Catatan Author: Ini adalah story pertamaku di ini. Setelah ngebaca banyak story Naruto-DxD, dan juga suka sama kedua animenya, aku jadi gatahan banget untuk nulis ini, minna. Semoga storynya ngga terlalu buruk, ya.

Discaimer: Naruto dan Highschool DxD milik Masashi-san dan Ichiei-san.

Chapter 1 Start


Kushina Uzumaki bisa dibilang adalah orang yang tempramental. Sejak kecil, ia selalu memakai emosinya di tangannya. Mengekspresikan emosinya dengan bebas. Kushina sendiri masih tidak tahu kenapa banyak seseorang yang lebih memilih untuk menyembunyikan emosinya. Jadi, ketika ia mendengar kabar bahwa sahabatnya sedang mengandung anak lagi, dia sangat merasakan bahagia.

Wanita berambut berwarna darah itu kini sedang berjalan di koridor Istana Keluarga Sitri. Susah payah berjalan dengan perutnya yang mengandung bayi tersayangnya yang sudah 8 bulan. Seragam maid Keluarga Sitri-nya juga terlihat kekecilan karena perut besarnya.

Ya, namanya adalah Kushina Uzumaki. Ia adalah personal maid untuk Nyonya Sitri. Awalnya, Ia hanyalah yatim piatu dan manusia biasa. Karena suatu tragedi, ia bertemu dengan Nyonya dan Tuan Sitri. Mereka menolongnya, dan kemudian mereinkarnasi dirinya menjadi iblis, untuk menjadi maid Keluarga Nobel Sitri.

Saat-saat menjadi maid Keluarga Sitri mungkin bisa dibilang sebagai tahun-tahun yang paling bahagia menurutnya. Ia, yang sejak kecil menginkan sebuah keluarga, langsung mendapatkannya. Keluarga Sitri memperlakukan budak mereka dengan baik dan menganggap mereka seperti Keluarga. Karena itu, Kushina sangat bahagia disini.

Setelah bertahun-tahun bekerja, iapun dipromosi menjadi personal maid untuk Nyonya Sitri. Ia dan Nyonya Sitri bisa dibilang adalah sahabat. Walaupun posisi dirinya sebagai budak, Nyonya Sitri selalu insisten untuk memanggilnya seorang teman, bukan seorang master. Kushina terlalu senang dan tidak menolaknya.

Pada suatu saat, ia diberi tugas oleh Nyonya Sitri untuk ke Dunia Manusia. Disana, ia bertemu dengan seseorang bernama Minato Namikaze. Seorang pemimpin dari sebuah desa kecil. Mereka berdua langsung jatuh cinta satu sama lain.

Ia sudah memberitahukan ini pada Nyonya Sitri, sekaligus takut jika Nyonya Sitri memecatnya karena ia berhubungan dengan seorang manusia. Tetapi Nyonya Sitri hanya tersenyum, dan mengatakan kalau dia bisa merahasiakan hubungannya dari Keluarga Iblis lain, Keluarga Sitri tidak bermasalah dengan hubungan itu. Kushina sangat senang dengan perkataan itu, dan langsung saja memeluk Nyonya Sitri dengan bahagia, hampir lupa posisinya sebagai budak.

Setelah 3 tahun berhubungan, ia akhirnya memberitahu Minato statusnya sebagai Iblis. Minato saat itu terkejut, tapi tetap saja menerimanya dengan lapang dada, dan semuanya makin bahagia.

Semuanya berubah, ketika pada saat ia hamil. Ia sangat senang pada saat itu. Tapi, disaat itu juga, Minato meninggal karena sebuah kecelakaan. Kushina sangat sedih pada saat itu. Ia lalu berjanji, akan melindungi bayinya, karena bayinya adalah satu-satunya peninggalan Minato.

Membuka pintu di depannya, Kushina membersihkan otaknya dari ingatan masa lalu. Ini adalah hari bahagia untuk Keluarga Sitri, dan Kushina tidak ingin merusaknya dengan mood sedihnya.

Membuka pintunya, ia disambut dengan pandangan Nyonya Sitri yang sedang terbaring di kasurnya, dengan senyuman bahagia di wajahnya. Di sampingnya, ada Tuan Sitri dan Serafall-sama yang juga mempunyai senyuman bahagia.

Kushina membungkuk untuk memberi hormat, dan menyapa mereka bertiga dengan hormat.

"Master Cedric. Mistress Eleanor. Nona Serafall." Sapa Kushina dengan hormat.

Nyonya Sitri, atau yang biasa dipanggil oleh Eleanor oleh teman dekatnya, tersenyum ketika melihat kedatangan sahabatnya.

"Tidak usah terlalu formal seperti itu, Kushina-chan. Kau sudah kita anggap sebagai keluarga." Kata Eleanor. Kushina hanya menggaruk leher belakangnya dengan malu.

Sebelum Kushina bisa merespon, ia sudah ditabrak dengan sebuah blur hitam yang berteriak dengan kencang, "KUSHI-TAAANNN!"

Blur hitam itu adalah Serafall, yang kini memeluk Kushina sambil mengusap-ngusapkan kepalanya ke perut hamil Kushina. Kushina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah menjadi pelayan sebelum Nyonya Sitri sendiri sudah hamil. Karena itu, pada saat Serafall lahir, ia juga yang mengurusi Serafall ketika Nyonya dan Tuan Sitri sangat sibuk. Ia bisa dibilang sudah menjadi figur Tante untuk Serafall.

"Serafall-sama! Kau mengagetkanku!" Seru Kushina, sedikit kaget karena Serafall tiba-tiba memeluknya. Ia seharusnya tidak harus terlalu kaget, karena Serafall sudah 3 bulan tidak bertemu dengannya.

"Berhentilah untuk menjadi childish, Serafall. Sekarang kau sudah mempunyai responsibilitas sebagai Maou, dan juga sebagai kakak untuk adik kecilmu nanti. Dan juga, jangan mengagetkan Kushina seperti itu. Nanti kandungannya bisa bermasalah, kau tahu?" Tuan Sitri menasihati Serafall dari belakang, sambil terkekeh atas tindakan Serafall. Ia kemudian melihat kearah Kushina, "Dan Kushina, sudah kubilang dari dulu, jika kita bertiga saja, tidak usah terlalu formal. Kita sudah menganggapmu sebagai keluarga."

Kushina memberikan senyuman kepada Tuan Sitri, "Terimakasih, Cedric!" Kushina mensaluti.

"Mouu," Percakapan mereka terhenti ketika mendengar suara rengekan Serafall. "Pekerjaan Maou itu menyebalkan dan menyusahkan. Aku tidak ingin menjadi Maou~" Serafall merengek, merespon pada perkataan ayahnya tadi.

Eleanor tertawa kecil dari tempat tidurnya, "Kalau begitu, kenapa kamu tidak memberikan posisinya ke Grayfia-san ketika ia menantangmu dulu, Serafall?" Canda Eleanor. Serafall hanya menyilangkan tangannya di dadanya yang besar itu dan dengan 'huff', memalingkan wajahnya, mendapatkan tawa dari seisi ruangan lagi. Sebenarnya, hanya karena rivalitas Serafall dan Grayfia, yang berkompetisi untuk menjadi wanita terkuat dan tercantik di Underworld, Serafall tidak ingin memberi posisinya sebagai Leviathan kepada Grayfia. Jika wanita itu adalah orang lain, Serafall dengan senang memberikan titelnya. Sayangnya, saat ini hanya Grayfia yang bisa merivalkan kekuatannya.

"Ele-chan," Kushina memanggil. Ia melihat kearah Eleanor dengan mata senang, "Apa benar berita yang kudengar? Kau hamil lagi?" Tanya dengan bahagia. Ketika mendapatkan anggukan dari Eleanor, Kushina langsung saja berlari dan memeluk Eleanor dengan bahagia.

"Aaak! Aku sangat senang untukmu, Ele-chan! Kita sama-sama mengandung! Ooh, aku harap anak kita berdua bisa menjadi sahabat!" Seru Kushina dengan senang sekaligus excited.

Eleanor mengangguk, "Aku harap anakmu bisa menjadi figur kakak untuk Sona-chan, Kushina, melihat bahwa anakmu lebih tua beberapa bulan dariku." Ucapnya, "Aku tidak mungkin akan mempercayai Serafall untuk menjadi figur kakak yang strict dan selalu mendisiplinkan Sona-chan, bukan?" Canda Eleanor, mengabaikan teriakan protes dari Serafall, membuat seluruh ruangan kembali tertawa lagi.

"Aku mempunyai ide," Suara Cedric mendapatkan perhatian dari seluruh okupan di ruangan. "Bagaimana kalau anakmu, jika sudah besar nanti, menjadi personal butler untuk Sona-chan, Kushina? Dengan begitu, Sona bisa setidaknya mendapatkan teman laki-laki, dan anakmu bisa melindungi dan menginfluensikan Sona dengan baik. Kita tidak ingin putri keduaku pikirannya terinfluensikan oleh iblis-iblis lain, dan menjadi iblis nobel arrogant yang kita semua benci, bukan?" Ucapnya, memberi proposi pada Kushina.

Kushina hanya menatap Cedric sambil mengedipkan kedua matanya. "Eh?" Hanyalah satu-satunya kata yang bisa ia keluarkan.

Cedric menggaruk leher belakangnya sambil tersenyum malu, "Itupun kalau kau mau, Kushina. Kalau tidak…"

Cedric tidak dapat menyelesaikan perkataannya karena Kushina sudah melompat, dan menatapnya dengan mata penuh bintang.

"Tidak mau? Cedric, itu adalah ide yang sangat bagus! Aku menerima itu! Naruto-kun akan kupastikan akan selalu melindungi Sona-chan dan menjadi butler paling keren untuk Sona-chan, dattebane!" Seru Kushina dengan semangat. Ketika menyadari ia mengatakan apa dibagian akhir. Kushina menutup mulutnya dengan malu. Seluruh ruangan kembali tertawa atas selip Kushina.

"Naruto, Kushina? Itu nama yang sedikit aneh…" Gumam Eleanor dengan pandangan bingung.

"Bukankah itu artinya fishcake?" Serafall, yang daritadi diam, mencelutuk. "Bukankah itu sebuah topping ramen?" Tanya Serafall lagi.

Cedric tertawa kecil dari tempatnya, "Menamai anakmu dengan topping ramen, Kushina? Seharusnya aku tahu…" Gumamnya.

Wajah Kushina memerah karena malu. Akhirnya, ia pun berseru, "Artinya maelstrom, dattebane!" Seru Kushina, sedikit emosi, membuat semuanya kembali tertawa.

Eleanor mengelur perut hamilnya dengan senyuman di wajahnya, "Naruto dan Sona, eh? Aku harap mereka berdua tetap sahabat sampai mereka berdua besar…" Gumamnya berharap. Kushina dan Cedric mengangguk setuju.

Sementara itu, Serafall sedang berada di pojok, matanya mengeluarkan tangisan anime.

'Mouuu! Kenapa semuanya tiba-tiba melupakanku?!'


8 Tahun Kemudian….

"Master. Master. Master."

Aku, Sona Sitri, perlahan membuka mataku dari tidurku yang nyenyak. Aku sudah sangat familiar dengan suara yang mencoba membangunkanku dari tidur itu. Ketika dia membangunkanku, dia akan memanggilku tiga kali. Diam beberapa saat untuk memberiku waktu, dan kemudian mengucapkan 'Ini sudah pagi, Master'

"Ini sudah pagi, Master."

'Kau tentu tidak ingin kau telat untuk pergi ke Akademi, bukan?' Aku membayangkan kata dia selanjutnya, yang aku sudah yakin 100% akan diucapkan.

"Kau tentu tidak ingin kau telat untuk pergi ke Akademi, bukan?" dia mengucapkan. Tepat seperti yang aku kira. Aku sudah terlalu terbiasa dengan ini, aku bisa mengetahui jalan pikirannya.

