Copyright © 2016 by Happyeolyoo
All rights reserved
.
.
Ice Cream
Genre : Romance, Drama
Rate : T
Pairing : HunHan as Maincast.
Chapter : 1/4
Warning : Genderswitch. Miss typo(s).
Disclaimers : The cast is belonged to God, their parents, and their company. All text here is mine. Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari cerita ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin dari penulis.
Summary :Luhan masih kelas tiga sekolah menengah atas, dan kekasihnya yang super pintar dan jenius adalah mahasiswa semester tujuh. Dengan sikap khas seorang remaja umur delapan belas tahun, Luhan selalu berhasil menyulut emosi Sehun. Mereka berpacaran walau pun keduanya memiliki sikap berbeda; Luhan yang childish dengan sikap egoisnya sebagai remaja, dan Sehun yang romantis dengan segala pikiran rasionalnya. Based on Ice Cream's Lyrics!
BGM : Ice Cream by Joo ft Leeteuk
Ini musim semi di awal bulan Maret.
Suasana tampak lebih hangat karena musim dingin sudah benar-benar tenggelam ditelan waktu. Setidaknya tidak ada hamparan salju, tidak ada suhu mendekati nol, dan tidak ada pakaian super tebal jika harus keluar rumah. Semilir angin yang membawa hawa dingin masih tertinggal, itu berarti setiap orang yang berjalan di luar harus rela membawa selembar mantel hangat mereka (itu hanya untuk melindungi tubuh dari terpaan angin).
Mungkin bagi sebagian orang, musim semi adalah musim yang tepat untuk menghabiskan waktu di suatu tempat yang indah: pergi ke Pulau Jeju misalnya. Cuaca sedang baik, tidak ada badai. Dan sinar matahari pasti mendominasi dengan kehangatannya yang menyenangkan. Ini adalah saat yang tepat untuk pergi kencan, ke Istana Chanyeonggung atau setidaknya jalan-jalan di trotoar dengan lengan bertaut.
Itu adalah impian setiap pasangan—melewati musim semi dengan penuh suka-cita bersama pasangan tercinta. Tidak ada yang lebih baik dari itu, bukan? Semua orang yang memiliki kekasih, pasti ingin melewatkan musim romantis ini dengan mereka. Itu adalah keinginan wajar, tidak bisa dikatakan aneh.
Namun sepertinya, bagi seorang Xi Luhan, siswi menengah atas tingkat tiga yang sedang kencan dengan seorang mahasiswa semester tujuh anak pemilik cafe cake langganannya, harus menelan keinginan itu bulat-bulat.
Kekasihnya itu benar-benar orang sibuk, asisten dosen, dan akan bekerja di Negara Jepang begitu ia menyelesaikan kuliahnya beberapa bulan ke depan. Ia tidak punya waktu untuk kencan, waktunya habis untuk mengabdikan diri kepada dosennya yang menyebalkan itu. Bahkan ketika ia memiliki sedikit waktu luang untuk pergi bersama Luhan ke sebuah taman ria di akhir minggu, tiba-tiba dosennya menelepon dan memintanya untuk datang sesegera mungkin. Sehun sama sekali tidak bisa menolak, jadi dengan amat terpaksa ia mengakhiri kencan mereka dan mengantar Luhan pulang ke rumah.
Karena hal itu, Luhan sempat sebal dan ngambek dengan Sehun. Seminggu penuh ia tidak menghubungi Sehun, mengacuhkan panggilan masuk darinya, dan tentu saja tidak membalas satu pesan pun yang dikirim Sehun untuknya. Singkatnya, ia benar-benar ngambek.
Padahal awal pertemuannya dengan laki-laki itu sungguh manis, Luhan sampai dibuat terlena dengan perhatiannya.
Saat itu musim dingin tahun lalu. Luhan baru pulang dari sekolah dan berniat mampir di sebuah kedai cake yang baru buka di persimpangan Gyeonggi. Ada diskon spesial bagi seorang pelajar untuk musim dingin kali ini. Jadi Luhan bersemangat pergi ke sana, dan memesan sepiring cheesecake dengan cherry merah di atasnya.
Ia memakannya dengan lamat-lamat sambil memperhatikan suasana di luar lewat cendela besar yang menelangkup kedai mungil ini. Lalu tanpa diduga, salju turun dengan lebatnya—membuat tumpukan salju dengan tebal beberapa inci di berbagai tempat. Luhan sendiri khawatir jika dia tidak akan bisa pulang kalau ia terus berlama-lama di sini. Karena itu ia menghabiskan kue pesanannya dengan sedikit lebih cepat.
