Araaa-! Salam kenal, Minna-tachi! Dengan author abal, Lavenz Aru. Panggil Aru ajah. Hohoh

Saia nyubi lho. Jadi mohon bantuan dari Minna-tachi semua ya. Owe owe..

Sejujurnya aye pecinta yaoi. Apalagi incest. (gak ada yang nanya).

Entah fic abal ini akan jadi apa. huhu. Jadi mu'un bantuannya ya..

Disclaimer : KHR's not mine!

They can't separated us! by Lavenz Aru

Warning! OOC sangat/AU/Shou-ai/twincest/abal/gaje

DL? DR!

Enjoy minna.. ( ' ' )/

X x x x x X

Malam telah larut. Udara terasa semakin dingin. Angin bertiup keras, membuat pohon-pohon besar di depan rumahnya bergesek hingga menimbulkan suara menyeramkan. Meski suasana terasa mencekam, seseorang masih berdiri di depan balkon. Menantang angin.

Ia tidak gila jika tidak memiliki alasan yang kuat hingga Ia merelakan dirinya seorang diri di balkon. Ia sedang menunggu seseorang. Seseorang yang sangat berarti di hatinya...

TUK!

"...Tsuna..."

Laki-laki itu-Tsuna- dengan cepat menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia melirik batu kerikil yang tadi melayang ke depan wajahnya. Dan bola mata karamelnya kini hanya tertuju pada subjek yang memanggilnya...

"...Giotto-nii..."

Terlihat seorang laki-laki yang umurnya lebih tua setahun dari Tsuna. Ia tersenyum meski matanya terus menatap awas sekelilingnya. Rambut kuningnya bergerak-gerak karena tiupan angin. Membuat penampilannya semakin terlihat keren.

Laki-laki itu-Giotto- kemudian melempar sebuah tali yang langsung ditangkap oleh Tsuna kemudian diikatnya pada pilar balkonnya. Giotto lalu naik dengan menggunakan tali. Tak sulit baginya untuk memanjat tali tersebut.

Karena Ia telah terbiasa...

"...Tsuna..." panggil Giotto perlahan setelah Ia sampai di balkon. Tatapannya yang sebelumnya tegang karena was-was, kini berubah melembut.

"Sstt! Pelan-pelan. Nanti kaa-san dan tou-san..." Tsuna tak dapat melanjutkan kata-katanya lantaran tubuh mungilnya sudah tenggelam dalam pelukan sang kakak.

"Aku tidak peduli. Aku merindukanmu, Tsuna..." mata biru sapphire Giotto bertemu dengan mata karamel milik Tsuna. Yang sedang ditatap kini sudah tak mengetahui lagi wajahnya seperti apa. Merah padam mungkin.

"Giotto-nii... Masuk dulu ya. Di sini dingin..." ujar Tsuna berbohong. Tak mungkin Ia merasa dingin saat orang yang Ia sayangi itu memeluknya dan menyandarkan kepala Tsuna ke dadanya. Sejujurnya Tsuna hanya takut. Ia takut jika kedua orangtuanya melihat.

Giotto mengangguk, kemudian melepas pelukannya. Ia melepas sepatunya dan membawanya masuk ke dalam agar suara langkah kakinya tak terdengar sampai ke kamar orangtuanya yang berada tepat di bawah kamar Tsuna.

Tsuna berjalan perlahan ke ranjangnya. Ia kemudian duduk sambil menyilangkan kaki telanjangnya malu-malu. Ia curi-curi pandang menatap kakaknya yang masih berdiri cukup jauh darinya.

"Kau menggodaku, Tsuna?" Giotto tersenyum, kemudian mendekati Tsuna dan memandangi adik semata wayangnya lekat.

"Gi-Giotto-nii... Jangan memandangku seperti itu..." Tsuna berusaha menutupi pahanya yang terekspos karena tersingkap. Wajahnya bersemu merah. Salahnya juga sih kenapa Ia memakai boxer pendek seperti itu hingga jika Ia menyilangkan kakinya, maka boxernya otomatis tersingkap.

