggunakannya lebih baik daripada kau kan?" katanya, dengan nada sedikit merendahkan.
"Kau tidak mengerti! Cosmic power itu bisa menguras energi kehidupan bila digunakan berlebihan dan aku tidak sudi orang macam kau yang menggunakan belt itu!" seru Kengo dengan penuh amarah. Gentaro mendelikkan matanya kemudian tertawa.
Kengo dan Yuki terdiam mendengarkan Gentaro tertawa.
"Yah, anggap saja aku meminjam ini darimu, bila aku sudah puas akan kukembalikan. Selama itu, mungkin kau bisa menyembuhkan tubuhmu itu dulu… yang sudah sekarat," kata Gentaro, kemudian ia berbalik, membuat Yuki dan Gentaro terperanjat.
"Tunggu! Untuk apa kau bertarung? Untuk apa kau menggunakan belt itu?" pekik Kengo lagi, menghentikan langkah Gentaro.
Gentaro menoleh padanya dan tersenyum.
"Tentu saja, untuk bersenang-senang."
Kengo dan Yuki terdiam, memandang Gentaro berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Sial! Sial!" pekik Kengo, memukul tanah, melampiaskan kekesalannya. Namun, rasa sakit kembali menyerang tubuhnya, membuatnya mengerang kesakitan.
"Kengo-kun! Cepat, minum obatnya!" pekik Yuki, segera mengambil obat dari dalam tas Kengo dan membantu Kengo meminumnya.
Kengo menelas obat-obat tersebut dengan perasaan miris. Itu benar, tidak mungkin ia bertarung dengan suit Fourze dalam keadaan tubuh seperti ini. Tapi…
Bukan berarti ia rela orang macam Gentaro yang menggunakan suit itu menggantikan dirinya.
Tbc?
Aneh ya? Aneh… ehehe…
Kasih review dong, lanjut atau nggak nih…
