A Naruto fanfiction,
Pulangkan Saja! © 2015 Munya munya
Rating: T(+)
Genre: romance, drama, family
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: Canon, (maybe) misstypo, garing, a bit OOC, DLDR!
Jangan tiru hal yang gak baik di sini ya!
Malam hari, waktu untuk semua orang beristirahat di rumah masing masing bersama keluarga tercinta. Namun, sepertinya hal itu tidak dilakukan oleh para shinobi hebat Konoha yang dulunya tergabung dalam rookie 9. Malam ini mereka memutuskan berkumpul dan berbincang ringan melepas penat dari pekerjaan yang membuat mereka sibuk dan hampir tidak punya waktu untuk mempererat tali persahabatan mereka.
Maka di sini lah mereka, di salah satu kedai yang buka sepanjang malam. Naruto, Sasuke, Shikamaru, Chouji, Sai, Kiba, dan Shino (mereka sengaja tidak mengundang Lee karena mereka sudah tahu akibatnya jika Lee mabuk walaupun hanya sedikit) sedang minum sake sambil berbincang –sebagaimana pria dewasa menyebutnya refreshing. Tapi tenang, mereka adalah pria baik yang tahu batasan dan tidak akan berbuat hal buruk. Apalagi mereka adalah orang-orang penting dan terpandang di Konoha.
Uchiha Sasuke menyesap sake nya sedikit demi sedikit sambil mendengarkan cerita teman-temannya mengenai pekerjaan dan lain-lain mulai dari hal penting tentang desa sampai hal tidak penting. Sebenarnya ia tidak suka mabuk, minum sake hanyalah formalitas untuknya di acara kumpul ini. Lagi pula Sakura pasti akan memarahinya karena alkohol tidak baik untuk kesehatan. Namun sepertinya sebagian besar dari mereka pun berpendapat sama, biasanya hanya Kiba dan Chouji yang gemar mabuk sake sampai tertidur dan berakhir diangkut teman-teman mereka. Kalau sudah seperti itu, kata 'merepotkan' dari bibir Shikamaru jadi lebih sering terlontar.
Bicara soal Shikamaru, mungkin ada yang bertanya mengapa ia bisa berada di sini ketimbang memilih tidur nyenyak? Siapa lagi kalau bukan Naruto yang menyeretnya dan 'mengancam' akan memberikan pekerjaan yang puluhan kali lipat lebih merepotkan bila dia tidak ikut malam ini.
Sasuke masih menjadi pendengar yang baik ketika Naruto tiba-tiba melontarkan suatu kalimat cukup mengejutkan yang membuat semua orang diam memperhatikannya.
"Hei, hei. Agar malam ini makin seru, bagaimana kalau kita buat permainan kejujuran?" ujar Naruto saat ide jahil itu terlintas di kepalanya.
"Aaa, nice timing Naruto, kau menyuruh kita jujur saat kita semua sudah dipengaruhi sake." Timpal Sai santai dengan senyum palsunya seperti biasa.
"Sial kau Naru—hik—to!" seru Kiba yang kesadarannya sudah setengah teralihkan akibat minum sake.
"Dasar, kau ini kekurangan pekerjaan atau apa, Naruto?" Sasuke mendelik pada sahabat pirangnya yang sedang menyandarkan sikunya di bahu Sasuke.
Tanggapan Shikamaru hanya menguap untuk yang kesekian kalinya, "Hoaamm aku mengantuk, aku mau pulang sa—,"
"Tunggu Shikamaru! Selesaikan semua dokumen di mejaku kalau kau pulang sekarang! lagipula.. lagipula ini akan jadi seru," ancam Naruto pada bawahannya—sebenarnya itu ancaman penuh kejahilan dibanding keseriusan—disertai kekehan jahil di akhir kalimatnya.
Sang penasihat hokage pun hanya bisa pasrah dan mengurungkan niatnya untuk pulang.
"Bagaimana kalau.. kita membagi cerita kita tentang istri-istri kita. Maksudku, pernahkan kalian membuat istri kalian marah sampai minta berpisah?" raut wajah Naruto yang tadinya jahil berubah sedikit serius dan menyiratkan keingintahuan yang besar.
"Yah, aku tahu istri kita sama-sama seorang kunnoichi hebat dulunya, tapi bagaimanapun mereka juga wanita 'kan? Makanya, aku penasaran bagaimana kalian saat bertengkar sampai istri kalian minta pulang ke rumah orangtuanya, hihihi... pasti ini cerita yang menarik kalau kalian bersedia membaginya, dengan jujur." Lanjut hokage ketujuh itu disertai penekanan pada dua kata terakhir sambil menatap satu-per-satu temannya.
Sasuke mengangkat sebelah alisnya, Shikamaru masih dengan pose mengantuknya, Sai tampak berpikir keras, Chouji memasang ekspresi seakan ingin kabur sekarang juga, Kiba masih mabuk, dan Shino hanya berwajah datar(mengingat hanya ia sendiri yang belum memiliki istri di sana).
