"Luka-san..."
Panggilan itu terdengar samar. Seperti sangat jauh. Luka penasaran siapa yang memanggilnya itu. Yang ia lihat di dalam pandangannya hanyalah kegelapan tanpa ujung.
"Luka-san... kalau kau mendengarku, turuti permintaanku ini."
"Sekarang di hadapanmu ada sebuah tangga, di mana ada sebuah cahaya yang menyilaukan mata di ujung tangga itu. Berjalanlah ke depan tangga cahaya itu."
Tiba-tiba tanpa Luka sadari, tubuhnya bergerak. Mengikuti apa yang diucapkan oleh suara itu. Bagaikan hipnotis. Padahal rasanya tadi tidak ada apapun di pandangannya selain kegelapan. Sekarang malah ada tangga seperti yang suara itu ucapkan.
Kini ia berdiri di depan tangga itu.
"Seusainya, naiki tangga itu sampai ke atas."
Ah, Luka sungguh tidak mengerti...
"Ulangi langkah itu sampai 10 kali. Dan ketika telah selesai, lihatlah ke belakangmu. Di sana ada roh penjagamu selama ini."
Gadis berambut merah muda itu tidak mengerti. Kenapa seluruh tubuhnya seakan-akan punya otak sendiri? Bisa bergerak tanpa ia sadari dan kehendaki. Apalagi kaki-kakinya terus menciptakan langkah menaiki dan menuruni tangga itu dengan tempo sedang.
Walaupun sebenarnya Luka sendiri yang penasaran sih.
Dan. Roh penjaga, katanya?
Bukannya Luka tidak percaya. Luka memang sebenarnya percaya dengan eksistensi makhluk lainnya selain manusia. Ia percaya mereka ada. Tetapi ia tidak percaya bahwa ia akan bisa melihat salah satu dari mereka.
Luka tetap melangkah hingga akhirnya Luka berhenti di tangga bawah. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melihat ke belakangnya dengan perasaan was-was.
Hatinya tersentak ketika melihat ada seseorang di sana. Tubuhnya tinggi tegap, tingginya masih seperti manusia pada umumnya. Rambutnya ungu panjang yang tergerai bebas melintasi bahu bidangnya. Baju yang ia kenakan seperti baju samurai periode dulu.
Aura disekitarnya begitu cerah. Dan laki-laki itu tersenyum hangat padanya.
"Yoroshiku ne, Megurine Luka-san."
.
.
.
.
Guardian Spirit
Chapter 1. Kebetulan atau...?
Semua karakter yang ada di sini merupakan hak cipta milik Yamaha Coorporation beserta perusahaan-perusahaan pemiliknya. No commercial profit taken.
Warning : Ide pasaran. Sebisa mungkin IC. Isi ngawur. ghost!Gakupo. human!Luka. Berusaha bangkit dari hiatus.
selamat membaca.
.
.
.
.
Luka baru saja pulang sekolah. Dengan perasaan gelisah yang menderanya. Sementara Kaito—orang yang mengantarnya pulang—sudah pulang ketika Luka menutup pintu rumahnya.
Tadi ia sedang berada di perpustakaan. Ada sebuah pekerjaan rumah yang jawabannya hanya ada di salah satu buku di antara rak-rak buku perpustakaan itu. Jadilah ia berada di sana, dari pulang sekolah pukul 4 sore, sampai pukul setengah 6 sore.
Saking lelahnya, Luka pun langsung tertidur seusai menyelesaikan pekerjaan rumahnya tersebut.
Dan bukannya dibangunkan, seorang temannya bernama Shion Kaito malah mengusilinya dengan membisikkan sugesti tidak jelas itu! Tidak tahu juga, kemanakah perginya pustakawan yang biasanya masih ada di dalam perpustakaan itu.
Sebenarnya pemuda di alam bawah sadarnya itu sama sekali tidak menakutinya.
Dia hanya tersenyum, mengucapkan salam yang biasanya digunakan orang ketika berkenalan, setelah itu tidak ada. Luka kemudian langsung terbangun dengan keringat dingin yang melintasi keningnya.
Dan di sebelahnya ada Kaito yang duduk dengan wajah tanpa dosa.
"Eh, Luka-san? Apa yang terjadi di dalam mimpimu?"
"Apakah kau yang membisikiku ritual aneh itu?" Bahkan tanpa menjawab pertanyaan Kaito, Luka justru langsung menghujani pemuda itu dengan tatapan tajam.
