~Senandung Cinta~

.

.

Kamichama Karin ; Kamichama Karin chu © Koge Donbo

~Senandung Cinta~ © Invea

Rated : T

Genre : Hurt/Comfort ; Angst ; Romance ; Friendship ; Tragedy

Chara : Karin Hanazono ; Kazune Kujo ; Jin Kuga ; Kazusa Kujo ; Kazuto Kujo ; Suzuka Kujo ; Himeka Kujo

Warning : OOC, GaJe, OOT, AU, Ngga Rame, Bloody Scan, Kepanjangan, Lama Update, De eL eL

.

.

~Senandung Cinta~

.

.

Senandung Sampai Menutup Mata ini dinyanyikan oleh Acha Septriasa, tapi Vea lupa siapa pengarangnya, yang jelas, vea tidak membuat lagu ini! Vea hanya membuat FanFic nya~!

.

.

-Sampai Menutup Mata-

.

.

Embun di pagi buta

Menebarkan bau basah

Detik demi detik ku hitung

Inikah saat ku pergi?

.

.

Aku masih bisa mencium harum segarnya embun pagi dari jendela kamar tempat aku dirawat di sebuah rumah sakit keluargaku. Aku sedikit memposisikan kepalaku agar bisa menatap jelas ke luar jendela.

Pagi yang indah. Sinar mentari sedikit menyilaukan mataku. Terdengar cicitan burung kenari yang hinggap di dekat jendela kamarku. Aku tersenyum pahit menatap mereka. Betapa irinya aku kepada mereka, terbang bebas lepas di angkasa, tidak perlu mendekam berbulan-bulan di rumah sakit.

Oh Tuhan, aku ini berkata apa! Harusnya aku bersyukur! Aku tahu semua yang ku alami adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Sakit yang ku rasakan selama ini pun hanyalah ujian dari Tuhan. Karena aku tahu, Tuhan selalu memberikan yang terbaik kepada semua makhluk-Nya.

Di antara sinar kilau sang mentari, entah sadar atau pun tidak, aku melihat sesosok bayangan gadis cilik yang sebaya denganku. Dia terlihat memakai seragam yang sama dengan Kazusa, adikku.

Gadis itu berjalan sembari bernyanyi-nyanyi kecil saat melewati rumah sakit. Rambutnya yang dikepang dua terlihat berkibar-kibar digoyangkan sang bayu. Ia tampak sangat ceria. Mata emeraldnya terlihat hangat menyapa ramah semua makhluk ciptaan Tuhan. Sungguh, betapa manisnya gadis itu. Aku berdebar-debar dibuatnya. Apakah ini cinta?

.

.

"Selamat sore, kak! Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Kazusa, adikku yang selalu memakai hiasan rambut berhiaskan telinga kelinci dan sebuah bunga di bagian belakang kepalanya.

"Ku rasa sudah lebih baik," jawabku.

"Syukurlah kalau begitu! Oh ya kak, aku mau membantu Okaa-san dulu ya, nanti Himeka yang akan menemani Onii-san," ujar Kazusa.

"Ya," sahutku. Kazusa memang sering membantu Okaa-san di tumah sakit. Ia perawat termuda di sini. Okaa-san dan Otou-san adalah dokter yang terkenal. Bukan bermaksud sombong, tapi keluargaku memang sudah banyak dikenal masyarakat karena menyediakan sebuah rumah sakit gratis sebagai bentuk pelayanan keluarga Kujo untuk masyarakat luas. Dan Kazusa mungkin satu-satunya penerus rumah sakit ini. Otou-san bilang sebenarnya akulah yang pantas meneruskan rumah sakit ini. Selain karena aku ini putra sulung keluarga Kujo dan satu-satunya anak laki-laki dari 3 bersaudara, aku pun sebenarnya yang paling mewarisi bakat kedua orang tuaku. Namun, apa daya, penyakit parah yang ku derita sejak kecil mewajibkanku untuk sering berbaring di rumah sakit.

"Kazune-chan!" panggilan nyaring dari adik bungsuku membangunkanku dari alam lamunanku.

"Himeka, duduklah," ujarku.

"Aku bawakan buah apel untuk Kazune-chan! Di makan ya!"

"Arigatou Himeka, bagaimana harimu di sekolah?" tanyaku padanya.

"Ah, tadi ada ujian mendadak!" jawabnya dengan lesu. Dia memang paling tidak ahli dalam masalah bidang studi.

