hai halo, mungkin sudah ada yang pernah membaca fic ini sebelumnya. iya memang sudah pernah saya publish di akun saya yang lama. jadi karena sudah terlalu lama tidak di buka dan akhirnya benar-benar tidak bisa di buka lagi. jadi ini saya buat akun baru dan beberapa cerita lama di akun saya yang lama akan saya re publish :")

btw ini akun lama saya, u/2069356/kurokurokarasu-chan


HALOOO! Moshi moshi minna! Oho ho ho ho, lama tak bertemu, #PLAKK author pemalas

Back with this fic, XDD gak nyangka bener-bener bisa publish, XDDD
based on true story, setting aslinya waktu kelas 3 sd, tapi di sini saya ajuin jadi SMP -_- gak mungkin bgt soalnya menurut saya kalo settingnya kelas 3 SD. #author stress
dan di fict ini, kejadiannya saya buat mirip aslinya, Cuma di ganti setting aja, :D

Rencana awalnya Cuma one-shoot, tapi malah jadi two-shoot. -_-' aha ha ha ha ha dan mungkin updatenya rada lama dikit, yah masih sekolah, kelas 2 SMA mau MID pula,. *loh kok malah jadi curhat? XDDDD

Di chap awal masih belum kerasa angstnya ya, tapi di chap dua bkal muncul angstnya,... XDD

Yak, ga usah banyak cingcong lagi, silahkan baca fic saya. XDD semoga anda menikmati fic ini*emang makanan? Dasar author tukang makan XD

Contact me at:

-fb: Tsukanami Glory/shikuromi_rouichi & Alvira GazeRock Jeagerjaques/nami_pallefi

-twitter: chizuru boulevard/ izuru_chan

BLEACH©Kubo Tite

Romance In Violin©kurokurokarasu~chan

SUMARY: Melodi yang mengalir di waktu yang terhenti, menarik sebuah eksistensi ke dalam abstrak "Kau dan aku"

ROMANCE IN VIOLIN

Kau dan aku

Biola dan pena

Memiliki irama individu

Yang saling beresonansi

Karakura Town

Sepasang langkah kecil menapaki jalanan karakura yang keras dan dingin. Sepasang mata violet yang tajam menatap lurus ke depan, menatap hamparan abstraksi manusia yang berlalu-lalang di hadapanya. Tampak membosankan, tapi tak dapat di hindari. Rambut hitam legam sebahu yang menjadi ciri khasnya tampak indah melambai lembut diterpa sang angin.

"Huh, malas sekali ke sekolah. Cuma belajar, membaca, menulis, mendengarkan. Apanyayang menarik dari semua itu? Terlalu membosankan untuk dunia yang luas ini." Gadis itu mendengus sebal.

Jalan lurus yang di kelilingi oleh hamparan pohon sakura yang menghijau sedikit menarik pandanganya. Dia suka pohon, dia suka bunga. Pasti enak kalau melukisnya, begitulah pikir sang gadis.

"Kuchiki!" seseorang memanggil gadis itu, gadis bermata violet dan rambut hitam sebahu, 'Rukia Kuchiki', ya itulah nama gadis itu.

Rukia menoleh, mencari asal suara yang memanggilnya. Suara yang tampak sangat familiar, suara yang lembut dari gadis berambut senja dengan mata abu-abu yang berwajah innocent, Orihime Inoue. "Kau rupanya inoue, kebetulan ya. Ayo berangkat sama-sama!" Ajak Rukia

Inoue menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil yang disertai senyuman.

"Oh ya Kuchiki, kau bilang kemarin mau nunjukin hasil gambarmu padaku?" Tanya Inoue.

"Ah ya, tenang saja aku membawanya." Jawab Rukia.

Rukia membuka pintu kelasnya, dan tiba-tiba...

"BUAKH" sebuah benda mendarat dengan amat sangat tidak mulus di wajahnya. Benda yang diketahui sebagai penghapus itu sukses menbuat wajahnya menghitam, ditambah rona kemarahan yang mencuat yang disertai kerutan urat di dahinya sukses membuatnya tampak seperti kepiting gosong.

"SIAPA YANG LEMPAR INI?" Tanyanya dengan lantang. Yah, memang itulah Rukia.

"Oh kena si nenek, maaf aku sengaja" cengiran seseorang membuatnya makin menjadi lebih panas. Seserang yang merupakan musuh bebuyutanya entah kenapa, rambut putih jabrik, mata emerland, dan tubuhnya yang pendek menjadi cirri khasnya. Dialah si musuh bebuyutan 'Hitsugaya Toushiro'

"Oh rupanya si KUNTET!" Kata Rukia sembari memberikan penekanan saat mengucapkan kata yang dianggap tabu oleh toushiro 'KUNTET'. "Masa menghapus papan tulis saja gak sampai dan malah membuat penghapusnya terlempar." Cibirnya dengan nada sinis yang mengejek.

Mendengar Rukia mengucapkan hal-hal yang menurutnya tabu Toushirou langsung memasang deathglare-nya. "Apa kau bilang? Siapa yang kau panggil kuntet hah? Kau pikir berapa tinggi badanmu?!" Balas Toushiro. "Aku Cuma belum mengalami pertumbuhan yang maksimal!" katanya.

"Dilihat dari manapun kau itu KUNTET! Denganku saja kalah tinggi, masa ga mau disebut KUNTET!? Minumlah 10 gelas susu setiap hari, MUNGKIN kau akan TUMBUH!" Cibir Rukia.

pertengkaran berlanjut tanpa disadari bahwa bel sudah berbunyi. Bahkan sosok Guru yang telah berdiri di depan pintu dengan pandangan heran sama sekali tak disadari oleh sepasang musuh itu.

"BUK! BUK!" "HENTIKAN KALIAN BERDUA!" Guru itu menggeram. "kenapa dari dulu kalian itu tidak pernah bisa akur!?" Tanya Guru itu putus asa. Sedangkan dua orang yang dimarahi hanya diam membisu dengan pandangan kesal saling menatap untuk saling menyalahkan satu sama lain.