Kaito mengangguk.
Dan Luka mendengus sembari bangkit dari duduknya, membereskan perkakasnya, kemudian beranjak keluar dari sana.
"Eh? Hei! Luka-san! Kau marah?" Kaito tidak enak hati juga, karena sudah menakuti Luka. "Apakah ada sesuatu di dalam mimpimu?"
"Disana ada..." Tatapan Luka tidak terfokuskan. Entah kenapa perasaan gelisah itu muncul di dalam benaknya. "Seorang pemuda. Tersenyum padaku. Kemudian, tidak ada apapun."
Kaito yang mendengarnya hanya terdiam. Sementara Luka masih terdiam bisu di tempatnya.
"Err... kenapa kau terlihat gelisah begitu?" tanya Kaito.
"B-bukan apa-apa."
"Ah, kalau begitu, bagaimana kalau kuantar? Sudah mau senja. Tidak baik anak gadis pulang sendirian saat begini."
Luka pun mengangguk tanpa berpikir dua kali.
.
.
.
.
Sebenarnya pemuda berambut ungu itu sama sekali tidak terlihat berbahaya. Aura di sekitarnya terlihat begitu cerah dan lembut. Membuat siapapun akan merasa nyaman berada di dekatnya.
Tapi siapa tahu itu hanya modus?
Luka tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu. Ia bukan seorang indigo, atau setidaknya memiliki indera keenam. Tidak, ia bukan orang seperti itu. Makanya, Luka hanya bisa merasa gelisah atas semua ini.
Ia berharap, tidak ada hal buruk yang akan terjadi padanya.
Dan Luka semakin merasa merinding karena hari ini orang tuanya sedang keluar kota. Kakaknya Luki pun menginap di rumah temannya.
Intinya, Luka sendirian malam ini.
Semua orang jahat, ih!
"Lho? Kenapa TV-nya menyala?"
Luka hanya memiringkan kepalanya dengan bingung ketika didapatinya, TV menyala di ruang tengah.
Padahal tidak ada siapapun di rumah. Kakaknya langsung ke rumah temannya begitu pulang sekolah. Dan orang tuanya sudah berangkat dari tadi pagi.
"..."
Luka memutuskan untuk mengabaikannya dan membiarkan TV itu tetap menyala. Siapa tahu ia mendapat hiburan dari media kotak itu.
Sembari menghela napas, Luka melempar tas selempangnya dengan sembarang ke atas sofa dan menghempaskan pantatnya di dudukan sofa.
"Aduh..."
Dan itu bukan berasal dari mulut Luka.
Gadis bermata biru samudra itu mengernyitkan dahinya. Terkejut karena suara itu terdengar begitu jelas di telinganya. Berasal dari arah tasnya.
Luka menoleh, mendapati ada seseorang duduk di sebelahnya. Dan tas selempangnya tadi memang ada di sofa sebelahnya—dan menembus sosok tembus pandang itu.
"Oh, ini sebenarnya tidak sakit. Tapi rasanya aneh saja," gumam orang itu, balas menoleh pada Luka. "Hei, bisa singkirkan tas ini?"
Sementara Luka hanya terdiam, mata terbelalak, mulut menganga, dan bibir memble.
Luka pun kemudian menjerit histeris.
.
.
.
.
'Orang tadi siapa ya? Pencuri? Atau orang mesum? Tapi sepertinya, tubuhnya transparan... ah, aku pasti pingsan karena terkejut melihatnya, atau hanya mimpi.'
Luka perlahan membuka kelopak matanya, memperlihatkan kembali mata biru samudranya kepada dunia.
"Hei? Kau sudah sadar?"
Luka mengerjap-erjapkan matanya untuk memperjelas pandangannya.
"Hei... kepalamu tidak apa-apa? Kau tiba-tiba saja pingsan dan jatuh. Aku tembus pandang sih, jadi tidak bisa mengangkatmu ke sofa."
Akhirnya siluet pemuda berambut ungu itu tampak jelas di dalam matanya.
Lagi-lagi pelototan mata menjadi jawaban atas pernyataan polos orang itu.
"WAAAAA! SIAPA KAMU!" Spontan bangun dan ngesot menjauh karena terkejut, Luka menunjuk pemuda itu dengan tidak sopan. "MASUK SEMBARANGAN! SETIDAKNYA KETUK PINTU DULU KEK!"
