Haikyuu © Furudate Haruichi
.
Friendship
Drama
.
OOC, typo(s), EyD tidak sempurna, dll.
.
1.
Oikawa Toru.
Mantan kapten tim bola voli Aoba Johsai, berdiri mematung dengan pakaian serba hitamnya di bawah pohon rimbun yang menghalanginya dari terik matahari; sepatu hitam, celana hitam, kaos hitam, kemeja hitam. Semua warna gelap itu harusnya membuat dia mengucurkan keringat berlebih di tengah hari, tapi tidak, Oikawa berdiri santai dengan tubuh tegapnya, ia sama sekali tidak terganggu dengan cuaca atau hal lain. Ia tampak tampan meski dalam setelan monokrom itu. Sayangnya wajahnya berkerut tidak suka.
Gara-garanya adalah objek yang ia amati sepuluh meter di depannya.
"Kenapa dari semua orang yang akan mati harus dia yang mesti kuawasi? Shinigami-san pasti mempermainkanku," gerutunya tidak suka. "Yah, ini sebagai penebusan dosaku, mau bagaimana lagi. Hanya tujuh hari. Tugasku sebagai asisten dewa kematian hanya tujuh hari dan setelah aku mencabut satu nyawa maka aku bebas pergi ke surga."
Oikawa terdiam. Ia berganti posisi menjadi berjongkok dan memangku dagunya dengan tangan kanan. Ia mendesah panjang dan menatap iba pada satu sosok tegap yang berlari di lapangan olahraga universitas itu. Seseorang yang dikenalnya cukup baik walau tidak untuk hubungan mereka.
"Ushiwaka-chan... Bermainlah voli sepuasmu, karena tujuh hari lagi kau akan mati. Aku yang akan mencabut nyawamu."
Di seberang lapangan, Ushijima tiba-tiba berhenti berlari dan menoleh ke pepohonan di pinggir lapangan. Tidak ada siapa pun di sana, tapi ia merasa namanya disebut lewat hembusan angin, tengkuknya juga dingin untuk sesaat.
"Ushijima-san, ada apa? Kau sepertinya terlihat pucat, kau baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa. Ayo lanjut latihannya."
Mereka berlari ke dalam gedung olahraga. Tapi sekali lagi Ushijima menoleh ke pepohonan yang tidak ada apa pun di sana.
Oikawa bersender di balik batang pohon. Ia mendongak ke rerimbunan daun.
"Ini masih masa-masa terbaikmu dalam bermain voli, sayangnya kau juga akan hilang di masa emasmu, Ushiwaka-chan. Rasanya... aku kasihan padamu."
.
2.
BAM!
Pant.
Bola voli yang tadi memantul keras ke lantai langsung terempas dan berhenti setelah menabrak dinding ruangan. Orang-orang yang menjadi lawan Ushijima Wakatoshi bergidik ngeri. Mereka pasti berpikir betapa mustahilnya menerima spike keras seperti itu, lawan mainnya juga kelihatan masih jauh di bawah mereka meski sama-sama anak kuliahan.
Oikawa mencebik bibirnya tidak suka. Ia berada di bangku penonton yang sepi. Di atas dan mengamati Ushijima tanpa mengalihkan perhatian.
"Semakin tua semakin bertenaga saja. Aku benci Ushiwaka-chan. Yah, lagi pula sebentar lagi dia akan mati."
Oikawa mengangkat kedua tangannya sejajar bahu, acuh.
Ah, Oikawa terlihat sangat jahat dengan perkataannya barusan. Oikawa Toru memang seorang antagonis menyebalkan untuk lawan-lawannya.
Ushijima menoleh ke bangku penonton. Ia yakin sekilas tadi matanya bertemu pandang dengan seseorang yang ia kenal. Orang yang tidak seharusnya berada di tempat itu, di dunia ini.
"Ushijima-san, kau melamun."
"Maaf," balas Ushijima datar seperti biasanya.
Apa yang tadi benar Oikawa?
Pikirnya saat menoleh ke tempat yang sama lagi. Tapi tempat itu kosong, hanya deretan kursi yang menjadi penonton bisu.
"Gawat...! Semoga saja dia hanya menganggapku sebagai imajinasinya saja," keluh Oikawa yang bersembunyi di balik kursi-kursi.
.
3.
"Ushiwaka-chan... selamat pagi."
Ushijima mengerutkan keningnya bingung. Meski ragu-ragu dengan yang dia lihat, Ushijima tetap berwajah datar. Pemandangan paginya saat membuka pintu adalah hal yang mustahil.
Oikawa Toru yang harusnya sudah mati empat tahun lalu berdiri di depan pintu rumahnya dengan setelan serba hitam dan dengan senyum yang ramah.
"Oika...wa?"
"Yahooo! Kenapa kau terkejut begitu? Memangnya kau baru saja melihat hantu sedang menyapamu?"
"Kau sudah mati, jadi kau memang hantu."
"Jahatnya! Kau mengingatkanku pada hal buruk dan menyebutku sebagai hantu. Asal kau tahu saja, aku bukan hantu, tapi shinigami. Tidak, sebenarnya hanya asisten sih..."
Ushijima diam mendengarkan. Oikawa berbicara sendiri soalnya.
"Kenapa aku bisa melihat shinigami?" tanya Ushijima.
Oikawa diam sejenak. Ia menarik nafas panjang, walau ia tahu tidak ada udara yang ia rasakan melewati rongga hidungnya maupun di dadanya.
"Karena kau akan mati sebentar lagi. Aku akan mengawasimu selama tujuh hari dan ini hari ketiga. Shinigami memang bisa dilihat oleh orang yang ditargetkan akan mati olehnya," jawab Oikawa selayaknya profesional.
Ushijima masih bereaksi datar. Ia tidak terkesan kaget atau takut. Itu membuat Oikawa kesal. Sangat kesal.
Serta simpatik.
"Jadi waktuku tinggal empat hari lagi dari sekarang. Tidak cukup banyak sepertinya." Ushijima berbicara sendiri untuk dirinya sendiri. "Oikawa, kenapa kau muncul di hadapanku?"
"Karena kemarin kau sudah melihatku jadi sekalian saja. Lagi pula berada di dekatmu sebagai shinigami bukan hal yang buruk. Mungkin saja servis-mu akan meleset saat tahu orang yang akan mencabut nyawamu berdiri tepat di belakangmu di lapangan voli."