"Apa soalnya susah?" tanyaku kemudian. Sebuah pertanyaan yang tak perlu sebenarnya, aku tahu kalau dia mendapatkan nilai yang kurang memuaskan.

"Ehe, aku dapat nilai 55" jawabnya sembari memperlihatkan kertas ujiannya padaku.

"Waw, peningkatan nih!" seruku. Setidaknya hasil ujiannya kali ini naik 10 nilai di banding ujiannya yang minggu lalu. "Kau telah berusaha dengan baik, Himeka,"

"Arigatou, Kazune-chan!"

Aku kemudian mengusap lembut kepalanya. Ia terlihat sangat nyaman begitu aku manjakan.

"Onii-san! Aku dapat berita bagus!" seru Kazusa yang secara tiba-tiba kini telah ada di sampingku.

"Apa itu Kazusa?" tanya Himeka.

"Otou-san bilang keadaanmu sekarang sudah jauh lebih baik! Mulai lusa, kau bisa pergi ke sekolah!" terang Kazusa sembari tersenyum girang.

"Benarkah?" tanyaku memastikan.

"Iya…"

Terima kasih Tuhan, kau telah memberiku kesempatan untuk merasakan alam luar!

.

.

Lusa pun telah datang. Aku menatap pantulan tubuhku di cermin.

Seperti inikah rasanya memakai seragam? Seperti inikah rasanya?

Sejak kecil aku memang belum pernah sekolah. Aku hanya mengikuti ujian kenaikan kelas dan ujian lainnya di rumah sakit. Dan kini aku mendapat kesempatan untuk merasakan bersekolah. Terima kasih banyak Tuhan!

Setelah memakan sarapan, aku kemudian duduk di depan teras rumah, hendak memakai sepatu. Okaa-san dengan tergesa-gesa menghampiriku.

"Kazune, jangan lupa ini bento-mu! Kau jangan dulu jajan di kantin! Jangan lupa memakai sweater dan juga syalmu! Kau akan di antar jemput pulang pergi oleh Q-chan naik mobil, selain itu Okaa-san sudah meminta agar kau tidak dulu diperbolehkan mengikuti pelajaran olah raga!"

"Baik, Okaa-san,"

Aku kemudian membuka pintu mobil Mercedes hitam yang terparkir di garasi. Ku kira aku akan berangkat bersama dengan Kazusa dan Himeka, namun rupanya Himeka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, sementara Kazusa menggunakan roller blade kesayangannya.

.

.

Sepanjang perjalanan, aku terus menerus memandang keluar jendela. Sebenarnya letak rumahku dengan sekolah tidak terlalu jauh, hanya berjarak 10 menit jika ditempuh dengan mobil.

Tepat di depan sebuah pohon sakura, aku kembali mendapati bayangan gadis berambut cokelat manis waktu itu. Aku lantas membuka kaca jendela mobilku untuk menatapnya lebih jelas. Kali ini ia menggeraikan rambutnya dan memakai sebuah bandu di kepalanya. Rambutnya berkibar sangat indah ketika angin bertiup menerbangkan rambutnya beserta kelopak bunga-bunga sakura yang bertebaran. Aku terpana menatapnya. Namun tenggorokanku tercekat saat hendak memanggilnya.

Ough! Kazune! You're a stupid boy! Mengapa kau tidak mengajaknya untuk berangkat bersama dan memberinya tumpangan? Stupid!

.

.

Oh Tuhan, ku cinta dia

Berikanlah aku hidup

Tak kan ku sakiti dia

Hukum aku bila terjadi

.

.

Akhirnya aku pun tiba di Sakuragaoka Academy, yang merupakan salah satu sekolah elit di Tokyo, khususnya di negara Jepang ini sendiri. Aku kemudian melangkahkan kakiku menuju kelasku berada. Kalau tidak salah, aku di tempatkan di kelas II-A. Selama perjalanan menuju kelas, aku merasa orang-orang saling berbisik setelah menatapku.

Apa ada yang aneh dengan dandananku? Ah, sudahlah lupakan!

Aku kemudian membuka pintu kelas dan ku dapati perempuan bemahkota rambut cokelat itu.

"Mo… Moshi-moshi…" sapaku sedikit kaku. Ini pertama kalinya aku berbicara dengan seorang gadis selain keluargaku.