"Ah, rupanya kau sehat-sehat saja." Bukannya apa, pemuda itu malah terlihat sangat santai. "Kau sepertinya kaget sekali ya? Tadi kepalamu duluan yang jatuh ke lantai loh!"
Luka tidak menanggapinya dan lebih memilih memperhatikan penampilan pemuda itu dari atas hingga bawah.
Pemuda itu berambut panjang. Hal yang lumayan aneh untuk seorang laki-laki karena rambut panjang itu lebih identik dengan perempuan. Luka tahu bahwa orang ini adalah laki-laki, karena suaranya yang berat dan bass.
Trus, pemuda itu 'kan yang muncul di dalam mimpinya tadi! Kenapa sekarang dia ada di depannya? APAKAH SEBENARNYA PEMUDA ITU HANTU—?
Dan hal terakhir yang paling ekstrim dan paling hebat. Pemuda itu transparan dan melayang di udara!
"Halo? Mbak?" Pemuda itu melambaikan tangannya di depan wajah Luka. Gadis itu pun tersadar dan memusatkan pandangannya pada wajah pemuda yang entah kenapa tampak seperti manusia biasa itu. Maksudnya, biasanya hantu itu wajahnya pucat, bukan? Tetapi tidak demikian dengan hantu ini.
Pakaian yang ia kenakan pun biasa saja. Kaos kedodoran berlengan panjang warna hitam dan celana panjang berwarna biru malam. Jika saja tubuhnya tidak transparan, ia akan tampak seperti manusia biasanya.
Dan wajahnya begitu cerah dan nyaman dipandang. Ehm, bukan karena dia tampan ya.
'Ternyata orang ini memang yang muncul di dalam mimpiku tadi...,' batin Luka syok.
"Hehe... itu memang saya kok, Tuan Putri!" Pemuda itu menyengir sambil menunjuk dirinya sendiri. Luka pun melongo semakin tablo.
'Dia bahkan bisa membaca pikiranku...!'
"Rata-rata, hantu memang bisa membaca pikiran orang lain, Megurine-san." Lagi-lagi pemuda itu menyeletuk.
Luka yang mendengarnya hanya menghela napas.
"Baiklah. Jadi kau adalah... 'roh penjaga'ku?" tanya Luka hati-hati, takut menyinggung. "Dan omong-omong, bisakah kau berhenti melayang seperti itu? Kau membuatku takut."
"Eh? Megurine-san takut? Oh, baiklah. Maafkan aku." Pemuda itu pun turun hingga kakinya menginjak tanah, kemudian ia duduk di depan Luka. "Ehm, aku ini... tidak bisa dibilang 'roh penjaga' juga. Mungkin aku hanya roh biasa."
"Lantas? Kau ini apa? Hanya hantu penasaran yang nyasar di rumahku?"
"Hmm... mungkin?"
"Bagaimana bisa kau bilang mungkin? Kau berasal darimana sih?"
Dia menerawang sejenak ke langit ruangan, kemudian mengendikkan kedua bahunya. "Aku tidak ingat."
"... aku curiga, jangan-jangan kau itu sebenarnya kakek-kakek? Jadi sudah gampang lupa?" sindir Luka sarkastis.
"Ah, jangan begitu, Megurine-san! Aku masih muda, aku hanya mudah lupa! Itu saja!"
Luka menghela napas. "Jadi, kau juga lupa kenapa kau bisa jadi hantu penasaran begini, hm?"
"Ah, itu juga sih! Hehehe..." Malah tertawa tanpa dosa! "Hei, daripada kita jadi seperti orang asing begini, panggil saja aku Gakupo!"
"Itu nama panggilanmu?"
Gakupo mengangguk. "Megurine-san juga bisa memanggilku dengan Gaku-pyon kok! Biar lebih akrab gitu! Hehehe..."
Luka spontan melempar sandalnya ke arah Gakupo. Tapi malah menembus Gakupo dan berakhir di pojok ruangan.
"Ah, Megurine-san lupa kalau aku ini roh?" Gakupo melirik sejenak ke belakangnya, kemudian terfokus lagi pada Luka yang masang tampang tablo lagi. Tapi namanya juga Luka, dia lebih memilih untuk beralibi.
"Ehm. Bukannya begitu. Aku hanya kesal karena kau mulai menggodaku lagi!"
"Ah... Megurine-san tidak terlihat kesal tuh."