Karena semua temannya hanya diam saja, Naruto memutuskan secara sepihak. "Semuanya setuju kan? Baiklah kita mulai berurutan ya! Pertama Teme dulu!" ujarnya sambil menepuk pundak Sasuke di sebelahnya.
"Seenaknya saja, Dobe! Seharusnya kau yang paling kiri yang memulai duluan!" geram Sasuke yang sebenarnya tidak suka privasinya diungkap.
"Hei kau tenang saja, aku pasti akan bercerita tapi sebagai penutup. Hehehe," kilah Naruto masih sesuka hatinya.
"Dasar curang," cibir Shikamaru yang ada di sebelah Sasuke.
"EHM, sudah lakukan saja. Ini perintah Hokage!" ujar Naruto menegakkan tubuhnya sambil berbicara dengan gaya memerintah yang dibuat-buat.
Teman-temannya hanya mendengus kesal. Yah, apa boleh buat?
Sasuke meneguk air putih di atas meja guna menetralkan tenggorokannya yang terasa sedikit panas karena sake sebelum memulai bercerita. Naruto sudah memasang wajah tak sabar dengan tatapan berbinar-binar seperti anak kecil yang hendak dibelikan mainan. Pun begitu teman-temannya yang sudah merapat dan memasang telinga baik-baik hendak mendengar cerita fenomenal keluarga Uchiha yang jarang-jarang bisa terungkap oleh si kepala keluarganya langsung.
Beberapa detik kemudian, suasana menjadi hening saat Uchiha Sasuke membuka suaranya.
"Ini ketika Sarada masih bayi. Sakura pernah sekali... pulang ke rumah orangtuanya."
FLASHBACK
SASUKE'S POV
Malam itu kediaman keluarga Uchiha tidak sehangat biasanya. Aku baru saja pulang saat diriku dan Sakura tengah berdebat dengan suara yang cukup keras sampai menciptakan suasana tidak menyenangkan di rumah ini.
"Jadi kau sudah tidak mencintaiku lagi, Sasuke-kun? Hiks.."
Sakura selalu menangis saat kami sedang bertengkar. Aku benci itu. Dasar perempuan cengeng.
Tapi sebenarnya aku bukan membenci dirinya yang cengeng. Aku benci hal yang menyebabkan tangisan itu selalu pecah. Dan itu adalah diriku. Aku tahu, sudah banyak air mata yang ditumpahkan Sakura karena perbuatanku. Dari dulu sebelum kami menikah, bahkan sampai saat ini kami sudah memiliki seorang putri. Aku benci hal itu. Padahal aku sudah berjanji saat aku melamarnya dulu kalau aku tidak akan membuatnya menangis lagi. Tapi hari ini? Ayolah aku juga tak mengerti alasan istriku merajuk sampai tersedu-sedu begini.
"Bukan begitu, Sakura!" ujarku dengan sedikit nada kekesalan di sana. Tentu saja aku sedikit emosi dengan situasi ini. Aku lelah baru saja pulang dari misi, seharusnya Sakura menyambutku dengan hangat seperti biasa, menyiapkan makan, menyiapkan air mandiku, tapi ada apa dengannya malam ini yang tiba-tiba saja menyeretku dalam pertengkaran tak jelas ini?
"Hiks, kau jahat Sasuke-kun! Apa salahku sampai kau selingkuh? Hiks.. hiks.."
Apa katanya? Selingkuh?
"Aku tidak selingkuh! Sudah ku bilang aku hanya menolong kunnoichi itu dan aku tidak—"
"Kau memeluknya! Aku melihatnya sendiri Sasuke-kun! Sekarang aku tahu kau mulai memanfaatkan fangirl mu! Kau jahat! Apa kau tidak ingat kau bahkan sudah punya anak?" seru Sakura lirih.
"Dia yang memelukku dan aku melepaskannya, Sakura! Aku sangat sadar diri dan aku sama sekali tidak memanfaatkan fans! Berhenti menuduhku yang tidak-tidak! Aku muak!" balasku tak kalah keras. Aku sudah tersulut emosi dan kini aku memojokkan Sakura di dinding ruang keluarga kami. Satu tanganku bertumpu di dinding dan berada di samping kepalanya. Aku mendekatkan jarak di antara kami, tanganku yang satunya mengusap cepat pipinya yang penuh airmata. "Berhenti menangis!" ujarku dingin. Sudah kubilang 'kan aku tidak suka melihatmu menangis, Sakura?
Dahi Sakura berkerut, ia hanya diam dan ekspresinya menyiratkan ketidakpercayaan dan mungkin ia sedikit shock karena ku bentak dan aku perlakukan seperti ini. Tapi menurutku ini perlu.
Hening sejenak. Aku dan Sakura saling menatap intens. Menyelami mata masing-masing, mencari kebenaran di sana.