'Aku sudah menyiapkan pakaianmu untuk pergi ke Akademi, dan air hangat juga sudah kusiapkan. Sarapan sudah ada di meja makan. Salad tanpa tomat, seperti biasa.' Aku kembali membatinkan kata yang akan ia katakan selanjutnya sambil membukakan mataku sepenuhnya. Dia memang sangat gampang diprediksi.

"Aku sudah menyiapkan pakaianmu untuk pergi ke Akademi, dan air hangat juga sudah kusiapkan. Sarapan sudah ada di meja makan. Salad tanpa tomat, seperti biasa." Dia mengucapkan, ketika melihat aku sudah membuka mataku sepenuhnya.

Akupun melihat dia. Dia memakai pakaian butler Keluarga Sitri, yaitu sebuah tuxedo yang rapi, sarung tangan berwarna putih, dan simbol Keluarga Sitri di kantung dadanya. Walaupun dia seorang butler, figurnya terlihat masih seumuran, kalau tidak, lebih tua sedikit dari Sona sendiri. Dia mempunyai rambut pirang spiky berantakan, kulit putih sedikit kecoklatan, dan yang paling menonjol dari wajahnya adalah tiga tanda lahir yang seperti kumis kucing di pipinya. Walaupun begitu, yang paling aku sukai adalah warna mata birunya yang sangat indah.

Dia adalah Naruto Uzumaki.

Dia adalah butler personalku. Sejak selama yang bisa kuingat, Naruto selalu bersama diriku. Kita bisa sangat dekat, mungkin lebih dekat daripada hubungan seorang kakak-adik. Walaupun dia adalah butlerku, Keluarga Sitri, sama seperti Keluarga Gremory, memperlakukan budak mereka seperti keluarga.

Tangan kecilku mencoba meraih kacamata yang ada di meja di sampingku. Aku jadi menyesal karena mengabaikan peringatan Naruto untuk tidak membaca buku terlalu dekat, dan jangan membaca buku saat gelap. Walaupun memakai kacamata menyebalkan, aku kini sudah mulai terbiasa.

Aku kemudian memakai kacamataku, dan melihat kearah Naruto, yang kini wajahnya sudah lebih jelas karena kacamataku.

"Naruto… sudah kubilang berapa kali? Kau boleh memanggilku Sona saja saat kita berdua." Aku mengingatkan. Walaupun Naruto adalah butlerku dan seharusnya memanggilku dengan respek, aku merasa aneh kalau sahabatku memanggilku dengan kata master.

Naruto memberiku senyuman karismatiknya. Membuat pipiku merona merah. Aku mulai mengutuk atas hormon perempuanku. Walaupun baru 8 tahun, aku sudah mengalami pubertas. Itu karena Iblis, sepertiku, memang melewati masa pubertas lebih dahulu daripada manusia. Iblis perempuan juga melewati pubertas lebih dahulu daripada Iblis laki-laki. Karena itu, Naruto, yang setengah manusia dan setengah Iblis, masih belum melewati masa pubertas dan masih innocent.

"Baiklah kalau kau insisten, Sona." Ucap Naruto, sambil memberikan senyumannya seperti biasa.

Aku menghela nafasku, dan mencoba berdiri dari kasur, dan melanjutkan hari seperti biasa, ketika sesuatu menarik perhatianku. Pakaian yang disiapkan Naruto bukanlah pakaian untuk sekolah. Itu hanyalah pakaian kasual untuk hari libur.

Pandangan bingungku mungkin terlihat oleh Naruto, karena ia menjawab pandangan bingungku, "Ah, hari ini adalah hari minggu, Sona. Apa kau tidak ingat?" Ucapnya sambil tertawa kecil, membuatku melebarkan mataku.

Sial! Ia sudah tahu, jika setiap dia membangunkanku, aku akan memikirkan perkataannya selanjutnya. Karena itu, dia bilang bahwa ini saatnya untuk pergi ke Akademi, untuk membuatku mengasumsikan bahwa ini adalah hari biasa, bukan hari libur.

Lagi-lagi, dia berhasil mengelabuiku dengan pikiran deseptifnya. Aku adalah seseorang yang selalu membanggakan kepintaranku. Aku bahkan pernah menang bermain catur melawan Serafall-onee-sama. Jadi, ini agak sedikit membuatku jengkel kalau Naruto selalu meng-outmanuver pikiranku.

Aku menghela nafasku. Aku seharusnya tidak terlalu terkejut. Naruto mempunyai pikiran yang brilliant. Skor kita saat ini ketika bermain catur adalah 10-7, Naruto yang memimpin.

Karena itu, salah satu tujuanku saat ini adalah mengalahkan dia dalam catur.

Aku memberi pandangan jengkel pada Naruto, "Suatu saat, aku akan mengalahkanmu, Naruto." Aku mengatakan. Tapi dia hanya memberikan pandangan menantang.

"Kita lihat saja, Sona." Ia terkekeh lagi, membuatku cemberut. Ia kemudian kembali menjadi sedikit serius lagi, "Oh, Sona?" Panggilnya. Aku menaikan alisku sambil menatapnya, pertanda aku mendengar panggilannya. "Hari ini Rias Gremory-sama akan mengunjungimu. Dia bilang, dan aku kutip, 'Aku ingin menunjukan Sona suatu hal yang paling menakjubkan yang pernah aku lihat!' Matanya sangat bersinar ketika mengucapkan itu." Naruto memberitahuku sambil terkekeh lagi.

Aku hanya memiringkan kepalaku dengan bingung. Rias ingin menunjukan dia sesuatu? Huh, itu memang tidak mengagetkan. Tetapi sepertinya Rias sangat ingin menunjukannya sesuatu kali ini. kita memang biasanya sering bermain, karena wilayah mereka dekat, dan mereka juga sering bertukar mainan. Jadi, ini tidak mengejutkanku sama sekali.

"Rias akan kesini? Hm… Baiklah, ada lagi, Naruto?" Tanyaku, melihat kepada Naruto.

Naruto kemudian memikirkan sesuatu, dan kemudian menaikan kedua bahunya dengan kasual. "Tidak ada yang lain setahuku."

Aku mengangguk, dan mulai ingin menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diriku dan bersiap untuk hari yang akan datang ketika suara Naruto memanggilku memberhentikan langkahku. Aku melihat kearah Naruto sambil memiringkan wajahku.

"Apa kau ingin aku menggosok punggungmu, Sona?" Tanyanya dengan polos. Wajahku langsung sangat memerah, membayangkan figurku yang tidak memakai pakaian sama sekali, dilihat oleh Naruto, dan kemudian Naruto menggosok punggungku. Melihat Naruto adalah orang yang bersih, dia pasti akan melepas seragam butlernya karena tidak ingin seragamnya basah, dan menggosok badanku dengan pakaian dalamnya saja.

Dengan wajah memerah, aku langsung saja berlari ke kamar mandi, sebelum berteriak "Tidak, terimakasih!" dengan sangat malu, meninggalkan Naruto yang menatap semuanya dengan kebingungan sambil memiringkan wajahnya.


Aku, Naruto Uzumaki menghela nafasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku dengan senyuman ketika melihat masterku langsung lari ke kamar mandi, seolah seperti malu. Kadang, aku juga bingung kenapa dia malu. Padahal, waktu kita masih 6 atau 5 tahun, kita selalu mandi bersama, dan menggosok punggung kita berdua secara bergantian.

Sepertinya, kini masterku sudah mulai dewasa dan ingin mandiri. Pikiran itu membuatku mengukirkan senyuman lucu. Walaupun masterku mencoba untuk menjadi mandiri, dia sendiri sama sekali tidak pernah memberikanku perintah untuk menstop mengurusinya.

Aku hanya menggelengkan kepalaku. Wanita memang sangat menyusahkan. Akupun keluar dari kamar masterku, yang dipenuhi dengan rak buku. Huh, masterku memang sangat kutu buku. Dulu, masterku selalu menyeretku untuk menemaninya membaca buku di perpustakaan.

Karena jengkel harus bulak-balik dari perpustakaan dan kamar masterku, yang cukup jauh, aku membuat request untuk Nyonya dan Tuan Sitri untuk memberikan rak buku di kamar Sona, agar Sona bisa membaca bukunya dengan lebih mudah.

Huh, aku masih bisa mengingat jelas sekali wajahnya yang bersinar pada saat itu. Ia langsung menjadi maniak buku. Akupun tidak mempunyai masalah dengan itu. Itu bagus untuk Sona. Sayangnya, Sona selalu membaca buku dalam gelap dan terlalu dekat, walaupun sudah kuperingatkan.

Menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghapus pikiranku, akupun berjalan untuk ke ruang makan untuk menyiapkan masterku sarapan. Sebenarnya, aku belum menyiapkan sarapan untuk masterku, tetapi aku selalu bilang begitu ketika masterku masih dalam keadaan tidur untuk membuatnya bangun.

Master sangat tidak suka untuk memakan makanan yang dingin. Karena itu, aku selalu mengatakan bahwa makanannya sudah disiapkan, agar dia bangun dan buru-buru memakan sarapannya sebelum makanannya terlalu dingin.

Aku berjalan di koridor istana Sitri yang sangat besar. Kedua tangan berada di belakangku, dan senyuman terukir di wajahku. Ibuku, sejak aku kecil, selalu mengajariku untuk menjadi perfek gentleman, dan selalu tersenyum pada siapapun.

Ketika berjalan, aku berpapasan dengan pembantu lain yang memberikanku senyuman. Pembantu di sini terlihat mempunyai fisik disekitar 20 tahunan, walaupun aku tahu padahal mereka sebenarnya berumur ratusan tahun.

Seperti Kaa-sama. Walaupun Ibu sebenarnya berumur ratusan tahun, fisiknya terlihat masih seperti wanita di awal 20 tahun. Kaa-san juga adalah Ketua Pembantu disini, dia yang mengorganisir pekerjaan para maid dan butler masing-masing.

Aku akhirnya sampai ke ruang makan, dimana aku disambut oleh pandangan Ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk Tuan dan Nyonya Sitri. Aku tidak melihat Serafall-sama dimana-mana. Aku hanya menduga mungkin dia harus berangkat pagi karena sesuatu.

Aku membungkukan badanku untuk menyambut mereka dengan hormat.

"Kaa-sama. Nyonya Eleanor. Tuan Cedric." Aku menyambut mereka dengan hormat.

Mereka mengangguk kepadaku dengan senyuman di wajah mereka, kecuali Nyonya Eleanor yang memberiku pandangan jengkel, membuatku terkekeh. Eleanor-sama selalu insisten untuk mencoba membuatku memanggilnya Obaa-chan, atau setidaknya, hanya Eleanor. Usahanya selalu tidak berhasil, tentu saja. Aku adalah orang yang sedikit keras kepala.

Akupun langsung permisi ke dapur untuk membuatkan sarapan untuk masterku. Walaupun disini kita mempunyai koki, masterku entah kenapa selalu seperti tidak menyukai makanan dari sang koki, dan lebih memilih makananku. Melihat bahwa sejak kecil aku sudah dilatih untuk menjadi butler untuk masterku, aku tentu saja ahli dalam memasak, walaupun aku masih 8 tahun.

Selama 30 menit, aku di dapur, intent untuk memasakan masterku makanan favoritnya. Sup krim jagung. Itu adalah makanan favorit masterku. Biasanya aku menyiapkan masterku salad, tapi, melihat bahwa akhir-akhir ini masterku sangat bekerja keras di Akademi untuk mendapatkan posisi pertama, mungkin aku akan membuat ini sebagai hadiah atas kerja kerasnya.

Setelah 20 menit memasak, dibantu oleh koki lain yang lebih berpengalaman dariku, akhirnya masakanku selesai. Aku tersenyum atas masakanku. Menempatkannya di nampan, bersama dengan segelas susu, akupun mengangkat nampannya, dan membawanya ke meja makan.

