Title: A Stupid Mistake And One Big Regret.

Pairing: Neji x Gaara.

Disclaimer: I do not own anything related to the Naruto series.


Chapter 1: Decision


-Neji POV-

Berkali-kali kuputar-putarkan tubuhku di depan cermin.

"Hm... tampaknya ok!" kataku.

Siapapun di rumah yang melihat dandananku pasti merasa aneh, tak biasanya aku serapih ini.

"Neji Nii mau kemana kok rapih sekali?" Hinata, sepupu perempuanku tiba-tiba muncul.

"Pesta kelulusan." Jawabku sambil lalu. Hari ini aku akan merayakan kelulusanku, bukan bersama teman-teman sekelas tapi dengan seseorang yang berarti dalam hidupku. Malam ini adalah makan malam kami yang pertama sejak kelulusan kami, indah memang tapi... jika aku mengingat apa yang ingin kulakukan nanti, kusunggingkan senyum pahit untuk diriku sendiri. Ada sebuah keputusan besar yang ingin ku utarakan padanya. Keputusan ini mungkin dapat merubah hidupku sekaligus hidupnya. Makin ku ingat makin sulit rasanya.

Aku pun melangkah keluar dari kamar, menyambar dompet dan kunci mobilku dari meja yang terletak di samping tempat tidurku. Aku siap bertemu Gaara.

Dalam perjalanan menuju rumah Gaara jantungku berdegup sangat kencang jika teringat keputusan yang akan kubuat nanti. Semakin sedikit jarak yang tersisa semakin aku merasa gugup. Jantungku berdegup kencang sehingga telingaku pun dapat mendengar suara detaknya.

Sampai di rumah Gaara, aku langsung keluar dari mobilku dan berjalan menuju pintu rumahnya. Setiap langkah yang ku ambil membuatku semakin merasa gugup. Dalam hatiku aku berkata 'Hei, kenapa kau menjadi gugup seperti ini sih? Ini bukan pertama kalinya kau menjemputnya kan? Rileks Neji.' Aku menghela napas dan akhirnya aku menekan bel rumahnya. Tak perlu menunggu lama akhirnya pintu terbuka, munculah seorang pemuda berambut merah seperti darah dengan tato "Ai" di dahinya. Mata hijau pemuda itu memandang lurus ke arah mataku dan bibirnya yang mungil tersungging sebuah senyuman yang jarang sekali terlihat.

Sepanjang perjalanan aku merasa gugup dan cemas. 'Apakah ia dapat menerima keputusanku nanti? Apa ia akan membenciku?' Pikirku. Sejenak aku menjadi ragu pada diriku sendiri. aku melirik ke arahnya. Ia balik menatapku dengan ekspresi bingung.

"Kamu kenapa?" Ia bertanya kepadaku.

"Hm? Gak apa-apa, memangnya ada yang aneh?" Jawabku, aku berharap dapat menutupi kegugupanku.

"Enggak, cuma kamu pendiam sekali hari ini." Katanya sambil terus menatapku.

"Masa?"

Dia hanya mengangkat kedua bahunya lalu menatap kearah jendela.

Setelah ku parkirkan mobilku, kami pun masuk ke sebuah restoran. Saat kami berjalan ke arah meja yang sudah ku pesan aku meraih tangannya dan ku genggam tangannya erat-erat. Dia terlihat kaget saat aku menggenggap tangannya.

"Neji!" Dia mencoba menarik tangannya dari genggamanku tapi aku menggenggap tangan itu semakin erat.

"Neji, gimana kalau orang lain liat?" Dia masih berusaha menarik tangannya.

"Biarin." Aku menjawabnya dan memberikan senyum terbaikku padanya.

Ia pun menyerah dan membiarkanku terus menggenggam tangannya. Aku terus menggenggam tangannya hingga akhirnya kami tiba di meja yang sudah kupesan. Aku mengabaikan pandangan orang-orang yang dari tadi melihat ke arah kami. Tak lama setelah itu, seorang pelayan datang dan memberikan kami menu, kami pun memesan makanan.

"Neji, gak biasanya kamu ngajak aku makan disini, kenapa sih? Aku jadi curiga ada sesuatu." Kata Gaara bingung.

"Huh? Enggak kok. Aku cuma mau malam ini jadi malam yang spesial karena ini adalah malam kelulusan kita dari SMA, aku mau merayakannya sama kamu." Jawabku. 'Sebenarnya aku juga mau agar kau tidak melupakan malam ini' tambahku dalam hati.

Kurasa jawabanku tadi sudah menjawab kebingungannya karena kulihat mukanya memerah.

"Kenapa mukamu itu?" tanyaku menggodanya. Ia pun memalingkan mukanya dari arahku, berusaha menutupi mukanya yang merah.

"Kenapa mukaku?" tanyanya.

"Hahahaha, mukamu itu udah seperti kepiting rebus."

"Urusai."

Obrolan kami pun terhenti saat pelayan datang mengantarkan makanan. Setelah itu kami menyantap makanan yang sudah kami pesan sambil mengobrol ringan. Saat itu aku memperhatikan wajahnya, teringat pada keputusan yang akan kubuat nanti. Aku bertanya-tanya apakah dia dapat menerima keputusanku. Aku sempat ragu dan berpikir untuk membiarkan saja keadaannya seperti ini, tapi pikiranku berkata kalau aku harus melakukannya, aku harus mengatakannya.

