Disclaimer: Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya-sensei
Warning :Out of Character a.k.a OOC, AU a.k.a Alternative Universe.
A/N :Disini karakter Germany dibuat tinggal dan diasuh oleh Prussia, sudah jelas kan OOC-nya dimana aja? Don't like don't read. And reviews are appreciated! Happy reading~
~~~Chapter I: A Thief (?)~~~
Gilbert menyeberangi jalanan ramai di hari Minggu yang seharusnya bisa menjadi hari di mana ia bisa rileks dan istirahat. Sudah beberapa bulan ini ia bekerja selama seminggu penuh, mulai dari fajar muncul hingga larut malam. Yah, pekerjaan apapun akan ia lakukan asal mendapatkan uang. Itulah intinya ia bekerja keras selama ini. Tapi pastinya ia akan bertekad mendapatkan uang yang halal meski begitu juga.
Sederhana saja, jika ditanya mengapa ia mau bekerja keras seperti ini karena orang tuanya telah tiada. Ayahnya, well ia takkan malu untuk mengakui bahwa ayahnya adalah sosok figur ayah yang tak baik. Dia meninggalkan keluarganya dengan setumpuk hutang dan ibunya—oh ini juga sangat sederhana—sakit keras karena bekerja membanting tulang berusaha melunasi hutang-hutang itu. Dan, genap satu tahu ini sejak ibunya meninggal. Kedengaran seperti drama menyedihkan? Jika kau mengatakan hal itu tepat di depan muka Gilbert, maka dia takkan segan untuk memberimu hadiah satu tinju yang manis.
Gilbert baru berusia 12 tahun saat ayahnya kabur dan kini—tepatnya beberapa minggu lagi—ia akan genap berusia 19 tahun. Tetangga-tetangga dekat rumahnya menyayangkan keputusan Gilbert untuk berhenti sekolah dan memilih untuk bekerja siang-malam, tapi jika tidak begitu siapa yang akan melunasi hutang keluarganya dan menghidupi mereka? Yeah, Gilbert masih memiliki seorang adik lagi, Ludwig, yang baru berusia 14 tahun. Dan dia ingin Ludwig tetap bersekolah, apapun yang terjadi tanpa perlu ambil pusing soal masalah keluarga.
Yang menyebalkan untuk hari ini adalah majikannya yang memiliki toko tempat ia bekerja, Mr. Yao, menolak untuk memberikan gajinya secara penuh untuk bulan ini. Yang benar saja hanya karena alasan Gilbert tidak bekerja secara efisien ia hanya memberikan gajinya sebanyak separuh dari yang seharusnya. Dan karena Gilbert 'sedikit' buka mulut untuk protes maka hasilnya, voila! Ia dipecat.
Jadi? Ia sudah kehilangan pekerjaannya sebagai pegawai tetap di sana. Tapi ia masih bekerja freelance sebagai loper koran dan montir di bengkel milik Ivan Barginski dan untung saja Mr. Ivan sudah mengangkatnya sebagai karyawan tetap, jadi ia tinggal mencari beberapa pekerjaan lagi untuk menambah penghasilan. Dan ah dia baru ingat bahwa sudah tiga bulan ini uang sekolah Ludwig menunggak. Sepanjang jalan itu ia hanya melamun sambil menggerutu.
Ia membutuhkan uang untuk membayar hutang-hutang sialan itu dan juga untuk melunasi uang sekolah Ludwig. Oh Tuhan, hidup ini nggak adil. Sementara mereka yang memiliki harta lebih seenaknya saja menghambur-hamburkan uang. Sedangkan ia yang harus kerja keras banting tulang jika ingin mendapat uang sekadar untuk mencukupi biaya hidup. Dan, ah ya dia harus mencari pekerjaan baru setelah itu dia akan pergi ke bengkel milik Ivan Barginski.
Gilbert melewati taman kota yang tumben sekali hari itu tidak seramai biasanya. Pengunjung hanya beberapa orang tua yang telah lanjut usia bersama perawat pribadi mereka. Apakah warga kota sedang begitu sibuknya hingga tak ada waktu untuk sekadar jalan-jalan? Ia pikir tadinya hanya ia yang disibukkan oleh pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. Kemudian ia ingat bahwa hari ini memang masih jam kerja jadi wajar saja jika tidak seramai saat jam pulang kerja berlangsung.
"Bodoh. " ia bergumam.