Ketika di meja makan, aku melihat wajah masterku bersinar ketika mencium bau makanannya. Aku tersenyum kepada diriku sendiri. Entah kenapa, aku mendapatkan sensasi hangat ini di dadaku ketika aku melihat wajah masterku bersinar seperti itu. Mungkin itu adalah kepuasan pada diriku sendiri karena bisa memuaskan kepenuhan masterku.

….Um, entah kenapa aku agak merasa aneh dengan perkataan terakhir itu. Tetapi aku hanya menaikan bahuku tak perduli, dan membawa makanannya ke ke meja makan.

Aku taruh sup jagung itu di depan masterku, yang melihat kearah sup krim jagung itu dengan wajah yang sangat lapar. Akupun hanya terkekeh melihatnya.

"Segelas susu dan sup krim jagung untuk Master Sona." Aku mengucapkan, seolah aku adalah waiter di restoran bintang 5. Dari ujung mataku, aku bisa melihat, Kaa-sama yang tadi sedang mengobrol dengan Eleanor-sama, tersenyum puas atas kerja kerasku. Aku tersenyum karena bisa membuat Kaa-sama bangga.

Setelah selesai, akupun berdiri di samping masterku seperti biasa ketika ia sarapan. Melihat dirinya makan dengan tenang. Aku selalu makan setelah masterku sudah makan, dan aku juga selalu makan ketika masterku tidak membutuhkan apa-apa. Aku selalu mementingkan kebutuhan master terlebih dahulu daripada kebutuhanku.

Tiba-tiba saja, aku merasakan master mendorong makanannya, dan melihat kearahku. Aku menaikan alisnya. Apa ia tidak suka? Apa aku membuat kesalahan? Akupun menjadi paranoid. Aku tidak pernah membuat masterku kecewa, dan aku tidak intent untuk melakukannya sekarang.

Ketika aku ingin membuka mulutku, master sudah mengalahkanku. Dengan wajah memerah, ia berseru, "Makanlah denganku!"

Aku, dan juga seluruh okupan di ruangan hanya bisa berkedip sambil mengutarakan, "Eh?" karena bingung, aku tidak melihat Kaa-sama dan Nyonya Eleanor memberi pandangan satu sama lain, dan seringaian terlihat di wajah mereka. Begitu juga aku tidak mendengar helaan nafas 'troublesome' dari Tuan Cedric.

"Bisa kau ulangi, master?" Aku mencoba mendengarnya lagi. Itu tidak pantas untuk seorang budak sarapan bersama masternya.

"Aku bilang," Master kembali mengulangi, "Makanlah denganku. Kau selalu mementingkan diriku dulu daripada dirimu sendiri, Naruto.." Jelas master. Entah kenapa, wajah master kemudian memerah. "Ja-jangan salah sangka! A-aku… aku hanya tidak ingin butlerku sakit dan tidak bisa mengurusiku! I-itu saja!" Dan kemudian, master memalingkan wajahnya dariku, membuatku tidak bisa melihat wajah memerahnya yang sangat lucu itu.

Ketika mendengar itu, aku melihat kearah Kaa-sama, Tuan Cedric, dan Nyonya Eleanor, dengan diam mencoba menanyakan saran. Kaa-sama memberikanku kedipan satu mata, sementara Tuan dan Nyonya Sitri tersenyum dan mengangguk, seolah-olah menyetujui Sona-sama dan menyemangatiku.

Akupun membiarkan senyuman terukir di wajahku. Walaupun dengan kata-kata seperti itu, aku tahu sebenarnya master memang khawatir padaku. Aku selalu ingin membuat master merasa puas, sampai aku lupa kebutuhan diriku sendiri.

Aku biarkan diriku terjatuh di bangku di sebelah masterku, dan mulai menyeret kursiku untuk mendekati kursinya, agar kita bisa sarapan bersama. Aku tersenyum, dan kemudian mengambil sendok dari tangan masterku, dan mengambil sesendok krim sup.

Akupun menodongkan sendoknya ke mulut masterku. Aku tersenyum ketika melihat pandangan realisasi di mata masterku, dan betapa merahnya pipinya. Ternyata, jika master malu, wajahnya memerah dan ia menjadi sangat lucu. Lama-lama, mungkin aku akan membuat kebiasaan untuk menggoda masterku hanya untuk melihat wajah malunya yang sangat lucu.

"Jika kita makan bersama, sebagai butler, aku harus menyuapimu, bukan, master?" Aku menjawab pertanyaan terdiam yang terlihat di wajah masterku. Masterku hanya bisa mengangguk diam, dan membiarkanku menyuapinya dengan wajahnya yang masih merah.

Karena sendoknya hanya ada satu, dan terlalu merepotkan untuk mengambil sendok lagi, akhirnya kami memakan hanya dengan satu sendok. Menyuapi satu sama lain sambil bercanda. Seperti saat kita masih sangat kecil dan tidak mengerti pekerjaan kita masing-masing.

Masterku, sebagai putri dari Keluarga Sitri.

Dan aku, sebagai personal butlernya yang harus mensupportnya di segala keputusan yang dia buat.


Ketika suara wagon yang berhenti terdengar, aku, Kaa-sama dan Keluarga Sitri berjalan ke gerbang untuk menyambut sang tamu, Keluarga Gremory yang mengunjung kesini. Keluarga Gremory dan Keluarga Sitri memang selalu mengunjungi satu sama lain setiap minggu, menunjukan hubungan dekat kedua keluarga.

Aku sendiri, sebagai personal butler untuk master, aku juga selalu ikut master untuk mengunjungi Keluarga Gremory. Jadi, aku tidak asing lagi pada Keluarga Gremory.

Keluarga Gremory mempunyai satu pewaris, yaitu adalah Rias Gremory. Melihat bahwa Sirzechs Gremory, anak pertama Tuan dan Nyonya Gremory, adalah seorang Maou dan mengangkat nama Lucifer, ia tidak bisa dijadikan pewaris Keluarga Gremory, karena itu, Rias-lah yang menjadi pewaris. Sama seperti master sendiri, yang menjadi pewaris Keluarga Sitri karena Serafall-sama mengambil nama Leviathan untuk menjadi Maou.

Kita melihat Keluarga Gremory keluar dari wagon mereka. Yang pertama adalah Putri Rias dengan wajah excited terlihat di wajahnya, membuat aku terkekeh. Rias tidak mempunyai teman main di rumahnya, karena itu, Rias selalu semangat ketika Sona mengunjunginya, atau ia mengunjungi Sona.

"SONAA!"

Ketika keluar Rias langsung saja berlari kearah master dengan kecepatan yang sangat cepat. Melihat Rias akan memeluknya dan menabraknya, master melihatku, yang berada di sampingnya dengan panik di wajahnya. Master tidak menyukai kontak fisikal, entah itu dalam pelukan atau hanya berpegangan tangan biasa, jadi terlihat sekali mengapa ia panik.

Aku tidak bisa menjawabnya, karena Rias langsung saja memeluk Sona dan menabraknya, membuat mereka berdua jatuh bersamaan. Aku melihat mereka berdua sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Aku akan menunjukan sesuatu paling menakjubkan yang pernah aku lihat, Sona! Pertama, ayo kita ke kamarmu!" Seru Rias dengan semangat. Sona-sama yang masih merintih kesakitan langsung saja diseret oleh Rias ke istana, dan pastinya ke kamar Sona-sama.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah Rias.

"Ah, maafkan aku atas tingkah Rias, Cedric, Eleanor. Dia sangat semangat sekali untuk mengunjungi Sona," Aku mendengar Tuan Gremory berkata ketika dia dan Nyonya Gremory turun dari wagon mereka. Aku memerhatikan, sepertinya Sirzechs Lucifer dan istrinya, Grayfia Lucifuge tidak datang.

Aku dan Kaa-sama membungkuk hormat ketika melihat mereka berdua.

"Gremory-sama." Kami berdua menyapa.

Tuan Gremory dan Nyonya Gremory mengangguk kepada kami berdua dengan senyuman. Dengan itu, Cedric-sama dan Eleanor-sama mengobrol dengan Tuan dan Nyonya Gremory sambil berjalan masuk ke istana Sitri.

Aku menengok kearah Kaa-sama. Hanya tinggal kita berdua yang masih berada di luar.

"Kaa-sama," Aku memanggil. Kaa-sama melihat kearahku dengan senyuman di wajahnya. "Apa kau tahu dimana Nona Serafall?" Tanyaku, hanya penasaran.

Kaa-sama menggelengkan kepalanya. "Sayangnya tidak." Kaa-samaku yang mempunyai rambut seperti seorang Gremory itu mengucapkan. Dia kemudian tersenyum padaku, "Aku akan menyiapkan teh untuk Tuan Gremory. Sebaiknya kau menawarkan Putri Sona dan Rias minum juga, Naruto." Kaa-sama menyuruhku. Aku hanya mengangguk.

Akupun berjalan kearah kamar master yang berada di lantai dua istana ini. Walaupun istana ini besar, istana ini hanya mempunyai dua lantai. Walaupun begitu, istana ini luas karena lebarnya. Di perjalananku ke kamar master, aku melewati Tuan dan Nyonya Gremory dan Sitri. Aku memberi bungkukan hormat kepada mereka, sebelum aku kembali melanjutkan berjalan kearah kamar Sona-sama.

Ketika berada di depan pintu kamar master, aku mendengar suara dari dalam. Sepertinya Rias dan master sedang menonton suatu film dengan suara yang besar. Akupun menggelengkan kepalaku dan mengetuk pintu kamar master.

"Master?"

Aku tidak mendengarkan suara dari dalam. Sepertinya mereka berdua melakukan hal yang snagat serius di dalam, hingga panggilanku tidak terdengar. Melihat pendengaran iblis sangat tajam, mereka memang sangat serius melakukan sesuatu hingga tidak mendengarkanku, atau memang mengabaikan panggilanku.

Akupun mengetuk pintunya lagi. Kali ini sedikit lebih keras.

"Master? Apa kau ada di dalam?" Ketika aku masih tidak mendengar jawaban, aku semakin khawatir. "Aku akan membuka pintunya." Aku berkata. Ketika membuka pintu itu, aku melihat kamarnya gelap. Hanya ada cahaya TV yang menerangkan ruangan.

Di depan TV, ada dua figur. Yaitu master Sona dan Rias. Mereka menatap ke arah TV yang menayangkan sebuah animasi dengan serius. Dua popcorn ada di tangan mereka, entah dapat darimana.

Aku memiringkan kepalaku, dan menyalakan lampunya. Sudah beberapa kali aku peringatkan pada Sona-sama, bahwa membaca buku, atau menonton dalam gelap sangat tidak bagus untuk matanya.

Ketika aku menyalakan lampunya, sepertinya mereka berdua baru menyadari keberadaanku karena mereka langsung saja melompat dan menghadap kearahku.

Aku mengeluarkan helaan nafas 'troublesome', "Master, sudah kubilang berapa kali? Menonton dalam gelap tidak bagus untuk matamu." Aku menasihatinya lagi.

Sebelum master menjawab, Rias sudah mengalahkannya.

"Naruto-kun!" Seru Rias. Aku hanya memiringkan kepalaku. "Kau mengagetkan kami!" Putri dari Keluarga Gremory itu melanjutkan.

Aku membungkukan badanku, merasa bersalah. Lagipula, aku asal masuk ke dalam kamar masterku, dan mengagetkan dua Putri Keluarga Iblis salah satu dari 72 Pilar.

"Maafkan aku, master, Rias-sama." Aku memintaa maaf.

Master mengangguk. "Permintaan maaf diterima." Ucapnya. Aku tersenyum dan kembali menegakan diriku.

"Lagipula, apa yang kau butuhkan, Naruto-kun?" Rias bertanya lagi.