Alibi yang gagal. "... beritahu saja aku nama margamu! Aku jadi merasa aneh jika memanggil nama panggilanmu sedangkan kau sendiri memanggilku dengan nama margaku!"
"Ups, aku tidak ingat."
"JANGAN BOHONGI AKU!"
"Oh, woles saja, Mbak. Daripada kau memaksaku memberitahu nama margaku, bagaimana kalau aku saja yang memanggilmu dengan nama panggilanmu?"
"..."
"Aw, Tuan Putri Megurine tersipu-sipu."
"DIAMLAH ATAU KUPANGGIL SHINIGAMI UNTUKMU SEKARANG JUGA!"
"Ah, ah. Baiklah. Ampuni aku, Tuan Putri." Gakupo meletakkan kedua tangannya di lutut, kemudian membungkuk. Sungguh-sungguh minta maaf. "Jadi, memanggil nama kecilnya gak jadi nih?"
Hanya dengan tatapan tajam yang menusuk dari Luka saja, Gakupo tahu apa jawabannya. "Baiklah. Aku tetap memanggilmu Megurine-san."
Luka mengabaikannya dan menghela napas keras-keras. "Sudahlah. Aku mau makan."
Gakupo sendiri tidak menjawab. Dia memperhatikan sejenak pada Luka yang berlalu ke dapur, kemudian menerbangkan dirinya.
"Malam ini Megurine-san makan apa?" Ih, Gakupo kepo dah!
"Apa saja yang ada di dapur ini," jawab Luka cuek. Dia berhenti di depan kulkas, di mana ada sebuah catatan tertempel di pintunya.
Oh, di sana ada catatan yang berisikan tulisan alay milik Luki, masbro tercintanya.
My sweety little sister Luka-chan!
Aku diberi mandat oleh Mama, katanya Luka-chan makan saja apa yang ada di dapur. Soalnya Mama gak masak apa-apa tadi pagi sih! Dan aku kehabisan pulsa buat mengirim SMS padamu!
With love,
Your cool big brother Luki
Pesannya saja tidak begitu jelas. Ah, pokoknya, Luka mengerti apa maksud Luki.
Dia disuruh masak sendiri—atau beli makanan jadi saja di luar. Kebetulan Luka lagi malas berkutat dengan dapur.
"Waa... Kalau dilihat-lihat, sepertinya Megurine-san bakal beli makan di luar?" Gakupo masih melayang-layang di samping Luka.
Luka sendiri menghela napas lagi untuk kesekian kalinya. "Sepertinya tidak ada pilihan lain."
Iris biru keunguan Gakupo mengikuti gerakan Luka yang berjalan menjauhi dapur. Dia mengikuti Luka sampai Luka sendiri yang mencegatnya. "Hei, apa kau masih akan mengikutiku bahkan ketika aku sedang ganti baju?"
"Kalau Megurine-san tidak keberatan..." Gakupo nyengir.
"..."
"Ah, baiklah. Maafkan aku. Aku hanya bercanda."
Luka pun menghentikan death-glare nuklirnya dan membuka pintu kamarnya. "Aku akan tahu jika kau mengikutiku."
"Baiklah, baiklah."
Luka pun masuk ke kamarnya—setelah memastikan Gakupo sudah duduk dengan tenang di sofa dan menonton TV.
Di balik pintu kamarnya, Luka menghela napas.
Bagaimana bisa kehidupannya sekarang berubah drastis gara-gara kehadiran hantu yang tidak jelas datangnya darimana itu! Apalagi sepertinya Gakupo akan mengikutinya kemanapun terkecuali ke kamar mandi atau Luka sedang ganti baju! Bikin ngenes saja sih, hidupnya!
Tapi bukan itu masalahnya.
Sekarang yang jadi masalah adalah, bagaimana jika Gakupo akan tetap terus mengikutinya selamanya? Mengingat, Gakupo sendiri tidak ingat apapun kecuali nama kecilnya doang! Mimpi apa Luka semalam!
... oh iya, ia mimpi bangun kesiangan.
Sial.
Luka menghela napas lagi—sepertinya akan menjadi kebiasaan baru Luka ketika sedang gelisah. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu apa-apa tentang Gakupo. Baru kenal juga tadi!
