assassination classroom © matsui yuusei. no profit gained, no copyright infringement intended.

warning: domestic!au, spouses!karuri, pengkhianatan eyd, bahasa nggak baku, setting jepang dengan bumbu kearifan lokal … dalam penggunaan panggilan

note: saya nulis apa ini.

.

.

.

"Mas, kalau nggak bangun-bangun, Adek ceburin ke kolam renang, lho."

Memang, hari Minggu itu adalah waktunya bersantai namun ketika lebih dari pukul dua belas siang belum bangun-bangun juga itu masuknya keterlaluan. Semua cucian sudah dijemur dan setiap sudut lantai apartemen mungil ini sudah kinclong, namun Karma masih membungkus dirinya dengan selimut di atas kasur, menolak untuk bangun sejak pagi tadi—alhasil Rio tidak membuatkannya sarapan. Sebetulnya wajar karena semalam ia baru pulang saat Rio sudah tidur dan seminggu ini ia sedang menangani sebuah proyek yang cukup sulit.

Sang istri berjongkok di pinggir ranjang tempat suaminya tidur sambil sibuk menusuk-nusuk pipi Karma dengan telunjuk. Sudah nyaris dua menit ia mengulang kegiatan yang sama, namun sang suami tetap tidur dengan lelap seperti sepotong kayu. Bukannya Rio tidak suka, sih. Sejujurnya ada satu sisi dalam dirinya yang tidak keberatan untuk terus memandangi wajah tertidur Karma yang seperti anak kecil, begitu polos dan tenang, berbanding terbalik dengan kelakuannya saat bangun. Perlahan jari Rio meluncur menelusuri pipi, pelipis, dan terakhir mendarat di dahi, menyapu helai-helai anak rambut yang menutupi dahinya.

"Yaudah deh. Nggak bangun juga nggak apa-apa sih. Nggak ada yang nyebelin."

Rio tahu Karma sudah bangun, tapi masih pura-pura tidur.

"Tapi kalau nggak bangun, siapa yang ngasih uang belanja?"

Mata biru Rio menangkap ujung-ujung bibir Karma bergerak. Ia tersenyum penuh kemenangan.

"Tuh kan, bisa denger kan? Ya udah bangun sekarang, katanya mau makan apple pie."

Karma menyeringai, masih dengan mata tertutup dan ketika Rio mencubit pelan pipinya, baru pria itu mau membuka matanya. Kedua keping sewarna tembaga itu terlihat masih letih meskipun sudah beristirahat cukup lama. Rio menyingkirkan selimut dan bantal dari kekuasaan suaminya sementara Karma menggosok-gosok mata dengan telapak tangan.

"Jam berapa sekarang?"

"Dua belas lewat." Rio melipat selimut dengan rapi dan meletakkannya di kaki ranjang. "Tadinya mau Adek biarin biar bablas sekalian, tapi nggak jadi deh. Kasihan kalau Mas jadi nggak makan."

Karma tersenyum geli, kemudian mengangkat kedua tangannya.

"Gendong."

"Idih!"

Biarpun permintaan barusan terdengar terlalu menyusahkan dan aneh, namun Rio tetap melakukannya tanpa keberatan. Digendongnya sang suami yang nemplok bagai koala di punggungnya sampai ruang tengah, dimana Rio langsung menjatuhkan Karma di atas sofa. Ini entah Karma yang jarang makan atau Rio yang memang wonder woman.

"Cuci muka dulu." tegur Rio melihat Karma beringsut untuk memeluk bantal.

"Hu-uh. Sebentar."

"Jangan dinanti-nanti, nanti ketiduran lagi."

"… Iyaaa."

Kadang Rio berpikir, ini ngurus suami apa anak?

.

.

.

"Yaaah Mas, kok belinya apel fuji?"

Karma mengalihkan fokus dari acara talkshow yang tengah ditayangkan di TV untuk melihat apa yang tengah dilakukan istrinya di pantry. Wajahnya yang kini sudah segar dan ganteng setelah cuci muka menyiratkan ekspresi kebingungan. "Emangnya kenapa?"

Rio mengeluh, sambil menimbang-nimbang sebutir apel fuji di tangannya. "Apel fuji kurang enak kalau dibikin apple pie, Mas. Rasanya gak cocok, harusnya Mas beli yang royal gala."

"Ha? Emang bedanya apa, toh sama-sama apel?"

Komentar tersebut membuat Rio menggembungkan pipinya dengan gemas, ingin sekali mendaratkan kedua tangannya di pipi suaminya lalu memberikan cubitan lagi. Ranking di sekolah dulu bolehlah Karma langganan berada di nomor satu namun untuk urusan dapur istrinya lebih tahu. Mungkin suatu hari nanti Karma harus mengambil kursus masak.