Tiba-tiba Sakura mendorong tubuhku dan untungnya bukan dengan tenaga monsternya. Tentu saja, mana berani ia denganku?
"Kau bohong! Sudahlah, kalau kau sudah tidak mencintaiku lagi.. pulangkan saja aku ke rumah orangtuaku Sasuke-kun!"
Aku tidak menyangka Sakura akan berteriak dengan begitu menyayat hati seperti ini. Dan, oh, tidak. Itu kata-kata yang paling tidak ingin aku dengar.
"Sakura!"
Aku menggeram kesal dengan tingkah Sakura yang sudah seperti remaja labil ini. Sabar, Sasuke, pikirkan kata-kata yang tepat sebelum semuanya jadi kacau. Bagaimanapun aku harus mempertahankan rumah tangga ini. Tapi sekian detik berlalu aku tidak juga menemukan sepatah kata pun. Kami hanya bertatapan tajam dan aku kembali melihat mata hijau Sakura yang berkaca-kaca.
Setelah itu Sakura berjalan menjauh dariku.
"Terserah kalau kau masih tidak mempercayaiku tapi jangan coba melakukan hal yang tidak-tidak!" kataku dingin dan meninggalkannya yang menangis lagi. Sebenarnya aku tidak tega tapi karena gengsiku yang tinggi dan aku sudah tidak ingin menambah parah masalah ini, aku memutuskan untuk mendinginkan pikiran dengan mandi. Aku pikir kami sama-sama membutuhkan waktu untuk mendinginkan pikiran karena sesuatu yang disertai emosi tidak akan berakhir dengan baik kan?
Aku pun masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintunya keras.
NORMAL POV
"HAHAHA jadi Sakura si tenaga monster itu takut padamu Sasuke? hik! Monster cengeng! Hahaha.."
Kiba yang mabuk berkomentar asal tanpa sadar Sasuke sudah melemparkan tatapan membunuh. Untung saja Sasuke tidak seperti Rock Lee, kalau iya bisa-bisa sedikit sake yang mempengaruhinya dapat membuat tatapan membunuhnya berubah merah dan menghanguskan Kiba dengan amaterasu saat itu juga.
"Hahahaha.."
Sasuke makin kesal, perempatan sudah muncul di dahinya saat gelak tawa teman-temannya sudah memenuhi kedai. Malam ini mereka begitu lepas, jujur dan bebas menjadi diri mereka sendiri tanpa tekanan, tanpa harus menjaga sikap. Ah, ini dia manfaat dan kesenangan berkumpul bersama sahabat.
Namun, berkebalikan dengan semua temannya yang tertawa diatas penderitaan Sasuke, Naruto justru terlihat kesal dan tanpa diduga ia menarik kerah baju Sasuke sembari membentaknya, "Kurang ajar kau, Teme! Kau sudah berjanji padaku untuk tidak menyakiti Sakura-chan lagi 'kan? Mana buktinya? Tidak akan kumaafkan kau!"
Shikamaru dan Sai langsung melerai Naruto yang akan melancarkan tinjunya pada Sasuke. "Hey, Naruto, hentikan!" ujar Sai.
Sasuke hanya terdiam. Walaupun sedikit mabuk, memang benar apa yang dikatakan dan dilakukan Naruto. Sesaat sebelum upacara pernikahannya dengan Sakura dimulai sekitar dua belas tahun lalu, ia berkata demikian pada pria berambut kuning itu. Jelas saja Naruto marah, Sakura sudah ia anggap adiknya sendiri dan ia mempercayakannya pada Sasuke, sahabatnya untuk dilindungi dan dicintai, bukan untuk disakiti. Sudah cukup Naruto melihat Sakura yang sakit hati selama bertahun-tahun sebelum mendapatkan Sasuke. Dalam hati Sasuke menyesal dan merutuki dirinya sendiri. Tapi..
"Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai, Dobe!"
FLASHBACK
SASUKE'S POV
Mandi memang efektif untukku meredakan emosi dan menjernihkan pikiran. Saat ini aku sudah selesai mandi dan ku harap saat aku keluar kamar mandi dan berhadapan dengan Sakura, pikirannya pun sudah lebih tenang untuk menyelesaikan masalah ini. Aku yakin ada yang salah dengannya, tapi apa?
Saat aku sedang menggosok gigi, aku mendengar suara tangisan bayi yang aku tahu pasti itu adalah suara Sarada, putriku. Aku baru menyadari selama misiku beberapa hari ini aku belum bertemu putri kebangganku penerus klan Uchiha itu.
Maka setelah selesai dengan semua kegiatan pembersihan diriku, aku keluar dari kamar mandi dan segera menuju kamar untuk melihat putriku tapi aku merasa janggal saat tidak mendengar suara apapun di rumah. Rumahku hening. Ke mana istri dan anakku?
Setelah berpakaian aku pun mencari di seluruh sudut rumah dan hasilnya nihil. Aku tidak menemukan Sakura atau Sarada di rumah.