Ia membayar pesanannya di kasir dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dan karena kecerobohannya yang memalukan itu, tanpa sengaja ia terpeleset ketika sepatu sekolahnya menginjak air yang membeku di lantai depan kedai cake itu. Ia terjatuh seperti orang bodoh, mengaduh sebentar dan merutuk, lalu tanpa diduga seseorang mengulurkan tangan kearahnya.
"Kau baik-baik saja?"
Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Sehun saat pertemuan mereka yang diselimuti kecanggungan. Gadis itu mengangguk lalu menerima uluran tangan Sehun, berdiri dengan bantuan laki-laki itu.
"Mana payungmu?"
Laki-laki berwajah dingin tanpa ekspresi itu bertanya sambil melempar tatapan mengintimidasi yang membuat Luhan semakin nampak kecil jika berdiri di hadapannya. Gadis itu menggeleng lalu mencicit, "Tidak bawa."
"Kau tidak lihat sekarang sedang hujan salju?" laki-laki itu berucap dengan nada ketus. Sedetik setelahnya, tangannya bergerak melepas lilitan syal biru laut yang melilit lehernya. "Pakai ini!"
"Aa—aniyo," Luhan mundur selangkah, sambil mengangkat topi beruang warna abu-abu yang dipenuhi bulu-bulu hangat. "Aku sudah pakai ini, sudah hangat."
Laki-laki itu berdecak. Lalu tanpa menghiraukan Luhan, ia menghimpit gagang payungnya di pundak dan dua tangannya bergerak melingkarkan syal rajut itu di leher Luhan. "Bagaimana bisa kau keluar tanpa menggunakan syal? Ini musim dingin, bocah."
Luhan memberengut ketika mendengar panggilan itu. "Aku sudah mengatakan kalau aku tidak butuh syalmu ini, Tuan Bermulut Tajam yang keras kepala!"
Laki-laki itu bergeming, "Oh, ya? Ketika kau sampai di rumah nanti, mungkin kau akan berterimakasih kepadaku." Telapak tangannya yang terbalut sarung tangan berwarna senada dengan syalnya menepuk-nepuk pundak Luhan. "Nah. Sekarang katakan padaku, di mana rumahmu?"
Alis Luhan melengkung tajam, "Kenapa? Kau mau apa? Jangan-jangan kau itu seorang mucikari yang sedang mencari mangsa baru untuk dijual di club-mu dan memaksanya menari striptis?"
Pemuda itu tertawa, memamerkan lengkungan bibirnya yang menawan. Mungkin itu adalah saat pertama bagi Luhan untuk menilai senyuman orang lain, dan menganggap bahwa orang yang berdiri di hadapannya adalah orang yang luar biasa tampan. Luhan sempat terpesona dan terjebak dalam kungkungan pesona orang asing itu, lalu membiarkan pipinya merona dalam beberapa saat.
"Kalau aku mucikari, aku tidak mau menjual siswi sekolah menengah atas yang pendek seperti ini," suara besarnya yang menggelegar terdengar, lebih menyenangkan. Laki-laki itu kembali meraih ujung dari gagang payungnya dan menggenggamnya erat. "Kau 'kan tidak punya payung," katanya dengan nada ringan.
Luhan buru-buru tersadar dan merasa bahwa dirinya harus segera lari jika tidak mau terlibat lebih jauh dengan orang sok akrab itu. "Aku bisa pulang tanpa payung."
"Tidak mungkin," Sehun menyangkal ucapan Luhan lalu merundukkan tubuhnya yang tinggi. Ia menghapus jarak di antara wajah mereka lalu tersenyum miring. Tanpa diduga salah satu jemari tangannya menyentil dahi Luhan pelan. "Ayo kuantar."
"Ish! Tuan ini aneh sekali!" Luhan berdecak lalu berniat melangkah. "Dasar!"
"Xi Luhan?"
Luhan kembali berbalik, terkejut karena orang asing yang tampan itu menyebut namanya. "Dari mana kau tahu namaku?"
"Dadamu."
Dua tangan Luhan reflek menyilang di dada, wajahnya memerah. "HEI!"
Laki-laki itu tertawa lagi, membuat Luhan semakin tidak berdaya jika orang itu terus melukis senyuman menyilaukan seperti itu. "Maksudku, name tag-mu," ia menunjuk name tag milik Luhan lantas berjalan mendekat, "Ayo kuantar pulang. Aku tidak bisa membiarkan anak rusa berjalan seorang diri di tengah hujan salju."
Luhan memberengut tidak suka ketika otaknya kembali mengingat momen pertama mereka. Ternyata tidak semanis yang ada dipikirannya. Dan Sehun memang sudah menyebalkan bahkan ketika awal pertemuan mereka.
Bibirnya mengerucut, beberapa senti lebih panjang dari ukuran sebenarnya. Padahal kekasihnya itu sudah tampan luar biasa, tetapi sikapnya yang menyebalkan itu selalu membuatnya merasa kesal setengah mati.