"Maaf untuk menganggu kalian. Tetapi, apa kalian ingin minum?" Aku bertanya.

Rias menggelengkan kepalanya, tangannya melambai. "Tidak usah, Naruto-kun." Rias berkata. "Dan lagipula, kau bisa bergabung dengan kita!" dia melanjutkan dengan semangat.

Aku memiringkan kepalaku. "Bergabung bersama kalian?" Aku bertanya dengan kebingungan.

Rias mengangguk dengan senyuman. Dia kemudian melihat kearah master dengan seringaian, "Lagipula, aku yakin Sona akan sangat senang jika butler kesayangannya bergabung!" Seru Rias lagi. Aku menaikan alisku saja.

Wajah master kini sangat memerah ketika Rias mengucapkan aku adalah butler kesayangannya. Aku memiringkan kepalaku bingung. Kenapa wajah master memerah? Apa dia malu? Atau sakit? Tadi pagi juga, wajah master juga memerah ketika aku ingin membantunya menggosok punggungnya saat master mandi. Hm… aneh.

"Ti-tidak!" Seru master dengan wajah memerah ke Rias yang hanya membalasnya dengan seringaian saja.

"Jadi, bagaimana, Naruto-kun?" Tanya Rias. Pandangan berharap terlihat di wajahnya.

Aku memiringkan kepalaku bingung, "Lagipula… bergabung dengan kalian dalam rangka apa?" Aku bertanya.

"Menonton anime, tentu saja!" Seru Rias dengan semangat.

Aku semakin kebingungan. Anime? Apa itu? Apa itu adalah sub-type dari kartun?

Rias sepertinya membaca pandangan bingungku karena ia bertanya padaku.

"Apa kau tidak mengetahui anime, Naruto-kun?" Dia bertanya. Aku perlahan menggelengkan kepalaku. Ekspresi Rias kemudian berganti dengan ekspresi shock tidak percaya. "Demi empat maou! Bagaimana bisa kau dan Sona tidak mengetahui anime?! Ini harus kuperbaiki!"

Tanpa mengatakan apapun, Rias menarikku dan Sona-sama. Rias kemudian memasukan sebuah kaset DVD kedalam DVD. Karena ini terlihat seperti sebuah perintah, dan karena aku seorang pelayan, akupun terpaksa harus mematuhi apa yang Rias mau. Lagipula, aku juga penasaran. Sepertinya master tadi juga terlihat menyukai 'anime' ini.

Selama beberapa jam, kami menonton 6 episode anime ini. Anime ini berlatar belakang di sebuah kerajaan, dan memfokuskan kepada kisah cinta terlarang antara sang pelayan dan sang putri, yang mencintai satu sama lain. Di setiap episode menceritakan kisah bagaimana mereka mencoba menyembunyikan hubungan mereka, dan melewati setiap rintangan yang menguji hubungan mereka.

Akupun cukup tertarik dengan ceritanya sendiri, sampai-sampai aku juga ikutan memakan popcorn yang dibawa Rias dan master tadi.

Dan juga, aku masih tidak tahu kenapa selama kita menonton, master selalu diam-diam melihat kearahku ketika ia kira aku tidak melihat, dan wajahnya selalu memerah ketika melihatku. Dia juga selalu mengalihkan perhatiannya langsung ketika aku melihat kearahnya.

Hm, aneh..


Aku, Sirzechs Lucifer, dengan helaan nafas, membaca berkas-berkas di depanku dengan pandangan kesal. Aku, sebagai Lucifer, pemimpin dari Maou, mendapatkan kerjaan yang paling banyak daripada Ajuka, Serafall dan Falbium.

Aku melihat kearah istriku, Grayfia, yang berdiri seperti patung di depan pintu keluar. Eskpresi yang sama sejak berjam-jam yang lalu terlihat diwajahnya. Aku memandang kearah istriku, mencoba memberinya pandnagan puppy-dog yang sangat lucu itu.

Aku menghela nafasku menyerah ketika dia hanya melihatku dengan pandangan yang lebih strict itu. Aku kembali berpikir kenapa aku menikahi wanita seperti itu. Akupun mengutuk fetishku pada wanita yangs serius dan kostum maid itu. Entah kenapa, aku selalu suka pada wnaita yang serius. Dan sekarang, sepertinya fetish itu juga yang selalu membuatku sial.

Hari ini, pekerjaanku menjadi lebih sibuk karena kita, ―4 Maou― mendapatkan kabar tentang Faksi Old Satan. Dan tentunya, apapun yang berhubungan dengan faksi itu pasti selalu tidak baik. Terkutuklah mereka karena membuat pekerjaanku semakin sibuk.

Kali ini, kita mendapat kabar tentang berita asasinasi ke-4 Maou. Kemarin, kita berhasil menangkap seseorang dari Keluarga Diaboulus, Keluarga yang mensupport fraksi Old Satan, ketika orang itu sedang mencoba menginfiltrasi markas 4 Maou.

Kita mengintrogasinya, dan mendapat sebuah kabar bahwa ada seseorang yang akan mengasasinasi 4 Maou. Tetapi, hanya itu yang dia bilang, walaupun sudah disiksa, dia tetap keras kepala tidak ingin memberikan informasi lebih.

Menurutku personal, itu adalah informasi yang salah. Orang mana yang ingin mencoba mengasasinasi 4 Iblis terkuat?

Pikiranku terinterupsi ketika aku mendengar suara ketukan. Aku melihat kearah pintu, bersyukur pada siapapun itu yang membuat aku bisa istirahat sebentar dari berkas-berkas sialan ini.

Grayfia sepertinya terlihat jengkel walaupun posturnya tidak berubah. Aku sudah mengenal istriku sendiri dengan baik untuk tahu bahwa dia jengkel. Akupun menyeringai penuh kemenangan kepadanya, yang membuat dia tambah jengkel lagi.

Ketika Grayfia membuka pintunya, seseorang itu langsung saja lari kearahku, melewati Grayfia. Wajah panik terlihat di wajahnya.

"Tuan Lucifer! Tuan Lucifer!" Teriak orang itu. Dia adalah Alderdech Uromus. Komander Pemimpin T&I yang mengintrogasi orang yang memberi info tadi. Sepertinya dia berhasil mendapat info yang baru. Tetapi, sepertinya ini bukan info yang bagus.

Aku melihat kearah dia dengan tenang, dan menampilkan ekspresi seriusku yang jarang aku gunakan. Tetapi aku tahu situasi ini sepertinya sangat serius, dilihat dari ekspresi Alderdech. "Tenang, Alder. Tarik nafas, dan kemudian beritahu aku apa yang terjadi." Aku mengucapkan.

Alderdech menarik nafasnya, dan mengeluarkannya, mencoba untuk tenang. Dia kemudian melihat kearahku, masih dengan panik.

"Tuan Lucifer! Girgio Diaboulus meledakan dirinya sendiri dengan suatu cara yang masih belum kita ketahui." Dia mengucapkan. Aku membuka mataku dengan lebar karena shock. Ekspresi terkejut terlihat di wajahku. "Tetapi, itu tidak penting!" Alderdech kembali melanjutkan. "Yang terpenting adalah, sebelum dia meledak, dia mengatakan hal terakhir. Dia menyeringai dan kemudian mengatakan bahwa ketika dirinya meledak, asasin yang sudah ditugaskan oleh atasan sudah membunuh Rias Gremory dan Sona Sitri!" Teriaknya.

Mataku terbuka dengan sangat lebar. Ekspresi tidak percaya tampil di wajahku, dan juga Grayfia. Hari ini adalah dimana keluargaku mengunjungi Keluarga Sitri, dan sepertinya, asasin itu tahu tentang kunjungan itu.

Mencoba menenangkan diriku sendiri, aku melihat ke Alderdech dan memberinya komando, "Panggil Serafall, Ajuka dan juga Falbium. Beritahu mereka berita itu, dan suruh mereka untuk ke Istana sitri secepatnya!" Aku memberi perintah, dan kemudian membuat Lingkaran Sihir untuk menteleportasiku ke Istana Sitri. Grayfia juga melakukan hal yang sama.

"Yes, sir!" Adalah apa yang terakhir kudengar sebelum tubuhku diselimuti oleh cahaya, dan diteleportasi ke Istana Sitri.


"Rias… aku yakin kalau ini bukanlah ide yang bagus."

Aku, Naruto Uzumaki, mendengar masterku berkata dengan nada takut. Dia memeluk erat tangan kananku sambil berjalan mengikuti Rias-sama yang berada di depan kita. Sungguh lucu, master selalu tidak suka dengan kontak fisikal, tetapi jika denganku, master tidak bermasalah. Mungkin itu karena kita sudah bersama-sama sejak kecil.

Kami ―aku, master dan Rias-sama― sedang berada berada di hutan area Sitri. Tentu, 3 anak kecil berumur 8 tahun berjalan-jalan di hutan adalah sesuatu yang bodoh. Salahkan Rias-sama, yang ketika habis menonton anime, karena bosan, menyeret aku dan master untuk menemani dia berjalan-jalan.

"Mou~ Sona! Apa kau tidak pernah penasaran dengan apa yang ada di hutan ini? Dengan otak sepertimu, kau pasti selalu ingin melihat yang asli daripada melihat apa yang ada di buku, bukan?" Princess dari Keluarga Gremory itu berkata, membuatku menghela nafasku lagi.

"Tentu saja aku penasaran! Tapi, kita butuh supervisi dari orang dewasa juga, kau tahu!" Masterku membalas, dengan nada takutnya. Tentu saja dia takut, karena kami selama hampir satu jam hanya menemui keheningan, dan sepertinya berjalan berputar-purat di hutan. Aku juga mulai takut sekarang, tapi demi masterku, aku sembunyikan rasa takut itu.

Rias-sama menatap kearah master dengan ekspresi bingung. Dia memiringkan kepalanya dan berkata, "Supervisi?" Dia bertanya, tidak mengerti apa itu kata 'supervisi.'

"Supervisi. Artinya 'pengawasan', Rias-sama." Aku menjelaskan kepada Rias-sama. Rias-sama mengangguk mengerti, dan kemudian mengabaikan protes master lagi.

Aku melihat kearah master yang memeluk tanganku dengan erat-erat. Aku baru sadar bahwa sekarang, aku sedikit lebih tinggi daripada master. Master hanya setinggi leherku. Padahal dulu, kita berdua mempunyai tinggi yang sama.

Masterku, yang merasakan bahwa dia ditatap, melihat kearahku. Rona merah langsung saja menghiasi kedua pipinya. Aku tersenyum, mencoba menenangkan masterku.

"Tenang saja, Master. Jika terjadi apa-apa… aku akan melindungimu. Itu adalah janji."

Aku memberinya senyuman. Master hanya melihat kearahku, dan tersenyum. Wajahnya kembali memerah, membuatku sedikit khawatir apakah dia sehat atau tidak.

"Terimakasih, Naruto…"

Aku mendengar master menggumam. Aku tersenyum saja.

Sudah 30 menit lagi kami berada di hutan ini, dan kami masih tidak melihat jalan keluar. Rias-sama, yang daritadai insisten bahwa dia tahu jalan keluarnya, terlihat juga sudah mulai ketakutan. Masterku juga semakin memegang tanganku dengan erat.

Aku, walaupun juga merasa takut, tapi sebagai laki-laki di grup ini dan sebagai butler yang dipercayai oleh master, aku harus membuat diriku terlihat tangguh. Aku sejak kecil selalu berlatih menjadi butler, sekaligus dalam berkelahi jika aku harus melindungi masterku jika dia dalam bahaya.

'Krrsssk'

Suara semak-semak membuat kita bertiga menjadi siaga dan melihat kearah sumber suara, yaitu semak-semak yang berada di belakang kita.

"Siapa disana?!" Aku berteriak. Melihat kearah semak-semak tadi. Rias-sama kini sudah berada di belakangku karena ketakutan, dan masterku juga memeluk tanganku lebih erat.