"Kalau pakai apel fuji nanti rasanya lebih tawar gitu, Mas."

"Yah, Adek gak bilang …." gerutu Karma kecewa. Betul juga sih apa katanya, karena kemarin Rio hanya meminta Karma membeli apel dan Rio sendiri juga tidak sempat mengecek, mengingat semalam Karma pulang ketika ia sudah tidur. Rio hanya bisa tersenyum kecewa dan akhirnya mengajukan alternatif pengganti.

"Bikin kue cokelat aja mau? Bahan-bahannya masih lengkap kok di kulkas."

"Maunya apple pie."

Tidak bisa rasanya Rio marah atau kesal pada suaminya yang merajuk seperti itu. Rio sudah berjanji untuk membuatkan Karma pai apel sejak mungkin sebulan yang lalu, namun ketika mereka punya waktu, malah salah beli apel. Baru saja Rio memutuskan untuk menawarkan alternatif kue lain, Karma bangkit dari sofa, masuk ke kamar sebentar lalu keluar dengan dompet di tangannya. Tanpa bicara apa-apa pada Rio, ia melengos menuju pintu keluar.

"Mau kemana?" tanya Rio penasaran.

"Mancing." jawab Karma sekenanya.

"Mancing perkara?"

Karma tersenyum tipis.

"Kan biar Adek gak digodain juga."

Pintu depan tertutup dan Rio menghela napas. Konbini dekat tempat mereka tinggal sering ditongkrongi para preman dan Rio, jika ia pergi sendirian ke sana, biasanya rentan dicie-cie atau bahkan terang-terangan digoda, tanpa tahu yang mereka goda ini punya sabuk hitam untuk beladiri karate dan punya suami seorang ilmuwan nuklir. Ketika Karma mengetahui hal ini, hidup para preman tersebut tidak akan bisa jadi tenang lagi. Setiap kali Karma datang ke sana selalu saja ada ribut-ribut dan prahara, tak jarang ia datang hanya untuk memancing—secara literal—dompet para preman yang nongkrong di situ. Kebiasaan yang tak hilang dari sejak SMP kelas satu. Jadilah, Karma sering menggunakan istilah 'memancing' ketika pergi ke konbini tersebut.

"Ah, lupa nitip yogurt."

Rio menggumam pelan setelah suaminya pergi. Ia baru ingat bahwa persediaan yogurt kesukaannya di kulkas sudah habis.

.

.

.

Karma pulang dengan membawa berbutir-butir apel royal gala—yang diterima Rio dengan senang hati—serta sekotak susu strawberry (untuk Karma) dan tiga botol yogurt kesukaan Rio; padahal Rio sama sekali tidak memberitahunya soal yogurt di kulkas yang sudah habis. Ketika ditanya kenapa Karma bisa tahu, ia hanya mengangkat bahu sambil menjawab "Feeling suami," setengah asal dan Rio hanya bisa tertawa geli mendengarnya.

"Mau dibantuin, nggak?" ujar Karma ketika melihat Rio sedang mencuci apel-apelnya.

"Bantu doa aja. Nonton TV atau DVD aja gih, Mas, lihat anime atau nonton drama Korea. Kemarin Adek beli DVD drama Korea bagus, yang mainnya si Song Joong Ki yang ganteng itu."

Karma mengernyitkan alis, merasa heran karena diusir begitu saja. "Kok gitu sih, Masnya mau bantu malah disuruh nonton TV. Emangnya Adek gak kerepotan?"

"Cicilan apartemen kita belum selesai, Mas. Kalau ada yang meledak duluan kan nggak lucu."

Karma tersenyum kecut.

.

.

.

Apple pie mereka selesai ketika hari menjelang sore. Apartemen mungil bernuansa putih itu kini penuh dengan wangi apel yang bercampur dengan kayumanis. Sepasang suami-istri itu memutuskan untuk menikmati apple pie mereka dengan duduk di sofa sambil menonton televisi, karena rasanya terlalu sepi kalau mereka makan pie dan minum teh di balkon saja. Karma bersandar pada sofa dengan kedua kaki diangkat, piring kecil berisi pie di tangan kiri, sendok di tangan kanan, dan remote TV di atas lutut; di apartemen ini Karma adalah penguasa televisi secara absolut. Rio duduk di sebelahnya, bantal di pangkuan, sambil menghela napas sabar ketika suaminya mulai memindah-mindahkan channel padahal di channel sebelumnya ada acara yang ingin ia tonton. Wah di channel yang tadi ada boyband Badai tuh….

Pada akhirnya Karma berhenti di sebuah channel yang sedang menyiarkan berita tentang pembangkit listrik tenaga nuklir; agak terkesan memihak memang, karena Karma juga bekerja di lembaga penelitian tentang nuklir. Keduanya menonton dengan tenang dan tanpa suara, sampai akhirnya Karma membuka pembicaraan.