"Jagiya .."
Panggilan sok manis (tetapi benar-benar manis) itu tertangkap oleh gendang telinga Luhan. Gadis berseragam sekolah itu semakin memberengut, lalu berkacak pinggang. Laki-laki yang melempar panggilan seperti itu segera melangkah mendekat ke arah Luhan.
"Mianhae. Aku sedang sibuk sekali di kampus," katanya memberi alasan. Ia melepas mantel cokelatnya yang tebal dan menelangkup tubuh Luhan dengan kain hangat itu.
Luhan membuang pandangan dan mendengus, "Kalau sibuk, tidak usah menjemputku. Aku bisa pulang sendiri."
"Dan membiarkanmu diculik mucikari?" laki-laki itu menggoda. "Ayolah. Di luar dingin sekali, bukan? Dan sudah kuingatkan berapa kali kalau kau harus membawa mantel ketika akan berangkat sekolah, huh?"
"Tidak ingat," sahut Luhan cuek.
"Maafkan aku, Jagiya," Sehun berujar selembut mungkin. Lalu ia menyambar pergelangan tangan Luhan dan menyeretnya agar segera duduk di boncengan sepedanya. "Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan dosen botak itu."
"Kalau begitu, menikah saja dengannya," Luhan masih kukuh mempertahankan kemarahannya. Tetapi ia tetap menurut untuk duduk di boncengan sepeda kayuh Sehun, mencengkeram pinggul kekasihnya erat-erat.
Sehun berdesis, "Aku hanya akan menikah denganmu, tentu saja," kata Sehun seraya mulai mengayuh. "Ayolah .. Aku benar-benar tidak berdaya saat itu."
"Sangat tidak berdaya sehingga membiarkanku berdiri di gerbang sekolah untuk menunggumu selama tiga puluh menit," Luhan memperjelas ucapan Sehun.
Sehun mendesau, "Aku akui kalau aku memang bersalah. Maaf, oke?"
"Bahkan aku sudah bosan mendengar kata maafmu, Oppa," Luhan mendengus lagi, memilih melihat jalanan alih-alih melihat punggung Sehun.
"Kau yang membuatku harus meminta maaf berulang kali."
"Aku tidak menyuruhmu," gadis itu berucap dengan nada sengit.
"Kalau begitu jangan marah."
"Aku tidak marah."
Sehun memutuskan untuk menepi, berhenti sejenak agar tidak ada hal serius yang terjadi selama ia menyetir sambil bertengkar dengan kekasihnya ini. "Aku lebih tidak berdaya jika harus dihadapkan denganmu, Lu .."
"Oppa menyebalkan."
Helaan nafas berat terdengar, "Bahkan akusudah bosan mendengar kata menyebalkan darimu .."
Luhan menoleh dengan gerakan cepat ke arah Sehun, memandang laki-laki itu dengan mata disipitkan penuh amarah. "Oppa nappa."
"Benarkah?"
"Sirheoyo," gadis itu merengek.
"Padahal hari ini aku baru dapat tip dari si botak sialan itu," Sehun berucap sambil mengeluarkan dompetnya, menghitung beberapa lembar won yang ada di dalam. "Dan aku berencana untuk membeli boneka hello kitty incaranmu itu. Apa kau akan tetap mengatakan benci untuk hal itu?"
Bola mata gadis itu melirik ke kanan, "..."
"Setelahnya, kita pergi ke kedai ibuku dan makan sepotong cake—oh, kau bisa makan berapa pun yang kau mau," Sehun meralat ucapannya sendiri seperti orang bodoh. "Apa kau juga akan menolak hal ini?"
Sehun terkekeh kala tak kunjung mendapatkan jawaban, "Baiklah. Aku anggap kau menolak tawaran .."
"Arasseo!" gadis itu menyela dengan nada tinggi. Ia memandang wajah Sehun dengan tatapan yang lebih lunak dari sebelumnya.
"Huh?"
"Joha," Luhan mengucapkan kata itu dengan nada mencicit yang malu-malu. "Aju joha." (Sangat suka)
Sehun tersenyum senang, ia mengangkat salah satu lenganya dan menepuk puncak kepala kekasihnya dengan gerakan lembut. "Seharusnya kau jadi gadis baik semenjak tadi. Dengan begitu kita tidak perlu menyia-nyiakan waktu untuk pergi ke toko boneka itu."
"Jinjja? Oppa akan membelikannya untukku? Jinjja? Jinjja?"
Kepala Sehun mengangguk, ia kembali fokus dengan jalanan di depan. "Apa pun untuk gadis kecilku."
"Oppa, gomawo~"
Are all girls like this? Do their moods change twelve times a day?
I might know, but it's hard, it's hard. My head hurts because of you.
