Matahari belum terbit. Bintang-bintang masih terlihat di langit, mengelilingi salah satunya yang begitu mencolok dengan warna merahnya. Sosok itu menyibakkan tirai yang tergantung di pintu kaca kamarnya. Mempertemukan sepasang iris beda warna dengan gelapnya langit. Pemuda berambut merah itu membuka pintu kaca, melangkah keluar dan bersandar di pagar pembatas balkon. Angin dingin tidak menyurutkan niatnya untuk menghirup udara segar. Ia menghela nafas berat.
Insomnia. Satu kata yang patut menggambarkan kondisinya saat ini. Ia mendecak kesal. Kenapa ia harus terbangun di saat matahari baru terbit dua jam lagi? Padahal ia tahu, sekali bagun, ia bakal sulit tidur lagi. Salahkan sepasang kucing yang tengah dilanda birahi di kebun samping rumahnya. Kedua makhluk yang menurut segelintir orang unyu itu sukses mengganggu tidur lelapnya. Ingin membuat segelas susu, ia malas turun ke lantai bawah. Apalagi ia tinggal sendiri di rumah sebesar ini. Ia tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan sesosok transparan berambut panjang—ah, lupakan. Yang jelas ia malas turun ke bawah.
Si surai merah mendengus pelan, menatap bulan purnama yang dihiasi awan—menimbulkan kesan mistis. Sepertinya ia akan menghabiskan sisa malam dengan tetap terjaga.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Elegy © 火月 猿(Katsuki SAL)
Fic based on someone's life story
Akashi Seijuuro terpekur menatap langit yang mulai terang. Warna kehitaman menghiasi mata pemuda berumur lima belas tahun itu, membuatnya terlihat seolah tidak tidur tiga hari tiga malam. Ia menguap, menutup mulutnya dengan tangan. Kenapa matanya terasa selengket ini ketika hari sudah terang?
Pemuda itu beranjak dari balkon, melepas kaosnya sembari berjalan ke kamar mandi. Setelah setiap helai pakaian terlepas dari tubuhnya, ia menyalakan shower dan membiarkan air dingin membasahi sekujur badannya.
Sepuluh menit di kamar mandi, pemuda itu keluar dengan kondisi segar. Rasa kantuknya sudah berkurang, namun tidak hilang sepenuhnya. Akashi memilih celana selutut dan kaos longgar berlengan pendek untuk pakaiannya hari itu, lalu melangkah menuruni anak tangga ke lantai bawah. Ia mengusap-ngusap kepalanya dengan handuk untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Pemuda itu masuk ke dapur, berniat membuat sarapan sederhana.
Si surai merah membuka kulkas, mengeluarkan sebutir telur dan selembar daun bawang. Ia meletakkannya di atas meja, mengambil sebuah mangkuk dan mengelapnya sejenak, lalu menaruhnya di dekat telur.
Akashi merogoh rak bagian bawah kulkas yang menyimpan berbagai macam roti. Diambilnya dua lembar roti tawar dan dimasukkannya ke toaster, lalu beralih ke telur. Memotong daun bawang kecil-kecil, memecah cangkang telur di atas mangkuk, dan mencampurnya dengan beberapa jumput penyedap rasa ayam. Pemuda itu mengeluarkan penggorengan, melumurkan minyak dan mulai menuangkan adonan telur. Tak lama kemudian aroma gurih memenuhi udara.
Akashi Seijuuro selalu melakukan hal ini setiap hari, tanpa bantuan seorang pun. Ia tidak perlu khawatir akan terlambat masuk sekolah karena ia menjalani home schooling. Tidak perlu khawatir kehabisan uang juga karena orangtuanya—yang kini mengurus cabang perusahaan mereka di luar negeri—selalu mengirimkan uang saku yang lebih dari cukup setiap bulan. Kenapa tidak ada pembantu? Alasannya sederhana. Supaya Akashi belajar mandiri, selain karena si surai merah itu tidak suka ada orang lain di wilayahnya. Terkadang guru privatnya datang lebih pagi untuk sekedar membuatkan—atau membelikan—sarapan untuknya. Kebetulan mereka sudah cukup akrab.
Akashi meletakkan telur yang sudah matang di atas piring, bersamaan dengan matangnya roti panggang. Ia mengambil roti yang masih panas itu, membuka stoples selai dan mengoleskan selai stroberi di permukaannya. Selesai dengan roti, ia mengambil sebuah gelas dari rak paling atas. Memasukkan sesendok teh ke dalamnya, menuangkan air mendidih dan menambahkan sesendok gula. Setelah mengaduknya, ia menyesap teh itu. Hangat—panas—teh menuruni kerongkongannya, menghangatkan abdomen si surai merah. Ia mendudukkan diri di salah satu kursi, lalu menyantap sarapannya dengan santai.
Ketika jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi, Akashi keluar dari rumahnya—lebih tepatnya, mansion. Si surai merah itu berjalan ke arah kebun di samping rumah, dimana terlihat semak mawar merah di segala penjuru. Akashi mengeluarkan segulung selang dari sudut kebun, menyalakan keran, dan mengarahkannya ke arah semak-semak mawar.
Libur atau tidak, rasanya sama saja bagi Akashi. Bedanya, kalau hari libur gurunya tidak akan datang ke rumah. Seperti hari ini. Sebenarnya bisa saja Akashi kembali bergelung di kasur nyamannya—tapi semak-semak mawar itu menunggu disirami. Kalau ibunya pulang, Akashi tidak ingin beliau melihat mawar-mawar kesayangannya mati. Walau frekuensi orangtuanya pulang bisa dihitung dengan jari, sih.
