A/N: Demi kelangsungan fic, anggaplah pernikahan sesama jenis di Jepang legal.

Disclaimer: Semua karakter di Kuroko no Basuke adalah milik Fujimaki Tadatoshi-sensei. Saya hanya pinjam untuk menyalurkan imajinasi.

.

.

.

"Home Sweet Home"

.

.

.

"Bagaimana menurutmu?" Seijuurou bertanya. Kouki mendongak dari koran yang tengah dibacanya, menatap bingung suaminya.

"Apanya?"

"Mencari rumah baru. Tidakkah menurutmu apartemen ini sudah terlalu sempit untuk kita? Dan kurasa Amaya membutuhkan kamar sendiri."

Gadis kecil yang disebutkan namanya terlonjak duduk, menatap kedua ayahnya dengan kedua matanya yang bulat besar. Bibir mungilnya ternganga takjub.

"Amaya akan dapat kamar sendiri?" Tanya si gadis antusias. Kouki menatap geli putri yang diadopsi olehnya dan Seijuurou dua tahun lalu itu.

"Baiklah." Kouki mengangguk pada Seijuurou, kemudian menoleh pada Amaya. "Amaya ingin rumah seperti apa?" Kouki mencondongkan tubuhnya dari sofa, menatap putrinya.

"Yang ada halamannya!" Seru Amaya antusias. Kini gadis kecil usia lima tahun itu melompat berdiri, kemudian berlari ke dalam pelukan Kouki. "Nanti Amaya dan Papa dan Ayah bisa main gelembung sabun, terus bisa barbeque tiap hari, terus..."

Kouki hanya tersenyum mendengarkan celotehan putri kecilnya. Matanya melirik Seijuurou yang mengamati mereka dengan tatapan lembut. Seijuurou melamar Kouki tiga tahun lalu, kemudian mereka menikah tiga bulan setelahnya. Mereka memang sudah hidup bersama sejak kuliah, jadi sebenarnya tidak ada perubahan yang berarti dengan pernikahan mereka.

Sampai kemudian dua tahun lalu, sepupu jauh Kouki dan suaminya—orangtua Amaya—meninggal karena kecelakaan pesawat. Meskipun sepupu jauh tapi Kouki cukup dekat dengannya. Amaya pun kerap dititipkan pada Kouki dan Seijuurou jika orangtua gadis kecil itu bepergian. Setelah upacara pemakaman orangtua Amaya selesai, Seijuurou mengusulkan untuk mengadopsi anak itu.

Tidak pernah ada pembicaraan mengenai adopsi anak sepanjang hubungan mereka, dan Kouki selalu mengira bahwa Seijuurou tidak pernah ingin memiliki anak. Bukannya Seijuurou benci anak-anak atau bagaimana. Dia baik-baik saja dan bisa berhubungan dengan anak kecil secara normal—buktinya dia berhubungan baik dengan Amaya. Tapi Seijuurou tak pernah tampak benar-benar menginginkan seorang anak. Karena itu sebenarnya Kouki kaget juga ketika tiba-tiba Seijuurou mengusulkan soal adopsi. Namun sebagai seseorang yang umurnya hampir kepala tiga, mau tak mau Kouki menginginkan anak. Apalagi teman-temannya hampir sebagian besar sudah menikah dan punya anak. Dia tidak pernah menyinggung persoalan ini karena ia mengira Seijuurou tidak menginginkannya. Ketika Seijuurou sendiri yang mengusulkan untuk mengadopsi Amaya, tentu saja Kouki langsung setuju.

Untuk Amaya sendiri, gadis itu tidak keberatan sama sekali punya orangtua baru. Dia sudah mengenal Kouki dan Seijuurou sejak lahir dan menyukai keduanya. Terutama mungkin karena keduanya sering memanjakannya dengan berbagai makanan dan hadiah. Jadi dengan senang hati dia pindah ke rumah keluarga Akashi, bahkan menerima dengan baik ketika diberitahu bahwa nama keluarganya berganti menjadi Akashi. Dia juga tidak banyak protes ketika diminta mengganti panggilan Paman Kou dan Paman Sei menjadi Papa dan Ayah.