Tidak!
Situasi sepeti ini mau tidak mau mengingatkanku pada malam itu. Kejadian bertahun-tahun lalu di mana aku kehilangan keluargaku. Aku tidak akan rela jika hal itu terulang lagi. Berbagai macam prasangka pun berkecamuk di otakku dan membuatku melupakan begitu saja masalah dengan Sakura tadi. Sekarang hal yang menjadi pikiranku hanyalah menemukan mereka secepatnya. Perasaan khawatir menggerogotiku lantaran hari sudah gelap dan di luar hujan mulai turun.
Di tengah kepanikanku satu-satunya tempat yang kupikirkan adalah rumah orangtua Sakura. Tadi Sakura sempat menyebutkan hal itu tapi aku tidak menyangka dia dengan nekatnya akan benar-benar pergi mengabaikan perkataanku bahkan membawa Sarada yang seharusnya sudah terlelap.
Dasar bodoh, sebenarnya apa yang dipikirkannya? Masalahnya adalah cuaca di luar yang sedang aku tembus ini sedang tidak bersahabat dan membawa serta bayi yang baru berumur sepuluh bulan benar-benar bukan sebuah keputusan yang baik! Apakah ia berpikir seratus persen hanya menggunakan perasaannya dan bukan logikanya?
Terkadang wanita memang sangat sulit dimengerti.
Aku berlari menembus hujan yang semakin lama semakin lebat tanpa mempedulikan tubuhku yang basah. Kalau sudah seperti ini aku tidak lagi ingat dengan payung atau hal semacamnya. Sepanjang jalan aku tidak juga menemukan Sakura dan kini, dengan waktu singkat, aku telah sampai di depan pintu kediaman keluarga Haruno. Aku terdiam sejenak sebelum mengetuk pintu. Hanya bisa berharap besar Sakura dan Sarada sudah aman di dalam rumah ini.
Saat tanganku sudah terangkat untuk mengetuk pintu, sebersit pikiran kembali menggangguku. Di dalam sana ada orangtua Sakura. Mereka pasti akan marah padaku bila tahu kami sedang dalam masalah bahkan sampai membawa Sakura pulang ke sini. Habislah aku.
Tapi mengesampingkan rasa malu, takut—sebenarnya aku tidak takut dengan mertuaku hanya saja aku merasa tidak enak dengan mereka karena ini membuatku terlihat seperti suami yang tidak bertanggungjawab— dan sebagainya, aku lebih mengkhawatirkan keberadaan istri dan anakku. Aku harus memastikan hal ini secepatnya. Maka dengan seluruh keberanianku, aku mengetuk pintu rumah Haruno dengan sedikit tergesa.
Tok Tok Tok
Pintu pun terbuka dengan cepat dan aku sudah siap dengan segala resiko yang akan ku terima. Namun diluar ekspektasiku, ibu mertuaku malah menyambutku layaknya baru menemukan anak laki-laki kecilnya yang kehujanan.
"Astaga Sasuke kau basah kuyup! Cepat masuk, keringkan tubuhmu!" Ibu Mebuki segera mengambilkan mantel di dekat pintu setelah aku masuk. Aku tersanjung dengan sikap mertuaku yang berjiwa besar ini. Walaupun aku sudah menyakiti putrinya, beliau tidak serta merta marah padaku dan tetap menganggap aku ini anak laki-lakinya sendiri. Seperti biasa.
"Ibu, apa Sakura dan Sarada ada di dalam?" Sambil menutup pintu dan bahkan sebelum mengeringkan diri pun aku sudah tidak sabar untuk bertanya hal yang paling ingin kuketahui itu.
Ibu Mebuki tersenyum maklum sebelum menjawab. "Dia ada di kamarnya. Untungnya mereka sampai sebelum hujan turun."
Lega sekali aku mendengarnya walaupun aku tahu bukan berarti permasalahan selesai sampai di sini. Ada mertua terlebih dahulu yang harus ku hadapi sebelum ke masalah inti.
"..."
"Sasuke?"
Ada Ayah mertuaku di sana. Segelintir perasaan gugup menyerangku saat jarak kami sudah makin menipis. Jantungku berdebar bersiap menerima kemarahan ayah Sakura ini melihat bagaimana situasiku dengan Sakura kini.
Tapi saat kami sudah duduk di ruang keluarga, tidak ada semburan kemarahan atau sikap sinis yang ku dapat dari Ayah Kizashi, sepertinya mereka mengerti kondisi kami dan bisa memaklumi.
Aku melepaskan sejenak ketegangan yang sejak tadi menggelayutiku tentang mertuaku. Ternyata mereka sangat bijak diluar dugaanku. Yah, memang pada dasarnya kedua orangtua Sakura adalah tipe orang yang hangat—dan sedikit konyol. Hal yang sepatutnya aku syukuri.