Bosan? Akashi sendiri tidak tahu apa dia bosan atau tidak dengan kehidupan yang sama setiap hari. Fasilitas rumahnya lengkap. Ada lapangan basket kecil di belakang rumah yang jadi ajang melepas penatnya. Sepi?
...mungkin iya. Bagaimana tidak sepi kalau kau hanya tinggal seorang diri dalam sebuah rumah besar di lahan seluas kurang-lebih satu hektar? Abaikan sang guru privat. Ia hanya datang lima kali seminggu, tujuh jam sehari. Tapi... lebih baik daripada tidak sama sekali.
Akashi tersenyum masam. Ia menengadah, menatap langit yang terlihat kurang cerah. Dahinya berkerut ketika melihat awan gelap bergulung di bagian timur. Sepertinya tak lama lagi akan hujan. Setelah selesai menyiram, ia mematikan keran dan menyimpan selangnya lagi. Si kepala merah itu kembali ke dalam rumah, berniat mengambil bola basket. Ketika melewati ruang tamu, manik dwiwarna-nya menangkap bunga yang jadi hiasan di vas sudut ruangan. Ia mendekati vas itu, membelai mahkota lili yang mulai berubah warna jadi kuning kecokelatan.
Akashi menghela nafas panjang. Sepertinya ia harus mengurungkan niat untuk bermain basket. Tidak ingin mengambil risiko dimarahi oleh sang ibu yang merupakan seorang penggemar bunga karena lili penghias ruangan layu.
Hiruk pikuk terjadi di sekeliling pemuda bersurai merah itu. Sepasang iris beda warnanya menatap ke segala penjuru, memperhatikan setiap pejalan kaki. Seorang wanita yang menggandeng anak laki-laki kecil dengan es krim di tangannya... sekelompok anak muda berpakaian nyentrik... sepasang kekasih yang bermesraan di bawah sebuah pohon tanpa peduli pandangan publik... dan banyak hal lain memenuhi pandangan Akashi.
Senyum tipis terpampang di wajah pemuda bermanik heterokrom itu. Ia memasukkan tangannya ke saku celana, terus berjalan sembari menikmati pemandangan di tempat itu. Ah, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia pergi ke daerah ini. Sayang sekali di hari sepagi ini cuaca sudah mendung. Ia jadi sedikit menyesal karena sudah menyiram semak mawarnya. Tapi, yah... mendung tak berarti hujan. Toh banyak juga orang berlalu-lalang di jalan ini, tidak peduli mendung.
Mengabaikan tatapan penuh minat sekelompok gadis berdandanan gal dari salah satu sudut jalan, Akashi terus melangkah hingga sampai di sebuah florist. Kalimat 'KUROKO' terpampang jelas di papan nama tepat di atas bangunan. Kerincing ringan lonceng terdengar ketika si surai merah mendorong pintu kaca florist. Ruangan penuh warna-warni bunga menyambutnya, menghantarkan pemandangan segar karena dipadukan dengan pendingin ruangan. Akashi termenung ketika menyadari betapa sepinya tempat itu. Tidak biasa. Biasanya tempat itu dipenuhi pengunjung sehingga menyebabkan si penjaga toko sibuk. Tapi kali ini… serius, masa cuma ia sendiri?
"Selamat datang."
Kepala Akashi terputar cepat ke sumber suara. Manik dwiwarna-nya menyipit ketika menyadari eksistensi seorang pemuda di belakang kasir, duduk santai dengan buku di tangan pucatnya. Tunggu dulu... rasanya tadi tempat ini kosong tanpa pengunjung atau penjaga toko? Sejak kapan pemuda bersurai baby blue itu ada di sana?
Merah dan emas bertemu dengan aquamarine yang datar. Hening beberapa detik, hingga si baby blue memecah keheningan.
"Ada yang bisa kubantu?"
Akashi mengerjap, mengembalikan kesadarannya. "Aku mencari bunga lili. Yang putih. Bisa kuminta sebuket?"
Tersenyum tipis, si baby blue mengangguk. Ia meletakkan buku yang dibacanya dan melangkah ke salah satu sudut toko. "Tunggu sebentar."
Akashi mengangguk. Selagi si baby blue sibuk dengan bunga lili, Akashi melihat-lihat bunga lain sembari menggali ingatannya. Toko ini sudah jadi langganan Akashi selama bertahun-tahun. Seingat Akashi, ia tidak pernah melihat si baby blue itu sebelumnya. Apa pemuda itu pegawai baru?
Ketika Akashi tengah memperhatikan sekelompok bunga matahari di salah satu sisi, si baby blue kembali dengan bunga-bunga lili di pelukannya. Akashi mengangkat wajah dan mendekati pemuda berkulit pucat yang sedang mengeluarkan selembar plastik bening itu. Sepasang manik heterokrom Akashi memperhatikan setiap gerak-geriknya. Bagaimana tangannya dengan lincah membungkus bunga-bunga lili itu dan mengikatnya menggunakan sehelai pita berwarna biru muda—sewarna dengan rambutnya.
Manik aquamarine itu mendadak terangkat, beradu dengan heterokrom Akashi. Semburat pink samar langsung terlihat di pipi Akashi, membuat si surai merah menundukkan wajah karena malu.
"Silakan," ujar si baby blue dengan senyum tipis di wajah pucatnya.
Akashi mengambil bunga yang diulurkan pemuda itu, merogoh saku dan mengeluarkan selembar uang.
"Tunggu se—"
"Simpan kembaliannya," sahut Akashi cepat sambil bergegas keluar dari tempat itu, tidak mempedulikan si baby blue yang masih terpaku di tempatnya. Terlambat menyadari bahwa warna pink yang nyaris tidak terlihat mulai menjalar di pipi pucat itu.
.