"Sebagai hukumanya kalian harus duduk sebangku! Sampai kalian akur!"

"DHUAR!" Tampaknya ada petir yang menyambar otak Rukia dan Hitsugaya.

"AAPPPPPAAAAAAAAA!?" Teriak mereka bersamaan.

"Tidak ada kata tidak. Pokoknya kalian duduk sebangku mulai dari sekarang! "

Dengan pandangan tak yakin satu sama lain, mereka menatap ngeri ke arah masing-masing. Gimana bisa takdir begitu kejam mempermainkan emosi kami! Teriak dua orang itu dalam hati.

"jangan sampai aku ketularan virus kuntet darimu." Ejek Rukia.

"jangan sampai aku kena penyakit galak dari nenek sepertimu," Balas Hitsugaya.

"CIH" Kata kedua orang itu bersamaan.

Suara decit kapur yang digoreskan di papan tulis dan ocehan guru mengenai pemahaman objek seni rupa nampak tak asing. Guru seni rupa yang satu ini tampak sangat santai dalam mengajarkan materi kepada murid-muridnya.

"Ukitake-sensei, apa objek kali ini bebas?" Tanya Rukia.

"Iya Kuchiki, tema kali ini bebas." Jawab Ukitake sembari tersenyum.

Rukia kembali menatap kea rah kertas gambarnya sembari konsentrasi memikirkan apa objek yang akan digambarnya hingga sebuah suara mengagetkanya.

"Kau gambar apa?" Tanya Hitsugaya.

"Eh! Jangan lihat!" Rukia buru-buru menutupi hasil karya tangannya yang menurutnya belum maksimal.

Toushirou menatap aneh ke arah teman sebangkunya, matanya melirik kertas gambar Rukia yang belum tertutupi.

"Bagus," katanya.

"Apa?" Tanya Rukia.

"Gambarmu bagus." Ulang toushiro sembari menyunggingkan senyum. Bukan senyum mengejek seperti biasanya. Melainkan senyum tulus karena sebuah kekaguman yang sangat menawan, dan sukses membuat wajah Rukia sedikit memerah karenanya.

"Ma..makasih." Jawabnya dengan nada sedikit gugup.

Toushirou mengagguk dan kembali menatap ke arah kertas ganmbarnya yang baru di berikan sedikit goresan. Wajahnya tampak serius memikirkan apa yang akan di gambarnya. Karena merasa putus asa dia memanggil Rukia. "Oi,.." panggilnya dengan nada sedikit gengsi.

Rukia menoleh," Apa?" tanyanya.

"Kasih tau sebaiknya apa yang kugambar di dekat gedung kota ini?" tanyanya, tapi mengingat kegengsianya pertanyaan itu malah terdengar seperti sebuah perintah dari tuan muda yang harus di patuhi oleh Rukia.

Entah karena ketidaksensitifanya, atau karena kebodohanyanya Rukia tidak menyadari kegengsian Toushiro dan menjawabnya dengan tenang,"Mungkin akan bagus kalau di beri helicopter." Jawab Rukia sambil tersenyum. "Ah lalu di bagian bawah pohon ini di beri sedikit bunga akan jadi bagus." Tambahnya lagi.

"Hnn, gitu, makasih." Toushiro menjawabnya dengan nada ketus yang sama seperti biasanya, ketus dan Nampak seperti sebuah perintah dibandingkan dengan ucapan terima kasih.

"Eh ya kudengar kau pandai bermain biola?" Tanya Rukia.

"Iya, kenapa kau mau dengar?" Tanya toushiro.

"Kalau boleh.."

"Hnn, boleh kok,.." Jawab Toushiro.

Rukia kembali menatap kea rah buku gambarnya akan terapi bukan objek yang dipikirkanya, melainkan sosok di sebelahnya yang kini mulai mengganggunya. Mungkin karena dia baru pertama kali melihat senyuman yang seperti itu dari Toushiro si musuh bebuyutan. Dan itu semua mau tak mau membuatnya berfikir 'mungkin dia bukanlah orang yang jahat'. Walau sekilas rukia tak mampu menepis pikiran itu.

Melodimu dan melodiku

memiliki irama yang berlainan satu sama lain

Melodi lembutmu

Melodi abstrakku

Melodi lembutmu

Yang entah sejak kapan menyatu dengan melodiku

"Rukia, kurasa di dekat reff akan lebih bagus kalau temponya di lambatkan sedikit. Cobalah" kata si vocalist Kurosaki Ichigo.

Rukia juga adalah seorang bassist di band di sekolahnya, yah selain gambar dia juga suka dengan music, mungkin bawaan dari ayahnya yang dulu juga adalah seorang pemusik, Byakuya Kuchiki.

Aishiteru nante mou iranai

Tada zutto soba ni iteta

Beberapa lirik dari the GazettE-PLEDGE Nampak merdu di telinga. Tampak menikmati semua itu Rukia mulai terhanyut, seolah tanpa sadar dia memainkan bass-nya dengan sangat teliti.

Sayonara wa koko ni wo ite arukidasu o

Mou nidoto miushinau koto wa nai

Lirik perpisahan yang sangat menyedihkan, begitulah pikir Rukia

" Yak latihanya cukup sampai di sini, semoga perform besok akan lancar!" kata Renji semangat.

"TENTU!" semua menjawab dengan semangat.

Hari sudah mulai sore, jam menunjukan pukul 16.15, ditatapnya langit yang mulai Nampak berwarna orange, warna senja yang disukai oleh Rukia. Dia berhenti di salah satu bangku taman dan duduk di atasnya, menikmati desiran angin senja yang dingin, menatap langit yang disukainya.

"Lelahnya~" katanya.

Matanya kembali menelusuri sekitarnya saat dia mendengar seseorang memainkan biolanya, nada itu begitu lembut, begitu menyejukan. Karena penasaran akhirnya Rukia mencari asal suara itu. Mata nya terus menyusuri, telinganya terus menangkap melodi yang sangat indah itu.