Kita menunggu beberapa saat. Selama beberapa detik, tidak ada yang menjawab. Aku mulai merasa khawatir, tapi kita menjadi merasa lega ketika hanya melihat sebuah tikus yang keluar dari sana.

Akupun mulai merasa aneh. Tikus… apakah yang keluar tadi adalah tikus? Bukannya kita berada di hutan? Tikus menyukai tempat yang kotor, seperti saluran air, bukan tempat tropis seperti hutan. Jadi… apa maksud tikus itu?

Aku melebarkan mataku ketika menyadari sesuatu, tepat ketika kita mendengar sebuah suara di belakang kita.

"Menunduk!" Teriakku dengan panik, dan dengan paksa menarik master dan Rias-sama untuk menunduk.

Sepertinya kita tepat waktu, karena aku melihat 3 pisau kecil terlihat meluncur diatas kami dan menancap pohon daripada kami.

Pengalih perhatian. Itulah guna tikus itu. Dengan menaruh suatu binatang, dan kemudian membuat berisik, kami akan mengalihkan perhatian kami ke binatang itu. Orang itu, melihat bahwa perhatian kita teralih, bisa membunuh kita dengan cepat dari belakang.

Aku melihat kearah pisau kecil yang dilempar orang itu. Pisau itu kecil dan sangat tajam. Dari bentuknya, itu didesain agar cepat melesat dan mudah terbawah angin. Pisau itu adalah pisau yang biasa digunakan oleh asasin!

Aku melebarkan mataku dengan shock ketika menyadarinya, tepat disaat sesosok figur berjubah keluar dari semak-semak.

"Wah, wah, wah… Lihat siapa disini. Adik dari Lucifer dan Leviathan sendiri. Oh, dan salah satu pelayan mereka. Apa yang kalian bertiga lakukan disini, hm? Apa kalian tidak tahu daerah ini berbahaya untuk anak kecil lucu seperti kalian?" Sosok itu berbicara dengan nada mengejek.

Akupun membuat postur untuk melindungi Rias-sama dan Sona-sama. Aku harus melindungi mereka. Mereka adalah adik dari Lucifer dan Leviathan. Tujuan utamaku saat ini adalah untuk melindungi mereka.

"Asasin?" Aku bertanya padanya.

Sosok tidak terlihat kaget ketika aku tahu idenititasnya, karena dia hanya menaikan alisnya, dan melebarkan seringaiannya itu.

"Untuk seorang bocah berumur 8 tahun, kau cukup pintar dalam mengobservasi." Sosok itu berkata.

Sebuah pisau kecil kemudian keluar dari lengan bajunya dengan suara kling, membuat aku semakin siaga. Aku bisa merasakan Sona-sama dan Rias-sama semakin ketakutan. Aku juga merasa takut, tetapi aku tidak bisa memperlihatkannya. Walaupun aku sudah dilatih dari kecil, aku tetap tidak sejajar dengan seorang Asasin yang bisa menginfiltrasi Area Sitri.

"Padahal, rencana awalku adalah untuk membunuh penjaga, masuk ke dalam istana Sitri, dan membunuh kalian. Tetapi… sepertinya keberuntungan ada di pihakku ketika melihat dua orang yang kuincar keluar dari Istana dan menuju ke arah hutan."

Aku mendengar dia berkata dengan suara beratnya itu. Aku tidak bisa melihat figurnya karena wajahnya tertutup oleh tudung jaket yang ia pakai. Bahu kirinya dinaikan sedikit. Berarti ia sering menggunakan pistol.

Biasanya, jika seseorang yang sudah biasa memakai pistol, mereka akan menaikan bahu mereka karena berat pistol itu. Melihat bahwa bahu kirinya naik, terlihat bahwa dia sering mengantungi pistol di bagian kirinya. Itu juga pertanda bahwa ia pengguna tangan kanan, karena jika pistolnya dikantungi di kiri, dia akan mengambilnya dengan kanan. Akan sangat sulit untuk mengambilnya dengan tangan kiri.

Tidak ada Iblis yang memakai pistol, setahuku. Satu-satunya dari tiga fraksi yang anggotanya memakai pistol adalah…. Exorcist. Tetapi, aku tidak bisa terlalu yakin, karena bisa saja ada Iblis lain yang memakai pistol.

Aku melihat kearah Sona-sama dan Rias-sama yang berada di belakangku dengan ketakutan.

"Aku akan mengalihkan perhatiannya. Disaat kalian melihat celah, kalian lari. Mengerti?" Aku berbisik pada mereka berdua.

Rias-sama mengangguk, sementara Sona-sama melihat kearahku dengan kaget sekaligus shock. Dia tidak menjawab, dan hanya memegangku dengan erat, seolah tidak mau pergi dariku. Aku hanya menghela nafasku, dan melihat kearah Rias-sama dengan pandangan desperasi. Rias-sama mengangguk mengerti pada maksudku.

Aku melihat kearah Asasin itu yang kini memandang kita dengan mengejek. Tidak menyerang kita. Seolah ingin melihat rencana kita berjalan dan ingin tahu apa yang akan terjadi.

"Apa rencana kecil kalian sudah selesai? Aku sudah bosan menunggu~ Tetapi, tidak apa. Aku akan memberikan kalian sebuah harapan kecil bahwa kalian bisa keluar dari sini dengan selamat. Itu akan semakin menyenangkan untuk menghancurkan harapan kalian~" Asasin itu mengejek dan mengeluarkan tawa.

Aku mengambil sebuah pisau kecil dari kantungku. Pisau itu adalah pemberian dari ibuku. Menurut ibuku, pisau ini milik ayahku, yang tidak pernah kuketahui, karena Kaa-sama tidak pernah menceritakannya. Yang hanya kuketahui adalah, ayahku adalah seorang manusia.

Aku kemudian melempar pisau kecil itu kearah asasin itu dengan akurasi yang tepat. Sosok itu masih tersenyum mengejek, dan dengan mudah menepis pisau milikku, membuat pisauku mental dan menancap ke tanah. Aku tidak perduli kalau dia menepis pisauku. Tujuanku dari awal bukanlah untuk membunuhnya dengan cepat dengan pisau itu.

Boom!

Ledakan yang berasal dari pisauku terlihat. Ledakan itu bukanlah ledakan besar, hanya ledakan kecil yang membuat asap yang sangat lebat. Aku kemudian melihat kearah Rias-sama dan Sona-sama.

"Sekarang!"

Aku berseru kepada mereka berdua. Rias-sama ingin berlari sambil menyeret Sona, tetapi Sona hanya memegangku dengan erat. Matanya memandang kearahku dengan tatapan memohon. Aku mengggertakan gigiku. Memberi masterku pandangan maaf, aku memukul tengkuk lehernya, membuat dia pingsan. Sebelum dia jatuh, aku menangkapnya.

"Rias-sama…" Aku memanggil Rias-sama. Dia memberiku pandangan yang mengartikan dia mengerti. "Tolong bawa Sona-sama dan lari dari sini. Aku akan mencoba menahan asasin itu sampai setidaknya ada bantuan yang datang." Aku memberitahunya. Rias-sama mengangguk.

Dan dengan itu saja, Rias-sama berlari, sambil menggendong Sona-sama di belakangnya. Ketika aku melihat mereka berdua cukup jauh, aku mengembalikan pandanganku ke asasin itu, tetapi, sebelum aku bisa melihat jelas, aku merasakan sebuah tendangan mengenai dadaku.

Karena tubuhku yang kecil ini tidak setara dengan tendangan asasin itu, aku terlempar ke belekang. Aku merasakan sakit yang tidak pernah kurasakan. Sakit sekali. Itu seperti sebuah besi menghantamku langsung.

Aku mencoba berdiri, dan dengan susah payah berhasil. Aku memegang dadaku dengan sakit. Dengan pakaian butler seperti ini, membuatku semakin susah untuk bertarung dengan effisien.

"Rencana yang cukup bagus… Oh, pelayan. Ini sangat menyusahkanku untuk mencari mereka berdua lagi, tapi.. yah, kau adalah beban yang paling berat bagiku. Jadi, aku akan mengeliminasimu terlebih dahulu."

Aku mendengar asasin itu berkata. Aku mempersiapkan kuda-kudaku untuk melawannya. Aku harus mengalahkan asasin ini, atau setidaknya, cukup membuat pertarungannya lama agar bantuan datang… itupun jika bantuan akan datang.

Aku tidak perduli. Aku adalah pelayan personal masterku. Aku akan melindunginya. Itulah prioritasku. Aku akan melindunginya, walaupun aku harus mengorbankan nyawaku.


Aku membuka mataku dengan susah payah. Sinar matahari yang terang menyambut mataku, dan menyinari pandanganku. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Hal terakhir yang kuingat adalah…..

Naruto!

Mataku langsung terbuka lebar dengan panik. Ada seorang asasin yang sepertinya mengincar aku dan Rias, tetapi Naruto menyuruh kita berdua untuk lari. Aku tidak mau meninggalkan Naruto untuk melawan seseorang yang tidak mungkin ia bisa kalahkan saat ini. Sepertinya dia membuatku pingsan agar aku bisa lari dengan Rias.

Sialan! Dasar pirang egois! Apa dia tidak mengerti bagaimana perasaanku jika dia terluka parah?! Apalagi kalau dia…. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak ingin memikirkan posibilitas itu.

"Sona! Oh, kau sudah bangun!"

Aku mendengar teriakan Rias, aku kemudian melihat Rias di sampingku. Sepertinya, Rias yang membawaku. Entah perempuan itu dapat kekuatan darimana untuk mengangkat atau menyeret badanku, aku tak tahu.

Kami berdua sedang menyandar di sebuah pohon. Rias selalu melihat kearah belakang pohon dengan panik. Rambut merahnya dan pakaian regalnya kini sudah kotor.

Aku melihat kearah Rias, dengan air mata yang memendung di mataku.

"Rias… Naruto… Naruto… dia.. dia dimana?" Aku bertanya kepadanya. Rias hanya menggeleng kepadaku tidak tahu, membuatku kembali panik atas keadaan butler personalku.

Boom!

Sebuah ledakan terdengar di kawasan hutan lain, membuat mataku dan Rias melebar dengan shock dan kaget. Mengasumsikan itu Naruto, aku langsung berlari ke asal ledakan itu, tidak perduli konsekuensinya dan mengabaikan panggilan panik dari Rias.

Aku lari beberapa menit, tetapi aku tak sampai-sampai. Sepertinya Rias membawa kita berdua sangat jauh hingga membutuhkan beberapa menit untuk sampai kesana.

Ketika sampai disana, aku ditemui oleh keheningan. Tidak ada apa-apa sama sekali disana. Pohon-pohon disekitar sini hancur, sepertinya karena ledakan tadi. Asap-asap bekas ledakan tadi juga terlihat sangat lebat, membuatku sangat sulit untuk melihat di dalamnya.

Ketika asapnya sudah menghilang, mata dan mulutku terbuka dengan lebar karena tidak percaya. Tidak sengaja, telapak tanganku juga bergerak ke arah mulutku, mencoba membuatku bertahan agar tidak teriak.

Disana terlihat dua figur.

Satu figur terlihat mempunyai pedang di tangannya dan badan yang hanya mempunyai sedikit luka.

Satu figur lagi yang sangat parah. Figur itu mempunyai luka dimana-mana dan terlebih lagi, pedang yang dipegang figur pertama kini sedang menusuk dada bagian jantungnya.

Figur kedua itu adalah Naruto. Pelayan personalku. Sahabatku sejak kecil, dan selalu bersamaku sejak yang bisa kuingat. Dia disana, dengan jantung yang tertusuk dengan pedang, dan pandangan mata yang sepertinya tanpa jiwa.