Perlahan Giotto mendorong tubuh Tsuna hingga Ia terbaring pasrah. Ia tahu benar bagaimana cara memperlakukan kristal rapuh di depannya itu. Dengan lembut. Dengan penuh rasa sayang. Sudah cukup bagi Tsuna diperlakukan keras oleh orang-orang sekitarnya.

"Gio-"

Alam semesta berdoa. Malam menyatukan mereka berdua. Angin bertiup menggelitik tengkuk Tsuna dan menarikan rambut kuning Giotto. Seluruh alam serasa milik mereka berdua.

"...Giotto-nii..."

"Ya, Tsuna?"

"Aku takut dipisahkan lagi..."

X x x x x X

Flash Back

"Hahahaha! Dame-Tsuna! Dame-Tsunaa! Bakaa! Hahahah!"

Tawa memecah keheningan kelas. Semua sudah tahu darimana sumber suara dan objek yang dijadikan bahan tertawaan. Siapa lagi kalau bukan Tsunayoshi Sawada, anak bertubuh kecil dan lemah. Namun semua orang yang ada di kelas tak melakukan apa-apa kecuali pura-pura tidak melihat.

Diledek sedemikian rupapun, Tsuna tak pernah membalas. Begitulah Tsuna. Dan kejadian hari ini adalah...

BRUK!

"Hahahahah! Bekal apa itu? Sok cute banget!"

Tsuna hanya menunduk menatap isi bekalnya berceceran di lantai. Mereka yang entah mengapa begitu membenci Tsuna, selalu saja melakukan sesuatu yang menurut mereka menyenangkan. Dengan cara menyakiti hati Tsuna.

"Ah.. Bekal dari kaa-san..."

Tubuh Tsuna bergetar. Ia menunduk dalam. Berusaha meredam segala perasaan yang siap meledak saat itu juga.

"Ha? Apa? Kaasan? Lu punya ibu? Gue kira lu anak haram! Hahahaha!"

"Pasti tuh. Lihat saja kakaknya. Jauh banget sama dia. Dipungut di tong sampah kali! Hahahaha! Injek aja bekalnya! 'gak berguna!"

Hal yang terjadi selanjutnya begitu menyakitkan. Bekal Tsuna diinjak-injak oleh tiga orang yang begitu membenci Tsuna. Di depan mata Tsuna sendiri.

"Ah..."

Tak kuat melihat hal itu, secepatnya Tsuna berlari. Airmata yang daritadi Ia tahan sudah mengalir membasahi pipinya. Tsuna terus berlari. Tak menghiraukan larangan keras untuk berlari di lorong. Tak peduli jika sang ketua komite disiplin meng'gigit'nya sampai mati.

Hajaran dari Hibari tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya kini. Tsuna membanting pintu dan terduduk lemah di lantai. Ia menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di lipatan tangannya.

"Hiks..."

Memang benar. Jangan-jangan Ia hanya anak pungut? Ia sangat jauh berbeda dari kakak kembarnya. Ieyasu Sawada. Atau lebih dikenal sebagai Giotto. Kakaknya itu super sempurna. Dengan wajah tampan, rambut kuning, mata biru teduh, pintar, jago olahraga dan disegani banyak orang. Kakaknya lebih mirip orang keturunan Italia daripada Jepang seperti Tsuna.

Berbeda dengan Tsuna. Ia lemah. Tidak pandai. Dan tidak jago olahraga. Ceroboh dan bodoh. Itu sebabnya julukan Dame-Tsuna melekat pada dirinya.

Tubuh Tsuna bergetar. Bahunya naik turun. Ia tak mengerti apa arti Ia hidup jika seperti ini jadinya. Dibandingkan. Diejek. Dibully. Namun entah mengapa, Ia tak dapat membenci mereka. Dan juga tak mungkin Ia membenci sang kakak yang jadi bahan perbandingannya.