Apartemen yang ditinggali keluarga kecil Akashi ini sudah ditinggali Seijuurou semenjak masa kuliah dulu. Kouki pindah ke sana ketika mereka mulai menjalani hubungan serius. Setelah itu Amaya pun datang. Bisa dibayangkan, apartemen yang tadinya dimaksudkan untuk satu orang kemudian ditinggali dua orang lain. Memang apartemennya luas, namun barang-barang Kouki dan Seijuurou makin lama makin bertambah. Belum lagi koleksi boneka Amaya, dan semua pakaian lucu yang dibeli Seijuurou untuk putrinya setiap setidaknya sebulan sekali—yang tidak cukup dimasukkan dalam satu lemari. Apartemen yang tadinya luas mulai terasa sesak.

Pembicaraan untuk pindah ke rumah baru ini sudah ada sejak beberapa bulan lalu, namun kesibukan masing-masing membuat niat ini harus terbengkalai untuk sementara. Sekarang sepertinya saat yang tepat untuk mencari rumah baru. Kebetulan akhir minggu ini adalah golden week. Mereka bisa berkeliling mencari rumah baru sambil jalan-jalan. Sudah lama ketiganya tidak pergi keluar bersama.

"Tidakkah sulit mencari rumah yang ada halamannya?" Tanya Kouki malam harinya, setelah menidurkan Amaya di kamar. Seijuurou duduk di atas sofa dengan laptop di pangkuannya. Di jaman di mana lahan semakin sempit, apalagi di kota besar seperti Tokyo, mencari rumah yang 'benar-benar rumah' sangat sulit. Kebanyakan orang sudah tinggal di apartemen.

"Aku bertanya pada kenalanku dan dia mengenalkanku pada agen. Mereka menawarkan beberapa rumah di kawasan perumahan pinggir kota. Ini pamfletnya, kalau kau mau lihat." Seijuurou mengacungkan sebuah pamflet pada Kouki, yang diterima pria berambut coklat itu dengan alis terangkat. "Dan ini website agen itu. Ada foto-foto rumahnya, kau tinggal pilih dan kita bisa menengoknya besok." Seijuurou menaruh laptopnya di meja, dihadapkan pada suaminya.

"Jadi kau sudah merencanakan semuanya." Kouki mendesah menatap Seijuurou yang tersenyum polos. Seharusnya dia tahu bahwa Seijuurou selalu punya rencana.

Kouki mulai membaca pamflet dan membuka-buka website agen yang disebutkan Seijuurou. Segalanya tampak indah dan cantik dalam foto. Sekolah yang bagus dan dekat dari rumah, taman untuk bermain anak-anak, lingkungan yang menyenangkan... Segalanya tampak sempurna. Namun entah kenapa Kouki punya ketakutan terhadap sesuatu yang terlalu sempurna. Karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan Seijuurou pun memiliki kekurangan dalam dirinya.

"Yah, kita bisa coba mengunjungi beberapa besok." Ujar Kouki akhirnya. Seijuurou tersenyum.

"Ada kebun binatang di dekat situ, kita bisa pergi ke sana setelahnya." Ujar Seijuurou, dan Kouki mengangguk menyetujui.

.

.

.

Amaya melompat turun dari mobil dan berlari dengan gembira di sepanjang jalan beraspal. Kouki dan Seijuurou membiarkannya. Amaya selalu berlari kemanapun ia pergi. Pasangan itu keluar dari mobil, disambut seorang pria setengah baya yang merupakan agen properti. Pria itu tersenyum lebar menyambut keduanya.

"Akashi-san." Pria itu menyapa sambil membungkukkan badan.

"Takeda-san." Balas Seijuurou, tersenyum ramah. Kouki juga tersenyum dan menyapa pria itu.

"Mari, silahkan." Takeda memimpin jalan. Seijuurou dan Kouki sudah memilih beberapa rumah untuk dilihat, dan Takeda akan mendampingi mereka hari ini.

"Amaya!" Kouki berseru, memanggil putrinya. Gadis kecil itu, yang entah bagaimana sudah berada sepuluh meter dari mereka, berbelok dan berlari kembali menuju kedua ayahnya. Dia terus berlari kencang, bahkan setelah dekat, dan berakhir menabrak Seijuurou. Amaya tertawa sambil ngos-ngosan, mendongak menatap Seijuurou. Satu tangannya melingkar di kaki ayahnya itu—karena tingginya tak lebih dari pinggang Seijuurou—sementara tangannya yang lain memeluk boneka kucing kesayangannya. Seijuurou menunduk, tertawa kecil menatap Amaya.

"Gendong!" Amaya merentangkan tangannya, masih ngos-ngosan akibat berlari. Seijuurou mengangkatnya dengan mudah. Satu tangan Amaya melingkari leher Seijuurou, masih terkikik.