Ketika pandangan mata itu melihatku, mata itu melebar karena kaget. Matanya berganti menjadi desperate, dan ia menggerakan mulutnya, seperti mencoba mengatakan sesuatu walaupun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Tetapi, tanpa mendengarpun, aku tahu maksudnya.

Lari.

Dia menyuruhku untuk lari. Instingku juga menyuruhku untuk lari. Tetapi tubuhku tidak bisa bergerak. Aku hanya diam disana, melihat kearah tubuh sahabatku yang hanya mempunyai beberapa detik lagi untuk hidup.

Bagaimana aku bisa menggerakan tubuhku, jika aku menyaksikan orang yang kusayangi, mati di depanku karena dia ingin melindungiku?


Beberapa Waktu Sebelumnya….

Ketika aku melihat Rias-sama dan Sona-sama sudah jauh, aku kembali berdiri dari tendangan yang kuterima dari asasin itu. Aku akan mencoba menahan asasin ini sampai setidaknya bantuan datang, jika memang ada bantuan.

"Oh… Kau masih bisa berdiri? Cukup impresif. Walaupun tubuhmu kecil, kau masih bisa berdiri dari tendanganku. Oohh… aku akan sangat menyukai mematahkanmu…." Aku mendengar asasin itu berkata kembali. "Dan untuk catatan lain, bagaimana kau bisa membuat pisau itu meledak?" Dia bertanya sambil memiringkan kepalanya dengan kebingungan.

Aku hanya tetap diam. Itu akan sangat bodoh untuk memberikan informasi tentang kemampuanku kepada musuh. Aku masuk ke dalam kuda-kudaku, dan langsung saja melesat dengan kecepatan penuhku ke asasin itu.

Sang asasin hanya tetap memandangku dengan tatapan mengejeknya itu. Seolah aku hanyalah semut yang gampang dia injak, dan dia hanya ingin mempermainkanku dulu sebelum menginjakku. Aku tau bahwa itu benar. Saat ini, mungkin, jika aku mengkomparisasikan kekuatanku dengan kekuatan asasin ini, kita bagaikan langit dan tanah.

Aku meluncurkan tanganku ke perutnya, tetapi dia dengan mudah bisa menghindarinya ke samping. Memutarkan tubuhku, aku mencoba memberinya tendangan ke perut, tetapi asasin itu dengan mudah menghindarinya dengan melangkah ke belakang sedikit.

Melesat lagi ke arahnya, aku melompat ketika masih di tengah-tengah, dan ketika di udara, mencoba menendang dada sang asasin. Asasin itu tetap menghindarinya, masih tanpa mengangkat kedua tangannya sama sekali.

Aku menggertakan gigiku dengan kesal. Aku terlihat sangat lemah. Apalagi, dengan tubuh yang sangat kecil ini, aku sangat susah untuk melawan orang dewasa. Bayangkan, anak berumur 8 tahun mencoba bertarung dengan orang dewasa.

Walaupun begitu, aku tetap mencoba menyerangnya. Aku akan menghumornya dengan membiarkan dia menghindar terus, setidaknya, sampai bantuan datang.

Ketika mencoba melakukan tendangan ke dadanya sambil melompat, sepertinya asasinnya ingin ini cepat selesai, ketika dia menghindar, dan untuk pertama kalinya, mengangkat satu tangannya, dan menyayat perutku dengan itu.

"Argh!"

Aku berteriak kesakitan. Ini pertama kalinya aku disayat. Perutku mengeluarkan darah, dan aku mencoba memberhentikannya dengan memegang perutku dengan erat, mencoba memberhentikan pendarahannya.

"Ini sangat menghiburku ketika di awal, tetapi kali ini sudah sangat membosankan. Caramu bertarung cukup impresif untuk anak kecil. Kau mendapat respekku untuk itu. Tetapi sayangnya, yang kau lawan bukanlah anak kecil."

Aku mendengar dia berkata. Ini pertama kalinya aku mendengarnya berkata dengan nada serius, dan bukan dengan nada mengejek yang dia pakai selama aku bertemu dengan dia. Aku melebarkan mataku ketika melihat dia tiba-tiba berada di depanku, dengan kecepatan yang tidak bisa kulihat, dan langsung saja menusuk pedangnya ke perutku yang terluka, membuatku kembali mengeluarkan teriakan kesakitan.

"Aaaaaarrghhh!"

Rasa sakit ini. Tidak seperti yang pernah kurasakan. Ini tidak sebanding dengan rasa sakit yang Kaa-sama atau sensei berikan kepadaku ketika kita sparring. Apa ini bagaimana rasanya bertarung sungguhan? Bertarung dengan seseorang yang tanpa hesitasi akan membunuhmu?

Aku harus menerikan teriakan kesakitan lagi ketika asasin itu mengangkat tubuhku dengan pedang yang masih menancap di perutku. Aku tidak tahu organ mana yang dia tusuk, tapi ini seolah seluruh tubuhku sudah hancur, walaupun ini hanya sebuah tusukan di perut.

Aku diangkat dengan pedangnya, dan tubuh kecilku ini dibawa ke tingginya. Mataku bisa melihat matanya langsung dengan direk tanpa aku harus melihat ke atas.

"Teriakanmu itu… apa ini pertama kalinya kau terluka? Aku sangat mengenal teriakan itu. Itu adalah teriakan seseorang yang baru pertama kali mengalami luka. Haha! Jadi, ini hanya seluruh kekuatanmu? Mereka mempercayakanmu untuk melindungi adik dari Leviathan? Lelucon! Aku tidak malu untuk mengakui banyak asasin lain yang jauh lebih hebat dariku. Jika ini hanyalah seluruh kekuatanmu, aku tidak akan terkejut jika adik dari Leviathan mati di umur yang muda!"

Dengan itu, dia menendangku dengan keras, membuatku kembali berteriak. Sangking kerasnya dia menendang, pohon yang aku tabrak tidak bisa menahanku dan roboh, membuatku kembali meluncur ke pohon selanjutnya.

Aku hanya bisa merintih kesakitan. Walaupun aku tidak ingin mengakuinya, semua yang dikatakan asasin itu benar. Jika aku seperti ini… bagaimana bisa aku melindungi master? Aku hanya akan menjadi penghalang untuknya. Aku lemah! Padahal selama ini… aku selalu berjanji untuk melindungi master. Aku sudah percaya diri aku bisa melindungi master dari segala sesuatu.

Itu semua hanyalah ilusi. Hanya delusi yang diciptakan oleh kearoganan ku. Ini adalah realitasnya. Aku tidak mungkin bisa melindungi master. Aku… aku hanyalah penghalang bagi master. Apa karena itu juga wajah master selalu memerah ketika dia di dekatku? Apa dia merasa malu karena akulah yang melayaninya, bukan pelayan lain yang jauh lebih kuat, dan lebih pantas untuk melindunginya?

"Aaaaarrrghh!"

Aku kembali merintih kesakitan ketika aku merasakan tendangan mengenai tulang rusukku, dan membuat sebuah bunyi patah. Sepertinya tulang rusukku patah. Tetapi ini tidak berarti apa-apa bagiku. Sepertinya aku akan mati disini….

"….Kau hanya diam? Menyerah begitu saja? Bodoh. Aku kira kau orang yang spesial. Orang yang akan melindungi orang yang dia sayangi sampai mati. Tapi, sepertinya ekspektasiku terlalu besar. Kau hanyalah orang biasa, yang menganggap jika ini takdirmu untuk mati, kau akan menerimanya."

….

"Bodoh! Tidak ada yang namanya takdir! Jika musuh mengerubungimu, bersyukurlah karena kau tidak perlu mencari mereka dan mendekat ke mereka karena mereka kini yang berada di dekatmu! Jika musuh mempunyai pasukan yang lebih banyak, bersyukurlah karena kau akan mengeliminasi lebih banyak orang yang akan mengancam keselamatan orang tersayangmu! Jika kau berada di depan kematian, lawanlah karena kematian hanyalah sebuah nama! Bukan takdir! Pada akhirnya, semua makhluk akan mati!"

Entah kenapa, kata-kata itu membuatku semangat kembali. Apa asasin itu benar-benar menyemangatiku, atau dia hanya mengejekku? Entahlah. Tetapi, kata-katanya masuk akal. Kenapa aku menyerah pada kematian? Pada akhirnya, aku akan mati juga. Setidaknya, aku harus berbuat sesuatu selama aku masih hidup.

Jika aku mati, asasin ini akan membunuh master. Dan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, walaupun aku mati, karena karena aku pengecut, aku membuat master mati.

Aku ingin kuat! Jika aku mati, aku akan membawa dia bersamaku. Jika aku dengan ajaib bisa hidup setelah ini, aku akan berlatih lagi. Aku akan berlatih sampai ototku tidak bisa capai, dan tetap berlatih. Aku akan berlatih sampai aku bisa melampaui kekuatan makhluk paling kuat di dunia ini! Dengan itu, aku bisa memastikan aku bisa melindungi master dari segalanya.

"Haah…."

Aku mencoba berdiri, walaupun tubuhku sangat sakit. Aku dengan susah payah mengangkat kepalaku, dan memberi glare kepada asasin yang menyeringai kepadaku ini. Walaupun begitu, aku juga memberi asasin itu senyuman.

"Terimakasih." Aku menggumam.

Asasin itu memiringkan kepalanya dengan bingung. Aku tidak menunggunya untuk merespon karena aku, dengan kekuatanku yang tersisa, berlari ke arah asasin itu dan mencoba memukul perutnya. Tentu saja, dengan keadaan segar bugar saja aku masih kalah. Apalagi dengan keadaan babak belur begini. Asasin itu dengan mudah menahan pukulanku. Tanpa menunggu apa-apa lagi, sang asasin kembali menendangku dengan keras, membuatku terlempar jauh ke belakang.

Selama beberapa menit, ini yang terjadi. Aku mencoba memberi, setidaknya, satu pukulan kepada sang asasin, tetapi asasin itu hanya memblok atau menghindar, dan kemudian membalasnya dengan tendangan. Aku seperti seorang idiot, mencoba melakukan sesuatu yang mustahil.

Walaupun begitu, aku tidak mau kalah juga. Aku membayangkan wajah kecewa Kaa-sama, Cedric-sama dan Eleanor-sama ketika mereka mengetahui aku tidak bisa melindungi master. Itu memberi hatiku sakit. Tujuan hidupku adalah melayani dan melindungi master. Itulah apa yang diberitahuku sejak kecil.

Dan ini, ketika disituasi dimana master butuh perlindungan, aku tidak bisa melindunginya. Aku lemah! Walaupun dengan semangat baru, tetap saja tidak ada yang berubah. Asasin itu tetap mustahil untuk aku kalahkan.

Dengan kekuatan terakhir, aku memaksakan badanku untuk berlari ke arah asasin itu. Di tengah-tengah, aku meloncat, dan memutarkan badanku, dan mengayunkan kakiku untuk mengenai kepala sang asasin. Sang asasin tidak perlu dengan susah payah menunduk. Dia memberiku tendangan untuk entah yang keberapa kalinya ke tubuhku, membuatku merasakan sakit karena tulangku kembali patah lagi. Tetapi aku tidak berteriak. Entah kenapa, aku sudah terbiasa dengan rasa sakit ini, dan sepertinya sudah kebal sedikit.

Aku tentunya terlempar ke belakang dengan jauh dan terjatuh di tanah dengan kasar. Tubuhku terbaring dengan banyak luka. Aku melihat ke arah langit yang cerah. Mataharinya sedikit menyilaukan mataku. Aku merasakan kesadaranku sedikit lagi menghilang.

"Pada akhirnya, tetap saja kau akan kalah. Kau mempunyai potensial yang banyak, untuk seorang Iblis. Baiklah, sangat senang bermain denganmu, pelayan. Tetapi saat ini, aku mempunyai target yang harus ku eleminasi. Sepertinya kau akan mati juga… Baiklah, karena kau sudah menerima respekku, aku akan memberitahumu namaku. Kazuya. Itu adalah nama panggilanku."