"Oh." Gumam Ushijima. Ia mulai melangkah meninggalkan pekarangan.
Oikawa mengikuti di belakangnya. Ia tidak akan dilihat orang lain kecuali Ushijima, jadi ia tidak perlu takut kepergok orang yang dikenalnya.
"Bukan karena kau kesepian? Aku dengar orang yang mati itu selalu sendirian sebelum mencapai surga."
Oikawa menghentikan langkah. Ushijima tidak menyadari. Pemuda itu menunduk dalam, benaknya memikirkan tentang apa yang dikatakan Ushijima tadi yang mungkin benar.
Oikawa tidak merasa menjadi dirinya sendiri setelah mati empat tahun lalu, sesuatu dalam dirinya ada yang berubah bahkan meski dia sudah mati. Oikawa berpikir, tentang apakah Ushijima dan orang-orang yang ia kenal juga akan merasakan kesepian yang sama dengannya. Memikirkan itu membuat Oikawa sesak, ia tidak ingin orang-orang yang berharga baginya merasakan itu juga. Ushijima juga termasuk, terlebih dia orang yang dikenalnya yang pertama akan mati setelah dirinya.
Oikawa berlari menyusul Ushijima yang sudah jauh di depan.
"Mana mungkin aku kesepian, weeek! Sampai mati pun aku tidak akan mendatangimu karena merasa kesepian, bodoh...! Ushiwaka-chan bodoh!"
"Tapi Oikawa, kau sudah mati."
"Hee? Benarkah? Kapan itu? Kenapa aku tidak ingat? Kau pasti mengarang cerita."
"Tidak. Yang kukatakan adalah benar. Kau mati tertabrak truk empat tahun lalu."
"Emph! Tidak mau dengar! Aku tidak mendengar apa pun!"
.
4.
Oikawa bosan.
Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain mengamati Ushijima yang semakin gila-gilaan bermain voli setelah tahu hidupnya tidak lebih dari jumlah jari tangan kirinya. Ushijima seperti tidak memiliki titik jenuh dan puncak kelelahan dalam dirinya.
Oikawa menendang-nendang udara dengan kakinya.
"Apa kau tidak bosan bermain voli? Sebaiknya kau juga bersenang-senang, waktumu tinggal tiga hari lho," katanya pada Ushijima yang tengah duduk di sebelahnya, selonjoran di lantai gedung olahraga.
Oikawa sebenarnya merindukan rasa dinginnya lantai yang sejuk. Ia menginginkan lagi rasa panas yang menggebu di dalam tubuhnya setelah selesai latihan. Ia masih ingin merasakan rasa perih di tangannya karena terlalu banyak memukul bola. Ia ingin terengah-engah. Ia ingin menenggak minuman warna biru dengan tulisan putih itu. Ia ingin mengelap keringatnya dengan handuk yang setengah basah. Ia ingin memutar bola voli di ujung jarinya.
Oikawa menatap iri teman-teman setim Ushijima yang masih bisa menikmati semua itu. Oikawa juga menoleh pada orang yang ia panggil Ushiwaka-chan, yang hanya bisa merasakan itu beberapa hari lagi.
"Aku tidak bosan, karena aku menyukai voli," jawab Ushijima kemudian. "Aku tidak butuh bersenang-senang selain bermain voli. Tapi setelah memikirkan waktuku, mungkin ada beberapa hal yang ingin aku lakukan."
"Benarkah? Aku tidak tahu kau mempunyai sisi seperti itu juga, Ushiwaka-chan. Kau mulai terlihat baik di mataku."
Ushijima tidak menanggapi penghargaan pribadi itu. Ia memikirkan hal lain.
"Oikawa, apa kau sempat melakukan hal terakhir yang kau inginkan sebelum kau mati?"
Oikawa tercenung. Kakinya menggantung di udara. Senyum menyebalkannya lenyap dan ia merasa teriris. Tapi tidak lama ia kembali dengan kata-katanya yang menyebalkan.
"Apakah Ushijima Wakatoshi-chan menjadi lebih perhatian padaku setelah tahu sebentar lagi akan mati? Aku merasa tersanjung," ujar Oikawa dengan nada ceria. Berbanding terbalik dengan reaksinya tadi.
"Daripada terus bersamaku lebih baik kau pergi menemui orang tuamu atau Iwaizumi. Meski tidak dalam keadaan normal, kupikir mereka pasti akan senang bertemu denganmu. Kau juga bisa menyapa rekan satu timmu," kata Ushijima lagi.
Kali ini Oikawa tidak bisa menjawab apa pun. Ia semakin merasa teriris. Meski paru-parunya tidak lagi berfungsi untuk pernafasan, ia merasa sesak di dadanya.
Aku ingin. Sangat ingin. Tapi memangnya aku bisa apa? Mereka bahkan tidak bisa melihatku.
.
5.
Oikawa menginap di kamar Ushijima malam itu.
Ia terbangun di meja belajar Ushijima keesokan paginya. Oikawa menyesal ia masih bisa tidur walau hanya sekedar arwah. Ia tidak bisa melihat cara tidur memalukan Ushijima karena ia tidur lebih cepat, ia juga tidak melihat wajah jelek saingannya karena Ushijima bangun lebih pagi darinya. Ushijima muncul dari kamar mandi dengan tubuh yang sudah segar, dengan pakaian yang lengkap dan rapi.
"Kau bisa pakai kamar mandiku kalau kau mau, Oikawa."
"Aku tidak butuh itu," jawab Oikawa setengah dongkol.
"Aku akan sarapan. Apa kau juga mau?" tawar Ushijima.
"Kau pikir orang yang sudah mati butuh makanan? Makan sebanyak apa pun tidak akan membuatku hidup lagi. Tidak membuatku kenyang juga."
"Begitu. Maaf."
Oikawa ikut dengan Ushijima ke ruang makan. Sepertinya wanita paruh baya yang menunggu di sana adalah ibunya.
"Selamat pagi."
"Pagi. Duduklah, kita segera sarapan."
Ushijima mengangguk dan duduk di hadapan ibunya. Mereka makan dengan gaya tradisional Jepang, bukan di meja makan dengan kursi, melainkan duduk di lantai yang beralaskan tatami. Hidangannya juga masakan Jepang semua.