"... Tsuna..."

Tsuna tak bergeming dari posisi awalnya. Namun telinganya masih bekerja dengan baik. Ia mengenali suara yang memanggilnya dengan lembut itu. Tampaknya orang itu sedang berlutut tepat di depannya.

"... Giotto-nii?"

Perlahan Tsuna menengadahkan kepalanya. Dan bola mata karamelnya yang berkilau karena airmata langsung bertemu dengan bola mata biru milik kakaknya yang berlutut begitu dekat dengan Tsuna.

"Kamu menangis?" ujar Giotto sambil terus menatap bola mata Tsuna. Kemudian memajukan tubuhnya lebih dekat pada adik semata wayangnya itu.

Tsuna menggeleng keras. Berusaha menyembunyikan airmatanya yang terus mengalir tanpa henti, tanpa Ia kehendaki. Mungkin karena rasa sakit itu begitu terasa sangat dalam hingga airmata pun sulit untuk dikendalikan.

"Ti-Tidak..."

"Jangan bohong. Aku melihatnya sendiri. Tadi lagi-lagi kamu dikerjai?"

Ternyata saat Tsuna dikerjai hari ini, semua dilihat oleh Giotto. Kebetulan Ia melewati kelas Tsuna dan mendengar adik kesayangannya ditertawakan dan diejek. Ingin sekali Giotto datang dan menghajar mereka semua. Namun Ia surutkan keinginan itu karena ingat permintaan Tsuna dulu pernah diucapkannya.

"Kumohon Giotto-nii jangan ambil pusing dengan masalahku. Dan kumohon, di sekolah, kita seperti tidak kenal, ya?"

Permintaan yang aneh. Dan alasan dari permintaan Tsuna baru diketahui Giotto setelah melihat dan mendengar semua ejekan dari teman-temannya. Ternyata Tsuna tak mau mempermalukan kakak tersayangnya lebih banyak lagi.

"Aku..." Tsuna berusaha untuk menjelaskan apa yang terjadi.

"Sstt.."

Giotto menyeka airmata di sudut mata Tsuna dengan jarinya. Tak kuasa melihat adiknya hancur berkeping-keping seperti itu, Giotto segera memeluk dan membenamkan wajah Tsuna di dadanya yang hangat. Tak peduli lagi apa yang akan dipikirkan oranglain.

"Gi-Giotto-nii?" Suara Tsuna terdengar bergetar. Kaget atas perlakuan kakaknya yang tiba-tiba.

"Maaf. Maafkan aku, Tsuna."

"Giotto-nii tidak salah, kok. Aku memang pantas kok diperlakukan begini oleh orang-orang."

"Tidak! Sangat tidak pantas!"

"..."

"Aku akan melindungimu, Tsuna. Apapun yang terjadi. Karena aku..."

TING TONG DING DONG

"Ah? Bel masuk? Tadi Giotto-nii bilang apa?"

Giotto menggeleng. Ia menggenggam tangan Tsuna dan mengajaknya masuk ke kelas sebelum sang Karnivore menggigit mereka sampai mati.

X x x x x X

Pagi hari di hari Minggu yang cerah.

Tsuna dan Giotto tengah berjalan-jalan bersama, olahraga sekaligus menenangkan diri di sebuah taman besar di tengah kota.

Lelah berjalan, Tsuna duduk dengan lemas di bangku taman. Sedangkan Giotto entah kemana Ia pergi meninggalkan Tsuna. Tsuna melirik kiri-kanan. Hanya terdapat beberapa pasangan sedang bermesraan. Secepat kilat, Tsuna membuang muka malu.

"Maaf menunggu lama, Tsuna." Suara Giotto terdengar. Tsuna mendongak dan mendapati sang kakak berdiri dengan jus kaleng di kedua tangannya.

Tsuna menggeleng pelan dan tersenyum. Diterimanya jus dari Giotto dan dengan cepat meminumnya. Haus sekali. "Fuuah! Terimakasih, Giotto-nii. Tahu saja aku sedang haus sekali."