OoOoO
Seseorang memencet tombol apartemen Sehun tanpa jeda, seolah memaksa sang penghuni untuk segera keluar demi membuka pintu. Sehun yang saat itu baru bangun dari tidurnya yang luar biasa nyenyak (walau cuman 4 jam), berjalan sambil menggerutu ke arah pintu. Dengan memasang wajah mengantuk yang diselipi gurat sebal, ia membuka pintu tanpa berniat melirik interkom.
"Oppa!"
Satu-satunya tamu yang berani memencet tombol tanpa jeda, datang berkunjung di awal pagi, dan berteriak seperti itu adalah Xi Luhan. Ya, Xi Luhan, kekasihnya yang kekanak-kanakan. Sekonyong-konyong gadis itu menerobos masuk ke dalam ketika Sehun baru memutar knop pintunya dan memeluknya bagai anak koala yang bergelantungan di leher induknya.
"Ada apa, Lu?" laki-laki itu menutup pintu dan menyeret Luhan ke dalam.
Gadis itu menarik kepalanya dan menatap wajah lelah Sehun dengan tatapan penuh binar kebahagiaan yang menyilaukan. "Appa memberi ijin untuk pergi ke Pulau Jeju!"
"Huh? Siapa yang akan pergi ke Jeju-do?"
"Kita!" gadis itu berseru girang lalu memeluk leher Sehun lagi. "Appa akan mempersiapkan semuanya dan kita hanya perlu pergi selama liburan musim semi! Bukankah itu hebat?"
"Tunggu!" Sehun mencengkeram pergelangan tangan Luhan yang berada di lehernya, lalu melepaskan pelukannya untuk beberapa saat. "Kapan?"
"Mungkin dua atau tiga hari ke depan? Aku juga tidak tahu pasti," jawab Luhan, terkekeh dengan nada ringan. "Aku akan bertanya kepada Appa nanti."
"Untuk minggu ini, aku tidak bisa pergi ke mana-mana," kata Sehun, sontak saja membuat air muka kekasih imutnya berubah seketika. "Ada perjalanan kampus ke Hongkong dan dosen itu menunjukku sebagai perwakilannya."
Luhan jelas kecewa setelah dia mendengar hal seperti itu. seketika semangat paginya menguap seperti karbon dioksida, kekecewaan memenuhi dada. "Batalkan saja," nada suaranya mulai terdengar goyah. "Batalkan. Hm?"
"Tidak bisa," Sehun mendesah putus asa. "Maafkan aku."
"Kita tidak pernah pergi liburan bersama," Luhan mulai melepaskan dua lengannya yang dicengkeram oleh telapak tangan Sehun. Ia mengalihkan pandangan, berusaha menghindari tatapan Sehun karena sebentar lagi ia mungkin akan menangis. "Dan aku sudah berusaha membujuk Appa untuk hal ini. Dan Oppa .."
"Seharusnya kau membicarakan hal ini terlebih dahulu denganku, Luhan .."
"Kalau tidak mendadak, kau pasti akan menolak dan selamanya tidak akan pergi liburan denganku," Luhan berucap dengan bibir bergetar samar. Dia menghirup napas dalam-dalam, "Aku mau pulang."
"Luhan, tunggu," laki-laki itu meraih pundak Luhan dan memeluk tubuh gadisnya dari belakang. "Maafkan Oppa."
Do guys know anything? That every word is important?
Why don't you know, my heart. Fool. Didn't even love
"Tidak apa-apa," kata Luhan, walau air matanya jelas-jelas menetes dan membasahi kaus usang Sehun. "Aku mau pulang."
"Bagaimana kalau ditunda sampai minggu depan?"
Kepala Luhan menggeleng, "Appa sudah memesan tiket fery untuk itu."
"Biarkan aku yang mengurus semuanya. Katakan pada ayahmu kalau aku yang akan menukar tiketnya dengan .."
"Tidak usah," Luhan menyela. "Aku akan di rumah saja."
"Luhan, tunggu dulu," Sehun bersikeras untuk menahan Luhan untuk tinggal lebih lama lagi. "Jagiya .."
"Aku mau pulang," Luhan mendorong dada Sehun dengan sekuat tenaga, membuat laki-laki itu hampir terjungkal ke belakang. Gadis itu merundukkan kepala lalu berbalik, "Maaf karena sudah mengganggu."
There probably isn't anyone like me.
TBC
HAHAHAHAHAHA. HELLO, GUYS~
Balik lagi bawa ff remake ini. Luhan yang unyu-unyu selalu jadi favorit aku /ambil kaca/ Luhan yang super childish di sini bakal buat hari-hari Sehun makin berat lho wkwk Sehun di sini kelihatan delusi banget; cowok macem Sehun nggak ada kali ya :'')
Stay tune buat next chap, ya.
Xoxo.
