.
.
Sudah tak terhitung berapa kali Younghyun mendengus kebosanan. Duduknya tak pernah tenang. Ada saja yang ia lakukan untuk membunuh kejenuhan, menatap pemandangan membosankan yang hampir dua jam belakangan ia tatapi hingga bersender kepala pada lengan ibunya-mencoba terlelap seperti yang Ibu lakukan namun gagal- semua itu tetap membuatnya hatinya tak tenang.
Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam Younghyun sedang merutuki dirinya atau barangkali ibunya, perihal keputusan mereka untuk pindah ke kota yang ia sendiri tidak pernah tahu sebelumnya. Ibunya hanya memberi sedikit bocoran kalau kota yang akan mereka tinggali nantinya adalah kampung halaman dimana Ibunya lahir.
Younghyun ingin kabur saja setelah mendengar keputusan sepihak Ibunya, baginya semua itu terlalu mendadak, tanpa kejelasan dan terburu-buru.
Waktu itu ia baru saja pulang bermain, keringatnya masih basah, kaosnya kotor kecokelatan terkena debu habis bermain bola di lapangan sebelah.
"Besok kita pindah, Young-ah. Cepat mandi dan kemasi barang-barangmu."
Sore itu hati kecil Younghyun mencelos. Lelahnya menguap tergantikan dengan rasa kaget bercampur bingung.
Pindah katanya?
Kemana?
Dan kenapa harus pindah?
Younhyun tidak pingin pindah, apalagi ia sudah terlanjur terbiasa dengan kota ini, disini ia lahir dan tumbuh, juga teman-teman sepermainan yang nantinya terpaksa harus ia tinggalkan.
Tidak, Younghyun tidak ingin pindah.
Ia ingin bertanya banyak hal, namun Jaehyung, kakaknya, hanya mengendikan bahu. Lelaki itu melengos begitu saja meninggalkan Younghyun diambang pintu dengan berjuta pertanyaan merayap di otaknya.
Segala macam cara ia lakukan untuk membujuk Ibunya, namun yang ada ia dimarahi.
"Sudah jangan banyak tanya! Lakukan saja seperti yang Ibu perintahkan."
Younghyun kesal, juga marah dengan keadaan. Ibunya seenaknya saja membuat keputusan seperti itu. Terbesit di hatinya untuk kabur. Tapi sayangnya niat itu tidak di imbangi dengan modal nekat, apalagi setelah mengajak kakaknya untuk kabur bersama, hanya sikap tak acuh yang ditunjukkan. Malah dengan muka datar dan nada bicaranya yang menusuk dia berkata. "Kau saja sana. Hyung sih tidak ingin hidup seperti gelandangan jika ikut denganmu."
Semakin runtuh saja niatan Younghyun itu. Ia jadi dilema sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga perkataan Jaehyung, di kota mereka tidak punya sanak saudara untuk menumpang tinggal, tidak ada tempat pula yang bisa Younghyun datangi, rumah ini akan dijual nantinya dan ia yakin dirinya masih terlalu muda untuk menyambung hidup seperti yang orang dewasa lakukan.
Tidak punya rumah dan tidak punya uang, maka ia akan menjadi gelandangan. Ia tidak siap jika harus hidup seperti gelandangan yang tidur di bawah kolong jembatan ataupun di lorong-lorong gelap nan kumuh, juga kelaparan dan akhirnya mati mengenaskan.
Err..bukan pilihan yang bagus.
Akhirnya niatan itu hanya tersimpan sebagai pikiran liar yang tidak mampu ia realisasikan.
Malamnya selepas mandi, ia memasukan baju-bajunya dengan berat hati.
Pagi-pagi buta mereka berangkat ke stasiun diantar Paman Jang yang berbaik hati menawarkan tumpangan- sekalian mengantar barang-barang dagangan katanya. Sepanjang perjalanan Younghyun hanya termenung, menatap kosong pada jalanan di depannya. Suara radio yang menyenandungkan lagi ceria tak mampu membuat hatinya membaik.