Takeda tersenyum menatap keluarga itu, kemudian kembali berjalan, memimpin mereka untuk melihat-lihat rumah.

.

.

.

"Kalian bisa melihat pemandangan seluruh taman dan juga sekolah dari sini." Takeda menjelaskan. Kouki dan Seijuurou berdiri berdampingan, menatap ke arah yang ditunjukkan Takeda. Amaya telah menghilang, bermain sendiri menjelajahi tiap ruangan. Suaranya yang cempreng menyanyikan lagu doraemon terdengar bahkan dari lantai dua tempat Kouki dan Seijuurou sekarang.

Ini adalah rumah ketiga yang mereka kunjungi, dan menurut Kouki yang paling menarik hatinya. Kedua rumah sebelumnya entah kenapa tidak membuat Kouki terkesan sama sekali. Rumah ini dua lantai, cukup luas juga. Arsitekturnya sederhana, namun terasa nyaman. Segalanya berwarna coklat—lantai kayu, tembok, atap—dan Kouki suka warna coklat. Di belakang rumah ada taman kecil yang masih berada di dalam rumah karena dipagari oleh tembok tinggi. Tempatnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang rimbun, membuat tempat itu teduh dan bisa digunakan untuk bersantai.

Lingkungannya juga bagus. Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar terletak berdampingan, tidak jauh dari rumah, bisa ditempuh hanya dalam sepuluh menit berjalan kaki. Dan yang paling penting, sekolah bisa terlihat dari lantai dua rumah—bahkan halamannya terlihat jelas. Artinya Kouki bisa kadang-kadang mengawasi Amaya. Mungkin dia perlu membeli teropong. Kedengarannya aneh, tapi anggaplah itu cinta orangtua.

Kanan-kiri rumah semuanya sudah dihuni sehingga lingkungan tidak akan sepi. Letak rumahnya juga tepat di hadapan taman, yang berarti Amaya bisa bermain sepuasnya dengan teman sebaya. Ada halaman cukup luas juga di depan rumah. Dalam hati Kouki memutuskan ia menyukai rumah ini. Suara gedebrukan membuat tiga orang itu menoleh.

"Papa~ Ayah~" Terdengar Amaya memanggil mencari mereka sambil menangis. Tiga orang yang tengah berdiri di teras lantai dua, segera masuk kembali ke rumah mencari Amaya. Gadis kecil itu berdiri di lorong, menangis. Kouki dengan segera menyongsong dan memeluknya, menanyakan apa yang terjadi.

"Nene-chan melempar Nyaa-san." Jawab anak itu sambil sesenggukan. Kouki mengerutkan kening. Nyaa-san adalah nama boneka kucing Amaya.

"Nene-chan siapa?"

"Nene-chan bilang dia tinggal di sini. Dia mengajak Amaya main, lalu menyuruh Amaya masuk kamar mandi tapi Amaya tidak mau, jadi dia melempar Nyaa-san." Jelas Amaya dengan air mata mengalir di pipinya. Kouki menatap Seijuurou, yang menoleh pada Takeda dengan pandangan bertanya.

"Mungkin anak sekitar sini. Saya tidak hapal nama mereka semua, tapi ada beberapa anak seumuran Amaya-chan di sekitar sini." Jelas Takeda. Kouki menghela napas, kemudian menggendong Amaya.

"Sudahlah, Nyaa-san kan tidak apa-apa. Ayo berbaikan dengan Nene-chan." Kouki melirik Seijuurou yang mengangguk pelan, dan membawa Amaya turun.

Pria berambut coklat itu dengan hati-hati menuruni tangga sambil mengusap air mata Amaya. Tangis Amaya sudah reda, meskipun dia masih cemberut.

"Jadi di mana Nene-chan?" Tanya Kouki. Amaya dengan merengut menunjuk arah ruang tamu. Kouki membawa Amaya melintasi ruangan tengah yang kosong sambil berpikir bahwa pasti akan menyenangkan jika ia memasang TV dan karpet besar di sini, lalu tinggal taruh couch tidak jauh dari panel kaca yang memisahkan ruang tengah dengan taman kecil, dan dia bisa tiduran di sana sepanjang hari sambil nonton TV... Entah bagaimana rencana-rencana bermunculan di kepalanya ketika ia menuju ruang tamu. Sesampainya di ruang tamu, Kouki mendapati tidak ada siapapun.

