Magi © Shinobu Ohtaka.

Tidak mengambil keuntungan material apapun dari karya ini.

Note: AU (aftermath).


Peralatan makan kembali bergesek. Menimbulkan denting di tengah keheningan. Bukannya mencairkan suasana malah semakin menunjukkan betapa canggung situasi. Hari ini Alibaba memakai garpu-sendok. Morgiana menyembunyikan harta di bawah meja makan. Hanya satu tangan yang ia pakai untuk aktivitas. Akibatnya garpu menganggur rapi di tepi piring. Alibaba menatapnya.

"Kalung dariku tidak dipakai?" Kalung itu, dari Alibaba sebagai mahar pernikahan.

Morgiana merasakan keringat di tangannya berhimpit dengan rantaian emas. Tidak ingin memojokkan, Alibaba tersenyum lepas bercampur lemah. "Baiklah, aku berangkat ke kantor dagang dulu."

Mencapai ambang pintu, Morgiana menahan bajunya. "Kenapa … Alibaba-san mau menikahiku?"

Kalung di tangan kirinya berincing. Alibaba lagi-lagi meneduhkan tatapan di atas senyumnya. Ia adalah pemuda sukses berusia duapuluh tiga yang sudah mapan sejak beberapa tahun lalu. Mempunyai maskapai dagang sukses, bahkan memiliki garis keturunan spesial. Walau kenyataan mengungkap ia hanyalah mantan pangeran. Sebuah anomali ketika menengok Alibaba baru menikah. Ketika remaja-remaja di kota tersebut sudah mengapit lengan pasangannya. Terlebih, kemarin hari istrinya adalah budak tawanan perang.

"Aku tidak bisa mengerti semua ini. Tubuhku tidak menarik—kau bahkan belum menyentuhku lebih dari mengecup kening." Matanya mulai berkaca-kaca. "Bukankah berjejer gadis yang ingin dirinya kau nikahi? Lantas mengapa aku—yang lebih pantas kau jadikan budak…"

Tangan Alibaba terangkat untuk mengusap rambut merah Morgiana. Rambut yang selalu memiliki banyak makna.

"Aku memilihmu karena cinta."

"Bagaimana bisa kau melakukan itu?"

Alibaba meraih pundak Morgiana. Membuat mata mereka saling melihat. "Jangan merasa kalau kau tidak pantas bersanding denganku," katanya membuat kalung emas di tangan kembali berbunyi. "Aku bahagia bersamamu. Lantas setelah menikah, mengapa kau bertanya seperti itu? Apa kau tidak mencintaiku?" Alibaba mencari sejenak jawabannya di warna magenta. "Kalau memang begitu, mengapa waktu itu kau membebaskanku?"

Siang itu Alibaba diutus sebagai mata-mata ke daerah musuh. Menyamar, berusaha terlihat sebagai pelancong murni. Tetapi Morgiana sigap, dan langsung mengambil ancang-ancang kepada seorang yang menutup kepalanya dengan kain untuk mengorek informasi. Dalam situasi saat itu, sangat mudah bagi Morgiana untuk mengalahkan Alibaba. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Padahal budak kasar itu berada di kandangnya.

Alibaba tetap tenang. Malah memberikan senyum teduh tanpa celah licik. Mata budak yang tajam luluh oleh lembutnya tatapan musuh di bawah terik matahari. Kuda-kudanya mengendur.

"... Karena aku melihat mata Alibaba-san." Matanya beralih. "Aku merasa tidak pantas bersama Alibaba-san yang sempurna."

Helaan napas terhempas di udara. "Apa tadi yang kubilang?" Alibaba mengambil kalung dari tangan Morgiana. Pemuda berambut kuning adalah yang meretas rantai budaknya, mengganti dengan rantai kebebasan. "Jika itu yang kau rasakan, jika memang bagimu terasa sesak sekali … Maka kenapa takdir berjalan melawan arah dari apa yang keluar dari mulutmu?"

Kalung emas dari Alibaba sudah kembali melingkari leher pemiliknya.

"Kenapa, kita menikah, maksud Alibaba-san?"

Kini Alibaba tersenyum lebih jenaka. "Kita masih bisa berubah, Mor. Masih ada harapan."

Morgiana di pelukan Alibaba, menggeser ujung matanya di baju pemuda yang ia tidak lagi ragu untuk melabuhkan perasaan.


.

.

.

E N D