Langkahnya terhenti, matanya terbelalak, jantungnya berdetak lebih cepat saat mengetahui sosok yang dicarinya. Rambut putih jabrik, mata emerland yang kini Nampak sayu, dan postur tubuh yang kuntet yang kini mengenakan kaus warna hitam yang dipadukan dengan celana jeans biru tua donker, 'Hitsugaya Toushiro'. Langkahnya benar-benar membeku, perasaan aneh menyelimutinya, entah kenapa wajah musuhnya yang satu itu tampak berbeda dari biasanya, dan yang membuatnya tak percaya, musuhnya memiliki melodi yang sangat indah.

'Bolehkah?.. bolehkan aku merasakan kagum padanya untuk saat ini? Bolehkah?'

Rukia terus menatapnya, menatap laki-laki yang sudah menjadi musuhnya selama beberapa bulan ini. Bukan dengan wajah yang cenberut, bukan dengan wajah yang sebal, dan bukan juga dengan tatapan benci, kini matanya memancarkan sebuah aura yang hangat, dan lembut, ya dia mengagumi lelaki di hadapanya itu. Eksistensi yang tanpa sadar akan terus mengikatnya, 'Hitsugaya Toushirou' dalam hati kecilnya dia bertanya kepada dirinya sendiri, 'bolehkah aku menatapnya dengan cara yang seperti ini? Bolehkah? Aku merasa seperti ini? Apa dia akan mengizinkanku untuk terus menatapnya?

"Krak" suasana kembali hening ketika Hitsugaya mendengar sebuah suara ranting yang terinjak, ketika itu pula dia berhenti bermain dan menatap sesosok gadis yang di kenalnya, "Rukia?" katanya dengan nada yang penuh tanda Tanya, dan dari ekspresi mukanya tampak sedikit ada rasa kaget dan merasa sedikit malu karena ada yang melihatnya memainkan biolanya.

Rukia pun merasa kaget ketika tanpa sadar dia berjalan mendekati Toushirou dan menginjak ranting pohon yang kering. Wajahnya langsung memerah ketika dia sadar tindakan yang dilakukanya tampak seperti penguntit. "A...a.. Toushirou,." Katanya gelagapan. Apa yang harus ia katakan? Hai toushirou tadi itu keren sekali lo, halooo, kami bermusuhan, sama saja mengaku kalah kalo gitu! Tapi mesti bilang apa lagi? Ah sial, keadaan memang tak pernah memihak kepadaku. Umpat Rukia dalam hati.

"Rukia? Sedang apa di sini?" Tanya Toushirou sembari mendekati rukia.

"A...a.. itu, tadi aku kebetulan lewat, lalu aku mendengar seseorang bermain biola, tak kusangka ternyata itu kau." Ucap Rukia galagapan. Bodoh! Gimana kalau nanti dia bertanya, bagaimana permainanku? Atau apakah kau terpesona padaku? Bagus Rukia kau memang bodoh mengucapkan alas an yang terlalu jujur. Jangan salahkan syaraf reflex ku, aku Cuma mengatakan hal yang ada dalam pikiranku.

"Oh, begitu ya, kau mau dengar?" Tanya Toushiro.

Rukia terbelalak kaget mendengarnya,"Eh, kau mau memainkanya?" katanya dengan nada yang antusias.

"Kalau kau mau dengar,." Ucap Toushiro canggung.

Rukia menjawabnya dengan sebuah anggukan yang di sertai senyuman.

"Kau mau dengar lagu apa?" Tanya Toushiro.

"Apa ya,.. lagu pertama yang bisa kau mainkan," jawab Rukia.

Toushiro berfikir sejenak, "Lagu pertama yang bisa kumainkan,..hmmm" gumamnya. "Baiklah,." Toushirou mengangkat biolanya, menaruhnya di pundak, lalu memainkannya. Sebuah lagu singkat yang indah, seperti lagu anak-anak memang tapi Rukia menyukaiknnya.
"Boleh kutau apa judul lagunya?" Tanya Rukia.
"Mary Had A Litle lamb, itu judulnya." Jawab Toushirou.

"Marry had a little lamb"

"Little lamb"

"Little lamb"

Syair lagu yang diimplistkan oleh Toushirou dengan biolanya seakan melekat erat di memori ingatan Rukia. Membuat otaknya mau tak mau tak berfungsi untuk sementara. Entah sihir apa yang dimiliki oleh sosok di hadapanya yang mampu membuat otaknya tidak berfungsi dalam tempo sementara.

"Yak, selesai." Kata Toushirou membuyarkan lamunan Rukia. "Kau mau belajar memainkannya Rukia?" Tanya Toushirou.

"E..eh .. a..aku? ah, kurasa aku tak berbakat dalam hal ini," Rukia menggelengkan kepalanya.

"Ayolah, ini tidak sulit, biar kuajari." Kata Toushirou memaksa.

"Bo...bolehkah?" Tanya Rukia meyakinkan.

"Tentu." Jawab Toushirou singkat yang di sertai dengan senyuman.

Dengan ragu Rukia mengambil biola yang di ada di tangan kanan toushirou. Sejenak dia mengamati biola itu, bentuknya yang unik menurutnya, warnanya yang Nampak nertal, berupa warna kayu asli yang diplitur menampakkan motif-motif abstrak yang unik. Dia meletakkan biola itu di pundaknya, sama seperti yang dilakukan oleh Toushirou.

"Se..seperti ini?" tanyanya.

"Ya,.. lalu coba pegang dengan cara seperti ini," Toushirou kmembenarkan jari-jari Rukia saat memegang. "Lalu geseklah perlahan," katanya.

Rukia mengikuti aba-aba yang diberikan oleh Toushirou. Perlahan dan dengan lembut dia menggesekkan tongkat penggesek biola, ke dawai biola yang kini melekat di pundaknya, berharap suara yang muncul adalah melodi indah yang sama dengan milik Toushirou. Dia seolah merasakan ketenangan saat mengingat kembali melodi indah milik Toushirou.