"Nene-chan?" Panggil Kouki. Pria itu keluar rumah, tapi di luar juga tidak ada siapa-siapa. "Nene-chan?" Panggil Kouki lagi. Pria itu mondar-mandir di depan rumah, namun tetap tidak menemukan siapapun. Dia mendapati gerbang kecil di samping rumah yang tampaknya menyambung pada taman di belakang rumah, tapi gerbang itu tergembok.

"Mungkin Nene-chan sudah pulang, ya." Ujar Kouki pada Amaya. "Nanti kita bisa berbaikan dengannya kalau bertemu dengannya lagi di sini. Amaya suka rumahnya?"

Amaya mengangguk.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita pindah ke sini? Nanti Amaya bisa bertemu dengan Nene-chan lagi, kalian bisa berbaikan dan berteman."

Amaya hanya mengangguk, kemudian menyandarkan kepalanya ke pundak Kouki. Pria itu tersenyum. Mereka akan mengambil rumah ini.

.

.

.

Amaya tidak banyak bicara ketika mereka pulang setelah melihat-lihat rumah. Entah kenapa mood-nya seperti berubah menjadi jelek. Dia juga menolak diajak ke kebun binatang. Akhirnya Seijuurou memutuskan mereka pulang saja.

Amaya duduk di belakang, memeluk Nyaa-san erat-erat. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, matanya menatap jalanan tanpa ekspresi. Di ujung tempat duduk lain, duduk boneka beruang besar yang memang selalu ditaruh di dalam mobil. Amaya sering protes kenapa dia selalu duduk sendiri di belakang, jadi Seijuurou menaruh beruang itu untuk menemaninya. Kouki entah kenapa tidak terlalu mood untuk berbicara, sementara Seijuurou juga diam menyetir mobil. Keheningan menyelimuti mobil.

"Bagaimana menurutmu? Rumah yang ketiga?" Tanya Seijuurou ketika mereka berhenti di lampu merah perempatan jalan. Kouki menoleh menatap pria berambut merah itu.

"Kurasa itu yang paling cocok. Suasananya menyenangkan, lingkungannya juga bagus. Jadi kurasa—SEI!" Kouki berteriak ketika sebuah mobil van berwarna putih datang dari samping dengan kecepatan tinggi. Seijuurou hendak membelokkan mobil menghindar, tapi terlambat. Van itu menghantam mobil sedan mereka.

Selama beberapa detik berikutnya, Kouki merasakan tubuhnya terdorong keras ke samping, dan menghantam pintu dengan keras ketika akhirnya mobil menabrak tiang di pinggir jalan. Van itu mendorong mobil sampai beberapa meter. Kouki merasakan kepalanya yang menghantam kaca mobil berdenyut hebat. Pandangannya berkunang-kunang.

"Kouki! Amaya!" Seru Seijuurou, membuat pria berambut coklat itu menoleh. Ia mengerutkan kening karena pandangannya tidak fokus, tapi ia bisa melihat Seijuurou bergelut membuka sabuk pengaman seraya mengecek ke belakang. Kouki mendengar Amaya menangis di belakang, kemudian ia merasakan tangan Seijuurou menangkup wajahnya, pandangannya khawatir. "Tunggu sebentar."

Bunyi cklik pelan terdengar ketika Seijuurou membuka sabuk pengaman Kouki. Kouki menggelengkan kepala dan mengerjapkan mata, akhirnya ia bisa fokus meskipun kepalanya terus berdenyut.

"Ayo ke belakang. Bawa Amaya keluar." Seijuurou membantu Kouki keluar dari tempatnya duduk dan menuju ke tempat duduk di belakang. "Tunggu di situ sebentar, Sayang." Kouki mendengar Seijuurou berkata pada Amaya yang menangis makin keras.

Kouki agak kesulitan pindah ke bangku belakang. Dia melakukan apa saja yang bisa dilakukan—membungkuk, menempatkan tubuhnya di antara jeda kursi depan, kaki melompati kursi tempatnya duduk. Usaha itu butuh waktu beberapa menit dan dengan susah payah serta dibantu Seijuurou—karena ukuran tubuh Kouki dan kepalanya yang berdentam-dentam membuatnya tak bisa berkonsentrasi—tapi akhirnya berhasil juga. Tangannya gemetar ketika dia membuka sabuk pengaman Amaya dan memeluknya. Dengan satu tangan ia berusaha membuka pintu belakang, baru menyadari bahwa bagian depan van menghantam pintu pengemudi. Butuh usaha beberapa saat sebelum ia berhasil. Kouki menurunkan Amaya terlebih dulu, yang langsung duduk di jalan di samping van, sebelum membawa dirinya sendiri merangkak keluar.