Oikawa mengamati sambil berdiri di bersandar pada tembok. Ia kaget saat melihat Ushijima menggunakan tangan kanannya untuk memegang sumpit dan makan. Semua hal yang ia lakukan di depan ibunya juga menggunakan tangan kanan. Entah itu saat minum, membereskan piring, mencuci perlengkapan makan mereka, semuanya dilakukan dengan tangan kanan. Tapi Oikawa tahu kalau Ushijima kikuk, semua yang dipegangnya beberapa kali hampir meleset jatuh.
Ushiwaka-chan itu kidal, kan?
"Jangan hentikan latihanmu. Kau harus bisa menggunakan tangan kananmu seperti orang normal lainnya, Wakatoshi."
"Ya."
Oikawa tercekat. Meski dengan memaksakan diri dan kesulitan, tapi Ushijima melakukan yang dikatakan ibunya dengan patuh. Ia terlihat tidak terampil melakukan semua itu, tapi Ushijima tetap melakukannya. Pandangan Oikawa mulai bergeser terhadap Ushijima. Ia sama sekali tidak tahu kalau orang sempurna seperti Ushijima masih harus mengalami tuntutan menjadi orang sempurna yang normal.
"Oh, kau mau pergi ke mana dengan pakaian rapi itu?"
"Menemui teman."
"Baiklah. Aku berangkat kerja dulu."
"Hati-hati di jalan." Salam Ushijima tidak mendapat balasan. Ia pergi ke genkan dan memakai sepatunya.
"Kau tidak bilang akan pergi menemui temanmu hari ini."
Ushijima mendongak. "Apakah jadwal harianku juga harus dilaporkan padamu karena kau dewa kematianku?"
"Tidak, tidak seperti itu. Aku juga tidak mau," tolak Oikawa. "Omong-omong, siapa yang akan kau temui?"
"Tendo dan teman-teman satu timku saat SMA."
Oikawa membuat wajah tidak suka dan ogah. "Apakah ini akan menjadi reuni yang menyedihkan? Dan menyebalkan untukku."
.
"Ushijima-san! Kau datang."
"Oh, Wakatoshi! Kau tidak mengabariku akan berkunjung," sahut Leon dari ujung lapangan. Ia berjalan mendekat.
"Selamat datang, Ushijima-san," sapa Shirabu.
"Yo, Wakatoshi!"
Semua anggota klub bola voli Akademi Shiratorizawa yang Oikawa kenal berada di sana semua, kecuali orang dengan rambut merah nyentrik dan tatapan menyala-nyala. Mereka menyambut Ushijima dengan suka cita. Meskipun itu tidak akan menjadi kehebohan seperti jika Hinata Shoyo yang didatangi para kakak kelasnya.
Tapi mereka jelas menyambut orang yang terlalu serius di tim mereka tersebut.
"Ada apa ini, Wakatoshi? Tidak biasanya kau datang tanpa pemberitahuan," kata Semi Eita.
"Tidak ada. Aku hanya ingin bertemu kalian saja."
"Ushijima-san, bagaimana kalau kau ikut bermain voli dengan kami?"
Ushijima mengangkat sebelah tangan dan mengucap maaf. "Aku tidak memakai pakaian olahraga Goshiki. Mungkin lain ka—"
Kata-kata Ushijima terputus. Ia baru menyadari tidak ada lain kali untuknya lagi.
"Hari ini aku hanya akan melihat kalian bermain sebentar lalu pulang. Jangan terganggu karena aku dan bermainlah seperti biasanya."
Yamagata menyikut rusuk Ushijima main-main. "Apa ini? Apa kau masih bertingkah seperti kapten untuk kami?"
"Maaf kalau aku membuat kalian merasa seperti itu," balas Ushijima. Seperti biasa, ia serius. "Goshiki, aku melihat pertandinganmu saat masih SMA, kau jadi ace yang bisa diandalkan. Kalian juga bermain sangat baik saat bersamaku. Terima kasih."
Mereka terdiam. Atmosfer seperti saat setelah kekalahan mereka dari Karasuno terulang lagi. Atmosfer yang berasa perpisahan.
"Wakatoshi, kau bicara seperti kau akan mati saja."
"Itu tidak mungkin, Shirabu-san! Ushijima-san itu orang yang kuat, dia tidak akan mati secepat itu," seru Goshiki.
Ushijima tersenyum secara terang-terangan. "Semua orang akan mati, Goshiki."
Oikawa berdiri diam agak jauh dari kerumunan mantan pemain voli Akademi Shiratorizawa. Ia menatap Ushijima dengan iba. Lagi-lagi ia merasa simpatik untuk pemuda itu. Juga untuk teman-temannya. Andai mereka tahu kalau Ushijima datang untuk salam perpisahan, apa yang akan mereka perbuat?
Oikawa mendekat.
"Di mana orang dengan senyum menyebalkan itu? Si guess block."
Ushijima menoleh ke belakangnya. "Tendo berhenti bermain voli. Ia pergi ke universitas yang klub olahraganya tidak menonjol."
"Begitu, ya."
"Aku akan menemuinya setelah dari sini."
Oikawa mengangguk-angguk.
.
Oikawa mendengus kasar. Ia membuang wajah saat menyadari keberadaan merah menyala di bangku taman yang melambaikan tangan ke arah mereka, tepatnya pada Ushijima. Oikawa secara pribadi tidak menyukai si nomor punggung 5-nya Shiratorizawa. Tendo dulu berkali-kali memblok pukulan dari set up-nya. Dan itu membuatnya kesal.
"Wakatoshi-kun, lama tidak ketemu!"
"Ya."
Ushijima duduk di samping Tendo, agak jauh. Meski tidak terlihat oleh orang selain Ushijima, Oikawa tetap tidak mau duduk di dekat Tendo, ia lebih memilih berdiri di bawah pohon di belakang mereka, bersandar pada batangnya. Ushijima meliriknya sebentar tadi, seperti menanyakan kenapa ia tidak mau duduk dan dijawab Oikawa dengan memalingkan wajah.
"Tendo, kenapa kau membawa bola voli?" tanya Ushijima heran.
"Bola ini menggelinding dari gedung olahraga. Aku hanya menyimpannya sementara, bukan berarti aku sengaja menyembunyikannya atau apa."
"Kau jelas-jelas melakukan itu!" seru Oikawa—tentu saja tidak akan didengar oleh Tendo.
"Kau mengambilnya," ucap Ushijima.