"NGEEEK, NGGIIIIK!"
Mendadak rasa tenang Rukia hilang dan dengan segera dia menghetikan gesekanya. Dia melihat Toushirou tertawa terbahak-bahak di hadapanya, bahkan hingga merunduk karena tak mampu meanahan apa yang barusan di dengarnya. Kontan muka Rukia langsung memerah seperti tomat.

"Toushirou! Jangan tertawakan aku!"

"Maaf, maaf, habisnya lucu sekali!" Kata Toushirou sambil menahan tawanya .

"Iya deh, kau hebat dalam urusan music." Rukia cemberut.

"Dulu aku juga begitu kok,." Kata Toushirou.

"Eh?" Rukia bingung.

"Iya, dulu aku juga begitu, saat pertama kali memainkanya aku berharap akan ada melodi yang indah yang seperti yang dimainkan oleh pelatihku, tapi yah, seperti yang kau mainkan tadi. Tapi aku juga kan terus berlatih, jadi aku bisa seperti ini." Toushirou menjelaskan.

" O..oh," kata Rukia.

"Apa masih mau berlatih?" Tanya Toushirou.

"Ti..tidak, aku tak berbakat dalam hal musik." Rukia mengembalikan Biola Toushirou.

"Hnn, ya sudah kalau begitu." Toushirou mengambil biolanya dan memasukannya kembali kedalam tasnya.

"Hei, apa suatu saat nanti aku boleh mendengarmu bermain?" Tanya Rukia Ragu.

"Tentu. Aku akan tampil saat pembukaan festival sekolah nanti." Jawab Toushirou.

"Oh, terima kasih, aku akan menunggunya. Kalau gitu, aku pulang dulu ya." Rukia berbalik dan berjalan secepat mungkin menjauh dari Toushirou.

Melodi yang mengalir

Di waktu yang terhenti

Menarik sebuah eksistensi ke dalam abstrak

Kau dan aku

"Aku pulang." Rukia memasuki rumahnya. Dengan wajah yang tak menentu dia masuk ke kamarnya. Di lemparnya tas-nya ke kursi di sebelah kanan meja belajarnya, lalu di hempaskanya dirinya di kasurnya. Beberapa kali dia menghela nafas panjang. Matanya terpejam walau tak tidur ataupun mengantuk. Sesekali dia membuka matanya untuk menatap pola langit kamar yang monoton yang tak berubah sejak dia lahir, kemudian dia memejamkan lagi matanya.

'Kenapa? Tadi itu rasanya sangat menyenangkan, kenapa aku jadi ingin terus menatapnya dengan cara seperti itu? Kenapa aku bisa seperti ini? Dia itu musuhku, apapun itu dia adalah musuhku.' Itulah yang terus berkecamuk di dalam pikiran Rukia.

'tak mungkin aku menyukainya, kami tak pernah akur satu-sama lain, bagaimana bisa aku menyukainya? Itu hal yang mustahil bukan?'

"Hei Rukia, kau percaya pada apa itu karma?" Tanya sesosok gadis di hadapanya, orihime inoue.

"Hah, mana ada hal yang seperti itu?" Jawab Rukia.

"Ah Rukia, tidak bisakah kau bilang iya pada persepsiku?" Tanya Inoue.

"Aku ini tipe jujur, dan entah kenapa aku merasa kalau persepsimu itu terlalu tidak masuk akal atau aneh." Kata Rukia.

"Rukia!"

Karma, siapa yang akan percaya pada hal yang tak memiliki logika seperti itu? Hal yang terjadi dalam

Teori karma adalah kebalikan dari kenyataan yang terlewati,itulah yang dinamakan karma. Hei itu hal yang mustahil bukan. Buktinya, karma tak membuatku cepat tinggi, bukankah hukum alam, teori jika aku pendek itu termasuk hal yang sudah terlewati? dan Inoue juga merupakan seseorang yang bodoh jika mempercayainya, tapi jika melihat dari tipe seperti apa Inoue itu, maka dipastikan dia akan mempercayainya.

"Srek srek srek" terdengar suara pena yang di gesekkan. Garis hallus yang terbentuk dari gesekan pensil, sebagai pertanda 'itulah jalanku' membentuk pola-pola abstrak yang saling berhimpit, bersinggungan, dan tertumpuk, yang di sebut seni lukis.

Tangan telaten yang terus menggesekkan pensil yang kini di peganganya, mata yang menatap lurus ke a rah ujung pensil dan objek yang menjadi jalan dari sang pensil. Nafas yang seolah tertahan, violet yang tak berkedip.

"Serius amat." Kata Toushirou.

Rukia yang mendengarnya sejenak langsung memalingkan wajahnya kea rah laki-laki yang kini tengah menatapnya, sang musuh bebuyutan. "Apa kau bilang tadi?" Tanyanya.

"Hah, kau terlalu serius tadi, makanya aku jadi sebal, tidak ada yang bisa kuajak bertengkar." Kata Toushirou.

"Hah, aku sedang mengejar cita-cita ku, jadi jangan ganggu ya," Rukia kembal memusatkan

Arah pandangnya ke kertas yang mulai terisi oleh coretan pensil yang membentuk pola. Tiba-tiba saja Rukia menghentikan kegiatan yang sejak tadi ditekuninya, matanya beralih kea rah sosok mlaki-laki ti sampingnya. Sejenak dia menghela nafas, "Ne, Toushirou, cita-citamu ma jadi apa?" Tanya Rukia.

Mendengar itu Toushirou Cuma mengernyitkan alisnya, menatap aneh gadis di sampingnya. "Apa ya,..? mungkin mau jadi pemusik, ya mungkin begitu, " sejenak dia berfikir kembali. "Ah aku juga mau jadi astronot, mau jadi pelawak, mau jadi apa lagi ya,..? entahlah aku lupa." Jawab Toushirou.