Beberapa langkah keluar dari florist, Akashi menatap langit dengan was-was. Sepertinya sebentar lagi benar-benar hujan. Pemilik manik dwiwarna itu akhirnya memutuskan untuk berbelok di sebuah gang antara dua toko. Atap dua bangunan yang nyaris bersentuhan itu mungkin bisa melindungi dirinya dari hujan. Benarlah, tak lama kemudian Akashi mendengar rintik air membentur atap. Ia menghela nafas panjang. Beruntung ia sudah pernah menyusuri setiap gang di daerah ini, sehingga ia tahu harus lewat jalan yang mana.
"Kenapa aku tidak menyiapkan payung..." rutuk Akashi pelan. Walau tahu lewat jalan mana, tetap saja akan memakan waktu. Lebih lama, pula.
Hujan turun makin deras, membuat udara serasa dingin menggigit. Air mengalir kencang dari atap bangunan, membasahi gang yang Akashi lewati. Si surai merah itu menaikkan resleting jaketnya untuk menghalau dingin. Rupanya tidak hanya Akashi yang memilih lewat gang kecil. Beberapa orang juga berpapasan dengannya, membuat si rambut merah harus berkali-kali memiringkan tubuh agar mereka bisa lewat. Ia mendecak kesal karena langkah mereka begitu terburu-buru, membuat air terciprat ke segala arah.
Ketika sampai di sebuah persimpangan, Akashi memutuskan untuk berbelok ke arah kiri. Setahunya gang di bagian kiri lebih longgar sehingga ia tidak perlu terus memiringkan tubuh. Baru saja berbelok, mendadak Akashi menubruk sesuatu yang besar dengan keras. Cukup keras untuk membuatnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Dengusan kesal keluar dari bibir tipisnya ketika aliran air dari atap salah satu gedung membasahi pundak kirinya.
"Jalan pakai mata, dasar bocah."
Akashi mendelik galak ketika mendengar kalimat itu. Manik heterokromnya berubah nyalang, menatap benda—orang—yang tidak sengaja ditabraknya. Dua orang pemuda bertubuh tinggi dan kekar menjulang di hadapan si surai merah, membuat perbedaan tinggi mereka terlihat jelas.
"Ooh… berandalan biasa," decih Akashi tenang ketika melihat penampilan kedua orang itu. "Tolong minggir. Aku sedang buru-buru."
"Apa katamu?" Salah satu pemuda itu menarik kerah jaket Akashi, membuatnya sedikit terangkat hingga terpaksa berjinjit. "Ulangi ucapanmu… Tuan Muda penggemar bunga."
Manik beda warna milik Akashi menyipit. "Siapa kau, berani memerintahku?"
"Lebih baik segera minta maaf pada temanku, Tuan Muda," sahut pemuda yang lain. Ia merebut buket lili dari tangan Akashi. "Atau bungamu kuhancurkan."
Akashi tidak menjawab ancaman itu. Matanya menatap tajam tepat ke dalam mata pemuda di hadapannya—dan makin tajam seiring berjalannya waktu. Mereka mengabaikan air hujan yang membasahi tubuh lewat jarak di antara atap dua bangunan.
"Aku tidak suka tatapanmu," desis pemuda yang memegang kerah jaket Akashi.
"Tidak ada yang minta pendapatmu," balas Akashi. Ia mencengkeram pergelangan tangan besar itu. "Lepaskan tanganmu. Kau mengotori jaketku."
Pemuda itu menyeringai. "Sombong sekali kau. Kaupikir siapa dirimu?"
"Bukankah tadi kau memanggilku 'Tuan Muda'?" cengkeraman Akashi menguat, matanya bertambah tajam. "Karena kau—kalian memanggilku seperti itu… berarti sekarang kalian pelayanku. Kuperintahkan kau untuk melepas tangan kotormu. Sekarang juga."
"Kurang ajar!" Pemuda itu melayangkan tinjunya ke pipi Akashi, menghantamnya telak tanpa perlawanan sedikitpun. Pemuda berambut merah menyala itu langsung membentur tanah. Akashi bangkit, mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya. Ia menoleh ke samping, meludahkan saliva yang kini berwarna kemerahan.
"Itu akibatnya kalau kau sombong, bocah!" umpat pemuda yang tadi memukul Akashi. Ia mengambil buket lili dari tangan rekannya, kemudian menginjaknya sampai bercampur dengan air dan lumpur. "Makan bunga ini! Sudah kuinjak sampai lumat!"
Akashi mendesah, mendekati pemuda itu dengan gontai. Seringai di wajah pemuda tadi langsung hilang ketika Akashi merogoh saku celana—menusukkan sesuatu ke arah wajahnya secepat kilat. Beruntung ia sempat menghindar ke samping. Benda berkilau itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
"Apa itu?!" pekik rekan si pemuda. Matanya menyipit, kemudian mengerjap saat menyadari benda di tangan Akashi. "Itu… gunting?"
Pemuda yang tadi memukul Akashi langsung menjauh, berlari ke arah rekannya. Jantungnya berdebar keras—namun seakan berhenti ketika Akashi menatapnya dari balik pundak. Mata pemuda itu terbuka lebar, menampakkan iris berwarna emas menyala. Membuat bulu romanya berdiri.
"Bunga itu kubeli untuk ruang tamuku," desis Akashi. Jemarinya menyusup ke pegangan gunting, membuka dan menutupnya. Menimbulkan bunyi yang terasa mengerikan. "Kau berani menginjaknya… berarti kau sudah siap bertemu dengan gunting kesayanganku."
Sorot ketakutan terlihat jelas di mata kedua pemuda itu. Seringai bak iblis terpampang di wajah basah Akashi, membuatnya terlihat makin mengerikan.