Tubuhnya memang perlahan pergi menjauh tapi hatinya masih tertinggal disana.
-Under The Sea-
Sementara Younghyun masih berkecamuk dengan bayang-bayang tempat yang ia tinggalkan, lelaki berambut blonde itu malah asyik dengan dunianya. Sebuah buku tebal seukuran novel terpangku di pahanya. Netranya terpaku fokus menatap frasa-frasa berbahasa asing dari balik lensa cekung yang bertengger di puncak hidungnya.
Younghyun sama sekali tidak penasaran dengan judulnya, paling-paling buku yang di baca Jaehyung hanyalah salah satu dari sekian buku kusam berisi sejarah peradaban manusia yang menurutnya sangat membosankan. Walaupun Younghyun tidak suka membaca, ia sanggup mengabiskan satu seri komik superhero sampai pagi. Setidaknya gambar-gambar berisi percakapan itu lebih menarik isinya daripada membaca kejadian lampau yang dialami nenek moyang.
Younghyun dan Jaehyung duduk dideretan yang sama. Mereka tidak pernah lagi duduk berdampingan sejak saat itu. Lebih tepatnya Jaehyung lah yang membuat sekat tak kasat mata diantara mereka, dan kali ini jarak itu diisi oleh Ibu. Wanita paruh baya itu terlelap dengan gurat kelelahan yang kentara, mulutnya terbuka lucu sedang tangannya bersedekap memeluk tas jinjingnya erat, takut diambil orang.
Dari awal Jaehyung yang melarang Younghyun duduk disebelahnya, jelas menganggu katanya.
"Tapi aku ingin duduk disebelahmu Hyung-"
"Tidak! Terakhir kali kau duduk sampingku, bajuku kotor terkena air liurmu."
Yang lebih muda merengut sebal. Sebenarnya ia tidak selalu tidur dengan mulut meneteskan liur kok, tapi waktu itu kebetulan saja, karena perjalanan jauh ia kelelahan, lalu tanpa bisa ia kendalikan cairan bening itu mungkin menetes mengenai kakaknya.
Itu hanya sekali dan pertama kalinya terjadi, tapi sejak itu Jaehyung selalu menjaga jarak darinya, ia akan memilih bangku terjauh dari tempat Younghyun duduk. Seolah Younghyun menularkan virus mematikan yang tidak ada penawarnya.
Ia masih tak habis pikir mengapa kakaknya itu bisa bersikap biasa-biasa saja, seolah lelaki itu tidak memiliki kenangan seujung kuku pun di benak hatinya. Padahal dibandingkan dirinya, justru Jaehyung lebih lama tinggal di kota. Younghyun yakin, walaupun kakaknya sedikit nerd, kutu buku atau apalah itu- Jaehyung bukanlah seorang anti-sosial. Walau ucapannya pedas, tapi temannya banyak. Entah lah apa yang dipikirkan kakaknya itu. Seolah semua itu mudah baginya dan tak berarti apa-apa. Yang dilakukan remaja jangkung itu sejak mendudukan bokongnya hanyalah membaca buku dengan pandangan lurus. Tak berubah posisi sejak Younghyun mendengus untuk yang pertama sampai dengusan sekarang yang entah keberapa.
Merasa sedang di perhatikan, raut serius Jaehyung menoleh sedikit, hanya berupa lirikan tajam pada adiknya. Berucap tanpa suara. "Apa?"
Yang dilirik sedikit terhenyak, lalu menggeleng kikuk karena tertangkap basah.
Setelahnya Jaehyung kembali dengan bukunya.
"Bu, aku bosan. Kapan kita sampai Bu? Apa masih lama?" rengek si bungsu pada sang Ibu. Lengan kemeja ibunya ia tarik-tarik.
"Eng.. tutup saja matamu Young-ah. Nanti tidak akan terasa lama, tahu-tahu sudah sampai." Ucap Ibunya seperti orang mengigau lalu kembali terlelap seolah tidak terjadi apa-apa.