"Sudahlah, sudah kuduga tidak ada gunanya bertanya padamu, " Kata Rukia dengan nada malas.

"Hei apa maksud ucapanmu itu cebol?" Tanya Toushirou.

"Siapa yang kau panggil cebol itu hah? Dilihat dari sudut pandang manapun jelas terlihat kau yang lebih cebol." Balas Rukia

"Hah, aku sedang malas berkelahi sekarang ini,.." Toushirou menghela nafas.

Rukia Cuma menanggapinya dengan tatapan aneh. Tidak biasanya Toushirou seperti ini. Aneh, rasanya melihat teman sebangkunya ini tidak memiliki semangat seperti biasanya. Mungkin dia sedang ada gamasalah dengan seseorang, konflik pribadi, ya mungkin biasanya seseorang menyebutnya begitu. Dan mana mungkin dia mau menceritakan itu padaku yang notabenya adalah musuh bebuyutanya,. Ha ha ha ha, pikir Rukia. Oh tunggu! Tunggu dulu! Kenapa aku malah jadi ingin membantunya, oh ayolah Rukia, dia itu kan musuhmu! Dia itu musuhmu! Kutegaskan sekali lagi, dia itu MUSUHMU RUKIA!

Rukia memilih menghindari Toushirou dan kembali berkutat di depan kertas gambarnya. Oh, nampaknya aku salah di bagian ini,. Pikirnya. Matanya menyusuri sekitar kertas gambarnya mencari-cari penghapus yang hendak digunakannya. "Lho, aneh, tadi kutaruh itu di sini. Tapi kenapa sekarang tiak ada ya,.." dia terus mencari-carinya.

"Tok,... tok,.. tok,.." terdengar suara sesuatu di potong. Suara yang dari jarak dan arahnya bisa dipastikan berasal dari teman sebangkunya. Rukia yang penasaran menoleh ke arah teman sebangkunya itu. Seberkas tanda singgung muncul di dahinya, melihat penghapus yang dari tadi di carinya ternyata kini telah tercincang menjadi potongan-potongan kecil. Oh benar, penghapus itu di cincang oleh Toushirou menggunakan cutter.

"Toushirou! Apa yang kau lakukan dengan penghapus ku hah?" Pekiknya sembari berbisik.

"Hah, ini Cuma penghapus, beli lagi saja bisakan?" Kata Toushirou cuek.

"Bukan itu masalahnya! Arrgghhh! Kenapa sih kau ini!" Rukia menggeram. "Sudahlah, tak ada gunanya bertengkar deng anmu.!" Rukia menahan emosinya dan memutuskan kembali berkutat di depan kertas gambarnya.

Sementara Toushirou yang sudah selesai mencincang penghapus milik Rukia, dengan santainya meminjam penggaris milik Rukia. "Cebol, aku pinjam ini,.." Katanya.

"Penggaris saja tak punya, huh. Mau kau pakai apa?" Tanya Rukia.

"Untuk sesuatu yang menyenangka pastinya. Kemarikan." Toushirou mengambil penggaris milik Rukia, tak memperdulikan pemiliknya yang memprotes atas tindakanya. "Lihat dan tebaklah ini,.." Katanya.

"Hah? Apa maksudmu?" Tanya Rukia tak mengerti.

Toushirou meletakkan seperempat bagian dari penggaris itu ke atas meja dan membiarkan ¾ sisa dari penggarisnya melayang. Kemudian di letakkannya satu potong penghapus yang telah di cincangnya ke ujung penggaris yang melayang. "Tebaklah, menurutmu, pantulannya akan jauh atau dekat?" Tanya Toushirou.

"Hah? Maksudmu?" Tanya Rukia.

"Cepat tebak saja,. Jauh atau dekat?" Kata Toushirou.

"Jauh." Kata Rukia.

Toushirour memantulkan penggaris dan membuat penghapus Rukia terlempar dekat. "Bodoh, menebak yang begini saja tak bisa. Berikutnya." Kata Toushirou.

"Hei! Kau bilang tadi suruh tebak saja, makanya aku tak berifikir!" Kata Rukia. "lagi pula apa-apaan ini?" Tanya Rukia.

"Ini permainan." Kata Toushirou.

"Permainan? Permainan apa? Aku belum pernah menemuka permainan ini seumur hidupku." Tanya Rukia dengan nada heran.

"Tentu saja bodoh! Ini permainan yang kuciptakan sendiri! Namana sepotong demi sepotong,.." Toushirou menjelaskan.

"Aneh sekali namanya"

"Berisik, tebak saja selanjutnya, kau takkan bisa menebaknya." Kata Toushirou.

"Huh, hal begini sih mudah!" Rukia meremehkan.

Ronde ke-2 permainan original buatan Toushirou di mulai. Jauh, itulah tebakan Rukia. Tapi alisnya mengernyit saat mengetahui bahwa jawabanya itu salah. Potongan penghapus itu terlempar jauh. Karena tidak pernah berhasil menebak, Rukia makin ngotot. Dan permainan itu malah tampak terlihat seru baginya. Sepotong demi sepotong, itulah nama permainan yang mengasyikan ini.

"Saat aku kesepian, kadang aku memainkannya, tapi walau bagaimanapun, dimainkan sendirian memang kurang seru." Kata Toushirou.

"Oh,.. ternyata begitu,.." Kata Rukia.

"Yaaa tapi, berhubung permainan ini aku yang menciptakan tapi kau juga jangan beri tau orang lain tentang ini,. Ini rahasia." Toushirou menatap tajam kea rah Rukia.

"Iya, iya, ternyata kau pelit juga ya,.." Rukia mengela nafas.