Setelah berbasa-basi dengan Ayah sedangkan Ibu mengambilkanku handuk kering dan minuman hangat, sebuah pertanyaan utama penyebab semua kejadian ini pun terlontar.
"Sebenarnya ada apa di antara kalian berdua?" ujar ayah mertuaku.
Untuk sesaat denting jarum jam terasa berhenti. Aku mengumpulkan segala keberanian dan memilah kata-kata yang tepat sebelum akhirnya aku menjawab dengan tegas dan jujur.
"Kami bertengkar, tapi aku akan segera meluruskan ini. Maaf karena membuat Sakura sampai kembali ke mari, aku sudah mencegahnya tapi ia pergi tanpa sepengetahuanku. Jadi, izinkan aku menemuinya."
Rasanya konyol saat diriku terdengar seperti seseorang yang akan melamar Sakura. Tapi aku tidak peduli.
"Hm, pantas saja tadi dia datang tiba-tiba dan langsung naik ke kamarnya tanpa bicara pada kami. Waktu kami tanyai dia bilang 'Sasuke tidak mencintaiku lagi..' sambil menangis. Setelah itu dia mengusir kami dari kamarnya. Haah anak itu, kenapa mendadak jadi temperamental begini. Seperti remaja saja," ujar Ayah sambil menaruh tangannya di dagu.
"Sasuke, apa itu benar?" ujar Ibu dengan raut khawatir di wajahnya.
"Tidak. Aku juga tidak tahu mengapa dia jadi sensitif,"
"Syukurlah. Soal Sakura yang jadi sensitif, kurasa ini sudah memasuki siklus bulanannya. Jadi yah, kau tahu kan wanita?" kata Ibu sambil melirik kalender dinding. Pantas saja! Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?
"Hn, Aku akan ke kamarnya." Ujarku sambil bangkit berdiri.
TOK TOK TOK
Saat ini aku sudah berada di depan pintu kamar Sakura. beberapa kali mengetuk, tidak juga ada jawaban.
"Sakura," panggilku.
TOK TOK TOK
Aku mengetuknya makin keras.
"Sakura, buka pintunya!"
Masih hening. Ugh apa dia benar ada di dalam?
TOK TOK
Aku mulai frustasi mengetuk.
"Saku—"
"Pergi!"
Untuk pertamakalinya dalam hidupku, Sakura, istriku, perempuan nomor satu di hatiku, menyuruhku pergi. Oh apakah akan ada badai besar setelah ini? Biasanya Sakura adalah orang yang selalu menahanku pergi. Dari sejak kami remaja, saat aku akan meninggalkan Konoha pertama kalinya, masih jelas di kepalaku teriakan lirihnya yang menahanku pergi. Juga, tahun-tahun setelah perang, bahkan setelah kami menikah, Sakura adalah orang yang selalu menahan kepergianku. Sekarang apa?
"Jangan temui aku Sasuke-kun!" Aku tidak mau melihatmu!"
Kalimat itu membuat ketukanku memelan dengan putus asanya. Benarkah Sakura yang berkata seperti itu? Tidak bisa ku percaya. Seperti ini kah rasanya? Perasaan yang dialami Sakura saat aku tinggalkan berkali-kali dulu? Dulu aku selalu mengabaikan ucapan 'jangan pergi' nya, namun kebalikannya, kini dia menyuruhku pergi? Ini kah yang disebut karma?
"Sakura kita perlu bicara!"
Suaraku makin meninggi. Benar-benar keras kepala sekali perempuan ini. Apa susahnya membuka pintu?
Tenang, Sasuke, di bawah ada orangtua Sakura jangan sampai mereka mendengar suara ribut-ribut ini. Beberapa saat terdiam aku mulai memikirkan cara lain. Seringaiku muncul saat pikiran itu terlintas di otakku. Aku pun beranjak pergi keluar rumah ini mengabaikan tatapan heran mertuaku dari ruang keluarga.
Kini aku sudah berada di balkon kamar Sakura di lantai tiga kediaman Haruno. Terpaksa aku memilih jalan memanjat dinding dari luar untuk masuk hanya demi menemui istriku yang keras kepala itu. Kalau bukan karena cinta aku tidak akan mau melakukan hal seperti ini—cih, kenapa aku jadi mendramatisir begini.
Sejenak ku tatap pintu kaca yang menghubungkan langsung balkon setengah lingkaran ini dengan kamar Sakura. Aku melihat Sakura sedang duduk di ranjang dengan wajah tertunduk memunggungi pintu kaca. Ada Sarada juga yang sudah tertidur di ranjang. Sekali lagi aku merasa lega melihat mereka baik-baik saja.
Sambil menggeser pintu kaca yang untungnya tidak terkunci ini, aku menarik napas dalam-dalam menginstruksikan diriku sendiri untuk bersikap selembut mungkin dengan Sakura nanti, tanpa emosi, dan membuang jauh-jauh gengsi Uchiha. Karena aku tahu ia sedang dalam suasana hati yang buruk dan super sensitif. Sedikit saja aku terbawa emosi, Sakura pun akan tersulut dan ini akan berakhir sama seperti di rumah kami tadi.