Tendo membuat ekspresi kalah. Kata-kata Ushijima sederhana dan datar, tapi itu adalah sebuah tuntutan untuknya. "Baik... baik... nanti akan aku kembalikan. Habisnya mereka payah sekali, aku jadi ingin mengerjai mereka."
"Itu tidak baik."
"Aku tahu Wakatoshi-kun," jawab Tendo. "Untuk apa kau menemuiku? Tidak mungkin hanya karena kau merindukanku, kan?"
"Memangnya kalian pacaran atau apa?" dengus Oikawa di belakang.
Ushijima melirik Oikawa tidak suka. Ia seperti menyatakan hubungan mereka tidak seperti itu lewat matanya, tapi Oikawa hanya menjulurkan lidahnya.
"Aku tadi beli ini. Untukmu."
Tendo mengulurkan minuman kaleng dingin untuk Ushijima. Ia juga membuka miliknya sendiri.
"Sebenarnya akhir-akhir ini aku merasa ingin bermain voli, jadi aku membawa bola ini bersamaku. Wakatoshi-kun, maukah kau bermain bola denganku, tidak apa-apa kalau hanya passing."
"Baik."
Tendo kaget sendiri. "Eh, kau mau? Kita tidak latihan servis atau spike lho..."
"Tidak apa-apa."
Ushijima berdiri lebih dulu. Mereka berjalan ke arah taman, di bawah ranting-ranting pohon yang daunnya lebat. Mereka bermain di tempat yang sejuk tersebut, bersama Oikawa yang duduk memperhatikan di atas rerumputan. Ia berpikir untuk membiarkan Ushijima melakukan hal-hal terakhirnya tanpa ia ganggu.
"Ini tidak seperti latihan yang biasanya kita lakukan, kita bahkan tidak pemanasan lebih dulu. Tapi tetap saja aku senang bisa menerima bola dari tanganmu lagi," kata Tendo setelah mereka lama dalam diam.
"Aku juga senang bisa bertemu dan bermain voli denganmu lagi."
"Are... are... apa maksud kata-katamu tadi, Wakatoshi-kun? Bicaramu seperti orang mau mati saja."
"Aku juga ingin minta maaf, Tendo. Aku sepertinya tidak bisa menjadi pemain voli terbaik Jepang dan film dokumentasiku juga tidak akan dibuat, kau juga tidak akan diwawancarai sebagai salah satu temanku. Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku."
Tendo tidak menerima bola pasaing Ushijima dengan sengaja. Bola bercorak biru kuning yang berselang-seling itu menggelinding ke belakangnya, membentur salah satu pohon. Dia menatap Ushijima dengan pandangan seperti saat ia menganalisa lawannya. Ekspresi tidak suka dengan mata menyipitnya.
"Yappari, kau benar-benar mau mati ya?"
Bedanya kali ini tidak disertai seruan bersemangat, melainkan desahan berat dengan rasa tidak suka.
"Apa kau terkena penyakit berbahaya yang tidak disembuhkan atau apa? Apakah doktermu baru bilang kalau hidupmu tinggal beberapa hari lagi?"
Ushijima yang dari tadi diam akhirnya menanggapi. "Seseorang mengatakannya padaku."
Tendo melemaskan otot-ototnya. Ia beralih duduk bersila di atas rumput. Berikutnya Ushijima melakukan hal yang sama. Oikawa beringsut mendekat, posisi mereka seperti segitiga dengan Oikawa di sudut paling jauh.
"Siapa?" tanya Tendo.
"Shinigami."
Tendo diam. Dia menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya dengan cepat. "Kalau Tsutomu yang mengatakannya aku akan tertawa terbahak-bahak. Tapi kau tidak mungkin membuat lelucon. Jadi, berapa hari lagi?"
Ushijima tidak memberi tahu. Bersama Oikawa selama ini membuat ia lupa waktunya tinggal besok dan besoknya lagi.
"Apakah tinggal dua hari lagi?"
Ushijima diam.
"Ehhh?! Bagaimana kau bisa tahu?" pekik Oikawa panik.
"Sepertinya benar. Yah, hanya pakai firasat sebenarnya," lanjut Tendo.
Oikawa hampir terjungkal tidak percaya. "Bahkan firasatmu juga berguna untuk hal-hal seperti ini, kupikir hanya untuk blocking-mu saja."
"Wakatoshi-kun, karena aku temanmu maka aku akan membagi waktuku sampai hari terakhirmu. Dua hari lagi aku akan menemuimu, kita akan makan makanan enak sebelum kau mati, kita juga akan membicarakan semua kenangan kita, permainan voli kita. Kita juga akan mengenang pertandingan kita yang menarik, seperti saat melawan Karasuno dan Aoba Johsai yang tidak pernah menang dari kita."
Oikawa berkedut kesal.
"Oi! Jangan sombong hanya karena kebetulan timmu diberkati pemain hebat!"
Ushijima tersenyum. "Ya."
.
6.
Oikawa menatap Ushijima dengan sangat heran. Padahal ia hanya akan hidup sampai besok, tapi pemuda itu masih saja memakai seragam volinya. Oikawa heran dengan kegilaan Ushijima pada voli.
Ia merasa mulai memahami kenapa Ushijima bisa begitu hebat. Dan kenapa ia bisa kalah darinya.
Ushijima benar-benar mencintai voli. Lebih dari dirinya. Lebih dari Iwaizumi, Tobio-chan atau bahkan Chibi-chan. Lebih dari siapa pun pemain voli yang pernah ia temui.
"Kau mau datang ke pertandingan terakhirku?" tanya Ushijima.
"Apa kau merajuk?"
"Kau tidak akan menyesal jika datang."
Oikawa berjalan duluan keluar kamar Ushijima. "Memangnya aku punya pilihan? Tugasku adalah mengawasimu sampai aku mencabut nyawamu."
.
Oikawa tidak bisa berhenti membelalakkan mata melihat sosok yang sangat ia kenal berdiri di seberang net. Pemuda kekar bersurai coklat gelap dengan raut wajah yang selalu kelihatan marah. Iwaizumi Hajime. Iwa-chan.
Ia berlari dan melompat. Melakukan spike keras yang sampai mengeluarkan bunyi gedebum ke seisi gedung olahraga. Oikawa merindukan pemandangan lama itu.
Ia ingin melemparkan bolanya pada Iwaizumi. Ia ingin memberikan set up-nya pada spiker terbaiknya.