Aku hanyalah sebuah pena yang bermelodi lemah

Kau adalah biola yang bermelodi kuat

Aku hanyalah pena monoton yang menggoreskan garis abstrak

Kau adalah biola yang memiliki variasi melodi yang indah

Berbeda dan jauh berbeda

Namun terikat oleh irama yang ditetapkan

"TENG! TENG! TENG! TENG!" Terdengar suara bel pulang sekolah yang selalu di sertai sorakan kecil pertanda rasa bersyukur mereka akan segera melaksanaka apa yang di sebut dengan istirahat.

"Aku duluan ya Rukia,." Hinamori melambaikan tangannya.

"Ah iya, mata ashita,.." Jawab Rukia.

Rukia tidak bisa pulang dengan jadwal yang sama dengan teman-temannya karena dia harus piket. Yah mungkin memang sedikit menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi tugasnya.

½ jam sudah berlalu semejak bel terakhir berbunyi, dan Rukia kini telah menyelesaika tugasnya dan bersiap untuk pulang. Di langkahkan kakinya ke arah tempat parker sepeda miliknya. 'sekolah sudah sepi' pikirnya. Yah mungkin masih terlihat beberapa anak yang sedang bercengkrama satu-sama lain.

"Oi!" suara seseorang yang di kenalnya menyeruak ketika Rukia hendak keluar dari gerbang sekolahnya. Dengan malas dia menghentikan ayuhan sepedanya dan menoleh ke arah sosok yang memanggilnnya.

"Apa yang kau lakukan di situ?" Tanya Rukia.

"Tidak. Cuma malas saja,.." Jawab sosok berambut putih jabrik dengan mata emerland yang di kenalnya,. Toushirou.

"Kenapa tidak pulang?" Tanya Rukia lagi.

"Bukan urusanmu kan,." Jawab Toushirou ketus.

"Oh, ya sudah, aku mau pulang dulu." Rukia kembali menaiki sepedanya.

"Hei! Tunggu dulu, gitu aja marah dasar kau," Toushirou menarik boncengan sepeda Rukia.

" Apa sih yang kau lakukan itu? Cepat menyingkir aku mau pulang!" Bentak Rukia.

"Tidak mau!" Toushirou bersikeras dan malah duduk di boncengan sepeda Rukia.

"Maumu apa sih? Aku mau pulang!" Kata Rukia.

"Antarkan aku pulang." Jawab Toushirou dengan entengnya.

"HAH? Kenapa kau tidak pulang sendiri saja? Kau kan punya kaki!"

"Kakiku sakit." Kata Toushirou.

"Apa urusanya denganku, cepat pergi dari sepedaku!" Bentak Rukia.

"Tidak, antarkan aku pulang." Kata Toushirou bersikeras.

Rukia menggeram dalam hati, dasar anak yang satu ini, memang tidak tahu diri, seenaknya men-STOP ku di sini, yah walau aku sendiri yang berhenti sih tadi dan kenapa tadi aku bisa berhenti, padahal nama ku bukan 'hei' namaku kan 'Rukia'. Dasar orang yang satu ini memang menyebalkan! Rukia mengutuk dirinya sendiri yang tadi berhenti. Ah tapi jangan-jangan kakinya benran sakit, oh dia musuhku lalu apa urusanku, ah tapi kasian juga kalau benar sakit, berate aku orang jahat yang tak suka menolong sesama. Tapi,...

"Di mana rumahmu?" Kata Rukia malas.

"Jalan saja, nanti kutunjukan arahnya." Jawab Toushirou dengan nada datar.

"Kau yang boncengkan." Kata Rukia.

"Tidak, aku yang di boncengkan, kakiku kan sakit." Jawab Toushiro dengan santai dan tenangnya.

"UKH! AWAS KAU BESOK TOUSHIROU!" kata Rukia sembari mengayuh sepedanya dengan setengah berteriak.

Mereka Cuma manusia yang menerima takdir, benar kan? Memang apa yang bisa manusia untuk merubah takdir mereka. Toh mereka belum bisa mengetahui takdir mereka. Usaha yang mereka lakukan, usaha yang katanya akan merubah takdir, itu semua telah di tetapkan dalam nasib yang di berikan untuk kita, manusia. Tidak adil, ya ini sungguh tidak adil bagi manusia. Menusia punya hak, tapi hak itu hanyalah sesuatu yang telah di tetapkan bukan, menusia buta soal masa depan yang menanti mereka, ya kami Cuma berbelok, berputar-putar seperti memutari jalannan, dan kenyataan berkata jalanan itu adalah bagian dari jalan besar yang lebih besar dari apa yang kita duga, aku menyebutnya boulevard.

"Yak, sudah sampai!" Rukia mengatur nafasnya yang kini terengah-engah setelah memboncengkan Toushirou. "Cepat turun! Aku mau pulang." Kata Rukia dengan nada memerintah.

"Hnn,.. tunggu di sini, aku segera kembali." Toushirou turun dari sepedanya.

"Hei, aku mau pulang." Kata Rukia.

"Pokonya tunggu di sini. Jangan coba kabur ya." Kata Toushirou

"Iya iya,.." Rukia malas.

Hah~
Rukia menghela nafasnya, apa sih sebenarnya mau Toushirou itu? Bukankah dia sudah mengantarkanya sampai ke rumah. Harusnya dia bilang yah setidaknya terima kasih atau apapun itu. Sebelumnya aku sering lewat daerah sini, tapi aku tak pernah menyangka jika ini adalah rumahnya. Yang itu lebih bagus, kalau gitu mulai sekarang aku gak akan lewat daerah ini lagi. Tapi apa sih yang dilakukan Toushirou sekarang? Sudah hampir 15 menit sejak dia masuk ke rumahnya.

"YO!" kata Toushirou yang tiba-tiba muncul dengan sepeda yang sepertinya miliknya.

"Hah lama sekali, mau ngapain bawa sepeda gitu? Bukanya kakimu sakit?" Rukia mengernyitkan alisnya.

"Ah, soal kakiku, sudah sembuh." Kata Toushirou dengan wajah innocentnya.

"APAAAA?! JADI KAU CUMA MEMPERALATKU?" Rukia memekik.

