Haikyuu! © Furudate Haruichi

.

Warning : OOC, typo(maybe), dan kata-kata yang mungkin tidak sama persis seperti di manga atau anime-nya.

.

"Pembohong."

Oikawa menyingkir dari meja belajarnya dan beringsut ke atas ranjang. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

"Pembohong."

Oikawa mengernyit tidak suka. Ia benci suara itu. Kata itu.

"Oikawa Toru di usianya yang dua puluh satu adalah seorang pembohong."

Oikawa menekuk lututnya, sikunya, menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya.

"Dasar pembohong. Kau pembohong besar, Oikawa."

Oikawa menggertakkan giginya. Ia sudah tidak tahan lagi.

Pembohong. Pembohong. Pembohong.

Kata itu terus terngiang. Membuatnya sakit kepala sampai ingin berteriak.

"Pembo—"

"Diam! Diam! Diam!"

"Tidak akan. Akan terus kukatakan kalau kau seorang pembohong, agar kau ingat."

Oikawa menyibakkan selimut. Bangkit berdiri di atas kasurnya dan menatap geram orang yang sedari tadi berbicara.

"Aku tahu aku seorang pembohong! Aku tahu aku pembohong! Tapi... aku sudah mencapai batasku..."

Orang itu menatap dingin. Ia mendongak dengan congkak.

"Meski kau tahu masih bisa menembus batas itu? Tidak, Oikawa. Kau belum mencapai batasmu. Kau yang membuat batas itu sendiri, menyembunyikan dirimu dibaliknya dan meringkuk menyesali takdir karena tidak terlahir jenius. Sekali lagi kau seperti ini, Oikawa."

Oikawa mengayunkan tangan untuk memukul orang itu. Tapi nihil, tangannya hanya menembus wajah orang itu—Oikawa Toru, yang masih tujuh belas tahun.

"Pergilah. Kau itu masa laluku, jangan datang untuk menggangguku. Aku dan kau memiliki kehidupan yang berbeda, meskipun kau adalah aku."

"Yang benar meskipun aku adalah kau, harusnya kau katakan itu."

Oikawa merenung.

Apa yang dikatakan masa lalunya benar. Ia memang pembohong.

"... voliku belumlah berakhir."

Kata-kata itu selalu Oikawa ingat. Ia ingat sebagai hal yang ia khianati. Faktanya ia benar-benar berhenti bermain voli setahun setelah masuk universitas.

"Kau adalah aku. Di usiamu yang dua puluh satu, hanya beda beberapa tahun dan semangatmu hilang. Apa kau sungguh-sungguh saat mengatakan kepercayaan dirimu pada Ushiwaka waktu dulu?"

"Omong kosong harga diriku ini sebaiknya tetap kau ingat."

Sepertinya Oikawa sendiri yang lupa akan omong kosong harga dirinya.

"Apa yang akan kau katakan kalau bertemu Iwa-chan?"

Oikawa bungkam.

"Bagaimana kau akan menanggapi Tobio-chan jika ia datang padamu lagi?"

Oikawa mengepalkan tangan.

"Chibi-chan juga mengagumimu, bukan?"

Pemuda itu masih tetap membisu.

"Alasan apa yang akan kau berikan, Oikawa Toru, diriku di masa depan?"

Oikawa tersenyum getir. Ia duduk lemas di atas ranjangnya. Berhadapan dengan dirinya sendiri yang lebih muda, yang datang dalam bentuk bayangan yang tak tersentuh.

"Kau yang masih naif dan labil tahu apa tentang yang akan kau hadapi di masa depan? Biar kuberitahu, itu adalah rasa putus asa."

Yang lain mengangguk.

"Aku pernah mengalaminya sekali. Aku tahu perasaan itu. Rasa tidak berdaya yang ingin membuatmu mengacau. Ushiwaka dan Tobio-chan. Mereka penyebabnya."

Oikawa mengangguk.

"Sekali lagi kau akan merasakan itu. Di masa depan kau akan dikacaukan oleh mereka berdua lagi."

"Begitu, ya?" Oikawa remaja mendongak ke langit-langit. "Lalu kau menyerah begitu saja?"

Oikawa memandang marah. Ia benci. Ia membenci dirinya sendiri yang memiliki kepercayaan diri terlalu tinggi. Yang memiliki tekad yang tak akan goyah. Ia benci dirinya yang berkeyakinan tidak akan hancur oleh voli.

Oikawa tertawa hambar. Dan mulai bercerita.

"Aku cedera saat baru berusia sembilan belas tahun. Kakiku tidak bisa digunakan untuk berlari atau melompat selama hampir setahun. Dan saat itu... saat itu... Ushiwaka dan Tobio-chan sudah bermain untuk nasional, sedangkan aku hanya bisa duduk di kamar memegangi lutut sambil melihat mereka bermain. Rasanya sakit sekali."

Oikawa diam mengingat masa-masa itu. Tahun terburuk yang membuatnya terpuruk.

"Ah, semua akan baik-baik saja, aku bisa berlatih keras setalah aku pulih. Itu yang aku pikirkan. Tapi sekeras apa aku berlatih, selama apa aku memainkan bola, aku tetap tertinggal. Mereka adalah orang-orang jenius yang akan terus maju. Aku hanya seorang pekerja keras yang terhambat, aku tertinggal, tertinggal lagi dan lagi sampai aku tidak bisa mengejar."

Oikawa mendongak. Ia tidak ingin ada yang menetes dari matanya.

"Aku berhenti mengejar mereka. Mulai mencari tempatku yang baru. Tapi tetap saja, aku bukan orang hebat. Aku hanya pekerja keras. Dan akhirnya saat lelahku pun tiba, hari-hari di mana aku merasa putus asa. Karena seberapa keras aku mencoba akan butuh perjuangan ekstra untuk sampai puncak. Aku sudah hancur beberapa tahun lalu."

"Ya. Diriku yang kulihat sekarang memang menyedihkan."

"Kau pasti masih ingat, kau mengatakannya di usia yang sama. Kalau ingin memukul, pukullah sampai hancur. Aku hanya melakukan itu, menekan diriku hingga hancur," lanjut Oikawa. "Hei, kau akan menghadapi itu. Apa kau yang sekarang akan jadi seperti aku yang sekarang?"

Oikawa remaja beranjak dari kamar itu.

"Aku tidak merasa apa yang kupilih adalah kesalahan dan voliku belumlah berakhir. Omong kosong harga diriku ini sebaiknya tetap kau ingat, Oikawa."

Bayangan dirinya lenyap.

Oikawa tidak merasa dirinya lega atau apa. Ia menyeringai kecil. Ia ingat ekspresi wajahnya saat mengatakan itu.

Sangat penuh keyakinan diri yang tidak goyah.

"Aku benci diriku yang seperti itu, karena aku..."

Oikawa terisak.

"...aku masih ingin jadi orang yang seperti itu."

.

Finished.

.