Tapi tentu saja dia tidak bisa. Dia hanya orang mati yang belum bisa tenang dan harus melakukan penebusan dosa.
"Hari ini tim kami melawan tim dari universitas Iwaizumi. Ini akan jadi pertandingan terakhirku," kata Ushijima menjelaskan. "Kau tidak harus selalu memperhatikanku, kau bisa mendukung temanmu. Jika kau harus menulis laporan, tulis saja aku bermain voli sebelum hari terakhirku hidup."
"Tanpa kau suruh aku juga akan melakukan itu. Dasar Ushiwaka-chan... tapi untuk sementara aku hanya akan melihat pertandingan kalian."
Oikawa menyingkir ke bangku pelatih. Ia duduk di bangku panjang itu sambil memperhatikan jalannya set pertama. Permainan kedua tim bagus.
"Tentu saja, ada Iwa-chan dan Ushiwaka di sana."
Oikawa bernostalgia. Wajah-wajah pemain voli di lapangan satu per satu mulai tergantikan oleh wajah-wajah rekan satu timnya dan rekan tim Ushijima. Jalannya pertandingan berubah seperti dalam kenangannya.
Ia sangat ingin menyentuh bola dan memberikan umpan untuk Iwaizumi.
Set pertama dimenangkan tim Ushijima. 25 – 21.
Set kedua berjalan sama serunya. Bahkan lebih menegangkan dari yang tadi. Oikawa jadi teringat setiap pertandingannya melawan Karasuno, setiap tim mereka bertemu tensinya selalu sama seperti ini.
"Iwa-chan terdesak. Aku ingin tahu apa aku bisa membantunya atau tidak."
Oikawa berdiri dari bangku. Ia memulai peregangan kecil dan berjalan menuju sisi lapangan tim Iwaizumi. Setidaknya ia ingin melakukan sesuatu untuk sahabatnya sejak kecil di penghujung set kedua ini.
"Baiklah... kita lihat apa yang bisa aku perbuat sebagai orang yang sudah mati."
.
Ushijima mengusap peluhnya dengan handuk putih yang ia kalungkan di leher. Ia juga meminum airnya sampai tandas. Nafasnya masih terengah meski sudah istirahat sejak lima menit lalu.
"Wah... benar-benar nyaris. Kupikir tadi timnya Iwa-chan bisa menang. 25 – 21. 24 – 26. 30 – 28. Itu nyaris sekali."
Ushijima melirik Oikawa yang terlihat kecewa. "Kau curang Oikawa. Membantu Iwaizumi agar mendapatkan umpan sempurna karena kau tidak bisa dilihat orang lain itu curang."
"Tidak," sanggahnya cepat. "Juri tidak mengatakan ada kecurangan, maka berarti tidak ada."
Ushijima diam. Dia kalah berargumen.
"Ushijima-san."
Ushijima mendongak. Di sana berdiri Iwaizumi.
"Senang bisa bermain denganmu lagi setelah cukup lama. Walau tidak sehebat dulu karena tidak ada Oi—lupakan. Kau bermain sangat baik juga hari ini."
"Aah! Iwa-chan merindukanku! Dia ingin bermain denganku lagi. Tapi Iwa-chan, kau tidak perlu berterima kasih pada Ushiwaka yang menyebalkan ini. Iwa-chan juga bermain sangat bagus hari ini. Aku bangga menjadi setter-mu."
Ushijima mengangkat alis melihat polah Oikawa. Pemuda itu menggelayut di bahu Iwaizumi yang sekarang lebih tinggi darinya dan memainkan rambut pemuda itu. Oikawa meski mengetahui ia diperhatikan tetap mengabaikan Ushijima.
"Ushijima-san, apa ada yang aneh di belakangku? Kau melihat ke sana sejak tadi," kata Iwaizumi.
Ushijima tersenyum. "Meski Oikawa bukan setter-mu lagi, tapi ia bermain bersamamu."
Iwaizumi tersentak. Ia mendengus, lalu tersenyum kecil. "Ya. Kupikir juga begitu."
Oikawa yang mendengarnya tersenyum sangat lebar. Ia memeluk Iwaizumi dari belakang dengan erat. "Aku sangat menyayangimu, Iwa-chan! Kau memang yang terbaik!"
"Sepertinya dia akan senang mendengar kata-katamu."
"Kusokawa itu hanya akan besar kepala," tukas Iwaizumi. "Aku tidak tahu kau bisa mengobrol seperti ini, terlebih lagi membicarakan tentang Oikawa."
"Ya."
Mungkin karena aku tahu mengenai waktuku. Mungkin juga karena Oikawa...
.
7.
Ushijima mengerjapkan matanya.
Yang pertama ia lihat bukan langit-langit kamarnya yang berwarna putih plafon. Melainkan wajah heran dan penasaran milik Oikawa yang menggantung sekitar tiga puluh sentimeter dari hidungnya. Sekali lagi Ushijima mengerjapkan mata, kali ini bukan efek bangun tidur, lebih ke pertanyaan terhadap tindakan Oikawa.
Oikawa menjauhkan diri setelah itu. Ia berkacak pinggang.
"Aku tidak menyukaimu Ushiwaka-chan. Bahkan saat tidur pun wajahmu datar seperti biasanya, apa kau tidak memiliki sisi memalukan sama sekali?" tanya Oikawa geram.
Ushijima duduk menyamping. Kakinya menyentuh lantai kamarnya yang dari kayu. Dingin. Tapi tidak membuatnya bergidik, melainkan merasa sejuk.
Ah, ini akan jadi hari terakhir ia merasakan dinginnya lantai kamarnya.
"Aku ingin bertanya. Kenapa kau menjadi shinigami dan tidak langsung pergi ke surga?"
Oikawa menunjuk Ushijima tepat ke hadapan wajahnya. "Bukankah kau harusnya menanyakan itu di hari pertama aku menemuimu? Tapi kau malah bersikap biasa saja. Itu sangat menyebalkan tahu."
"Apakah hal buruk yang tidak bisa diceritakan?"
Oikawa diam sejenak. "Bukan seperti itu. Setelah aku mati mendadak hari itu, aku diberi tahu kalau aku harus menebus dosaku terlebih dahulu. Aku tidak tahu apa dosaku, jadi hukuman ini diberikan padaku setelah sekian lama aku memikirkan apa salahku saat aku masih hidup."
"Apa dosamu?"