Ia menengok ke arah taman lagi dan ia melihat sesosok gadis yang memakai terusan putih selutut yang sedang duduk bermain di atas ayunan. Wajahnya kosong seolah sedang memikirkan sesuatu dan Gilbert ingat bahwa setiap kali ia melewati taman ini di jam seperti ini ia pasti melihat gadis berambut cokelat tersebut. Menaiki ayunan, dengan tumitnya ia menggerakkan ayunan tersebut perlahan. Terus begitu. Gil menelengkan kepalanya ke satu sisi, mencoba melihat wajahnya lebih jelas.
Yep, terlihat familier. Dia adalah gadis yang biasa menempati ayunan tersebut. Dan entah karena dorongan apa dia memasuki taman begitu saja, bukannya terus untuk kembali pulang atau berusaha mencari pekerjaan seperti yang awalnya ia rencanakan. Gilbert melirik gadis itu dan dia masih saja melamun, dengan senandung kecil yang keluar dari mulutnya. Tidak mungkin ia menyapanya, jelas tidak.
Dari penampilan gadis itu ia bisa tahu bahwa ia berasal dari kalangan atas, tidak seperti dirinya yang berantakan dan dekil. Jadi Gilbert lebih memilih untuk berjalan tepat di belakangnya. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang mencurigakan dan ia masih terus menatap punggung si gadis berambut cokelat. Tatapannya terjatuh pada sebuah dompet kulit berwarna hitam yang tersembul dari tas tangan yang tergeletak begitu saja di bagian bawah ayunan. Dan demi Tuhan entah apa yang menggerakkan Gilbert kali itu.
Cowok albino itu kemudian menatap bagian belakang gadis tersebut yang masih belum menyadari kehadirannya dan tiba-tiba saja ia membungkuk, mengambil dompet hitam tersebut, tidak sampa satu detik dompet itu sudah ada di tangannya. Ia tidak mengerti apa yang menggerakkannya, pokoknya terjadi begitu saja.
Gilbert yakin gadis itu telah menyadari kehadirannya dan ia segera berbalik dan melarikan kedua kakinya keluar dari taman itu. Yeah, gadis itu melihatnya, dia melihatnya dan menyadari apa yang abru saja dilakukannya.
"Hei kau! Pencuri!" teriak gadis itu keras-keras. "Kembalikan dompetku!"
Ia tidak menoleh, menambah kecepatan berlarinya , melompati semak-semak dan pagar taman. Ia hanya berharap gadis itu tidak melihat wajahnya dan itu sudah cukup. Betapa bodohnya ia tidak memikirkan lebih dulu tindakannya, ini sangat beresiko tapi tanpa pikir panjang ia menyambar dompet gadis itu. Dan tentu saja sudah terlambat untuk mengembalikannya, gadis itu telah menyadarinya tindakannya tadi. Karena hanya akan ada dua kemungkinan. Pertama, ia akan digiring ke kantor polisi. Kedua, ia akan menjadi bulan-bulanan warga sekitar. Oh, bukan ada tiga kemungkinan malah, mungkin ia bisa saja menerima keduanya. Maka jalan terakhir adalah lari sejauh mungkin. Tujuannya, kembali ke apartemennya.
Gilbert tak mau memikirkan hal lain selain pergi sejauh mungkin dari sana, ia berlari menaiki tangga menuju kamar apartemennya, merogoh saku celana jeans belel-nya, mencoba mencari kunci kamarnya. Tapi karean panik dan terburu-buru ia jutsru mengeluarkan seluruh isi kantung celananya dan menimbulkan keributan. Pintu apartemennya terbuka dan ia menarik napas tertahan. Dan ternyata itu hanya Ludwig, adiknya, yang—
"Tunggu, hei, Ludwig!" Kepanikan Gilbert terganti oleh rasa heran mengapa adiknya sudah pulang padahal jam pulang sekolah masih tengah hari nanti. "Ludwig!" panggilnya saat adiknya itu mengacuhkannya begitu saja saat melihatnya dan membiarkan pintu apartemen mereka terbuka. Ludwig kembali ke kamarnya dan mengunci diri.
Gilbert menyembunyikan dompet kulit tersebut ke dalam tas selempangan di bahunya, ia mengetuk pintu kamar adiknya dengan pelan, dan bertanya, "hei, bruder, ada apa? Mengapa jam segini kau sudah pulang?"
"Sudah jelas, bruder, aku tidak diperbolehkan masuk jika tunggakan bayaran sekolahku tidak dilunasi." Sahut Ludwig dari dalam kamarnya, suaranya teredam namun Gilbert yakin sekali bahwa adiknya itu sekarang tengah—apa ungkapan yang tepat? Ia belum pernah melihat Ludwig menangis, tapi jelas adiknya tengah menahan air mata.