Itu adalah kata terakhir yang kudengar dari asasin sebelum kegelapan mengambil penglihatanku.


'Lemah…. Bagaimana bisa kau melindungi sang Princess jika kau lemah, Naruto?'

'…..'

'Jika kau mati, akupun juga akan mati. Aku tidak ingin menunggu beratus-ratus tahun agar lingkaran reinkarnasi bisa menyegelku ke tubuh yang lain. Kali ini…. Aku akan meminjamkanmu kekuatanku. Pergunakanlah dengan bijak, Naruto…. Uzumaki.'


Aku, atau yang biasa dipanggil 'Kazuya' oleh klienku berjalan menjauhi badan Iblis yang sebentar lagi mati itu. Sungguh.. aku tidak mempunyai maksud apa-apa pada anak itu. Aku hanya melakukan pekerjaanku. Anak itu hanya ada di bagian yang salah.

Aku adalah apa yang orang-orang bilang Hitman. Asasin bayaran. Dulu aku adalah seorang Exorcist, sebelum gereja membuangku dan melabeliku pengkhianat karena aku mengasasinasi salah satu bapak di gereja.

Sejak saat itu, aku menjadi Hitman. Aku bekerja untuk setiap tiga fraksi yang ingin membayarku lebih besar. Saat ini, klienku adalah seseorang dari faksi Old Satan yang memintaku untuk mengasasinasi adik dari Leviathan dan Lucifer.

Tentunya, aku ingin menyelesaikan misi ini secepat mungkin. Tetapi, sesuatu tentang anak itu tadi menarik perhatianku. Karena itu, aku bermain dengannya. Untuk mengetahui, apa yang membuatku tertarik padanya.

Aku menghela nafasku kecewa. Anak ini hanyalah pelayan biasa. Walaupun anak itu mempunyai potensial yang sangat besar untuk menjadi hebat, tetapi itu hanyalah itu. Hanyalah sebuah potensial. Orang yang mempunyai potensial belum tentu bisa memenuhi potensial itu.

"Pertarungan ini…. Belum selesai…"

Langkahku terberhenti ketika aku mendengar suara yang lebih terdengar seperti rintihan. Aku menengokan kepalaku ke belakang, dan melihat anak itu berdiri dengan susah payah. Aku menaikan alis mataku sebelah ketika aku melihat ini.

"Kau masih belum mati juga?" Aku bertanya dengan nada mengejek.

Aku hanya diabaikan oleh anak itu. Aku mengangkat bahuku tidak perduli. Baiklah, aku akan menghumor anak ini sebentar, dan baru akan mengeliminasi Sona Sitri dan Rias Gremory. Lagipula, aku masih merasakan energi iblis mereka masih di hutan ini.

"Aku… aku tidak akan membiarkanmu menyentuh master…" Dia kembali merintih.

Aku menghela nafasku. Mendokusai. Anak ini menyusahkan. Walaupun begitu, aku menghormati determinasinya. Walaupun di keadaan seperti ini, dia masih ingin melindungi orang yang dia sayangi. Anak ini mengingatkanku dengan temanku saat dulu.

Dia memberiku glare. Aku tidak bergidik menerima pandangan kerasnya. Tiba-tiba saja, aku merasakan hal yang aneh. Aku melihat ke sekelilingku, tetapi aku tidak merasakan apa-apa. Ada yang aneh. Seperti ada aura… aura aura di sekitar sini seperti bergabung…

Aku melebarkan mataku ketika menyadari sesuatu. Energi Iblis! Energi Iblis disekitar sini berkumpul. Aku mencoba mencari kemana energi itu berkumpul. Aku kembali melebarkan mataku. Energi itu…. Mereka berkumpul di anak itu. Lebih tepatnya, di tangan kanan anak itu. Aku mempunyai dugaan apa yang terjadi, tetapi aku masih tidak yakin.

Anak itu mengangkat tangan kanannya ke atas, dan energi iblis yang berkumpul di tangannya semakin padat.

[Sacred Gear!]

Aku melebarkan mataku ketika anak itu menteriakan itu. Tangan kanan anak itu bersinar kuning. Setelah sinarnya mereda, dari sini, aku bisa melihat di pergelangan tangan anak itu terdapat sesuatu. Seperti gelang. Atau mungkin jam? Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas dari jarak seperti ini.

Sacred Gear. Itu tidak mungkin. Sacred Gear adalah hadiah yang diberi Tuhan untuk manusia yang spesial. Aku ulangi lagi, manusia yang spesial. Anak ini adalah Iblis. Bagaimana bisa dia mempunyai Sacred Gear? Sacred Gear hanyalah untuk manusia! Ini tidak mungkin terjadi. Energi yang dia punyai jelas sekali energi Iblis, bukan energi cahaya yang digunakan Malaikat dan Malaikat Jatuh, ataupun energi chakra yang digunakan youkai dan makhluk lain.

Aku menggelengkan kepalaku dan kembali fokus kepada musuh di depanku. Mencoba mengetahui Sacred Gear apa yang dia punyai. Aku tidak pernah melihat Sacred Gear berbentuk jam atau gelang biasa. Apa Sacred Gear itu hanya Sacred Gear biasa, sehingga aku tidak pernah membacanya, atau itu Sacred Gear yang sangat langka sehingga aku tidak pernah tahu?

Biarpun begitu, aku tetap mencoba fokus pada musuh di depanku ini. Seringaian terukir jelas di wajahku.

"Sepertinya sekarang aku tahu kenapa instingku mengatakan kau spesial… Oh, pelayan."


Aku, Naruto Uzumaki, melihat kearah tangan kananku dengan pandangan kagum. Aku merasakan kekuatan yang sangat kuat menyalur di tubuhku. Aku merasa seluruh energi menyalur di dalam sel darahku. Aku merasa sangat kuat! Aku merasa seperti bisa mengalahkan siapa saja.

Di tangan kananku terlihat sebuah jam. Jam itu adalah sebuah jam berwarna hitam. Jam itu terlihat seperti jam biasa, tetapi di bagian bawah jam itu, ada sebuah kristal berwarna emas kuning. Aku tidak pernah tahu aku mempunyai Sacred Gear di dalam diriku.

Makhluk yang setengah manusia memang bisa mempunyai Sacred Gear, karena mereka masih mempunyai bagian manusia di diri mereka. Tetapi tetap saja, walaupun terdengar, itu masih sangat jarang untuk menemukan makhluk setengah manusia yang mempunyai Sacred Gear.

Dengan insting, aku merentangkan tanganku. Dengan itu, langsung saja tercipta sebuah pedang bermata tiga muncul di tanganku.

'Kunai..'

Sebuah suara, entah darimana terdengar di kepalaku. Kunai. Pisau kecil ini bernama kunai. Entah darimana aku mengetahui itu. Aku menggelengkan kepalaku, mencoba fokus kepada sang asasin. Aku merasakan tubuhku menjadi segar bugar kembali, walaupun aku masih jelas bisa melihat sisa-sisa luka yang masih banyak pada tubuhku, dan seragam butlerku yang kini sudah hampir hancur.

Dengan determinasi yang baru, aku langsung saja berlari ke arah asasin itu, yang menungguku dengan seringaian terukir di wajahnya, terlihat excited atas pertarungan ini. Aku membalas seringaian itu dengan seringaianku sendiri.

Ketika sudah berada di depannya, aku mengayunkan kunaiku ke perutnya, mencoba menyayat perutnya seperti apa yang dia lakukan padaku. Tetapi dia dengan mudah menghindariku dengan mundur ke belakang sedikit.

Walaupun begitu, itu tidak memberhentikanku untuk tetap menyerangnya. Dengan insting, aku melemparkan kunaiku ke tanah di belakangnya, dan kemudian aku meloncat ke atas. Kazuya ―asasin itu― sepertinya terlihat bingung dengan pergerakanku. Begitupun juga aku yang hanya mengandalkan isntingku untuk menggunakan Sacred Gear ini.

Ketika di udara, aku memutar tubuhku dan mencoba menendang kepala Kazuya. Asasin itu berhasil memblok tendanganku dengan dua tangannya. Tetapi, ini belum selesai.

[Teleport!]

Langsung saja, aku merasakan sensasi aneh di tubuhku dan beberapa milidetik kemudian, aku berada di belakang Kazuya, tepat di lokasi kunai yang kulempar tadi berada. Sensasi itu membuat perutku dan kepalaku sakit, tetapi itu tidak memberhentikanku untuk menyerang Kazuya yang aku tahu pasti mempunyai ekspresi kaget di wajahnya.

Untuk yang pertama kalinya sejak pertarungan ini, aku berhasil memberi tendangan ke Kazuya. Aku menendang punggungnya dengan kekuatan penuhku, membuat di terlempar ke depan sedikit dan mengeluarkan suara erangan kesakitan.

Masih di udara, aku melakukan salto ke belakang sambil mengambil kunaiku yang menancap di tanah. Mendarat dengan baik, aku memutarkan kunaiku dan menyeringai ke arah Kazuya yang masih mempunyai ekspresi kaget di wajahnya.

Ekspresi kaget itu menjadi ekspresi impasif. Dia mengeluarkan sebuah kertas yang berisi huruf-huruf aneh. Aku menyipitkan mataku sedikit ketika melihat itu.

Itu adalah sebuah rune. Biasanya dipakai untuk Exorcist untuk menyegel pedang ―biasanya Holy Sword― mereka ke dimensi buatan, agar tidak menarik perhatian orang-orang sekitar ketika mereka sedang misi di sebuah kota biasa.

"Jadi… kau adalah exorcist?" Aku mempertanyakannya.

Kazuya, Sang Asasin, tertawa kecil mendengar perkataanku. Seringaian terukir di wajahnya yang tadinya impasif tanpa emosi itu.

"Kau mengetahui rune? Cukup impresif. Ya, aku adalah Exorcist, atau, kalau kau ingin lebih spesifik, aku adalah mantan Exorcist." Dia menjawab.

Aku mengangguk. Lebih kepada diriku sendiri daripada dirinya. Prediksiku dari awal ternyata benar. Di tangan Kazuya kini ada sebuah pedang. Pedang itu terlihat seperti katana. Pedang tradisional negeri Jepang yang ada di dunia manusia. Itu terlihat seperti pedang biasa, dan tidak punya aura holy. Sepertinya, itu bukan Holy Sword. Tetapi, aku tetap siaga, jika itu adalah Holy Sword. Ada beberapa Holy Sword yang bisa menyembunyikan auranya, dan aku tidak ingin menurunkan siagaku jika ternyata salah satu dari Holy Sword itu dipegang orang ini.

Tidak menunggu percakapan lagi, aku berlari ke arahnya. Bermaksud untuk mengakhiri pertarungan ini. Aku masih harus mengkhawatirkan keadaan master dan Rias-sama.

Ketika aku sudah di depannya, dia mengayunkan katananya ke kepalaku. Aku dengan mudah menghindar. Entah kenapa, sejak aku mengaktifkan Sacred Gear milikku, reflexku menjadi meningkat drastis.

Merasa aku terlalu dekat, Kazuya meloncat ke belakang. Melihat kesempatan, aku melompat, dan melemparkan kunaiku ke kepala Kazuya. Seperti yang aku duga, Kazuya menghindarinya dengan memiringkan kepalanya. Masih di udara, Kazuya mengayunkan katanya ke badanku yang masih melayang, mencoba untuk membelahku menjadi dua.

[Teleport!]

Sebelum itu terjadi, aku kembali teleportasi. Ini hanyalah skill yang bisa kulakukan saat ini. Sepertinya, Sacred Gear di dalamku tidak ingin memberiku kekuatan yang lebih jauh, atau memang Sacred Gear milikku hanya memiliki kekuatan untuk teleportasi.