"Jangan keras-keras! Sudahlah ayo cepat pergi!" Toushirou naik ke sepedanya.

"Aku tak bisa memaafkanmu bodoh!" Rukia menggeram. "Tapi, kita mau ke mana?"

"Ke rumahmu." Jawab Toushirou singkat.

"JLEGAR!" seperti ada petir yang menyambar telinga Rukia. "Apa kau bilang? Mau ke rumahku? Apa kau gila?" Tanya Rukia.

"Tidak, aku masih waras. Ayo cepat pergi." Kata Toushirou.

"Ti..tidak bisa! Mau apa memang di rumahku?" Tanya Rukia. Tidak waras benar-benar ungkapan yang cocok untuk Toushirou. Apa yang nanti harus di katakana ke pada ayahnya, Byakuya. Dia bersama laki-lakike rumah, oh mungkin ini sama saja dengan bunuh diri. Yang untunglah sampai sekarang belum ada laki-laki yang main ke rumahnya. Ya sampai sebelum Toushirou bilang akan ke rumah Rukia, aha ha ha ha aku tak bisa bayangkan bagaimana reaksi ayah dan ibu ku.

"Tidak tau, aku Cuma mau main sebentar, kurasa itu bukan sesuatu yang salah." Kata Toushirou.

"Tapi! Aku belum pernah mangajak laki-laki ke rumahku!" Rukia mulai panic.

"Oh, kalau begitu aku laki-laki pertama yang main ke rumahmu. Jangan khawatir, aku bukan orang jahat." Toushirou bersi keras.

"Pokoknya tidak! Aku tidak mau!" Rukia menaiki sepedanya dan perhi secepat mungkin dari Toushirou. Namun Toushirou mengejarnya bahkan dengan santai. Rukia memilih tidak pulang duluan karena dia tau Toushirou akan main ke rumahnya.

Siaaallll! Pikir Rukia dalam hati. Apa-apaan orang ini? Kenapa dia tak tampak kelelahan! Umpatnya dalam hati. Lalu aku harus kemana? Aku juga manusia, mustahil bisa terus menggayuh sepeda ku dengan kecepatan seperti tadi! Rukia mulai merasakan kakinya pegal. Lho, jalan ini,? Jalan ini bukanya jalan menuju tempat yang kusukai? Kenapa aku bisa menuju ke sini? Apa mungkin ini yang namanya reflex? Mungkin aku memang harus ke sana dulu, yah paling tidak jangan sampai si bodoh ini tau di mana rumahku.

Rukia belok kea rah kiri, jalanan mulai tampak sepi dan renggang, tidak seperti jalannan yang lumayan ramai yang tadi di laluinya. Dia memasuki lorong kecil yang lumayan sempit yang berjarak kira-kira 1,3m. Lorong yang di laluinya hamper mencapai ujung. 'hampir sampai' pikirnya. Segera setelah keluar dari ujung lorong mata Rukia menyipit seolah cahaya yang tiba-tiba mencuat itu sangatlah menyilaukan, seulas senyum Nampak terukir dengan indah di wajahnya, senyum tulus yang kecil yang hamper tak terlihat.

Rukia menghentikan sepedanya, dan beberapa detik kemudian diikuti oleh Toushirou.

"Tempat apa ini?" Tanya Toushirou.

"Ini tempat favoritku." Kata Rukia.

"Oh..., ini,. indah, aku belum pernah ke sini,.." Toushirou menatap sayu tempat yang kini di pijaknya. Tanah lapang yang di penuhi oleh hamparan rumput dengan tinggi kira-kira 10 cm, rumput yang berembun, meinitkan air-air membasahi tanah di sekitarnya. Beberapa bunga Nampak terlihat di selingan rumput itu, bergerombol di kelompoknya dan membentuk warna-warni yang khas. Ada sebuah pohon besar di tepi tanah lapang itu, ya pohon dengan cabang yang kuat. Angin yang bertiup semilir, melambaikan sosok bunga-bunga di padang rumput kecil itu, melambaikan helaian-helaian rambut putih milik toushirou. Ya dia benar-benar mengaggumi tempat ini.

"srek.. srek,." Terdengar suara kayu yang tengah di panjat. "Hup,hup,." Kali ini di sertai dengan suara yaring sesosok gadis.

Mata Toushirou mencari-cari sumber suara itu. Di dapatinya sepasang sepatu tergeletak tak bergerak di atas tumpukan rumput di bawah pohon besar yang dilihatnya tadi. Matanya naik ke atas, dan di dapatinya Rukia sedang memanjat dahan-dahan yang kuat itu, menapaki satu demi satu langkah panjang untuk mencapai dahan.

"Ngapain kau?" Tanya Toushirou.

"Ini hal biasa yang kulakukan kalau di sini." Jawab Rukia.

"Oh,. Aku boleh ikut?" Tanya Toushirou.

"Ya, tentu." Rukia menganggukkan kepalanya.

Toushirou mengikuti jejak Rukia, dilepasnya sepatu yang di kenakanya, kemudian dipanjatnya perlahan dahan pohon yang besar dan kuat itu. "Memang apa sih yang kau lihat dari sana?" Tanya Toushirou.

"Tidak ada, hanya menatap tanah lapang yang luas ini." Jawab Rukia.

"Oh,.." Kata Toushirou.

Seperti angin yang terus berhembus, seperti sungai kecil yang nampak di seberang, seperti bunga yang terus tumbuh, seperti rumput yang tumbuh memanjang sembari melambai, waktu akan terus berjalan. Tak terhentikan, tak bisa tergantikan, tak bisa di putar ulang, tak bisa di tebak, dan tak mampu kau gapai. Itulah waktu yang terus mengalir di dunia ini, waktu yang mengalir di sekitarku.

"Jam berapa ini?" Tanya Rukia.

Toushirou melirik arlojinya. "Jam 4 sore." Jawabnya singkat dan dengan nada datar.

