White Harbour
.
.
.
Chapter 1 : New life for us
#London, 12 September 1851
Aku menyusuri jalanan kota London yang becek dengan sedikit berlari kecil menuju ke sisi lain kota. Gaun putih polosku terkena cipratan lumpur oleh ulah anak-anak yang sedang berlarian, aku mengangkat gaunku agar tidak terkena seretan lumpur.
Sebentar lagi sampai Sherry, sebentar lagi...
Aaaaa…. Sebentar lagi aku sampai, aku semakin mempercepat langkahku menuju ke sebuah rumah tua diujung jalan, perumahan yang kumuh mempersulitku menghindari genangan lumpur yang lebih dalam dibanding dijalanan lainnya. Tak lama kemudian terlihat mobil jeep besar yang mengantar para pria selepas berperang datang, mesinnya bagai gemuruh kencang yang meledak-ledak.
Oh, kuharap Ino melihatnya…
Suaminya akan pulang!
Aku yakin dengan firasatku kali ini !
Aku berlari semakin cepat saat mendekati rumah Ino, kubuka pagar halamannya lalu menaiki tangga depan rumah itu dan mengetuk pintunya kencang, nafasku serasa memburu karena habis berlari. Kenapa aku yang capek sih, kan suaminya yang pulang ? Ya tentu saja karena Ino sahabatku.
"Ino ! Hhhh… Inooooo !" teriakku sambil mengetuk pintu rumahnya bar-bar, sial lama sekali, kemana sih si jelek itu ?
"Ada apa Sakura ? Apa kau harus merusak pintu rumahku ?" akhirnya pintu itu terbuka dan menampakkan Ino yang sedang mengelus perut buncitnya.
"Ayo temui Sai." Ajakku, ya.. bayi itu anak Sai. Usia kandungannya hampir 9 bulan, jujur aku agak prihatin dengan kondisi tubuh Ino yang semakin kurus setiap harinya.
"Sakura, Sai takkan kembali." Lirihnya sambil mengangkat ujung gaun mrah maroonnya yang terinjak kakinya, ya… aku tahu Ino, tapi kebih baik menunggunya seperti dulu agar kau tetap tersenyum, daripada menerima kenyataan dalam duka sepert ini.
Cih, siapa yang kau bohongi Sakura ?
"Lihatlah…" Ino menarikku melihat mobil besar tadi, aku menatap serius tiap pria yang turun dari mobil itu, berharap ada Sai disana.. semua pria itu terlihat bahagia karna bisa pulang pada keluarganya.
Dan hingga orang terakhir turun, aku tersnyum kecut. Tidak ada Sai disana.
"Lalu kenapa kau tidak mau pergi dari sini Ino ? Bukankah sebenarnya kau menunggunya ?"
Ia tak menjawab pertanyaanku, kulirik Ino yang berdiri disebelahku, matanya memandang nanar, ada rasa rindu dan sedih yang tersirat di mata itu. Tapi Ino tak menangis, atau entahlah… kurasa ia sudah lelah menangis atau airmatanya telah mengering karena merindukan pria itu.
Pemuda musim hujannya takkan pulang.
.
.
"Perang ini merenggut semuanya…." Ucapku lirih dalam perjalananku pulang, aku tahu Ino akan baik-baik saja dirumahnya, walau begitu aku harus tetap disampingnya apapun yang terjadi.
Aku memandang ke sekelilingku, nampak beberapa gelandangan duduk didepan deretan toko yang sudah tutup dan tertutup diantara debu-debu dan sarang laba-laba, didepan toko bunga Nyonya Penny ada seorang anak laki-laki berusia sekitar 14 tahun tengah bernyanyi sambil bersandar lemah pada diniding toko itu.
"Looking around
Looking around
I see my family's back
I see butterflies around me
But it's a lie
Because…
You will be never come
And never want come to my town
We are breaking down,,,"
Suara nyanyiannya pelan, tapi sangat terdengar ada nada kesedihan dalam lagu itu. Rasa rindu akan kehangatan keluarga kecil yang dulunya hidup dikota yang damai, hari-hari yang indah dan dirindukan.
Kau benar… tak akan ada yang ingin datang kekota ini, bahkan tinggal pun enggan. Perang telah menghancurkan kita.
Aku melangkah cepat ke sebuah toko roti kecil milih sahabatku Chouji, sebenarnya nama resminya Charles, tapi kata Ino kami harus tetap membiasakan diri berbahasa Jepang sedikit. Walau hanya menyebutkan nama.
Kriing…
Terdengar bunyi bel bersamaan ketika aku membuka pintu, "Hai, Sherry." Sapa Chouji
"Hai Chouji, aku beli sekantung gandum ya," ucapku sambil melangkah mendekati kasir tempatnya berdiri.
"Tidak ada gandum Sakura, aku hanya menjual beberapa roti." Ia menggeleng lemah, tangannya terlihat sibuk merapikan barang-barang jualannya dan kantong-kantong gandum yang kosong, ia menunduk untuk meraih beberapa gandum yang tercecer dilanti dekat kakiku.
"Kenapa ? Apa mereka membatasi pasokan gandum juga ?"
"Tidak…"
"Lalu kenapa ?"
"Aku dan keluargaku akan pergi ke Jepang, ketempat leluhur kita dulu." Mataku melotot kaget
"Tapi… kenapa ? Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau, aku, Ino, dan Sai akan tetap disini ? Bukankah kau sudah janji ? Ino sedang hamil Chouji, apa kau ingin meninggalkan kami !?"
"Tapi aku punya keluargaku Sakura ! Chouco harus hidup ditempat yang layak !" belanya, kakiku gemetar, Chouji benar, keluargaku pindah ke London untuk kehidupan yang lebih baik.
"Jika kau bertahan hanya untuk menunggu makam orangtuamu dan kepulangan Sai, hidupmu hanya akan berakhir tragis disini Sakura," jelas Chouji sambil menatapku kasihan.
"Kapan kapalnya berangkat ?" tanyaku dengan suara parau, rahangku serasa sakit karna menahan tangis.
"Kapal kedua akan berangkat 2 jam lagi,"
"kapal pertama.. "
"Aku menaiki kapal pertama, satu jam lagi akan berangkat."
"Baiklah… aku akan ikut ke Jepang." jawabku tak pasti, aku tak yakinapakah Ino akan setuju dengan keputusanku.
"Segera temui Ino, aku takutnya kapal kedua akan penuh kalau kalian terlambat," ucap Chouji, aku langsung keluar dari tokonya, lalu berlari menuju rumahku secepat mungkin.
To be continued...