Tapi meskipun Luka baru mengenalnya, entah kenapa Luka tidak merasa takut padanya. Mungkin dia memang gelisah, namun ia sama sekali tidak menganggap Gakupo itu sebagai roh yang jahat. Ia sedikit usil, tapi Luka yakin, Gakupo hanya ingin Luka membantunya untuk mencari tahu apa gerangan yang membuatnya masih terus berkeliaran di dunia ini.
Kemudian Luka pun melirik jam wekernya yang berdiri di meja buffet sebelah tempat tidurnya. Sudah pukul 7 malam.
"Megurine-san? Belum selesai juga?"
Betapa terkejutnya Luka ketika mendengar suara Gakupo yang begitu jelas di telinganya. Ia menoleh. Ternyata Gakupo ada di sebelahnya.
"SUDAH KUBILANG TUNGGULAH DI LUAR!"
Luka mulai ragu kalau pemuda itu adalah "roh penjaga"nya.
Orangnya aneh begitu. Meskipun orang yang ada di dalam mimpinya itu sangat mirip dengan Gakupo, Luka sama sekali tidak bisa disuruh percaya. Tidak bisa! Karena Luka orang yang termasuk berpikir secara logika.
Mungkin hanya kebetulan mirip. Tetapi, kenapa Gakupo tadi mengiyakan saja ketika Luka menanyakannya?!
Ah, Luka bingung. Sudahlah. Ia pusing mengurusinya. Lebih baik ia cepat-cepat mengganti pakaian seragam sekolahnya dengan pakaian biasa, dan segera membeli makanan.
.
.
.
.
"Ah, walaupun sudah malam, tapi tetap saja pemandangan kota bikin silau!"
Luka merutuki Gakupo yang tidak henti-hentinya mengoceh di sepanjang jalan. Ia memasukkan kedua tangannya di kedua kantong jaket coklat yang menutupi kaos hijaunya, dengan celana selutut yang menghias kakinya.
"Hei, daripada kau berceloteh seperti itu, bagaimana kalau kau perhatikan sekeliling sambil mengingat-ingat apa alasan kau jadi arwah penasaran seperti ini?"
Desisan Luka membungkam Gakupo dalam sekejap.
Luka sendiri hanya memperhatikan sekelilingnya. Menyusuri deretan pertokoan yang menjual apapun yang bisa diijual. Tapi dari semua itu, Luka hanya mencari satu; makanan.
"Oh iya! Megurine-san! Aku sungguh senang karena meskipun kau tidak begitu tahu tentangku, kau masih mau membantuku untuk mengembalikan ingatanku ini!" Gakupo kembali menyeletuk.
"Soalnya kalau aku tidak membantumu, kau pasti akan terus-terusan menggentayangi hidupku yang tenang ini!" ucap Luka dengan suara khas orang terpuruk. "Aku hanya mendambakan hidup yang damai dan sentosa..."
"..."
Entah kenapa Gakupo terdiam mendengarnya. Luka pun sedikit-banyaknya agak merasa bersalah juga. Yah, siapa tahu Gakupo salah mengartikannya sebagai, "Elo udah ngeganggu hidup gue, tau! Minggat sono lo!"
Yah, siapa tahu. Kita takkan pernah tahu apa yang para hantu pikirkan tentang kita.
"Ehm, aku tahu aku sudah mengganggumu, Megurine-san. Tapi ini takkan lama. Pasti takkan lama. Setelah semuanya beres, aku akan pergi dari hidupmu dan takkan pernah mengganggumu lagi."
Giliran Luka yang terdiam mendengarnya.
Dan suasana canggung pun membayangi mereka.
"..."
"..."
"Hei, Gakupo."
"Ya, Megurine-san?"
"Kenapa kau memutuskan untuk meminta bantuanku? Apakah tidak ada orang lain yang bisa membantumu?"
"Hm..." Gakupo pun berhenti melayang, dan menurunkan dirinya hingga kaki menyentuh tanah. Kemudian memasang pose berpikir. "Ah, aku mengikutimu karena kurasa hanya kau yang bisa membantuku, Tuan Putri Megurine!"
"Kenapa hanya aku? Padahal aku bukan siapa-siapa. Aku tidak mempunyai indera keenam, aku pun bukan indigo. Melihatmu saja sudah membuatku ketakutan setengah mati karena ini adalah pertama kalinya aku melihat hantu."
"Megurine-san." Tatapan Gakupo melunak. Ia tersenyum kecil. "Terkadang, yang dilihat oleh orang lain bukan bakatnya, tetapi hatinya. Bisa jadi aku hanya bisa bergantung padamu karena kau adalah orang yang baik."