"Wah sudah sore..." Rukia beranjak turun. Saat dia hendak mencapai tanah dia mengurungkan niatnya untuk turun. Dia menatap tajam kea rah Toushirou. Dan yang bersangkutan malah hanya memperlihatkan senyum simpul.

"Kenapa?" Tanya Toushirou pura-pura tak tau.

"Jangan pura-pura gak ngerti deh." Kata Rukia sebal.

"Yah, gitu deh, ha ha ha ha" Toushirou cengengesan. "Aku Cuma perlu mengikutimu'kan?" Kata Toushirou dengan nada yang berbahagia.

"Hah! Terserah kau sajalah. Tapi awas kalau aku sampai di marahi Tou-san." Rukia menghela nafas.

Selalu Kontras, bukankah itu ungkapan yang tepat untuk mereka dalam dunia seni rupa. Kontras bukanlah sesuatu yang buruk, benar'kan? Contrast memang tak pernah sama. Kontras terkadang meninmbulkan kontroversi antar individu yang bersangkutan, ya itulah Kontrast. Akan tetapi contrast jika dilihat dari sisi lain adalah sesuatu yang saling melengkapi, penuh warna dan variasi. Itulah sisi lain dari sesuatu yang kusebut sebagai kontras.

Sesampainya di rumah,...

Dengan perasaan was was Rukia memasuki kediamannya. "Tadaima." Katanya dengan nada yang meragukan. Sedangkan pengikut asing yang di belakanya hanya menampakkan senyum, sebuah senyum kemenangan yang di tekan.

"Kau tunggu di sini." Kata Rukia dengan nada dingin.

"Ya ya,.. eh ya, cepat ganti baju, kutunggu di sini. Kurasa 45 menit cukup untuk mandi dan sebagainya." Kata Toushirou sembari menatap arlojinya.

"Mau kemana memang?" Tanya Rukia.

"Mau jalan-jalan." Jawab Toushirou dengan entengnya.

"AP! Tadi kau bilang ga ada tujuan apa-apa? Kenapa sekarang malah tiba-tiba jadi gini?" Rukia protes dengan nada teriakan yang berbisik.

"Oh Rukia sudah pulang?" Kata suara berat yang tiba-tiba datang dari belakanya.

DEG! DEG! 'MATI AKU! MATILAH AKU!' teriak innernya. Dengan sigap dan penuh keringat dingin Rukia menoleh ke belakang. "O..Otou-san.." Katanya sambil terbata-bata.

Sejenak terasa ada hawa dingin di sekeliling Byakuya, Ayah Rukia.

"Oh ada teman Rukia,." Ucapnya sambil tersenyum.

"Konichiwa Kuchiki jii-san,." Toushirou bangkit dan merunduk dalam ke arah Byakuya.

"Nah kalau begitu bersenang-senanglah di sini, aku pergi dulu." Byakuya hendak berbalik saat kemudian Toushirou berkata-kata.

"Sebenarnya, saya hendak mengajak putri anda jalan-jalan sebentar." Kata Toushirou.

Byakuya melirik ke arah Toushirou. Tatapan aneh yang tak bisa dijelaskan, tatapan tanpa ekspresi yang protektif terhadap anaknya. Matanya seolah berkata 'ucapkan sekali lagi bendera perang yang kau kibarkan.' "Jalan-jalan ke mana?" Tanya Byakuya.

"Ke taman hiburan karakura. Tempatnya tidak jauh." Jawab Toushirou dengan yakin.

Byakuya melirik Rukia yang dari tadi diam seribu bahasa. Tampak wajah Rukia yang was was. Dia bingung dengan Toushirou dan ayahnya. Dia tak berani memikirkan kesimpulan akhir dari apa yang dilihatnya barusan. Akankah Tou-san menendang laki-laki bernama Toushirou ini ke luar dari rumahnya? Cuma itu keputusan yang bisa dipikirkanya saat ini.

"Baiklah, aku mengizinkannya." Jawab Byakuya singkat.

Rukia langsung mendongak, apa yang barusan di dengarnya? Apakah benar hal yang barusan di dengarnya? Ayahnya mengizinkannya pergi dengan Toushirou? Ha ha ha ha, ini terasa tidak nyata. Oh aku tau ini pasti fenomena refleksi yang di sebut dejavu. Ya pasti begitu.

"Kalau begitu aku pergi dulu." Byakuya berbalik dan masuk ke pintu yang ada di dekatnya.

Rukia memandang tak percaya ke arah Toushirou. Apa yang dilakukan oleh kuntet ini?

"Apa? Sudah sana cepat ganti baju. Aku gak mau nunggu lama." Kata Toushirou.

"Huh." Dengan angkuhnya Rukia berbalik. Apa yang di pikirkan oleh anak ini? Bagaimana bisa dia membuat ayahku yang bahkan aku saja sulit meyakinkannya berkata 'ya'. Apa yang dilakukan oleh kuntet itu? Padahal caranya juga biasa? Oh! Apa jangan-jangan dia pakai mantra khusus jampi-jampi ya? Ah tapi itu gak mungkin. Yah, tapi aneh juga sih.

35 menit kemudian,..

Rukia keluar dengan kaus warna hitam yang tertutup oleh jaket abu-abunya dengan logo cahppy di punggungnya dan celana jeans warna hitam yang panjang. Serba gelap, yah tapi itu adalah warna yang disukainya, warna yang netral.

"Ya sudah ayo..." Kata Toushirou.

"Iya, tapi ini mau ke man.." Sebelum Rukia selesai mengucapkan kata-katanya sudah ada yang memotongnya.

"RUKIAAAA!" Teriak sesorang dengan suara melengking.

Muncullah sosok yang tak terduga. Rambut merah jabrik, seperti nanas, tato di dahinya, dan tingkah yang seenaknya.

"Renji?" Rukia kaget.

Yak yak yak, inilah chap 1 dari fic saya, XDDD enaknya terusin atau di delete aja? Kasih saran ya, flame juga boleh asalkan membangun, XD mind to review?