Aku muncul di belakang Kazuya. Kunai yang tadinya menancap di tanah karena aku lempar, kembali aku ambil dan mencoba menyayat Kazuya dengan ini. Ketika melakukan ini, tubuhku masih di udara karena aku menteleportasikan diriku tepat di atas kunai tadi dengan kepalaku di bawah dan kakiku di atas. Dengan posisi ini, aku mencoba menyayat kaki Kazuya.

Kazuya terbukti mempunyai reflex yang bagus, karena dia langsung saja meloncat, dan disaat dia meloncat, dia memutarkan dirinya untuk menghadapiku, dan mengayunkan katananya ke arahku dengan cepat.

Berpikir dengan cepat, aku melemparkan kunai ke atas dengan cepat.

[Teleport!]

Sebelum katana itu bisa mengenaiku, aku kembali dilepeortasikan ke tempat dimana kunaiku berada saat aku lempar di atas, yaitu tepat berada di depan Kazuya. Tepat disaat itu, aku kembali menggenggam kunainya, dan mengayunkannya ke leher Kazuya, mencoba mengakhiri pertarungan ini.

Kazuya kembali membuktikan dirinya bukanlah asasin biasa karena di bisa mencondongkan badannya ke belakang walaupun masih di udara, membuatku hanya menyayat udara. Kami melakukan saldo ke belakang bersama-sama, menjauh dari satu sama lain.

Mendarat dengan mudah, aku langsung saja melemparkan kunaiku ke kepala Kazuya. Entah kenapa, kini Kazuya menyeringai ke arahku. Seperti yang aku duga, dia menghindarinya dengan memiringkan kepalanya lagi. Aku melihat kesempatan di saat itu juga.

[Teleport!]

Dengan kecepatan cahaya, aku dileportasikan ke tempat kunaiku berada, yaitu di belakang Kazuya. Kali ini, sebelum aku belum sempat melakukan apa-apa, aku merasakan sensasi sakit di perutku. Ketika melihat ke perutku, aku melebarkan mataku, melihat katana Kazuya menusuk dan menembus perutku. Aku menaikan kepalaku untuk melihat wajah Kazuya yang menyeringai.

"Walaupun impresif, tekhnikmu mudah diprediksi. Setiap kau melakukan teleportasi, aku melihat pola. Kau selalu muncul tepat dimana pisau yang kau lempar tadi berada. Pergerakanmu mudah diprediksi, pelayan."

Aku kembali melebarkan mataku ketika mendengar itu. Sial! Sial! Sial! Aku kembali membiarkan kearoganan mengontrolku. Aku merasa bahwa melihat Sacred Gear dalam diriku sudah bangun dan membiarkanku memberinya kekuatan, aku akan mengira aku akan bisa mengalahkannya.

Aku kembali salah, dan kini, kesalahan itu membuatku membayar banyak. Aku seharusnya tidak membiarkan arrogant menguasai diriku. Walaupun dengan bantuan Sacred Gear, aku harusnya tetap melawan Kazuya dengan hati-hati, tidak dengan terlalu percaya diri!

"Aaarrgh!"

Aku merasakan Kazuya menendang tubuhku lagi. Kali ini sepertinya lebih keras daripada biasanya, karena sakitnya lebih dari dua kali lipat. Aku terlempar jauh ke belakang sebelum aku bisa mengambil kunaiku kembali.

Aku memegang perutku yang sudah tersayat berkali-kali ini dengan sakit. Regenerasiku sepertinya semakin bertambah ketika aku mengaktifkan Sacred Gear, karena aku bisa merasakan luka sayatan yang aku terima, walaupun lama, tertutup dengan perlahan.

Aku melihat Kazuya berjalan ke arahku. Di tengah-tengah, di berhenti dan melihat kearah kunai yang aku buat tadi. Dia menunduk kebawah untuk mengambilnya. Tetapi, ketika dia menyentuh kunainya, kunai itu seolah pecah dalam partikel cahaya kuning.

Kazuya melihatnya sambil menaikan alisnya, sementara aku hanya merasa beruntung karena musuhku tidak bisa mengambil senjata yang aku buat.

Aku mencoba kembali berdiri dengan segala kekuatanku. Aku masih tidak ingin kalah. Kalau aku kalah… master… master akan mati. Aku tidak akan memaafkan diriku untuk itu. Aku akan melakukan apapun untuk melindungi master. Jika aku mati disini, akan kupastikan aku membawa Kazuya ke dunia akhirat!

Merasakan bahwa energi yang kupunya tinggal dikit, aku merasa bahwa ini adalah serangan terakhir dariku. Mengeluarkan sedikit energi untuk membuat kunai yang baru lagi, sebuah kunai langsung saja muncul di telapak tanganku dengan cahaya kuning yang bersumper dari kristal emas tadi.

Aku menyalurkan seluruh energi iblis yang tersisa dalam diriku ke kunai. Jika kau mengisi sebuah objek dengan energi iblis, objek itu akan menjadi lebih kuat, atau, dalam kasus senjata tajam, akan lebih tajam dan mematikan.

Kazuya sepertinya menyadari yang aku lakukan, karena dia melihat kearahku dengan ekspresi tertarik di wajahnya.

"Serangan terakhir, eh? Baiklah! Mari kita lihat kekuatanmu!"

Mendengar nada mengejek itu, dengan teriakan pertarungan, langsung saja aku berlari ke arah Kazuya dengan seluruh tenagaku. Jika energi iblis di dalam seorang iblis habis, maka iblis itu akan mati, atau, jika dia beruntung, akan pingsan dan energinya akan kembali lagi selama dia beristirahat.

Karena itu, ketika aku bilang ini serangan terakhir, aku bermaksud dengan harfiah. Ini serangan terakhirku, karena setelah serangan ini, bisa saja aku mati. Tetapi… jika aku mati, akan kupastikan aku akan membawa Kazuya bersamaku!

Aku meloncat, dan mengayunkan kunaiku, yang kini sudah berlapis dengan energi berwarna kuning gelap, ke bawah, ke arah Kazuya yang menatapku dengan senyuman mengejeknya itu. Dengan teriakan pertarungan, aku mengayunkannya ke Kazuya yang menaikan katananya, berusaha memblok kunaiku.

Boom!

Sebuah ledakan terjadi karena aksi dari kita ―aku dan Kazuya―. Aku tidak tahu aku berhasil apa tidak, karena aku tidak merasakan apa-apa saat ini, dan pandanganku blurring dan terhalang oleh asap-asap yang tertimbul dari ledakan tadi.

!

Aku melebarkan mataku dengan shock ketika aku merasakan sesuatu yang tajam menembus dadaku dan jantungku. Aku terlalu kaget untuk membuat teriakan kesakitan. Ketika aku mengangkat kepalaku ke atas, aku ditemukan oleh tatapan tajam mata Kazuya.

"Kekuatan yang impresif. Tetapi sayangnya, itu masih tidak cukup untuk mengalahkanku."

Aku mendengar dia berkata, tetapi kini pendengaranku tidak terlalu berfungsi dengan baik. Aku merasakan jantungku berhenti. Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan, aku juga tidak bisa merasakan sakit tusukan katana yang menusukku ini.

….Apa yang terjadi ketika Iblis mati? Apa mereka akan pergi ke neraka? Kalau iya, Underworld itu kan neraka. Apa ada dunia akhirat untuk Iblis? Atau mereha hanya… menghilang dari kehidupan saja?

Aku semakin merasakan kesadaran sudah hampir pergi dariku. Maafkan aku, Kaa-sama, Eleanor-sama, Cedric-sama, Serafall-sama, karena aku tidak bisa melindungi master. Aku lemah.

Dan… master… maafkan aku karena telah menjadi pelayan yang tidak becus untukmu. Semoga, kau dan Rias-sama sudah cukup jauh dari sini, dan berhasil menemukan bantuan.

Tetapi, sebelum aku bisa menutup mataku, sesuatu mengalihkan perhatianku. Ada figur yang melihat ini dari jauh. Mataku mencoba melihat figur itu.

Ketika menyadari figur itu siapa, aku melebarkan mataku dengan shock.

Master!

Disana ada master. Wajahnya mempunyai ekspresi kaget. Apa yang dia lakukan disini?! Seharusnya dia lari! Aku mencoba menggerakan mulutku, untuk mencoba mengatakannya untuk lari, tetapi, tidak ada kata-kata yang keluar.

Aku merasakan kesadaran akan hilang dariku. Mataku sudah tidak kuat lagi. Aku berusaha tetap mengambil kesadaranku, untuk setidaknya, melihat bahwa master akan baik-baik saja. Tetapi, aku tidak kuat lagi.

'Master…..'

Adalah apa yang terakhir berada di pikiranku, sebelum aku hilang kesadaran.


Chapter 1 ― End


Masalah Update:

Untuk masalah update, aku harap aku bisa update setiap seminggu sekali. UN sudah hampir mendekat, jadi waktuku main komputer akan dipengaruhi oleh itu. Dan juga, setiap update, aku akan mengupdate sekitar dari 5000 word ― 15.000 word.


Gaya Penulisan dan Typo:

Dalam menulis, aku masih pemula. Aku harap penulisanku ini gampang dimengerti dan enak dibaca. Aku lebih suka nulis dengan First Person POV, dan kurang bisa melakukan Third Person POV. Untuk yang gasuka gaya penulisan kaya gitu, maaf, ya. Dan untuk beberapa dari kalian yang merasa penulisanku mirip sama beberapa author, aku minta maaf. Aku belajar menulis ini karena memperhatikan gaya menulis mereka.

Untuk typo, aku terlalu males untuk ngebaca ulang lagi, jadi, mungkin akan banyak typo. Tapi tidak terlalu banyak, aku harap. Tolong dimaklumi kalau banyak typo.


Canon:

Cerita ini akan mengikuti canon, tenang saja. Tapi, di awal chapter lebih banyak akan menceritakan masa kecil Naruto dan Sona, dan bagaimana mereka mengumpulkan anggota peerage untuk Sona. Aku tidak akan melakukan timeskip yang sangat jauh.


Butler Naruto:

Aku rasa, aku belum pernah liat aja cerita Naruto menjadi pelayan, dan aku juga sangat suka anime/manga yang salah satu karakternya mempunyai pekerjaan sebagai butler/maid. Contohnya: Kaichou wa Maid-sama! Dan Black Butler. Untuk seragam butler Naruto, bisa bayangkan aja seragam butler Sebastian Michaelis dari Black Butler.


Sacred Gear Naruto:

Seperti yang kalian perhatikan, Sacred Gear Naruto mempunyai kemampuan seperti Hiraishin. Apa itu saja kemampuannya? Tidak. Apa Sacred Gear Naruto adalah salah satu dari Longinus? Mungkin iya, mungkin tidak. Dan juga, aku ngebuat Naruto setengah Iblis setengah manusia karena aku ingin memberinya Sacred Gear.

Banyak author DxD/Naruto yang selalu lupa bahwa Sacred Gear hanya bisa dipunyai oleh manusia, atau setidaknya, jika makhluk itu masih mempunyai bagian manusia. Aku sering banget liat Naruto yang full Fallen Angel/Iblis malah dapet Sacred Gear.


Minato dan Kushina:

Sepertinya emang kelihatannya Kushina sama Minato ga punya peran penting di cerita ini. Memang setengah benar. Mereka berdua gaterlalu punya peran penting di cerita ini, karena Minato sudah mati, dan Kushina juga tidak akan terlalu muncul banyak di fic ini.


Pairing:

Masalah yang sering banget dipermasalahkan. Pairingnya memang Naruto x Sona, tetapi aku belum pastiin ingin jadiin harem atau single pairing aja. Jika harem, mungkin aku akan masukan Rias dan Akeno, dan juga seluruh anggota peerage Sona yang perempuan. Tetapi, aku masih belum memutuskan.

Dan untuk yang terakhir, salam kenal, author senior. Aku harap bimbingan kalian, dan jika penulisanku sulit dimengerti, tolong kasih saran. *bow*