"..."
Gakupo sepertinya mencoba untuk merayunya lagi.
Tapi yang pasti, entah kenapa Luka sedikit terpana dan berdebar melihat wajah itu dihiasi dengan senyum tipisnya. Baiklah, itu bukan apa-apa. Mungkin Luka hanya sedikit terpana melihat senyum itu.
Jadi Luka hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain, menghela napasnya, dan memusatkan perhatiannnya lagi pada pencarian makanan. Dan ia baru sadar bahwa dari tadi ia diperhatikan oleh para pejalan kaki.
"Ano, Luka-san. Kenapa kau tadi terlihat seperti berbicara sendiri?" Seorang berambut biru pun datang menghampirinya dan bertanya dengan raut wajah bingung.
"Ah, Kaito-kun. Itu..." Luka berusaha mencari-cari alasan supaya ia tidak terlihat aneh di mata Kaito. Yah, bagaimanapun juga, ia tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri! "Aku sedang latihan drama."
"Latihan drama di tengah jalan?" Gakupo tertawa mendengar alibi Luka. Gadis itu hanya mengabaikannya.
"Oh, kukira kau berbicara sendiri karena ritual itu membuatmu menjadi gila," ucap Kaito mengungkit-ungkit hal yang sebenarnya tidak ingin Luka ingat untuk saat ini.
"Ah, tentu saja tidak."
"Aku sungguh penasaran. Siapa yang kau temui di sana? Apakah dia menyeramkan? Dan, apakah ia mengikutimu hingga saat ini?"
Luka tahu bahwa Kaito pasti khawatir karena—bagaimanapun juga—ia yang membuat Luka menjadi seperti ini. Dan meskipun Luka masih merasakan kehadiran Gakupo di sampingnya, pemuda rambut ungu itu tidak menjawab apapun. Mungkin ia hanya tidak ingin mengusik Luka.
"Ah, orang itu seperti kita juga. Dia tidak menyeramkan. Dia baik. Dia punya perasaan seperti layaknya manusia. Dan...," Luka menarik napas diam-diam, dan memutuskan untuk berbohong di kalimat yang satu ini, "dia tidak mengikutiku."
"Sungguh?"
Luka mengangguk. "Percayalah padaku."
Percayalah pada kebohonganku. Gakupo yang mendengarnya tidak kunjung berbicara. Ia hanya mendengarkan percakapan Luka dengan pemuda itu.
"Hei, sedang apa Luka-san di luar malam-malam sendirian begini?"
"Uhm, aku sedang mencari makan."
"Tidak ada orang di rumah?"
"Ya begitulah."
"Apa kau yakin tidak apa-apa?"
"Aku akan baik-baik saja. Aku sudah biasa ditinggal sendiri."
"Hm, baiklah. Maaf, aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa nanti."
Kaito pun berlalu meninggalkan Luka yang terdiam seribu bahasa.
"... kau menyembunyikan keberadaanku?" Gakupo bergumam pelan.
"Diamlah," Luka berucap cuek, dan kembali berjalan.
"Ah, padahal kukira tadi kau akan berkata sejujur-jujurnya. Karena kupikir, ada yang lain dari pemuda itu."
Luka tidak langsung menjawabnya karena mereka sudah terlanjur di dalam sebuah rumah makan sederhana. Membeli sebuah paket makan, cek bayar, dibawa pulang.
Gadis itu baru menjawabnya ketika mereka sudah berada di jalan komplek rumah Luka yang sunyi.
"Apanya yang berbeda?"
"Dia ingin sepertimu."
"Apanya sih! Katakanlah dengan jelas!"
"Dia juga ingin mengalami hal spiritual sepertimu."
"Hah? Apa maksudmu?" Luka yang bingung pun menolehkan kepalanya ke samping, di mana ada Gakupo yang berjalan dengan normal di sebelahnya.
"Dia sebenarnya tahu bahwa kau diikuti hantu. Tapi ia tidak mengatakan apapun tentang itu. Dan, rata-rata orang yang terobsesi dengan ilmu gaib pasti akan merasakan hal seperti itu—ah, aku tidak ingin membicarakannya lagi. Mereka ada di sekitar sini."