"Ludwig? Maafkan aku, kau tahu bahwa aku belum mempunyai uang untuk—"
"Jangan meminta maaf, seharusnya kau biarkan aku berhenti sekolah dan bekerja seperti kau! Aku ingin membantumu bekerja dan melunasi hutang-hutang ayah kita yang tak bertanggung jawab itu!" teriak Ludwig. "Tentu saja aku tak lagi menganggapnya ayah. Tak sudi aku!"
"Ludwig, sudah berapa kali kukatakan bahwa kau tak boleh berhenti sekolah. Sudah berapa kali kita berdebat soal ini? Aku sudah berkata tidak dan jawabannya tidak. Dan takkan ada jawaban lain, kau dengar aku?"
"Tidak." Balasnya tak gentar.
"Terserah padamu." Gilbert menahan keinginan untuk menggebrak pintu kamar sang adik, ia mengepalkan tangannya kuat untuk meredam emosinya. "Tapi aku sudah berkata tidak."
Seperti biasanya saat mereka bertengkar seperti ini Gilbert akan mengalah dan membiarkan adiknya kabur ke kamarnya dan esoknya Ludwig akan kembali seperti sedia kala. Maka Gilbert kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa—di apartemennya hanya menyediakan satu kamar tidur dan kamar itu di tempati oleh Ludwig yang otomatis Gilbert menempati ruang tamu dan tidur di atas sofa. Ia memejamkan mata rubinya sesaat berusaha untuk lebih rileks namun tetap saja kepalanya berdenyut-denyut dengan emosi yang ia tahan sekuat tenaga dan beban masalah yang ia tanggung.
Gil melepas kemeja flanel yang ia kenakan kemudian menggantinya dengan kaus oblong yang membuat suhu tubuhnya segera turun. Cuaca di luar memang panas padahal belum sampai tengah hari. Tapi tidak seperti di kamar apartemen lain, di sini tak ada AC dan benda yang sejenisnya.
Diraihnya tas selempangannya dan mengaduk-aduk isinya. Ia mencari-cari amplop uang 'pensiun'-nya dari Mr. Yao namun karena tak kunjung menemukannya ia membalikkan tas tersebut dan membiarkan isinya berhamburan ke lantai. Gilbert tersenyum lega melihat amplop cokelat tersebut, ia tadinya mengira menjatuhkannya di jalan. Ia memungut amplop tersebut tapi lagi-lagi pandangannya tertumbuk terhadap dompet kulit hitam yang tadi—yang tadi ia ambil dari gadis di taman (Gilbert tak mampu untuk mengakui fakta bahwa ia mencurinya dari gadis itu).
Tangan kirinya mengambil amplop cokelat uang 'pensiun'-nya dan tangannya yang lain meraih dompet itu. Ia melirik kedua benda di tangannya dan memutuskan untuk melihat isi dompet itu lebih dahulu. Ia membuka kancingnya—well, ini dompet bermerk yang biasa dibawa-bawa oleh tante-tante matre banyak duit—dan mendapati bahwa isinya penuh oleh uang dalam pecahan 10,000 yen dan beberapa koin pecahan 500 yen. Gilbert nyaris tersedak napasnya sendiri. Dia belum pernah melihat uang sebanyak itu sebelumnya.
Ia bisa membayar uang sekolah Ludwig selama satu tahun penuh, juga lebih dari cukup untuk memenuhi biaya hidup selama dua bulan ke depan. Ia tidak tahu siapa gadis itu tapi yang pasti dia anak orang kalangan atas. Itu sudah jelas, tak perlu dipertanyakan tapi—tapi uang sebanyak ini...
Kau bisa memakainya, mudah bukan? Gadis itu takkan tahu toh dia takkan bisa mengejarmu lagi. Lagipula dia pasti tidak melihat wajahmu jadi kau lolos. Mudah banget ya?
Gilbert memeriksa sela-sela dompet yang menyimpan kartu dan lembaran kertas nota. Ia menemukan kartu-kartu diskon, kartu member di berbagai klub dan kartu nama. Ia mengangkat selembar kartu nama ke dekat mata rubinya dan membaca deretan kata di atasnya.
" Elizaveta Héderváry…"
xxxxxxXxxxxxx
Well, saya nulis ini secara dadakan banget. Karakter Prussia malah jadi kebalik ya? Dia jadi Ludwig banget dan kayak bertukar sifat. Yosh, karena itulah fic ini jadi beda, Gilbert-nya jadi dewasa banget.
A/N: Itulah kenapa fic ini OOC (kelewat OOC? Well, I've warned you ^^) Please leave a review for the next chapter. Thanks for reading =)