Perlahan aku melangkah masuk ke dalam, Sakura yang menyadari ada langkah kaki mendekat langsung menengok kearahku.
"Sasuke-kun? Untuk apa kau ke sini? Menjauh dariku!" Sakura berujar dingin begitu melihatku mendekat kearahnya. Tatapannya menyiratkan kegalauan dan rasa kaget. Huh, kau kira aku akan menyerah begitu saja untuk bisa menemuimu, Sakura?
Untuk beberapa detik aku hanya terdiam.
"Apa yang membawamu ke mari?" ujarku datar, melangkah makin dekat ke arahnya.
Ia berdiri, mundur menjauh dariku.
"Seingatku aku tidak pernah memberimu izin pergi dari rumah malam-malam begini. Apalagi membawa Sarada juga. Di cuaca seburuk ini." Lanjutku sambil melirik ke arah Sarada yang tertidur pulas di ranjang single Sakura. Kini posisi kami sudah berdiri berhadapan.
"Bukan urusanmu," ujar Sakura lirih sambil membuang muka, menghindari tatapanku.
Tentu saja urusanku, aku ini suamimu, Sakura!
Ingin rasanya aku berkata demikian tapi sebisa mungkin aku tahan. Ingat prinsipmu, Sasuke.
Aku menghela napas, kembali berpikir harus bagaimana untuk menaklukkan hati ratu berambut pink ini. Aku tahu Sakura kini sedang dalam perdebatan dalam dirinya sendiri. Antara marah padaku, tapi tidak bisa lama-lama membenciku. Ingin berpisah denganku, tapi tidak sanggup. Ujungnya ia malah menangis dengan labilnya. Istriku ini mudah sekali ditebak, tapi ia tak tahu aku bisa membacanya dengan tepat.
Maka, aku menarik tangannya untuk duduk di tepi ranjang dan seperti dugaanku, ia menurut saja. Setelah keheningan yang menyelimuti kami, aku pun kembali bersuara.
"Sakura, ada apa denganmu? Kalau aku salah, aku minta maaf. Tapi jangan seperti ini. Kembalilah ke rumah, aku tidak ingin kehilanganmu," ujarku lembut. Tanganku masih memegang tangannya yang tadi kutarik untuk duduk. Aku meminta maaf padanya tapi aku sendiri tak tahu letak kesalahanku di mana. Masa bodoh dengan itu, apapun kulakukan agar Sakura tidak marah lagi. Sikap dinginku yang biasa pun sudah kubuang jauh-jauh supaya ia bisa luluh.
Ia melirikku takut-takut. Aku terus memperhatikan setiap gerak-geriknya. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca lagi. Oh, tidak. Jangan lagi.
"Tapi.. kau.. kenapa kau selingkuh dariku Sasuke-kun? Aku.. aku tidak mau kembali.. kalau ternyata.. kau.. mencintai gadis lain.." ujarnya lirih. Tubuhnya bergetar pelan dan tetesan air mata mulai mengalir dari mata zambrudnya yang menurutku sangat cantik itu. Ya Tuhan kenapa ia bisa berprasangka seperti itu?
Aku mendekat untuk merengkuh tubuhnya tapi perlahan ia beringsut mundur. Maka aku letakkan satu tanganku di pundaknya dan ibu jariku yang lain mengusap air matanya yang jatuh di pipi putih Sakura. Sedikit penolakan masih ia tunjukkan dengan menundukkan kepalanya tapi sikapnya kini sudah mulai melunak dibanding sebelumnya.
"Demi Tuhan aku tidak pernah mengkhianatimu, Sakura. Kejadiannya hanya, aku menolong kunnoichi pirang yang sedang diserang bandit itu dan setelah itu mungkin ia terlalu terbawa perasaan harunya dan memelukku tiba-tiba. Tapi aku langsung melepasnya! Lagipula kau tahu aku kan, aku tidak suka kalau ada perempuan lain yang dekat-dekat denganku?" ujarku sejujur mungkin sambil menatap lurus mata hijaunya. Tanganku pun masih berada di pipinya.
Kembali aku aku melihat keraguannya. Itu seperti setengah dari dirinya ingn mempercayaiku dan setengah dirinya yang lain masih marah dan tidak terima dengan perkataanku.
"Tapi waktu itu.. aku melihatmu—tunggu, kau bilang pirang?" tiba-tiba Sakura memotong perkatannya sendiri saat ia terlihat seperti menyadari sesuatu.
"Ya, rambutnya pirang. Kenapa?" jawabku datar.
"Ano.. yang aku lihat, rambutnya hitam panjang dan.. yah aku memang tidak melihat wajahnya karena ia membelakangiku, tapi kau memeluknya erat bahkan menepuk punggungnya Sasuke-kun! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sepulang kerja!" ujarnya ragu-ragu namun tetap mempertahankan argumennya.