Luka sempat tersentak mendengar kata "mereka" itu. Dia menoleh ke sekeliling, tapi tidak menemukan apapun. Hanya rumah-rumah penduduk dan pepohonan yang sedikit bergoyang terkena angin.
"Megurine-san, hati-hatilah. Setelah kau bisa melihatku, kau mungkin bisa melihat hal-hal lainnya yang seperti aku ini."
"Maksudmu—SEKARANG AKU SUDAH BISA MELIHAT HANTU?"
"Iya. Dan tolong jangan berucap keras begitu. Kau bisa mengganggu tetangga rumahmu."
Luka tidak mengatakan apapun. Hanya ternganga. Oh, Gakupo pasti berbohong. Pasti, PASTI! Kami-sama! Hidupnya tidak damai lagi!
"Megurine-san? Kenapa diam begitu? Tenanglah. Meskipun sekarang kau sudah bisa melihat mereka, aku akan meminimalisir jarak pandangmu dengan mereka. Jadi, kau takkan selalu bisa melihat mereka."
"T-tapi... bagaimana kalau mereka tahu aku bisa melihat mereka? Apakah mereka akan menggangguku?"
"Hm... aku yang akan mengurusnya. Siapapun yang berani mengganggu Megurine-san, mereka harus berhadapan denganku dulu."
Euh...
Luka jadi teringat dengan anime yang berlambang sayap putih itu.*
.
.
.
.
Sesampainya di rumah, Luka menaruh bungkusan itu di meja ruang tengah dan mendudukkan dirinya di atas sofa.
Kemudian ia membuka bungkusan yang ia beli tadi. Okonomiyaki.
"Wah, kelihatannya enak..." Gakupo berdiri di samping gadis itu. "Masih berasap..."
Mendengarnya, Luka pun menoleh.
"Kau mau?" Sekedar basa-basi. Karena Luka tahu, meskipun Gakupo mau, ia takkan bisa memakannya.
"Hm, mau sih. Tapi nanti Megurine-san bakal jadi kurang makanannya, 'kan?"
Sebenarnya Luka mau membalasnya lagi, tapi dia sudah keburu lapar. Jadi tanpa mempedulikan jawaban Gakupo barusan, ia pun segera menyambar sendoknya, memotong salah satu sudutnya hingga menjadi irisan kecil, dan memakannya.
"Bagaimana rasanya, Megurine-san?"
"Uhm, enak." Luka melirik ke Gakupo lagi. Ada rasa tidak enak juga nih, makan di depan orang yang tidak bisa makan. "Kau tidak merasa lapar?"
"Aku bahkan tidak ingat lagi bagaimana rasanya lapar."
"Aku penasaran sudah berapa lama kau... mati." Baiklah, Luka sebenarnya tahu bahwa ada kata yang lebih sopan daripada kata mati, seperti meninggal atau sejenisnya. Tapi dia keceplosan.
Dan sepertinya Gakupo bukan orang yang akan mengurusi hal sekecil itu.
"Entahlah. Aku tidak ingat." Gakupo acuh tak acuh, kemudian ia berjalan menjauh dari Luka. "Megurine-san, makanlah. Jangan pedulikan aku."
"Uhm, baiklah..." Luka sendiri juga hanya bisa mengiyakan, dan mulai memakan Okonomiyaki-nya.
Gadis berambut merah muda itu dapat melihat dari ekor matanya, Gakupo sedang berjalan—benar-benar berjalan, bukan melayang—mengelilingi rumahnya. Menelusuri dan mengenali tiap-tiap inchi rumahnya, seolah Gakupo adalah calon pencuri rumahnya.
Gakupo berjalan perlahan, mata iris biru keunguan miliknya memperhatikan benda-benda yang berada di sana untuk mengisi kekosongan rumah itu. Rumah Luka sendiri terbilang biasa-biasa saja, seperti rumah pada umumnya. Di mana ada ruang tamu yang bergabung langsung dengan ruang tengah, berlanjut pada dapur di belakangnya yang berbatas dinding. Kamar orang tua Luka ada di lantai bawah, sedangkan kamar Luka dan kakaknya ada di lantai atas.
"Hei, kalau aku tidur, kemana kau akan tidur? Atau apa yang kau lakukan?" Suara Luka memecah keheningan.
"Aku..." Gakupo pun mendapati sebuah figura di mana ada Luka dan keluarganya di dalamnya, di atas tungku api. "Memangnya Megurine-san mau aku bagaimana?"