"Em... apa kau benar-benar ingin tahu?" tanya Oikawa balik.
Ushijima mengangguk.
"Aku tidak menerima takdirku dengan ikhlas. Karena aku sangat benci dan iri dengan manusia bernama Ushijima Wakatoshi. Aku juga tidak memperlakukan Tobio-chan dengan baik. Aku bahkan membencinya karena dia lebih hebat dariku. Shinigami-san bilang itu hanya kesalahan biasa, tapi karena orang-orang yang aku benci adalah orang-orang yang tulus jadi aku diberikan hukuman ini. Salahku juga karena aku tidak menyadari dosaku," jawab Oikawa. "Jadi setelah aku membantu mencabut satu nyawa maka aku akan dikirim ke surga."
"Apa itu artinya kau juga akan lenyap setelah aku mati?"
Oikawa tidak menjawab.
"Aku datang ke upacara pemakamanmu," lanjut Ushijima tiba-tiba.
Oikawa tersentak, tapi ia tersenyum. "Terima kasih kalau begitu."
"Teman-temanmu datang semua. Klub voli Karasuno juga hadir. Orang-orang terdekatmu menangis dan terlihat sangat kehilangan. Kematianmu sepertinya sangat tiba-tiba dan tidak ada yang mengiranya. Kau mungkin juga belum melakukan hal-hal terakhir yang kau inginkan," lanjut Ushijima.
Oikawa menunduk. Ia membenamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya di atas meja belajar Ushijima.
"Lalu kenapa? Aku memang mati secara tiba-tiba, padahal itu adalah hari pertama aku masuk kuliah. Aku tidak memiliki masalah apa pun dengan truk, tapi dia membunuhku. Kenapa kau membicarakan ini tiba-tiba? Apa karena ini adalah hari terakhirmu?"
Ushijima bisa mendengar suara Oikawa serak. Sepertinya pemuda itu menahan air matanya, mungkin ingatan kematiannya dan penyesalannya datang kembali.
"Karena itu lakukanlah hal-hal terakhir yang kau inginkan."
"Itu tidak mungkin! Aku hanya arwah! Aku bisa apa?!"
Oikawa berbalik dengan mata yang berkaca-kaca. Tangisnya bisa pecah kapan saja.
Ushijima tidak menatap langsung ke matanya.
"Karena kau hanya arwah kau mungkin bisa merasuki tubuhku. Kau bisa bertemu dengan orang-orang yang berharga untukmu dengan tubuhku. Pasti menyakitkan saat Iwaizumi tidak menyadarimu kemarin. Kau bisa melakukan apa pun selama kau meminjam tubuhku, aku tidak keberatan. Tapi tolong kembalikan saat malam, aku memiliki janji dengan Tendo."
Oikawa menangis. Tanpa ia sadari. Tapi yang jelas ia memandang Ushijima dengan pandangan yang berbeda dari yang selama ini.
.
"Iwa-chaaaan! Makki! Matsun!"
Oikawa—dalam tubuh Ushijima, berlari menemui teman-teman satu angkatannya. Ia bersyukur mereka menepati janji untuk reuni di tanggal ini sehingga ia bisa bertemu mereka sekaligus dengan mudah.
"Ah, ada Watacchi, Yahaba, Kindaichi dan Kunimi juga. Bahkan Kyoken-chan! Aku senang kalian masih akrab setelah lulus dari SMA."
Tentu saja kegembiraan itu hanya milik Oikawa seorang.
Anak-anak lain dari tim bola voli Aoba Johsai memandang horor Ushijima yang tadi berlari dengan semangat sambil memanggil mereka dengan sebutan yang sangat akrab. Apalagi Ushijima (yang mereka lihat) tampak santai saja berbaur dalam kerumunan itu. Mereka saling pandang heran.
"Kenapa kalian mengabaikanku? Padahal aku sudah cepat-cepat datang ke sini," rutuk Oikawa dengan gaya khasnya.
Yang anak Aoba Johsai lihat adalah Ushijima Wakatoshi yang sedang merajuk. Di dalam tubuh besarnya dengan ekspresi yang sama sekali bukan seorang Ushiwaka.
Iwaizumi maju beberapa langkah. Ia akan bicara mewakili teman-temannya. Rasa tanggung jawabnya sebagai wakil kapten rupanya masih belum hilang.
"Ushijima-san, maaf sebelumnya, aku tahu kita mengobrol akrab kemarin. Tapi jika tiba-tiba kau datang tanpa diundang ke acara kami, sepertinya itu terlalu..." Iwaizumi tidak bisa meneruskan, ia sangat kikuk dengan kejadian mengejutkan ini.
"Ushijima-san?" ulang Oikawa bingung. Ia menatap teman-temannya satu per satu. "Di mana Ushiwak—aaah!"
Oikawa memekik keras. Beberapa anak yang tidak tahan seperti Kunimi dan Yahaba langsung menutup kedua telinga mereka.
Oikawa dalam bentuk Ushijima membelalak lebar dengan mulut terbuka. Lalu tertawa terbahak-bahak sendiri. Tentu saja semua orang memandangnya aneh.
"Apa Ushiwaka masih waras?" tanya Kunimi berbisik.
"Diam saja, Kunimi," jawab Kindaichi.
"Aku bisa dengar kalian lho..." Oikawa menunjuk duo anak kelas satu (dulu) itu. "Ehem! Biar kujelaskan situasinya."
Oikawa meminta perhatian. Ia berdiri di depan teman-temannya. Dan entah bagaimana dalam tubuh Ushijima ia masih bisa memerintah mereka dengan baik. Oikawa diam-diam bangga dengan ini.
"Sebenarnya aku adalah Oikawa Toru. Kapten kalian. Setter utama tim Seijoh."
Oikawa diam untuk melihat ekspresi teman-temannya.
"Ya...?" respons Hanamaki ragu-ragu.
"Bagaimana bisa?" tanya Matsukawa.
"Aku tidak percaya kalian tidak langsung mempercayaiku."
"Tentu saja. Apa kau bercanda atau bukan, Oikawa dan Ushijima tidak mungkin bisa disatukan."
"Kau kejam Iwa-chan! Padahal Ushiwaka adalah orang yang baik, ia tegar dan kuat meski hanya sendirian—ups, aku tidak boleh memujinya terlalu banyak. Hari ini adalah kesempatan terakhirku."