"Ohayou," ujarnya sembari tersenyum manis. Dadaku berdenyut semakin kencang menatapnya tersenyum. Perasaan apa ini?

"A.. Permisi, kau menghalangi jalanku," lanjutnya. Aku sontak tersadar dan kemudian memberinya jalan. Dia begitu manis saat kau lihat dari dekat.

.

.

Teng! Teng! Teng! Bel masuk berbunyi. Seorang guru kemudian menegurku yang terdiam mematung di sebelah pintu kelas II-A.

"Kau sedang apa di sini?" tegur seorang guru laki-laki berambut hitam pekat dan kaca mata yang terpasang di wajahnya.

"Wa… Watashi wa Kazune Kujo desu…"

"Oh, kau murid baru anak Dr. Kujo itu ya? Baiklah, mari kita masuk,"

Aku kemudian mengikuti guru tersebut dari belakang. Guru itu lalu memperkenalkanku di depan kelas.

"Mina-san, kita kedatangan siswa baru, namanya Kazune Kujo,"

"Ah, sensei, bukankah Kazune Kujo adalah murid yang selalu mendapat peringkat 1 selama ini?" ujar perempuan berambut cokelat itu. Aku tak menyangka dia mengenalku!

"Ah, ya, ya, ya… Kau benar Hanazono-san, dia ini memang belum pernah sekalipun masuk sekolah tapi prestasinya mengalahkan kalian semua," terang guru itu sembari membenarkan letak kaca matanya.

Jadi marga gadis itu Hanazono-san ya?

"Baiklah Kujo-san, kau bisa duduk di pojok kanan, meja yang paling belakang," lanjut guru itu. Aku mengangguk dan melangkahkan kaki kecilku ini menuju tempat yang di katakan guru.

.

.

Bel pertanda istirahat bersenandung menggaungi seantaro sekolah. Aku hendak mengeluarkan bento yang dibuatkan okaa-san tadi pagi. Tepat ketika bento nya ku taruh di atas meja, para siswi kelas II-I mengerubungiku.

"A… Ada apa ya?" tanyaku.

"Kujo-kun, mau makan siang denganku?" tanya salah seorang siswi.

"Tidak, denganku saja,"

"Jangan, sama aku saja!"

"A… Maaf, aku…" Aku kemudian mengambil kaki seribu dan berlari menjauhi kerumunan siswi-siswi itu. Aduh, sebaiknya aku pergi ke mana ya?

Aku kemudian menatap keluar jendela. Ku lihat halaman belakang sekolah sangat sepi. Akupun langsung pergi ke sana.

.

.

Aku kemudian duduk di pinggir pohon Sakura yang sedang mekar. Terpa angin menerbangkan kelopak-kelopak Sakura. Begitu romantis suasananya. Ku buka perlahan bento buatan ibu.

Tepat saat aku membuka bento, seorang perempuan menghampiriku. Rambut cokelat dan suaranya tak pernah bisa ku lupa. Ya, itu adalah gadis yang bermarga 'Hanazono'.

"Apa kau kesulitan mendapat teman?" sapanya dengan lembut. Ia kemudian duduk di sampingku. Oh Tuhan, aku tak menyangka bisa sedekat ini dengannya.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya kemudian. Ia menggerakkan tangannya ke depan mataku. Lamunanku pun terbuyarkan olehnya.

"A… Aku baik-baik saja,"

"Oh, syukurlah. Ah, maaf ya Kujo-kun, aku harus pergi sekarang," Ada sedikit kekecewaan teraut di wajahku. Aku ingin lebih lama bersamanya.

"Tidak apa-apa kok. Kau cukup memanggilku Kazune, Hanazono-san,"

"Baiklah, Kazune-kun. Panggil saja aku Karin, oke?"

"O… Oke…"

Gadis itu kemudian pergi entah ke mana. Bayangannya pelan-pelan menghilang tertutupi kelopak sakura yang bertebaran. Aku masih terpana. Dia telah pergi, tapi sosoknya tidak menghilang dari hatiku. Mungkinkah aku mencintainya?

.

.

Aku tak mudah untuk mencintai

Aku tak mudah mengaku ku cinta

Aku tak mudah untuk mengatakan, 'Aku jatuh cinta'

.

.

Setelah menghabiskan bento special buatan okaa-san, aku kemudian memutuskan untuk kembali ke ruang kelas. Tepat saat aku meninggalkan pohon sakura yang perdu itu, aku menatap sosok gadis itu tengah bersama seorang pria.