Younghyun kembali melesotkan punggungnya tak bersemangat. Ibunya menyuruhnya untuk tidur tapi ia tidak bisa. Bangun-tidur-lalu bangun lagi adalah kegiatan yang sedari tadi ia lakukan selagi menunggu perjalanan yang terasa seperti seabad ini. Baru kali ini ia merasa tidur saja terasa melelahkan.
"Hah..membosankan sekali."
Helaan napas yang dibuang kasar lewat bibir tipisnya itu ternyata mengundang atensi seseorang di hadapannya.
Seorang wanita lansia tersenyum melihat Younghyun. Agaknya ia gemas dengan bocah yang tidak bisa duduk tenang itu.
Younghyun yang tersadar lalu tersenyum kikuk sambil menggaruk rambut belakangnya yang sudah terlanjur berantakan karena ia remas kala melampiaskan kebosanan.
Nenek itu kemudian membuka ritsleting tasnya, mencari sesuatu entah apa. Netra Younghyun ikut menatap penasaran.
Sebuah kantong plastik putih ia keluarkan, Younghyun tidak bisa menebak isinya sampai tangan keriput itu mengeluarkam sebutir terlus rebus dari dalam sana.
Ah, Younghyung lemah kalau itu soal makanan.
Telur rebus itu terlihat menggoda baginya. Younghyun meneguk salivanya susah payah melihat cangkang tipis itu dikupas secara hati-hati, memperlihatkan putih telur yang mengkilap dan besar.
Teringat ia belum sempat sarapan tadi pagi, Younghyun mengusap perutnya yang berbunyi lapar. Cacing diperutnya tiba-tiba latah ingin makan telur rebus.
Delikan menggoda nenek itu siratkan. Lagi-lagi ia tersenyum lembut. Tangannya menggantung, menyodorkan sebutir telur.
"Mau?"
Younghyun masuk perangkap dan tanpa sadar ia mengangguk. Ia melirik ke arah kanannya. Ingin meminta persetujuan. Ibunya selalu berpesan untuk hati-hati dengan orang asing, jangan berbicara dengan orang yang tak ia kenal apalagi menerima pemberiannya. Tapi melihat Ibunya masih tersesat di alam mimpi dan kakaknya masih sibuk dengan dunianya, Younghyun memutuskan untuk menerima tawaran menggoda itu. Sekilas Younghyun yakin nenek itu adalah orang baik, wajahnya yang bersahaja itu tak menyiratkan ada niat busuk dihatinya.
Kaki mungil berbalut jeans hitam itu maju tiga sampai empat langkah lalu menempatkan bokong disamping wanita tua itu.
Sejatinya Younghyun adalah anak yang pandai bergaul, ia bisa akrab dengan mudah tanpa pikir bibit-bebet-bobot seseorang seperti Ibunya, terbukti hanya dengan tawaran telur dari orang asing saja duduknya rapat sekali seperti sudah kenal lama. Atau .. sebab makanan lah yang membuat Younghyun tak pandang bulu?
Nenek itu tersenyum kecil, merasa gemas melihat Younghyun membulatkan matanya penuh pada gigitan pertama seperti baru saja menelan makanan terenak sedunia.
"Uwahhh! Enak sekali, Nek!"
Satu-dua gigitan lahap masuk lagi ke mulut kecilnya.
Younghyun tidak keberatan justru merasa senang-senang saja diberi beberapa butir telur lagi. Kini kedua tangannya mengapit masing-masing satu telur yang ujungnya sudah digigit, mulutnya menggembung sesak tak sanggup bicara.
"Nenek tidak makan?" tanyanya dengan susah payah, kuning telur membuat tenggorokannya susah menelan.
Wanita tua itu tersenyum dengan gelengan kecil, melihat Younghyun makan dengan lahap saja sudah mengenyangkan perutnya. Dibukakannya tutup botol mineral seukuran enam ratus mili dari dalam tasnya.
"Pelan-pelan makannya.."
Satu suapan terakhir masuk ke mulut Younghyun sebelum menerima air mineral itu. Tenggorokannya terasa lega begitu makanan padat itu mengalir, hanyut bersamaan dengan rasa kenyang yang memenuhi lambungnya.