"Mau coba… hmm?" tawar Akashi lagi. Ia mendekat selangkah, namun kedua pemuda itu mundur. Ketika Akashi bersiap melancarkan serangan selanjutnya, kedua pemuda itu dengan kompak berbalik arah dan melancarkan jurus kaki seribu. Lari terbirit-birit.
"Bocah gila!" teriak mereka. Tidak sadar kalau mereka terus berteriak-teriak seperti itu, maka malah mereka yang dikira gila. Akashi memiringkan tubuh dengan santai, mengangkat tangannya yang memegang gunting, lalu mengayunkannya. Gunting berputar beberapa kali di udara, sebelum menancap di dinding tak jauh dari kedua pemuda tadi. Membuat mereka makin histeris dan mempercepat lari.
Akashi masih berdiri di tempatnya sampai mereka tidak terlihat lagi. Kalau melihat jarak lemparan yang begitu tipis dengan target seperti tadi—sepertinya ia berbakat jadi sniper. Dengusan geli keluar dari bibir Akashi saat sadar apa yang dipikirkannya. Sesekali berkhayal mungkin tidak ada salahnya. Manik beda warna Akashi melirik bunga lili yang sudah bercampur dengan air dan lumpur. Ia mendengus kesal. Sepertinya ia jadi buang uang percuma.
Apa ia harus pulang dulu untuk berganti pakaian sebelum kembali ke florist? Atau langsung kembali ke florist, menunggu hujan reda lalu pulang? Atau langsung kembali ke florist, membeli sebuket lagi, menunggu hujan reda, kemudian pulang? Akashi menengadah, menatap hujan yang sepertinya akan berlangsung lama. Ia butuh tempat berteduh—setidaknya, untuk saat ini.
.
Akashi Seijuuro berlari kecil, menimbulkan bunyi kecipak setiap kali kakinya menginjak jalanan. Ia mengusap wajah, berusaha menghilangkan air yang menghalangi pandangannya. Sekitar seratus meter lagi ia sampai di florist langganannya—walau sekujur tubuhnya sudah basah kuyup. Kenapa ia tidak meneduh di tempat lain? Sederhana. Karena setiap tempat yang ingin dihampirinya pasti sudah penuh oleh orang yang juga berteduh.
Lokasi di sekitar florist itu sepi, tidak ada orang yang lewat selain Akashi. Membuat pemuda itu heran. Kemana perginya semua orang yang dilihatnya saat berangkat tadi? Mereka seolah hilang ditelan bumi begitu saja. Kenapa mereka tidak berteduh di kawasan ini?
"Ah, lupakan. Kalau mereka berteduh di sini, aku tidak dapat tempat berteduh," ucap Akashi dalam hati.
Akashi menghela nafas lega ketika mengetahui bagian depan florist yang kosong tanpa seorangpun. Ia mempercepat langkah, melesat ke depan toko itu. Pemuda itu mendudukkan diri di bagian samping agar tidak menghalangi akses keluar-masuk, memeluk lutut untuk menghalau dingin. Rasanya seperti duduk di taman bunga karena berbagai macam tanaman yang dipajang di bagian depan toko seakan mengelilinginya. Namun Akashi sama sekali tidak berniat masuk dan minta bantuan terhadap pemilik toko yang merupakan kenalan dekatnya. Tidak, kalau ia masuk, maka tempat itu akan kotor karena lumpur di sepatunya—sekaligus basah mengingat kondisi Akashi yang basah kuyup saat ini.
Menit-menit berlalu. Hujan tidak juga reda, malah bertambah deras. Membuat mood Akashi makin buruk. Udara lembab membuat pakaiannya tidak kunjung kering. Si surai merah kini bisa merasakan jemarinya yang dingin sampai seakan membeku. Ia mendesah, memeluk diri makin erat. Bahkan pemuda itu tidak menyadari pintu toko terbuka dan keluarlah seorang pria paruh baya.
"Ano…"
Akashi berjengit, memutar kepalanya cepat ke asal suara. Mengacuhkan rasa pening karena gerakan refleksnya itu. Matanya membulat sejenak ketika menyadari kehadiran pria bermanik aquamarine yang tengah tersenyum itu. Melihat manik aquamarine-nya, Akashi jadi teringat pemuda yang menjaga florist tadi pagi. Mereka memiliki mata yang sama, aquamarine yang memancarkan sorot lembut.
"Sudah kuduga, Akashi-san," sapa pria itu ramah.
"Jii-san," balas Akashi, berdiri dan membungkuk sedikit. "Maaf aku mengotori tokomu, Jii-san. Tempat lain sudah penuh. Aku tidak punya alternatif lain selain di tempat ini."
Pemilik toko itu mengibaskan tangannya seolah mengusir lalat. "Jangan sungkan, Akashi-san. Aku dengan senang hati meminjamkan tempat untukmu. Ngomong-ngomong, apa yang kaulakukan di luar sini?"
"Aku berteduh, Jii-san," Akashi terdiam sejenak, "dan aku tidak masuk ke tokomu karena nanti tokomu kotor."
Pria paruh baya itu tertawa renyah. "Apaan… eh, Akashi-san, bibirmu lebam. Apa yang terjadi?"
Akashi meraba sudut bibirnya yang ternyata membiru. Tadi ia tidak merasakan perih karena tidak memikirkannya, tapi karena pemilik toko itu bertanya… rasa perihnya kembali terasa. Akashi meringis samar, namun pria itu menangkap perubahan ekspresi di wajahnya.