"Dek, laboratorium nuklirnya partner kerja Mas yang di luar negeri, kemarin kena musibah. Reaktornya bocor."

"Eh? Beneran?" Rio bergidik ngeri sambil memandang suaminya yang masih memasang muka datar. "Terus gimana? Radiasinya? Ada korban nggak?"

"Belum tahu juga sih, kemarin itu baru banget bocornya, belum ada berita follow-up lagi. Kayaknya sih kejadian ini mau ditutup-tutupin gitu sama perusahaan sponsornya, jadi mungkin nggak bakal sampai ke tangan media."

Rio meringis, ekspresi horor jelas membayangi wajahnya. "Ngeri ya."

Keduanya tidak berbicara untuk beberapa saat sebelum Karma memulai lagi pembicaraannya.

"Dek, kalau misalnya suatu hari laboratorium Mas yang kena musibah kayak gitu, kira-kira gimana ya?"

"Mas jangan ngomong sembarangan ih!" Untuk kali ini, Rio benar-benar panik, panik yang dicampur marah. Sebetulnya Karma ingin tertawa melihat ekspresi istrinya, namun ia harus mempertahankan atmosfir serius ini.

"Eh … nggak sembarangan ini, Dek. Umur orang siapa yang tahu sih?"

"Mas, cubit nih!"

"Tapi untung Adek punya ijazah master, ya, jadi nanti nggak susah kalau misalnya ada apa-apa dan Adek harus nyari kerja."

"IIIIIIIIIIHHHHHHHHHHHHHHHHHH apa sih serius nggak lucu, Mas! Nikah belum satu tahun udah ngomong yang nggak-nggak kayak gini!" Rio yang panik—matanya sudah berkaca-kaca—mendaratkan cubitan perih pada lengan atas Karma. "Nggak suka ah!"

"Realitanya memang tempat kerja Mas beresiko kan, Dek."

"Terus kenapa malah kerja di lembaga penelitian nuklir deh, Mas. Perasaan dulu bilangnya pengen jadi politikus."

"Emangnya peneliti nuklir nggak boleh jadi politikus?" elak Karma, menghindari terbukanya luka lama kala terdampar di jurusan pilihan orangtua saat kuliah dulu.

"Uh, bukannya nggak boleh, sih, tapi neliti ya neliti, politik ya politik!"

"Yee suka kepala batu si Adek. Adek tau nggak ada psikolog yang pernah dapet nobel Ekonomi? Kalau gitu aja bisa, kenapa Mas yang peneliti nuklir nggak bisa jadi politikus."

"Tau sih …" sang istri mengerucutkan bibirnya. "Tapi tetep aja Adek kan jadi ngeri setelah Mas cerita kayak gitu. Dari awal tahu sih, resiko tempat kerja Mas itu gede banget, tapi Mas ngomong kayak gitu sih, Adek kan takut."

Karma melirik istrinya perlahan. Sungguh niatnya hanya bercanda—meskipun kontennya memang serius—tapi ia tidak mengira Rio akan bereaksi seperti ini. Wanita yang dikenalnya sejak SMP ini terkenal jarang menangis dan bahkan dijuluki sebagai cewek badass saat di bangku sekolah dulu, dan ternyata ia masihlah seorang wanita yang memiliki hati yang lembut dan sensitif. Karma mengangkat tangannya, dan menepuk-nepuk kepala wanita yang sudah hampir satu tahun dinikahinya itu.

"Iya, iya. Maaf deh, maaf."

"Mas nggak salah sih, tapi mungkin Adek terlalu sensi juga nanggepinnya." Rio menggosok matanya dengan punggung tangan. "Maaf juga ya. Tapi jangan ngomong-ngomong kayak gitu lagi. Seenggaknya jangan sekarang-sekarang."

"Janji, janji."

"Bener ya."

"Bener."

Meskipun Karma sudah berjanji, ia tak kunjung melihat senyum terbit di wajah Rio. Mungkin istrinya itu masih berusaha menstabilkan emosinya sendiri, terlihat dari caranya menghela napas panjang-panjang kemudian mengembuskannya kembali.

Hanya saja, Rio menikahi seseorang yang terkenal sebagai biang onar di sekolah dan seharusnya ia sudah menduga bahwa Karma tidak akan berhenti sampai di sini.

"Dek, kalau kamu marah, kadang kelihatannya nyebelin, tapi kadang kelihatannya imut banget lho. Kayak sekarang," goda Karma sambil memainkan helai-helai rambut Rio di ujung jarinya. "Adek lagi marah tapi kelihatannya imut banget."

"…"

"Saking imutnya jadi pengen Mas cium deh."

"Mas mau Adek suruh nyikat kamar mandi?"

.

.

.

end

a/n: winterloj sedang sawan.