"Kesempatan terakhir?" Yahaba mengulang.
"Jangan membantah apa yang kukatakan," peringat Oikawa di awal. "Aku memang sudah mati empat tahun lalu, tapi aku masih belum pergi ke surga. Agar aku bisa ke sana aku harus menebus dosaku, caranya adalah dengan menjadi asisten shinigami dan aku harus mencabut satu nyawa. Dan nyawa itu adalah—"
Oikawa menunjuk tubuh Ushijima.
"Ushiwaka?" tanya Iwaizumi.
"Yap. Aku harus mengawasi Ushiwaka tujuh hari sebelum hari kematiannya dan ini adalah hari terakhirnya," jawab Oikawa.
"Jadi maksudmu besok adalah hari..."
Oikawa mengangguk untuk membalas Hanamaki.
"Tapi daripada menggunakan waktunya untuk dirinya sendiri dia malah meminjamkan tubuhnya padaku agar bisa bertemu kalian. Sial...! Ushiwaka ternyata orang yang benar-benar baik."
Oikawa terisak pelan. Teman-temannya juga menatap Ushijima dengan trenyuh. Terutama orang-orang yang sudah lama bersaing dengannya semacam Iwaizumi, Hanamaki dan Matsukawa.
"Baiklah! Ini bukan waktunya untuk sedih!" Oikawa menepuk pipinya (Ushijima) keras hingga terdapat cetakan tangan di sana. "Aku datang untuk menyampaikan banyak hal pada kalian."
"Oi, apa ini akan jadi perpisahan menyedihkan?"
"Tentu saja, Iwa-chan. Karena waktu itu aku mati mendadak, aku tidak bisa mengatakannya. Aku dengar dari Ushiwaka bahwa kalian terus menangis karena kehilanganku, aku senang kalian sampai seperti itu karena kehilanganku."
Mereka menunduk. Ingatan empat tahun lalu kembali melintas. Rasanya masih sakit meski Oikawa ada di hadapan mereka sekarang ini.
"Terima kasih kalian sudah menjadi anggota tim terbaikku. Kyoken-chan juga, meski waktu yang kita habiskan tidak banyak, kau adalah orang yang hebat."
"Ya."
"Yahaba. Terima kasih selalu menggantikan tempatku saat aku tidak bisa ikut pertandingan. Kau adalah setter yang baik, tidak kalah dariku atau Tobio-chan."
"Jangan melebih-lebihkan. Tapi, terima kasih."
"Watacchi... aku selalu lega kau bisa menyelamatkan bola-bola yang sulit. Berkatmu kita bisa melangkah jauh dan menjadi tim terbaik di prefektur."
"Itu sudah tugasku," jawab Watari.
"Kindaichi, Kunimi, kalian kuat. Kalian hebat. Kalahkanlah Tobio-chan."
Kunimi mengangguk. Kindaichi menjawab 'ya!' dengan keras.
"Matsun. Kau yang terbaik."
"Aku tahu."
"Makki, kau tidak terkalahkan bagiku."
"Terima kasih. Itu membuatku bangga."
Oikawa melangkah kepada Iwaizumi. Ia memegang erat kedua pundak Iwaizumi.
"Iwa-chan... Iwa-chan... Iwa-chan..."
"Namaku bukan mantra, Kusokawa. Jangan menyebutnya berulang-ulang," ujar Iwaizumi ketus. Walau begitu matanya berkaca-kaca, mengikuti Oikawa yang sudah menangis sejak tadi.
"Ne, Iwa-chan, bagaimana toss dariku kemarin? Pertandingan dengan Ushiwaka kemarin nyaris kan? Padahal kita sudah berjuang mati-matian hingga set ketiga, tapi sudah mati pun aku tetap tidak bisa mengalahkannya. Maaf kalau kemarin aku hanya memberikan toss yang sedikit."
"Aku kira ada masalah dengan bolanya saat umpan yang kuterima terasa aneh dari biasanya. Tapi ternyata kau ya... Umpanmu sedikit buruk, pasti karena kau tidak latihan. Tapi tetap saja umpanmu adalah yang terbaik. Sampai kapan pun kau adalah setter-ku, Oikawa."
"Dan kau adalah partner-ku. Spiker terhebatku."
"Ya. Terima kasih sudah bermain denganku."
Oikawa mengangguk. "Kau bermain dengan hebat seperti biasanya. Aku kemarin selalu mendukungmu. Aku memelukmu. Mengacak-acak rambutmu. Aku berteriak aku menyayangimu. Tapi kau tidak tahu aku ada di sana untuk semua itu, itu sangat menyakitkan, Iwa-chan."
"Maaf."
"Iwa-chan... aku tidak mau mati lagi. Tapi setelah tugasku selesai aku akan lenyap. Setelah Ushiwaka mati, aku juga akan tiada."
Semua yang mendengarnya terpaku. Padahal mereka baru bertemu dengan Oikawa, tapi sekali lagi mereka harus mendengar berita atas kehilangannya lagi.
"Karena itu aku ada permintaan terakhir. Untukku dan untuk Ushiwaka. Kumohon kalian datang ke upacara kematiannya, dia orang yang sangat baik, jadi usahakan kalian datang semua. Katakan juga pada anak-anak Karasuno untuk datang. Aku ingin bilang pada Ushiwaka kalau semua orang merasa kehilangan dirinya. Kumohon..."
"Ya. Kami akan datang. Untukmu dan untuk Ushijima."
"Terima kasih Iwa-chan. Terima kasih, semua."
Oikawa menarik Iwaizumi. Ia memeluk sahabatnya dengan sangat erat. Air matanya membasahi pundak wakil kaptennya.
.
Oikawa terkekeh pelan. Pertemuan tadi sedikit memalukan kalau diingat, terlebih lagi ia menggunakan tubuh Ushijima.
"Ushiwaka."
"Japan!"
Oikawa berhenti melangkah. Kebetulan sekali ia bertemu Kageyama dan Hinata yang tengah latihan lari. Oh, dan di belakang mereka ada sekumpulan anak-anak gagak yang menyusul. Oikawa takjub mereka masih bisa berlatih bersama meski sudah kuliah.
"Yahoo, Tobio-chan, lama tidak jumpa! Chibi-chan juga."
"Tobio..."
"...chan?"
Kageyama dan Hinata saling pandang bingung. Pertanyaan mereka sama, Ushijima mendadak jadi ramah.