Kouki merasakan tangan-tangan memeganginya, membantunya keluar. Tapi dia tidak mempedulikan sekitarnya, karena begitu kakinya menyentuh aspal pria itu langsung merangkak menuju Amaya, memeluknya. Ia kemudian memeriksa Amaya, yang ternyata tidak lecet sedikitpun. Ia menoleh ke belakang, melihat Seijuurou keluar dari pintu belakang dengan setengah merangkak. Saat itulah dia sadar bahwa banyak orang mengerumuni mereka. Beberapa menolong Seijuurou keluar, sementara yang lain saling berteriak menyuruh memanggil ambulans, dan riuh menanyakan apa Kouki baik-baik saja. Kouki hanya bisa mengangguk, memeluk Amaya erat-erat. Tidak lama kemudian Seijuurou sudah berdiri di sampingnya, mengecek apa ia dan Amaya baik-baik saja.

Kouki menoleh dan benar-benar menatap Seijuurou untuk pertama kalinya, menyadari bahwa ada darah di pelipis suaminya dan lecet di sana sini.

"Aku tidak apa-apa. Hanya terkena pecahan kaca jendela." Ujar Seijuurou cepat melihat wajah panik Kouki. Dia membimbing Kouki menuju tepi jalan dan menyuruhnya duduk di sana. Seorang wanita mendekat dan memberi Kouki sebotol air putih, yang diterima pria itu sambil berterimakasih pelan. Kouki memberikan air pada Amaya yang tangisnya sudah mereda dibanding tadi.

"Tunggu di sini." Seijuurou berkata, dan Kouki mengenali nada suara itu. Suaminya itu marah. Belum sempat Kouki bicara, Seijuurou sudah melesat pergi ke arah supir van yang baru saja keluar dengan ditolong beberapa orang. Supir itu, pria setengah baya, berdiri dengan agak oleng dipegangi dua orang pria lain, tampak acak-acakan. Wajahnya memucat ketika melihat Seijuurou mendekat.

"Apa yang kau pikir kau lakukan, sialan?" Suara Seijuurou terdengar, dan kemudian tanpa aba-aba pria berambut merah itu mendorong supir van yang lebih besar darinya sampai menabrak keras vannya sendiri. Orang-orang tampaknya tak berani menghentikannya, karena mereka hanya membeku melihat Seijuurou. Yah, Kouki tahu bagaimana aura Seijuurou kalau marah. Macan saja mungkin bakal lari terbirit-birit.

Suara marah Seijuurou yang menakutkan terdengar kemudian, kalimat panjang menusuk yang penuh makian tidak sopan. Kouki tahu seharusnya ia menghentikan suaminya, tapi dia sudah tidak punya tenaga. Jadi dia hanya meringis sambil menutup telinga Amaya.

"Bagaimana dengan putri Anda yang lain?" Tanya si wanita yang duduk di sampingnya tiba-tiba, membuat Kouki menoleh padanya.

"Apa?"

"Putri Anda yang lain, yang duduk di sampingnya." Wanita itu mengelus rambut Amaya pelan. Anak itu sudah tidak menangis lagi. Dia menyandarkan kepalanya di pundak Kouki, satu tangannya masih memeluk Nyaa-san yang tak sedetik pun ia lepaskan.

"Anda pasti salah lihat. Itu boneka beruang." Sahut Kouki. Kening wanita itu berkerut.

"Bukan." Ujar wanita itu. "Gadis kecil itu duduk di samping anak ini, di samping boneka beruang. Tadi saya berdiri di samping jalan ketika Anda berhenti di lampu merah, jadi saya lihat."

Kouki memandang bingung wanita itu, ketika Amaya tiba-tiba menegakkan kepalanya dan berkata,

"Amaya lupa bilang, tadi Nene-chan memaksa ikut kita."

.

.

.

A/N : FYI, Nyaa-san itu nama panggilan Nyanko-sensei, dan Nyanko-sensei adalah nama kucing peliharaan Kamiya Hiroshi—pengisi suaranya Akashi Seijuurou *ga penting*

Terus saya ada rencana membuat cerita ini jadi beberapa chapter yang akan saya usahakan selesai ketika event selesai.

Happy AkaFuri day, Minna!