"Karena aku selalu memperhatikanmu, Tsuna." Giotto duduk sangat dekat di samping Tsuna. Membuat Tsuna bergerak salah tingkah dan kembali membuang mukanya. Ia sadar, wajahnya memanas.

Giotto tersenyum memperhatikan tingkah sang adik yang tidak biasa. Wajahnya memerah ternyata. Ingin sekali Giotto melahap Tsuna yang terkenal shota itu. Namun sebisa mungkin Ia mengendalikan dirinya. Tak mau sang adik membencinya gara-gara ulahnya.

Angin pagi bertiup cukup kencang. Tsuna menyesali kecerobohannya hanya memakai kaos lengan pendek hingga dinginnya tiupan angin langsung mengena di kulitnya.

Giotto yang menyadari Tsuna tampak gemetar, segera merangkul bahu sang adik dengan lembut dan mendekatkan tubuh mungilnya di pelukannya yang hangat. Reaksi Tsuna bisa ditebak. Ia gelagapan dan berusaha melepas dirinya dari rangkulan Giotto. Namun hal itu tak dibiarkannya.

"Kamu kedinginan, bukan?" sambil berkata begitu, Giotto membuka jaket hitamnya dan menyampirkan jaketnya di bahu Tsuna.

"Te-Terimakasih, Giotto-nii. Tapi apa Giotto-nii tidak kedinginan hanya memakai kaos tanpa lengan?" Tsuna merapatkan jaket sang kakak di tubuhnya. Hangat. Dan wangi khas sang kakak tercium jelas di hidung Tsuna. Membuat raut wajahnya kembali memerah karena memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Tidak. Di sampingmu, aku selalu hangat." Giotto kembali merangkul bahu Tsuna sambil ketawa kecil. Geli melihat wajah Tsuna yang tak henti-hentinya merona merah.

"Kalian intim sekali. Apakah kalian kakak adik?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja datang. Ia memegang kamera. Tampaknya Ia fotografer.

"Tidak." Jawab Giotto. Sang fotografer dan Tsuna menyernyitkan keningnya. "... kami sepasang kekasih."

"PUUH!" Tsuna yang baru saja meminum jusnya, menyemburkan isi jusnya dari mulut karena kaget. Kekasih?

"Ehm. Baiklah, boleh saya izin mengambil foto kalian berdua?" fotografer itu berdehem sebentar mendengar jawaban Giotto. Namun keinginannya untukk mengabadikan momen dari kakak beradik itu sangat kuat hingga jawaban Giotto hanya dianggap angin.

"Tentu saja. boleh, Tsuna?"

Tsuna hanya mengangguk pelan. Tidak percaya diri juga Ia harus berfoto dengan sang kakak yang tampan itu. Namun merasa tidak enak, akhirnya Ia menyetujuinya.

"Ya. Seperti itu. Tahan, satu.."

"Giotto-nii..."

"Ya, Tsuna?"

Tsuna merapatkan tubuhnya di dada Giotto. Ia tersenyum amat manis hari ini. Sejujurnya meski malu, Ia bahagia mendengar jawaban Giotto tadi. Kekasihnya? Bolehkah?

"Giotto-nii janji akan menjagaku..."

"Tentu."

"Kalau begitu..." Tsuna melingkarkan kedua lengannya di leher sang kakak, "... mengapa?"

"Karena aku..."

JEPRET

"...mencintaimu..."

Flash Back OFF

X x x x x X

T.B.C

Hayaah. Gaje.. gajeee.. huhuhuhu... sejujurnya begitu lihat Giotto sama Tsuna, jadi inget Hiruma sama Sena dari Eyeshield21. #salahfandomwoi.

Mohon saran-saran anda. Review jangan lupa. Jika lupa, Hibari akan ber-kamikorosu padamu. #siapaelu.

Mind to review?