Aku terdiam sejenak memikirkan perkataan Sakura, awalnya aku sedikit bingung tapi saat ku sadari.. itu..
Pfft..
Setengah mati aku menahan tawa yang ingin keluar dari mulutku. Pasalnya yang Sakura bicarakan adalah..
"Oh. Itu memang benar, hanya saja.."
Tubuhku mulai bergetar dan aku mendengus menahan tawa. Sakura yang melihatku langsung naik pitam dan bersiap marah. "Hanya saja apa?" ujarnya yang sekarang sudah menegakkan tubuhnya terlepas dari segala sentuhanku dan matanya melebar menatapku tapi kembali berkaca-kaca.
"Jawab Sasu—"
"Itu Orochimaru."
.
.
.
"Apa?"
Tampang bodoh terpampang di wajah cantik Sakura saat mengatakan satu kata itu. Rasanya aku ingin terbahak-bahak melihatnya begitu linglung. Aku pun melanjutkan penjelasanku.
"Kau cemburu pada Orochimaru, nyonya Uchiha." Ujarku sedikit menggodanya. Seringai terlihat di wajahku. Dugaanku benar kan? Ini hanya salah paham yang perlu diluruskan.
"..."
"Tadi sore Orochimaru mengunjungi Tsunade-sama dan akan pulang ke Oto saat aku bertemu dengannya di gerbang desa. Sudah lama juga aku tidak bertemu mantan guruku yang sudah kembali ke jalan yang benar itu. Kami mengobrol sebentar dan sebelum berpisah kami saling mengatakan sesuatu seperti 'Sukses selalu' atau semacamnya lalu memelukku, yah kau tahu pelukan sesama pria sewajarnya."
Setelah perang dan semua yang terjadi selama ini tidak hanya membuatku kembali ke jalan yang benar tapi juga guruku yang dulunya raja jahat itu menjadi lebih menyadari arti kehidupan apalagi di usia senjanya ini. Kami semakin banyak melakukan hal baik contohnya dia yang lebih banyak mempererat persaudaraan berbeda dengan dirinya dulu yang suka memutus ikatan baik dengan orang lain dan aku yang mulai banyak menolong orang berkebalikan dengan dulu yang seringkali menyakiti orang lain.
Namun terlepas dari itu kini aku melihat wajah Sakura yang memerah menahan malu. "Kau tidak sedang berbohong kan?" ujarnya pelan.
"Memangnya aku pernah berbohong padamu?" ujarku retoris. Faktanya aku memang selalu jujur terutama dengan wanita di hadapanku ini walaupun itu menyakitkan.
Sakura masih terlihat tidak percaya—lebih kepada kenyataan bahwa dirinya cemburu pada kakek tua seperti Orochimaru.
"Kau bisa menanyakannya langsung pada Orochimaru kalau tidak percaya," lanjutku meyakinkannya.
Detik berikutnya aku bisa merasakan Sakura menubrukku dan memelukku erat. Ia mendongak menatapku saat berkata "Betapa bodohnya aku. Tapi.. syukurlah itu artinya kau masih mencintaiku kan Sasuke-kun?"
Aku membalas pelukannya, lalu mengusap kepala merah mudanya. "Hn. Dan hanya kau."
Sakura kembali menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Bedanya, kali ini ia terharu bukan sedih lagi. Akhirnya masalah ini terselesaikan dan akan kupastikan setelah ini tidak ada lagi Sakura yang pulang ke rumah orangtuanya. Hanya aku, istriku, dan anakku di rumah kami sendiri sebagai keluarga Uchiha yang utuh. Aku bersumpah tidak akan kehilangan keluargaku lagi.
Mata kami masih saling menatap, banyak perasaan yang terlukis di sana namun semakin lama kami semakin terbawa perasaan dan baik aku maupun Sakura saling mendekatkan diri. Wajahku sudah tinggal beberapa sentimeter lagi dengannya, tepat sebelum bibir kami bertemu..
Tok tok tok
Terdengar suara pintu diketuk.
"Sasuke, apa kau di dalam? Kalau mau tidur ambil lah futon di bawah. Kasur Sakura pasti tidak muat."
Itu suara ibu. Huh, apa memang sudah kodrat mertua selalu mengganggu momen romantisku dengan Sakura?
Aku melirik ke ranjang, benar juga ini hanya ukuran single.
"Baiklah aku akan segera turun, Bu." Ujarku.
Saat aku beranjak pergi Sakura tiba-tiba menahan tanganku. "Sasuke-kun, jangan tinggalkan aku."
Dasar hormon bulanan wanita. Lihat sekarang ia jadi manja begini setelah tadi marah dan gampang menangis.
Aku pun kembali duduk setelah sebelumnya berkata pada Ibu akan mengambil futon nanti. Sekarang lebih baik turuti saja kemauan ratu ku ini sebelum mood nya berubah lagi.