"Tunggu sebentar, Akashi-san," pria paruh baya itu masuk lagi ke toko. Tak lama kemudian ia kembali dengan selembar handuk merah di tangannya, dan sebuah uwabaki di tangan lain. Ia mengulurkan handuk itu ke Akashi. "Pakailah ini, Akashi-san. Kalau terus seperti itu, kau bisa masuk angin. Lepas sepatumu kalau kau tidak mau mengotori lantai. Ini, kubawakan uwabaki."
Akashi tersenyum tipis, merasa tertolong oleh kebaikan si pemilik toko. Ia mengambil handuk dari tangan pria yang mengenakan apron biru itu, menyelubungkannya di sekeliling pundak. Ia duduk lagi, melepas sepatu dan menggantinya dengan uwabaki pinjaman.
"Benar-benar terima kasih, Jii-san," ujar Akashi, merapatkan handuknya. Si pemilik toko menyunggingkan senyum ramahnya, membimbing Akashi memasuki toko. "Putraku hari ini libur. Tinggi badannya hampir sama denganmu, jadi mungkin ada kaos yang bisa kaupakai."
Alis Akashi terangkat. Putra?
Pemilik toko membuka pintu di bagian belakang kasir. Sebuah ruangan yang memancarkan kehangatan langsung menyambut—seperti ruang tamu. Perabot di situ tersusun dengan apik dan rapi, tanpa menimbulkan kesan kaku. Hanya saja kardus-kardus berisi berbagai macam bunga memenuhi salah satu sisi.
"Tetsuya?" panggil si pemilik toko, agak keras supaya suaranya terdengar dari berbagai sudut.
Beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki. Seorang pemuda melangkah ringan, turun melalui tangga di bagian kiri ruangan. Akashi mengerjap. Ia baru tahu kalau tempat ini adalah toko merangkap rumah.
Akashi terdiam di tempatnya ketika melihat pemuda yang berjalan mendekat itu. Mata aquamarine… kulit putih pucat dan raut wajah datar… tubuh kurus dan terlihat ringkih… Akashi yakin, ini adalah pemuda yang melayaninya tadi pagi.
"Hai, Otou-san," jawab pemuda itu.
Dahi Akashi berkerut. Tung—apa? Otou-san? Berarti… dia putra sang pemilik toko?
"Tetsuya, ini Akashi-san. Apa kau punya pakaian yang bisa dipakainya?"
Manik aquamarine itu menelusur pemuda yang berdiri di belakang sang ayah, lalu mengangguk tanda mengerti. "Kurasa ada. Mari masuk, Akashi-kun. Sebaiknya kau membersihkan diri."
Sang pemilik toko tersenyum, menepuk bahu Akashi. "Dia putraku, Kuroko Tetsuya. Ikutlah dengannya, Akashi-san. Kurasa kau harus mandi dulu."
Semburat merah tipis menjalar di wajah Akashi. Ia menunduk pertanda terima kasih, lalu bergegas menyusul Kuroko Tetsuya yang sudah terlebih dahulu menaiki tangga ke lantai dua.
Ketika sampai di lorong lantai dua, Kuroko membuka sebuah pintu dan memasukinya. Sebuah ruangan kecil terlihat di balik pintu. Sederhana, bercat biru muda dengan perabot yang disusun rapi.
"Masuklah, Akashi-kun," ujar Kuroko pada Akashi yang masih berdiri di ambang pintu. Ia menggeledah lemari pakaiannya, mengeluarkan beberapa potong pakaian. "Ini, Akashi-kun. Kamar mandi di sana," lanjutnya sembari menunjuk sebuah pintu di salah satu sisi. "Kusarankan kau pakai air dingin. Perubahan suhu mendadak terkadang berefek kurang baik bagi tubuh."
Akashi menyeringai kecil, menerima pakaian yang diberikan Kuroko. "Terima kasih… Tetsuya," ujarnya sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Tidak menyadari Kuroko yang masih berdiri di tempat itu selama beberapa detik dengan semburat merah tipis di kulit pucatnya.
.
Ketika keluar dari kamar mandi dalam kondisi segar, Akashi mendapati Kuroko sedang duduk di ranjang dengan sebuah buku di tangannya. Manik aquamarine-nya terlihat begitu serius membaca setiap kata di buku itu. Akashi mendekati Kuroko. Pemuda itu masih tidak menyadarinya.
"Tetsuya," sapanya. Membuat yang disapa berjengit kaget. Ah, rupanya kehadiran Akashi benar-benar tidak disadari tadi…
"Oh, Akashi-kun…" Kuroko meletakkan buku, menghampiri Akashi. "Biar kujemur pakaianmu, Akashi-kun. Selagi aku menjemur, kompres lukamu dengan es. Itu, sudah kusiapkan di dekat kotak P3K."
Kuroko mengambil pakaian basah dari tangan Akashi, bergegas keluar kamar untuk menjemur pakaian Akashi di lantai bawah. Menjemur di dalam ruangan, mengingat saat ini hujan deras. Sepeninggal Kuroko, Akashi duduk di ranjang dan meraih sekantong es yang disebutkan si baby blue tadi, menempelkannya di bagian wajahnya yang luka.
Sepasang manik dwiwarna Akashi menyapu setiap sudut ruangan. Mulai dari ranjang berseprai putih yang didudukinya, meja belajar di samping ranjang, hingga rak di dekat jendela. Tertarik, si surai merah itu berdiri dan mendekati rak. Membaca judul buku-buku yang tertata rapi di situ. Mata Akashi menyipit. Kebanyakan buku kedokteran—spesialis hati. Sepertinya Kuroko ingin jadi seorang dokter spesialis, eh?