"Justru itu yang membuatku bingung."
"Ah, tunggu. Apa kau punya kamar tidak terpakai? Aku mungkin tidak tidur, tapi setidaknya aku bisa duduk istirahat."
Sebenarnya Luka tidak mengerti apa saja yang dilakukan oleh para roh penasaran ketika malam—apakah mereka tetap memperhatikan para manusia tertidur pulas, atau bagaimana. Jadi ia pun hanya bisa menuruti apa yang Gakupo mau.
"Hm, sebenarnya ada. Di sebelah kirimu itu kamar tamu, lagi kosong. Kalau tidak keberatan, tinggallah di sana."
"Baiklah, Megurine-san," respon Gakupo pelan, fokus memperhatikan Luka di dalam foto tersebut. "Hei, gadis ini Megurine-san?"
"Iya."
Gakupo tidak menjawab lagi. Dia memperhatikan tiga orang lainnya di sana. Ada seorang pria berambut merah pudar, seorang wanita berambut merah muda, seorang pemuda berambut merah muda lagi, dan Luka. Jadi bisa Gakupo prediksi bahwa ini adalah foto keluarga Luka.
Pemuda berambut feminin itu pun beralih pada foto di sebelahnya. Ada foto Luka dan kakaknya masih kecil, pada saat wisuda sekolah, dan lainnya.
"Megurine-san punya kakak ya."
"Iya, namanya Luki," ucap Luka singkat sambil membereskan kotak makan Okonomiyaki-nya tadi.
"Keluargamu sedang ke mana, Megurine-san?"
"Ayah-ibuku sedang keluar kota mengunjungi saudara, dan kakakku sedang menginap di rumah temannya." Setelah membuang bungkusan itu ke tempat sampah di samping pintu rumah, Luka kembali menutup dan mengunci pintu rumah seraya menguap.
"Megurine-san mengantuk?"
Luka tidak menjawab, hanya mengangguk sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. "Oh iya, Gakupo. Aku mau tanya."
"Silakan."
"Darimana kau tahu namaku?"
Gakupo melirik sedikit ke Luka yang ada di sebelahnya. "Hah?"
"Darimana kau tahu namaku? Tadi, aku tidak ada menyebutkan namaku, bukan?"
"... aku 'kan bisa membaca pikiranmu, Megurine-san."
"Oh iya. Maaf. Aku tidak ingat," jawab Luka, berjalan ke tangga rumah. "Baiklah, aku mengantuk. Aku mau tidur. Kuharap kau bisa istirahat di kamar barumu."
"Baiklah, Megurine-san. Oyasumi."
"Oyasumi." Luka tersenyum tipis menyahuti. Dan selagi dia berjalan naik tangga, memperhatikan Gakupo yang menembus dinding kamar barunya—Luka sedikit bergidik melihatnya—Luka pun berpikir akan sesuatu.
"Mungkin ini hanya perasaanku saja bahwa Gakupo bukan hanya sekedar tersesat di rumah ini."
.
.
.
.
bersambung.
*) Anime lambang sayap putih itu—Tsubasa Chronicle.
A/N : Yadda! Bangkit dari hiatus, tahu-tahu datang dengan fanfic ginian! Maaf, saya nyampah lagi. Dan maaf juga saya berencana untuk melupakan fanfic Vocaloid saya lainnya untuk sementara. Tenang, ini cuma 3 chapter kok, rencananya... ==
Ini terinspirasi darimanapun saya dapat inspirasi. Ritual itu, dari blog. Alur cerita, dari komik "Teacher, Please Listen to Me!" alias "Sensei, Kiite yo!". Obsesi Kaito terhadap ilmu gaib, dari saya sendiri. Ya, ya. Saya lagi demen dengan cerita hantu -.-
Tapi tetap saja, ini asli dari imajinasi saya. Saya harap ceritanya gak terlalu ngawur. Didalam fanfic ini, saya berusaha untuk sambil memahami perasaan roh penasaran (?). Oke, GakuLuka-nya belum terlalu terasa. Dan gomen, gomen banget Gakupo jadi hantu disini =w=
Meskipun Gakupo bukan guardian spirit-nya Luka secara definisi, tetap aja arti guardian spirit itu akan muncul di suatu waktu nanti bagi Luka... /apamaksud
Okay, mind to review, minna-san?
(13082015. Perbaikan kata "di", dan segala macam masalah EYD.)