Setelah kenyang, Younghyun bangkit lalu membungkuk mengucapakan terimakasih.
"Ini ambilah.. berikan pada kakakmu itu."
Tangannya dibekali dua butir telur. Younghyun mengangguk lalu mengucapkan terimakasih sekali lagi.
Sebelum kembali ke bangkunya Younghyun menghampiri si kakak. Remaja berkacamata itu mendongak ketika merasakkan eksistensi sesorang di hadapannya.
Didapatinya sang adik menjulurkan sebutir telur dengan senyum mengembang, lebar sekali sampai sisa kuning telur pada gigi atasnya terlihat.
Tak lantas menerimanya, Jaehyung malah mengerutkan kening.
"Kau dapat darimana? Astaga Younghyun! Hyung tahu kau kelaparan tapi tidak semestinya kau mencuri—"
"Hyung ini bicara apa sih? Aku tidak mencuri, Nenek itu yang memberiku telur rebus ini."
Tubuhnya ia geser sedikit lalu menunjuk ke arah empat puluh lima derajat dimana nenek baik hati yang memberinya telur tadi berada.
"Eh—kok tidak ada?"
Yang lebih muda kaget mendapati bangku kosong di seberang sana tak berpenghuni, padahal baru beberapa detik yang lalu ia bercengkerama dengan nenek itu. Kemana perginya nenek itu?
Jaehyung mengernyit tak paham. Terlepas keberadaan nenek yang dimaksud Younghyun itu benar adanya atau adiknya itu sedang membual, Jaehyung tetap tidak suka pada kenyataan Younghyun menerima pemberian dari orang asing, padahal Ibu sudah melarang keras mereka untuk tidak berurusan dengan orang tak dikenal. Bagaimana kalau nenek itu bermaksud jahat, dengan memasukkan racun ke dalam telur misalnya?
Jaehyung menutup bukunya kasar.
Ia melirik Ibunya sekilas lalu menatap nyalang pada adiknya.
"Apa yang kau lakukan Park Younghyun?! Bukannya Ibu sudah melarang kita jangan dekat-dekat dengan orang asing!"
Jaehyung setengah berbisik memarahi Younghyun, sengaja tak keras-keras agar tidak membangunkan Ibu.
Younghyun yang dimarahi itu bukannya takut, malah menunjukkan wajah cengengesannya. Padahal kakaknya itu marah karena khawatir, tapi yang namanya Younghyun, ia masih terlalu polos membedakan mana yang baik dan buruk untuknya.
"Tenang saja Hyung, rasanya enak jadi aku jamin tidak ada racun didalamnya."
Tanpa sempat menolak tangan Jaehyung sudah dijejali sebutir telur lalu sang pelaku kabur kembali ke tempatnya.
Jaehyung mendecih, lalu menggeleng tak habis pikir.
Seulas senyum kecil memeta samar diujung bibirnya.
Ia tidak heran jika suatu saat adiknya itu bisa saja diculik hanya dengan iming-iming makanan lezat.
"Dasar Younghyun."
-Under The Sea-
Semilir angin musim panas bercampur aroma pantai menyeruak masuk lewat jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, memberikan sensasi menyejukkan. Tidak dapat dipungkiri, berdiam diri selama empat jam dalam gerbong kereta yang menjemukan membuat mereka sesak dan pengap, terlebih bagi si Bungsu yang duduknya tidak bisa tenang seperti cacing kepanasan.
Jaehyung melirik punggung kecil adiknya, ia bersyukur kondisi mood Younghyun membaik setelah turun dari kereta. Awalnya ia kira Younghyun akan uring-uringan dalam jangka panjang, tapi begitu bocah itu melihat sisi kanan-kirinya terdapat deburan ombak pantai mulutnya tidak hentinya mengoceh seolah itu pertama kalinya melihat.
Dalam sekejap bocah itu lupa kalau kemarinnya ia kesal setengah mati gara-gara acara pindahan ini.