Akashi bergeser, jemarinya menelusuri deretan buku lain. Tidak ada manga di situ, hanya novel dan buku-buku kedokteran. Tanpa sengaja mata Akashi terarah ke sebuah foto di salah satu bagian. Foto seorang pria—yang dikenalinya sebagai pemilik toko—Kuroko yang masih balita, dan seorang wanita berambut sewarna dengan rambut Kuroko. Mereka tersenyum lebar ke arah kamera. Rasa iri sedikit menyelimuti Akashi. Di rumah ia tidak punya satupun foto keluarga seperti ini. Orangtuanya terlalu sibuk untuk sekedar foto bersama, dan setiap mereka pulang Akashi selalu lupa meminta foto.
"Akashi-kun."
Akashi berputar cepat, terkejut mendengar suara itu. Terlihat seorang Kuroko Tetsuya berdiri sekitar satu meter darinya, menatapnya datar dengan sepasang lautan aquamarine. Jantung Akashi berdegup keras. Sepertinya ia akan menjalani senam jantung di tempat ini. Aura pemuda itu tipis sekali!
"Kau mengagetkanku, Tetsuya," ujar Akashi, berusaha tetap datar dan dingin. "Kapan kau masuk?"
"Baru saja," sahut Kuroko. Ia duduk di ranjang, menepuknya perlahan. "Kemarilah, Akashi-kun. Biar kuobati lukamu."
Akashi—lagi-lagi—menurut. Ia menurunkan plastik es supaya Kuroko bisa melihat lukanya. Tangan pucat Kuroko menyentuh pipi Akashi, memperhatikan bagian bawah bibirnya yang luka. "Apa kau tadi berkelahi, Akashi-kun?"
Akashi terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Maaf, Tetsuya. Bunganya rusak."
"Tak apa," Kuroko tersenyum tipis. "Lagipula, aku masih simpan kembaliannya. Kau bisa dapat satu buket lagi tanpa membayar."
Akashi meringis masam. Ia menatap Kuroko yang mengambil selembar kapas dan membubuhinya dengan cairan bening dari sebuah botol. Akashi mengernyit, tidak tahu apa itu. Mungkin sejenis obat. Si baby blue meletakkan tangannya di sebelah pipi Akashi, menyentuhkan kapasnya di bagian bibir yang luka. Rasa perih langsung terasa ketika kapas basah menyentuh luka, membuat Akashi berjengit kaget.
"Sakit, Tetsuya," ujar Akashi blak-blakan. Dahinya berkerut tanda tidak suka.
"Maaf," Kuroko memperlembut gerakannya. Sesekali si surai merah itu meringis menahan perih. "Kenapa kau berkelahi, Akashi-kun?"
"Aku tak sengaja menabrak dua orang berandalan kelas teri, lalu mereka mengucapkan kata yang—menurutku—tidak sopan, kemudian memukulku. Bunganya… diinjak."
"Mereka tidak tahu keindahan sebuah bunga," Kuroko mendengus. "Akashi-kun rupanya pelanggan di sini, ya? Setelah kuingat-ingat lagi, Otou-san sering bercerita tentang Akashi-kun padaku."
Netra Akashi membulat sejenak. "Jii-san sering cerita?"
Kuroko mengangguk. "Otou-san cerita kalau kau juga sering mampir saat jam pelajaran. Ia sempat curiga kau bolos."
"Aku home-schooling," Akashi memejamkan matanya. "Belum pernah sekalipun aku masuk ke sekolah reguler. Hanya lewat saja. Aku juga tidak punya teman di rumah."
Dahi Kuroko berkerut. "Tidak punya teman? Kenapa?"
"Hanya ada satu rumah di lingkunganku—rumahku. Di bagian belakang hanya ada hutan dan bukit. Lalu danau."
"Orangtuamu?"
"Mereka bekerja," ringis Akashi ketika mendadak Kuroko terlalu keras menyentuh lukanya. "Pelan-pelan, Tetsuya."
Kuroko tersentak pelan. "Gomen. Di mana mereka bekerja, Akashi-kun?" tanyanya lagi, lebih berhati-hati mengobati luka Akashi.
"Sekarang mereka mengurus cabang di luar negeri. Aku lupa dimana, tapi yang jelas daerah tropis."
"Hoo…" Kuroko mengangguk-angguk pelan. Ia terdiam, berusaha mencari topik lain yang ingin diutarakan. "Rumahmu jauh dari sini, Akashi-kun?"
"Tidak. Hanya kurang-lebih dua kilometer. Aku bisa jalan."
"Itu jauh, Akashi-kun."
"Itu kenyataan, Tetsuya."
Gerakan Kuroko terhenti, membuat Akashi terdiam beberapa detik sebelum membuka matanya. Lautan dwiwarna langsung bertemu dengan aquamarine, saling menatap dalam. Sebelah alis Akashi terangkat.
"Kenapa kau menatapku seperti itu, Tetsuya?"
"Ah, tidak…" Kuroko melemparkan kapas ke tempat sampah di dekat meja belajar. "Aku hanya berpendapat mata Akashi-kun indah sekali. Emas dan merah."
Akashi merasa wajahnya memanas. Ia menyeringai, berharap rasa panas itu berkurang. "Mata ayahku emas, sedangkan ibuku merah. Keduanya mengalir dalam diriku."
"Kalau aku hanya mewarisi kedua mata Otou-san," Kuroko terkekeh renyah. "Wajah dan rambutku begitu mirip dengan mendiang Okaa-san. Hanya tinggi, jenis kelamin dan umur yang membedakan kami."
Akashi yakin ia melihat sorot kesedihan di lautan aquamarine yang sekilas tampak datar itu. Senyum tipis di bibir Kuroko juga terlihat sebagai senyum muram. Baru saja Akashi berniat membuka mulut, Kuroko mendahuluinya.