Deg! Hati ini terasa seperti ditusuk. Pedih. Mengiris seperti pisau. Rasa sakit ini, berbeda dengan rasa sakit ketika penyakitku kambuh. Rasanya sangat berbeda. Jauh lebih menyakitkan.

Sorot mata gadis itu kemudian menatapku. Gadis itu melambaikan tangannya padaku. Wajahnya terlihat begitu bersinar saat menatap pria berambut hitam gelap di sampingnya. Melihatku yang terdiam mematung, gadis itu menarik lengan sang pria sembari menghampiriku.

"Kazune-kun, kenalkan ini pacarku, namanya Jin Kuga. Dia pun sekelas dengan kita," ujar Karin.

Deg! Dada ini terasa semakin sakit. Tangan kananku kemudian ku arahkan menempel ke dada kiriku. Lambat laun ini terasa begitu membunuhku.

"Aku Jin Kuga. Dan kau…?Beautiful boy, huh?" sahut pria itu. Aku menahan rasa sakit yang tak terkira. Melihatku yang diam saja, Karin sepertinya hendak membelaku.

"Jangan seperti itu, Jin,"

"Dewi, kita pergi saja yuk, kelihatannya sebentar lagi bel pun akan berbunyi,"

"Maaf, Kazune-kun. Jin sebenarnya orang yang baik kok,"

Mereka kemudian pergi meninggalkanku yang masih menahan sakit. Ingin mati rasanya! Aku kemudian berlari menuju toilet. Tepat sesampainya di sana, mulutku mengeluarkan darah.

.

.

"Ohock! Ohock!" Damn! Darahnya masih keluar. Entah sudah yang ke berapa kalinya aku membasuh mulutku untuk membersihkan darah yang keluar. Untunglah toilet siswa saat itu sangat sepi sehingga tak ada seorang pun yang mengetahui hal ini.

Setelah hampir 10 menit berada di toilet, akhirnya darahnya berhenti juga. Aku kemudian membasuh wajah serta melap mulutku dengan sapu tangan putihku. Terlihat noda darah tertempel di sana. Aku lantas memasukkan sapu tanganku ke tempat sampah. Bisa gawat kalau kedua orang tuaku mengetahui hal ini.

Bel tanda istirahat telah selesai kemudian berbunyi. Aku lantas bergegas menuju kelas.

.

.

Sepulang sekolah, Karin dengan perlahan mendekati mejaku. Dengan lembut dia tersenyum kepadaku sembari memberikan beberapa buku catatannya yang tersampul cokelat dengan rapi.

"A… Apa ini?" tanyaku bingung. Aku masih tidak connect. Mungkin aku terlalu gugup untuk berada di dekatnya.

"Kau 'kan baru hari ini masuk sekolah. Jadi kau pasti ketinggalan banyak catatan. Aku pinjamkan buku catatanku, kalau-kalau kamu mau menyalinnya,"

"Ah, A… Arigatou…" Aku kemudian memasukkan buku catatannya ke dalam tas. Dia tersenyum kemudian mulai melangkahkan kaki kecilnya untuk keluar kelas.

"Chotto matte kudasai," ujarku tiba-tiba sembari beranjak bangkit dari kursiku. Dia menghentikan gerakan kakinya, kemudian membalikkan tubuhnya menghadapku.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara yang ramah.

"Aku… Aku…"

"Hm?"

Ingin rasanya ku ungkapkan perasaanku padanya. Tapi, ku ingat kembali bagaimana kondisiku saat ini. Juga bagaimana dia telah mempunyai seorang kekasih hati. Aku kemudian mengurungkan niatku. Dengan lesu, akhirnya sebuah kalimat tanya terlontar dari mulutku,"Kapan aku harus mengembalikan bukumu?"

"Kapanpun," Jawabnya singkat. Dia kemudian meninggalkan kelas. Di luar, dapat ku lihat sosok pemuda berambut hitam tengah menantinya. Sesekali ia menatap arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya. Terlihat gurat kejengkelan muncul dari wajahnya. Mungkin ia tak senang karena harus menunggu pacarnya memperdulikan laki-laki lain.

.

.

Senandungku hanya untuk cinta

Tirakatku hanya untuk engkau

Tiada ku dusta, sumpah ku cinta

Sampai ku menutup mata

.

.