"Oh, tim bola voli Karasuno. Menyebalkan sekali kalian tambah hebat."
"Hah?! Apa maksudmu?"
"Tanaka, hentikan!"
"Apa kalian membuat masalah lagi?" tanya Sugawara berbisik.
Oikawa memperhatikan mereka. Tobio-chan terlihat semakin besar, Hinata semakin tinggi, libero mereka juga dan dia tidak seberisik yang dulu. Ia mendadak merasa kehilangan momen menyaksikan tim itu tumbuh.
"Tobio-chan, jadilah setter yang lebih baik dariku. Chibi-chan juga, kau harus bertambah kuat dengan cepat, karena hanya kau satu-satunya yang bisa mengimbangi Tobio-chan. Kalian juga sudah tumbuh menjadi orang-orang hebat. Aku iri kalian merasakan panggung nasional," ucap Oikawa. "Mulai sekarang berjuanglah lebih keras. Itu pesan terakhir dariku, dari Ushiwaka juga. Selamat tinggal."
Anak-anak Karasuno tercengang. Ushijima Wakatoshi berubah kepribadian, pikir mereka.
"Oi Kageyama, yang tadi itu rasanya seperti bicara dengan Raja Besar."
"Ya. Aku juga merasakan hal sama."
.
Oikawa dan Ushijima duduk bersisian di bangku taman. Setelah semua yang Oikawa ingin lakukan terlaksana ia tidak lagi mengganggu Ushijima. Ia hanya mengamati pemuda itu dari jauh saat Ushijima dan Tendo melakukan hal terakhir mereka.
"Besok."
"Ya. Apa ada permintaan khusus di mana kau ingin mati dalam keadaan tertentu?" tanya Oikawa, sebisa mungkin menggunakan nada yang tidak akan menyinggung perasaannya.
"Lakukan saja saat menurutmu itu adalah waktu kematian yang pantas untukku."
"Begitu."
Mereka diam cukup lama. Ushijima memainkan bola voli—hadiah perpisahan dari Tendo, sambil melihat bintang di langit. Oikawa hanya diam sambil menatap langit juga.
"Apa kau mau tahu bagaimana rasanya saat-saat terakhirmu nanti?"
"Bagaimana?"
"Aku mengatakan ini karena sudah mengalaminya. Semua memorimu akan diputar ulang dan kau akan menyesali semua hal yang belum kau lakukan. Kau akan merasa sangat ketakutan."
Ushijima tidak menanggapi.
"Tapi itu bukan berarti hal yang buruk juga. Karena saat kematianmu tiba, maka saat itu juga kau tahu kalau ternyata kau sangat berharga bagi orang-orang di sekitarmu," ujar Oikawa.
"Begitu ya," balas Ushijima. "Oikawa, aku punya permintaan terkahir. Bisakah kau tidak muncul di hadapanku sampai tiba saat kau mencabut nyawaku?"
"Tentu saja. Lagi pula itu permintaan terakhir."
Ushijima berdiri dan meninggalkan Oikawa sendirian di bangku itu. Ia tidak lagi menoleh ke belakang, tapi Oikawa sama sekali tidak mengalihkan perhatian.
"Ushiwaka-chan! Terima kasih sudah berbuat banyak untukku di hari terakhirmu. Aku benar-benar sangat berterima kasih."
Ushijima tidak berbalik. Ia hanya berhenti sampai kata-kata Oikawa selesai. Tapi ia tersenyum.
.
Pagi hari ke delapan.
Ushijima membuka mata dan kembali mendapati wajah Oikawa tengah menatapnya. Dengan senyuman yang sangat menawan. Ia ingin bangkit duduk, tapi Oikawa menahannya.
"Jadi sudah saatnya, ya?"
Oikawa menjauhkan tubuhnya. "Selamat pagi Ushiwaka-chan. Pagi yang indah untuk hari kematianmu."
Ushijima menoleh ke arah ke jendela yang tirainya sudah dibuka. Ia bergumam kecil, "Ya."
"Selama ini kau sudah berusaha keras. Kau berjuang lebih dari siapa pun. Sekarang aku akan membuatmu beristirahat dengan damai."
"Terima kasih untuk kebaikanmu. Untuk tujuh hari ini juga, terima kasih. Berkatmu aku bisa pergi tanpa penyesalan, Oikawa."
Oikawa hanya tersenyum.
"Kalau boleh bicara terang-terangan, kau lebih mirip malaikat daripada dewa kematian dengan senyum seperti itu. Sepertinya aku beruntung mati di tanganmu."
Oikawa masih tersenyum. "Selamat tinggal, Ushijima Wakatoshi-kun."
Terima kasih untuk tujuh hari ini karena sudah memperhatikanku lebih dari siapa pun.
Oikawa tersentak. Ia mendengar bisikan itu di telinganya.
"Kau bahkan berbuat jauh lebih banyak untukku, terima kasih."
.
Oikawa berdiri di atas jembatan. Air di bawahnya sangat jernih. Ia bisa melihat pantulan dirinya di bawah sana. Ia masih tampan meski dengan setelan serba hitamnya yang membosankan.
Tepat pukul tengah malam. Bulan purnama bersinar pucat.
"Oikawa Toru."
"Ah, Shinigami-san. Jadi sekarang giliranku ya."
Oikawa berbalik. Ia mengikuti ke mana dewa kematian itu pergi. Ia akan berteriak histeris saat masih hidup, ia berjalan di udara saat ini. Menuju ke langit malam yang anehnya walau berbintang ia menuju ke sebuah lubang gelap.
Oikawa cukup puas.
Ia hadir di upacara kematian Ushijima. Teman-teman satu tim Ushijima datang. Teman-temannya dari Seijoh juga datang. Semua anggota Karasuno juga ada. Mereka menangis dan merasa sangat kehilangan.
Tendo yang paling di antara semua, walau air matanya tidak sederas Goshiki, kesedihannya melebihi siapa pun. Ia yang menghadapi kabar kematian Ushijima lebih cepat dari siapa pun.
Oikawa bisa membayangkan upacara kematiannya sendiri dengan melihat itu. Dan ia juga bisa merasakan ia sangat berharga bagi orang-orang di sekitarnya.
.
Ushijima Wakatoshi.
Mati di hari kelulusannya. Berkebalikan dengan kematian Oikawa Toru empat tahun lalu, saat hari pertama masuk kuliah.
.
Finished.