"Okaa-san meninggal lima tahun lalu karena sakit. Aku dan Otou-san akhirnya mengelola florist yang semula jadi usaha keluarga Okaa-san."
Akashi terdiam sejenak. "Karena itu kau berniat jadi dokter?"
Kuroko mengangguk. Ia melirik jam di salah satu sisi yang menunjukkan pukul setengah dua belas. Akashi ikut melihat ke arah jam, mengernyit samar. Waktu terasa berlari hari ini. Si baby blue berdiri, beranjak dari kamar.
"Mau ke mana, Tetsuya?"
"Memasak, Akashi-kun," sahut Kuroko. "Mau ikut? Sederhana saja. Hanya telur. Otou-san sedang menyukai itu akhir-akhir ini. Tapi aku tidak terlalu pandai memasak."
"Kubantu," Akashi berdiri dan segera menyusul Kuroko yang mendahuluinya turun.
Sesampainya di dapur, Kuroko membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa butir telur ayam. Kemudian mengambil sebuah mangkuk, memecahkan telur di atasnya. Akashi yang memperhatikan pemuda itu mengerjap pelan.
"Tetsuya, kau mau buat tamagoyaki?"
Kuroko mengangguk tanpa menoleh, masih sibuk memecahkan telur. Setelah semua telur berada di dalam mangkuk, ia mulai mengocoknya hingga tercampur rata. Sementara itu Akashi mengedarkan pandangannya seakan mencari sesuatu. Tak lama kemudian ia berjalan melewati Kuroko, tangannya meraih sesuatu yang terletak di rak bagian atas. Sebotol kecap asin. Akashi mendekati Kuroko, meraih sendok teh dan menuangkan kecap asin di atasnya. Si surai merah sengaja memposisikan tangannya di atas telur agar lebih mudah memasukkan kecap.
"Dua sendok, Akashi-kun?"
Akashi mengangguk. "Kalau satu sendok, rasanya nanti jadi agak hambar, Tetsuya. Kalau tadi kau menggunakan enam butir telur, maka takaran yang pas adalah dua sendok teh kecap asin," jelasnya sembari menyimpan botol kecap.
Kuroko mengangguk-angguk, paham sekarang. Tidak heran kenapa telur yang dibuatnya selalu terasa agak hambar. Ternyata ia kurang menambahkan kecap.
"Tetsuya, kau punya wajan anti lengket? Lebih baik kalau wajannya persegi."
"Punya, Akashi-kun," Kuroko meletakkan mangkuk telur, menggeledah rak bagian bawah yang berisi berbagai panci dan wajan. Tak lama kemudian ia mengeluarkan sebuah wajan datar berbentuk persegi.
"Tolong panaskan minyak di atasnya, Tetsuya. Takar minyaknya, sekitar dua sendok makan."
Kuroko mengangguk. Si surai baby blue itu melewati Akashi, menjulurkan tangan untuk mengambil minyak. Sayangnya tangan Kuroko tidak sampai. Menyadari usaha si baby blue, Akashi menyambar kantong minyak dan memberikannya ke Kuroko. Kuroko mengangguk tanda terima kasih, menuangkan minyak sedikit demi sedikit. Selesai dengan tugasnya, ia kembali mendekati Akashi.
"Tadi sudah kumasukkan kecap asin... Tetsuya, tolong ambilkan gula pasir dan merica."
Si baby blue meraih stoples gula, lalu wadah merica di rak yang sama dengan kecap tadi.
"Tolong masukkan dua sendok makan gula, Tetsuya."
Kuroko mengangguk, memasukkan dua sendok makan gula ke dalam adonan telur. "Mericanya, Akashi-kun?"
"Sebentar..." Akashi meletakkan mangkuk telur, meraih wadah merica dari tangan Kuroko. Perlahan tapi pasti, ia mulai mengocok wadah itu hingga bubuk merica berjatuhan. Sedikit demi sedikit, sesekali menyuruh Kuroko mengaduk adonan dan sesekali pula mencicip. Senyum tipis tampak di wajahnya setelah dirasanya adonan itu pas.
Akashi mendekati kompor, menuangkan adonan di atas wajan. "Merica tadi ditambahkan secukupnya, Tetsuya. Setelah ini, masak telurnya. Jangan terlalu tipis, tapi juga jangan terlalu tebal. Tunggu sampai setengah matang."
Kuroko menganggukkan kepalanya, tanda mengerti. Ia ingat, telur yang dibuatnya seringkali gagal karena adonannya terlalu tipis. Pemuda itu menengadah, menatap Akashi yang masih menuangkan adonan. Tiba-tiba kepala Akashi bergerak, balas memandang Kuroko yang berdiri tepat di sampingnya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Tetsuya?" tanya Akashi diiringi seringai kecil.
Kuroko menurunkan pandangannya, menggeleng pelan. "Tidak… aku hanya merasa kalau Akashi-kun terlihat benar-benar mahir memasak."
"Orangtuaku mulai jarang pulang sejak umurku tujuh tahun. Itu artinya aku harus belajar hidup mandiri," Akashi meraih sumpit, mulai menggulung telur yang setengah matang. "Di rumahku juga tidak ada pelayan. Tidak ada sopir pribadi. Hanya aku sendiri di lahan seluas satu hektare lebih."
Mata Kuroko membulat. "Apa Akashi-kun tidak kesepian?"
Gerakan Akashi terhenti. Ia menatap tangannya yang masih menggulung telur sampai rapi. "Sepi, ya…" Ia menuangkan sesendok adonan lagi. "…aku sudah terbiasa, Tetsuya."