Kami duduk bersebelahan bersandar pada kepala ranjang dengan kaki yang diselonjorkan. Ranjang yang sempit ditambah ada Sarada yang tidur di sisi lain ranjang ini membuatku hanya bisa duduk di tepian. Tangan kananku memeluk pundak Sakura dan kepalanya bersandar pada bahu ku. Tangannya ia letakkan di dadaku dan tangannya yang lain memeluk pinggangku dari belakang. Kalau sudah seperti ini Sakura manjanya bukan main.
"Sasuke-kun, rambutmu basah, tadi kau kehujanan ya?" ujarnya sambil memainkan ujung rambutku yang memanjang.
"Hn. Tidurlah Sakura," balasku.
"Ternyata kau romantis sekali ya, Sasuke-kun. Mengejarku sampai menerjang hujan begitu. Ah aku makin cinta padamu, Anata." Sakura mencium pipiku singkat. Aku merasakan wajahku memerah menyadari aku baru saja melakoni drama yang cukup mengharukan.
"Hn." Balasku sekenanya. Kembali menjadi Sasuke yang tsundere.
Setelahnya aku hanya diam mendengarkan ocehannya yang manja dan diam-diam aku bersyukur sekaligus menikmati kebersamaan kami. Bagiku tidak ada yang hal lebih baik ketika aku sudah bersama Sakura dan Sarada di sisiku. Sangat damai dan nyaman.
Beberapa saat kemudian ku lirik Sakura yang ternyata sudah tidur di pelukanku. Wajahnya tenang, ah ia memang seorang bidadari. Perlahan kulepaskan diriku dan membetulkan posisi tidurnya agar lebih nyaman di ranjang kecil ini.
Sebelum aku beranjak keluar mengambil futon untukku tidur, aku mengusap rambut hitam tipis putri kecilku yang terlelap di samping ibunya dan ku cium keningnya lembut. Lalu berpindah ke ibunya, aku mencium dahi lebar Sakura lalu bibirnya sekilas sambil menggumamkan 'Aku mencintaimu' untuk dua perempuan paling penting dalam hidupku.
NORMAL POV
"Wah, ternyata kau romantis juga ya, Teme."
Uzumaki Naruto bergumam saat Sasuke menyelesaikan ceritanya sementara teman-temannya yang lain hanya diam tidak bisa berkata-kata. Dalam hati mereka mengiyakan perkataan Naruto namun ini respon yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan saat ceritanya sampai di bagian Orochimaru. Itu membuat mereka terpingkal-pingkal bahkan membuat Kiba sembuh dari mabuknya secara ajaib.
"Huh, sekarang giliran kalian." ujar sang Uchiha tidak mau kalah.
Naruto selaku sang Hokage yang memimpin permainan kejujuran ini segera menimpali. "Benar juga. Mari kita dengarkan cerita selanjutnya dari ..."
TBC
Pulangkan sajaa~ aku pada ibuku, atau ayahkuuu, uwo~ uwoo~
Aku berpikir karena orangtuanya Sakura cuma punya satu anak perempuan(dan cucunya juga perempuan) otomatis naluri orangtua akan mendambakan anak laki-laki. Jadi, ku pikir mereka akan menyayangi menantunya, Sasuke, seperti anak sendiri (mengingat sikap orangtuanya Sakura yang hangat dan gak kaku kan).
Well, kenapa tiba-tiba mem-post ff multi chapter. Kenapa malah multi chapter lagi sih munyaaa? Multi chaper yang lain aja masih terbengkalai banyak utang gitu huhuu. Maafkan munya ya teman-teman, beginilah mood menulis datangnya tiba-tiba. Tapi munya janji kok bakal lanjut ngerjain ff MC yang sebelumnya lagi! Doakan aja ide berdatangan di kepala munya hoho.
Ohya munya mau ngingetin juga soal konten sake di fic ini sebenernya munya rada khawatir, ragu mau naro di rate M tapi gimana gitu. Jadi ya cukup dimengerti aja ya reader yang budiman. Anak baik gaboleh konsumsi alkohol. Itu kan mereka para shinobi sudah cukup umur dan di Konoha dingin jadi yaa sake itu buat hangatkan badan. Da negara kita mah apa atuh tropis udah panas gini.
Anyway! HAPPY BIRTHDAY LUCKIEST GIRL IN WORLD UCHIHA SAKURA! *telat*
Cie banget kan sekarang nyonya Uchiha. Kamu tuh hoki banget yaaa bisa dapetin my baby honey Sasuke cowok tertampan sedunia anime! Cukup tau aku iri.
Tapi btw, aku sangat sangat sangat bahagia sekali pas tau Sasusaku canon dan baru sekarang nulis fic Sasusaku family. Yohoooo makasih ya Om kishi udah mewujudkan harapan semua savers!
Akhir kata, review ya. Walaupun fic ini gaje. Okay? Okay?
Salam,
Munya.