Pagi ini, aku merasa tubuhku masih lemas. Semenjak peristiwa muntah darah kemarin karena syok, ku rasakan keadaanku semakin memburuk. Namun, aku harus kuat, aku tidak boleh lemah. Setidaknya, aku tidak ingin membuat Okaa-san dan Otou-san khawatir.

"Kazune, ingat ya, kau masih belum boleh mengikuti pelajaran olah raga. Tubuhmu masih lemah. Mengerti?" ujar Okaa-san padaku. Aku mengangguk pelan.

"Hati-hati di jalan ya," lanjut beliau. Mobil Mercedes hitam keluargaku kemudian melaju meninggalkan kediaman Kujo. Aku menatap keluar jendela. Semilir angin berhembus, sedikit menerbangkan poni-poni rambutku.

"Tuan muda, sebaiknya anda tutup jendelanya, nanti tuan bisa sakit,"

Hh, aku hanya menghela nafas sembari menutup jendela mobil. Kenapa semua orang berpikir aku begitu lemah?

.

.

Pelajaran pertama hari ini adalah olah raga. Pelajaran kali ini digabung antara kelas II-A dengan II-B. Aku hanya duduk terdiam di pinggir lapangan. Sementara itu, murid yang lain terlihat begitu asyik bermain basket.

Pemuda berambut hitam –Jin Kuga, berjalan mendekatiku bersama dengan orang yang ku cintai, yang notabane nya adalah pacar Jin Kuga. Kuga kemudian menatap sinis ke arahku.

"Heh, kau ini cowok cantik yang lemah itu 'kan? Mau tanding basket denganku?" tantangnya. Telingaku memanas begitu dia memanggilku cowok lemah. Hei, walau aku sering sakit-sakitan, aku tidak selemah itu!

"Itu pun kalau kau mampu. Hahaha…" Dia tertawa mengajak. Wajahku memanas. Karin berusaha membelaku.

"Sudah, ah, Jin. Tidak baik,"

"Kau benar, tak ada gunanya menantang cowok pengecut," sahut pemuda berbola mata kuning seperti kucing itu.

"Aku terima tantanganmu," Aku kemudian bangkit berdiri seraya mengambil bola basket.

"Ho, berani juga kau rupanya," Dia kemudian berusaha merebut bola di tanganku. Aku kemudian berlari seraya mendribble bola. Karin terlihat menyingkir dari lapangan, begitu pula siswa-siswa yang lain. Mereka begitu asyik menyaksikan pertandingan kami berdua.

Tak lama kemudian, sorak sorai terdengar begitu membahana ruangan. Guru olah raga yang baru masuk begitu kaget menyaksikan kami yang sedang bertanding.

"Gawat," ujarnya. Karin yang penasaran terlihat bertanya maksud dari gurunya.

"Gawat kenapa, sensei?"

"Kazune Kujo masih belum sembuh dari penyakitnya. Ia masih tidak boleh melakukan kegiatan yang memberatkan tubuhnya. Ini bisa membuat penyakitnya bertambah parah,"

Duk! Tepat saat sensei memberi penjelasan akan kondisiku pada Karin, Kuga berhasil menjegal kakiku saat aku hendak menshoot bola ke ring. Aku pun lantas ambruk, terjatuh. Kuga kemudian merebut bola dan berlari menuju ring seberang. Aku langsung bangkit dan berlari merebut bola dari Kuga.

"Jin, hentikan pertandingannya!" teriak Karin. Jin tidak menanggapi perkataan dari kekasihnya itu. Keringat mulai bercucuran deras dari tubuhku. Aku kemudian berhasil merebut bola dari tangan Kuga. Aku kemudian berlari ke arah ring.

Deg! Ku rasakan dadaku begitu sakit. Apa mungkin karena aku terlalu memaksakan diri? Aku tak memperdulikan rasa sakitku dan terus berlari menuju ring. Aku kemudian melemparkan bola ke arah ring.

Shoot! Sedikit lagi, masuklah, ku mohon!

Ku rasakan kakiku tak dapat menopang beban berat tubuhku lagi. Dadaku terasa seperti tertusuk pedang. Nafasku semakin sesak. Pandanganku semakin mengabur. Dan…

Bruk! Aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Sayup-sayup ku dengar jeritan Karin memanggil namaku, sesaat sebelum pandanganku semakin gelap dan aku tak sadarkan diri.

.

.

Cintaku, sampai ku menutup mata

.

.

To Be Continued

.

.

Review please?