Kuroko terdiam, menatap ke manik dwiwarna Akashi. Walau si surai merah berkata seperti itu, pandangan mata tidak bisa berbohong. Pemuda itu jelas-jelas merasa sepi. Kuroko tidak berkata apa-apa setelah itu. Ia hanya memperhatikan Akashi yang dengan telaten menuangkan adonan telur. Membuat aroma gurih menguar di udara.
"Enak, Akashi-kun."
Akashi tersenyum tipis mendengar komentar Kuroko. Ia memperhatikan Kuroko yang tengah mencicipi masakannya. Si surai merah duduk di seberang Kuroko, terbatasi oleh meja makan.
"Apa mericanya terlalu banyak, Tetsuya?"
Kuroko menggeleng. "Tidak. Enak sekali, Akashi-kun. Ah, biar kupanggil Otou-san. Kalian harus makan duluan, biar aku yang tunggu toko. Aku belum terlalu lapar."
"Hmm…" lenguh Akashi, menyadarkan punggung di sandaran kursi. Jemarinya menggaruk rambut merah yang sebenarnya tidak gatal. Ia melirik jam dinding—pukul dua belas lebih sedikit. Hujan belum juga berhenti. Ah, jangan katakan kalau ia harus menginap…
"Akashi-san."
Akashi menoleh, mendapati Ayah Kuroko yang memasuki dapur. Ia tersenyum tipis, menyambut kedatangan si tuan rumah. "Silakan duduk, Jii-san. Biar kuambilkan nasi," ujarnya sambil berdiri dan meraih sendok nasi.
"Padahal Akashi-san tamu kami, tapi malah kau yang menyuguhi," si pria paruh baya tertawa renyah—kekehan yang mirip dengan putranya.
"Sebagai tanda terima kasih karena anda begitu baik hati padaku, Kuroko-san," jawab Akashi sopan, menyodorkan piring berisi nasi yang diterima dengan senang hati oleh Ayah Kuroko.
Ayah Kuroko tertawa lagi. Ia menatap hidangan yang tersaji di hadapannya. "Wah… sepertinya enak. Tunggu, apa kau yang memasaknya, Akashi-san?"
"Aku hanya membantu Tetsuya, Jii-san," Akashi menyunggingkan senyum misterius. "Silakan, Jii-san."
Ayah Kuroko tersenyum, mengambil sepotong telur. Menggunakan sendok, ia memasukkan telur dan nasi ke mulutnya. Tak lama kemudian senyum senang tampak di wajahnya.
"Enak sekali!" pujinya. "Terima kasih sudah membantu Tetsuya, Akashi-san. Aku benar-benar berhutang padamu."
Akashi menggeleng pelan sembari mengambil bagiannya sendiri. "Kalian tidak berhutang apa-apa padaku, Jii-san. Malah aku yang berhutang."
"Kita anggap impas saja. Rasanya mirip dengan masakan istriku," Ayah Kuroko tersenyum simpul, kembali melahap makanannya. "Ngomong-ngomong, jarang sekali kulihat wajah Tetsuya sesumringah itu."
Sebelah alis Akashi terangkat. Memangnya wajah Kuroko tadi sumringah? Sepertinya tidak. Rasanya wajah pemuda itu tetap datar, sedatar tembok Cina. Apa karena mereka ayah-beranak, jadi Kuroko Senior bisa tahu perubahan ekspresi anaknya? Hubungan darah memang tidak bisa diremehkan.
"Tetsuya jarang sekali terlihat cerah setelah istriku meninggal," lanjut Ayah Kuroko. Akashi hanya diam, mendengarkan. "Istriku meninggal karena sirosis, Akashi-san. Setelah itu Tetsuya seakan terperangkap dalam dunianya sendiri. Aku sampai bingung dengan perubahan sikapnya."
Akashi menatap si pemilik florist, menyendok telur dan memasukkan ke mulutnya. Sorot pria itu menerawang.
"Semenjak kematian ibunya, Tetsuya berniat menjadi seorang dokter spesialis hati. Tapi…" Kuroko Senior terdiam sejenak, hanya untuk menggeleng pelan. "Ah, sebaiknya jangan dibahas sekarang…"
Alis Akashi terangkat, tanda penasaran. "Ada apa, Jii-san?"
Ayah Kuroko melirik dengan mata hitamnya yang berkilat bagai burung hantu. "Kau yakin mau mendengarnya, Akashi-san?"
"Kalau itu bisa meringankan bebanmu, Jii-san."
Ayah Kuroko terdiam sejenak. Ia menghela nafas panjang, seakan mengambil ancang-ancang. "Kalau begitu, dengarkan baik-baik, Akashi-san…"
Akashi mencondongkan tubuh, mengangguk tanda mengerti. Kuroko Senior merendahkan nada bicaranya, seakan membicarakan suatu rahasia. Membuat netra Akashi melebar setelah mendengar kalimatnya.
To be Continued
A/N:
Moshi-moshi, Minna. Katsuki SAL desu. Yoroshiku.
Bentar, saya bingung mau nulis apa di sini... Ini... sebenernya fic tantangan dari abang saya yang seorang fudan itu... dan saya sudah menyelesaikannya sampai end. Jadi... mau di-apdet setiap kapan, Minna?#eh
Bagaimana menurut anda? Gaje, ya? Aneh, ya? Banyak typo, ya?#plak
Thanks for Abang Al, yang memberi saya tantangan dalam dunia tulis-menulis. Aaand... special thanks for Abang Lele yang sudah mengizinkan saya menulis cerita hidupnya~ I lope you~ *ditampol*
Oh, ngomong-ngomong... apa Minna-sama tahu apa arti 'flame' dalam dunia fanfiction? Saya author newbie, jadi... nggak tahu istilah begituan. Mohon bimbingannya! *sujud sembah*
Oke, itu aja author's note. Have a nice day, Minna~