"Hyung! Hyung! Lihat itu! Apa itu bangau? Tapi kenapa kecil sekali? Aku ingin menangkapnya Hyung!"
Sang adik berseru antusias sambil menunjuk-nunjuk keluar jendela. Setengah badannya condong keluar, bocah itu bisa jatuh tersuruk aspal jika mobil mendadak berbelok tajam.
"Younghyun-ah, masuk! Kau bisa jatuh kalau seperti itu! Duduk tenang dan pakai sabuk pengamanmu sekarang. Aduh, anak ini benar-benar!" omel sang Ibu dari bangku depan.
Ia heran kenapa anaknya bisa superaktif seperti itu, tidak bisa tenang barang sedetik saja. Beda sekali dengan kakaknya.
Setelah dimarahi Ibunya, Younghyun merengsek kembali ke tempat duduknya, dipasangannya sabuk pengaman dengan tidak ikhlas. Mulut mungilnya merengut lucu membuat Jaehyung disampingnya sedikit gemas untuk tidak mencubit pipi gembil itu.
Walaupun sekawanan burung putih tadi sudah tidak disana, Younghyun masih betah menatap ke luar jendela.
"Tapi Hyung..."
Jaehyung menoleh, menunggu Younghyun kembali berucap.
Bocah itu memalingkan badannya menghadap Jaehyung.
"..apa benar itu bangau?"
Ya ampun. Bocah itu masih penasaran ternyata.
Kekehan kecil keluar dari bibir tipis Jaehyung.
Sementara mata jernih sebentuk mata rubah itu masih menatapnya penasaran.
"Itu namanya burung Camar. Mereka berada pada famili Laridae, masih berkerabat dengan burung dara laut atau disebut juga familia Sternidae."
Younghyun mengangguk-angguk dengan mulut membentuk vokal O. Ia tidak paham pasti kalimat terakhir yang Jaehyung ucapkan, tapi satu jawaban yang bisa otaknya tangkap bahwa sekawanan burung yang bergerombol tadi adalah burung camar.
Seumur hidupnya ia belum pernah melihat burung camar secara langsung, jadi ia amat kelewat senang apalagi bisa melihatnya langsung di habitat aslinya.
Dalam sisa perjalanan Jaehyung habiskan waktunya dengan menatap pemandangan luar jendela, membiarkan wajahnya dibelai halus semilir angin. Novel sejarahnya tergeletak begitu saja di pangkuan, tidak minat lagi untuk mengahabiskan sisa separuh halamannya.
Walaupun sudah menelan ribuan kata, puluhan kisah, dan hitungan jam untuk membaca, hal itu sama sekali tak membuatnya terserang rasa kantuk. Entah kenapa matanya sulit sekali diajak tidur. Berbeda dengan Ibunya, dari sini Jaehyung bisa melihat wanita itu sudah mendengkur halus lagi, sementara sang adik..
Oh, sama saja.
Tapi baguslah. Kupingnya pengang dari tadi mendengar ocehan Younghyun, bertanya ini-itu pada apa yang ia lihat di jalan sampai Jaehyung lelah menjelaskan dan ujung-ujungnya anak itu berbicara sendiri.
Kacamatanya ia lepas lalu dimasukkan alat bantu baca itu ke dalam saku kemejanya. Lengannya ia sangga pada ujung jendela untuk menopang pipi, masih betah memandang alam sekitar. Hari semakin sore dan ia masih tidak tahu ke mana paman Seo Jeon—adik Ibunya yang sedang mengemudikan mobil—akan membawanya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sepanjang mata memandang selain hamparan bunga canola yang bergerak anggun disapu angin sore, kuningnya terlihat indah diterpa mentari keoranyean di ufuk barat. Jaehyung suka melihatnya, dan ia yakin begitupun Younghyun. Ia ingin menunjukkannya tapi sayang bocah itu sedang tidur, tidak tega ia membangunkannya.
-Under The Sea-
Jaehyung menegakkan punggungnya begitu paman Seojoon memarkirkan mobil di pinggir jalan tepat menghadap sebuah rumah berpagar besi yang di cat biru. Rumah yang cukup besar dibandingkan rumah sewa mereka, belum lagi pekarangannya yang luas Jaehyung yakin Younghyun pasti akan senang bermain bola sepanjang hari.
"Bantu Ibu keluarkan kopernya, Jae"
"Iya, bu."
Diliriknya bocah laki-laki yang masih mendengkur halus disampingnya.
"Young-ah, bangun. Kita sudah sampai." Bahu sempit adiknya ia guncang pelan, cukup membuat bocah itu mengerang tidak suka.
Jaehyung keluar dari mobil begitu mendapati Younghyun membuka sedikit matanya. Setidaknya Younghyun sudah bangun, tinggal membiarkan bocah itu mengumpulkan nyawanya saja.
"Aigoo, kalian sudah sampai. Ayo masuk-masuk."
Seorang wanita yang Jaehyung perkirakan berusia di pertengahan tiga puluh keluar menyapa pendatang baru. Ibu langsung memeluk wanita yang tak lagi asing baginya itu. Kalau Jaehyung boleh menebak, wanita itu pasti istrinya paman Seojoon.
Jaehyung membungkuk memberi salam, bersamaan dengan Younghyun yang baru muncul dengan wajah kusutnya.
Sontak kehadirannya menjadi pusat perhatian orang dewasa di sekililingnya.
Ibu merengkuh bahu sempit Younghyun. "Ini Younghyun, adiknya Jaehyung. Younghyun, beri salam pada bibi Minyoung, nak."
Yang disebut membungkuk hormat dengan sigap.
"Halo Bibi, namaku Park Younghyun, umurku sebelas tahun."
Bibi Min Young terkekeh gemas mendengar suara lantang Younghyun.
"Aduh, lucunya. Dowoon pasti senang punya teman baru."
Younghyun tidak mengenal siapa yang dimaksud bibi Minyoung tapi bocah itu tetap menyunggingkan senyum lebarnya.
Kemudian paman Seojoon yang baru saja kembali dari dalam menyudahi obrolan singkat di pekarangan sore itu. Ibu masuk diantar bibi Minyoung, menyisakan Jaehyung yang masih harus mengangkat koper dan tas dibagasi mobil—juga Younghyun yang tiba-tiba saja berlari menghampirinya.
"Kenapa keluar lagi?"
"Aku mencari bola ku, Hyung. Apa kau melihatnya?"
Yang ditanya diam sejenak, mengingat-ingat apa dirinya pernah melihat benda bundar itu sebelumnya. Cukup lama Younghyun menunggu sampai Jaehyung memberi jawaban-
"Entah. Cari saja sendiri."
-lalu berlalu begitu saja meninggalkan Younghyun yang merengut kesal setengah mati. Bocah itu berani bersumpah, tidak ada yang lebih menyebalkan selain kakaknya dimuka bumi ini.
Akhirnya Younghyun pergi sendiri untuk mencarinya. Seisi mobil ia kacaukan untuk mencari benda kesayangannya itu.
"Nah!" serunya kencang.
Objek yang dicari-cari ternyata terselundup di bawah jok, Younghyun sendiri tidak ingat bagaimana benda bundar itu bisa menggelinding sampai ke sana. Tanpa pikir panjang ia mengambil bolanya.
"Kamu kok diem aja sih?! Aku nyariin dari tadi lho."
Bola sudah di tangan, urusan selesai. Younghyun ingin segera kembali ke dalam tapi sebuah gangguan kecil menghadang nya.
Baru saja kepalanya seperti dilempari kerikil kecil dari arah belakang. Younghyun mengaduh sambil mengusap kepalanya, lumayan sakit walau ukurannya kecil.
Bocah itu sudah siap meledak memarahi siapa saja yang iseng melemparinya sebelum mendapati sesosok bocah laki-laki yang melambaikan tangan ke arahnya.
Younghyun mengernyit. Marahnya hilang karena anak lelaki-yang ia pikir seumuraan dengannya- tengah tersenyum lebar, polos dan tak berdosa.
"Hai teman."
Bersambung..