Selesai makan kami pun mengobrol. Aku mendengarkannya bercerita tentang rencananya setelah lulus SMA ini. Sebenarnya aku tidak terlalu mendengarkannya sih karena aku terlalu sibuk memperhatikan wajahnya. Hatiku pun berdegup kencang dan perutku mulai merasa mulas, teringat bahwa saatnya untuk mengutarakan keputusan yang sudah kupikirkan masak-masak akan segera datang dan itu membuatku gugup.

"Kamu tau, seharusnya aku ga..."

"Er...Gaara." Aku memotong pembicaraannya. Dia pun berhenti bicara dan menatapku.

"Ya?" Tanyanya bingung.

"Er... Begini." Aku kembali gugup. 'Oh... tidak, tenang Neji, tenang' aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Aku sangat gugup sekarang dan sebenarnya ada rasa takut. Aku takut dia tidak bisa menerima keputusanku. Takut melihat reaksinya.

"Ada apa?" Tanyanya semakin tampak bingung.

'Ya, Neji ini saatnya kau mengatakannya.' Aku berkata pada diriku sendiri. Aku pun memberanikan diri dan memutuskan untuk mengatakannya tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti, aku harus melakukannya.

"Gaara, se-sebenarnya ada yang ingin kukatakan."

"Ya?" tanyanya kepadaku.

"Begini, sebelumnya aku ingin kamu tau kalau aku sudah memikirkannya baik-baik. Kamu tau Gaara, kamu adalah orang terbaik yang pernah aku temui. Mengingat rencanamu dan rencanaku setelah lulus SMA ini. Er... kau tau aku pun mendukungmu dengan rencanamu itu." Aku gugup dan mulai bicara tidak jelas, dan sepertinya perkataanku memang tidak jelas, terlihat dari ekspresinya yang semakin bingung.

"Huh?"

"Er... begini."

"Neji, sebenernya kamu mau ngomong apa?" tanyanya bertambah bingung dan mulai tidak sabar.

"Baiklah." Tampaknya aku harus mengatakannya sekarang juga. "Gaara, sebenarnya aku sudah memikirkan ini masak-masak. Aku... Aku... Aku ingin kita berpisah."

Gaara terdiam, bingung dengan perkataanku.

"Aku ingin kita putus."

"Oh." Kata Gaara tenang dan tanpa ekspresi.

Aku tidak percaya pada diriku, akhirnya aku mengatakan padanya. Tapi reaksi yang kudapat darinya tidak seperti yang ku bayangkan akan terjadi. Aku mengharapkan dia untuk marah padaku atau bahkan memukulku. Tapi reaksi yang ku dapat hanya kata "Oh" yang keluar dari mulutnya dan wajahnya yang sangat kecewa dan datar.

Aku tidak berani memandangnya. Entah mengapa aku merasa bersalah padanya. Sejenak aku menyesali keputusanku tapi ini adalah cara terbaik yang dapat kulakukan. Dia harus mendapatkan orang yang lebih baik dariku. Aku pun tidak memungkiri pemikiranku kalau aku pun mau mendapatkan orang yang mungkin lebih baik darinya. Kami akan menginjak dunia yang baru. Aku akan meninggalkan kota ini untuk kuliah di kota lain yang lebih besar. Ya, sebagai anggota keluarga Hyuuga tentu keluargaku (pamanku, ya aku tinggal dengan pamanku karena ayahku sudah meninggal) mengharapkanku untuk menjadi seseorang yang besar seperti dia. Maka aku harus kuliah di Universitas terbaik di kota besar sedangkan Gaara, ia akan tetap tinggal di sini dan berkuliah di sini. Aku tak mau mengekang kebebasannya dan aku pun tidak mau kebebasanku terkekang.

Kulihat Gaara dan sejenak mata kami bertemu tapi ia mengalihkan tatapannya ke arah piring kosong dihadapannya. Sekilas di matanya aku dapat melihat kesedihan dan sakit disana yang juga membuat hatiku sakit saat melihatnya. Tapi aku tidak dapat menarik keputusanku tadi.

"Gaara?" Kupanggil dia, berusaha memecah keheningan.

"Hm." Gaara menjawabku tanpa memandangku.

"Kamu gak apa-apa kan?" Tanyaku padanya.

"Ya." Jawabnya singkat.

"Er... bagaimana kalau kita pulang?"

"Ok."

Keheningan menemani kami sepanjang perjalanan pulang. Sesekali aku melihat Gaara yang duduk di sebelahku tapi ia memalingkan wajahnya ke arah jalanan. Aku menyadari bahwa perjalanan pulang kami terasa aneh, sepi. Kami berdua seakan-akan adalah dua orang yang tidak saling mengenal.

"Gaara?" Aku memanggilnya.

"..."

Tidak ada respon yang kudapatkan. Melihatnya diam seperti itu membuatku merasa semakin bersalah dan meragukan keputusanku.

Kuparkirkan mobilku di depan rumahnya. Gaara melepaskan sabuk pengaman dan bersiap untuk keluar dari mobil.

"Neji, makasih ya buat malam ini dan untuk satu tahun bersamaku. Semoga kamu mendapatkan orang yang lebih baik." Kata Gaara sambil menatapku dalam-dalam.

Aku hanya bisa terdiam menatapnya tanpa dapat berbuat apa-apa. Aku melihat Gaara keluar dari mobilku dan berjalan menuju pintu rumahnya. Tanpa berpikir aku langsung keluar dari mobilku dan memanggilnya.

"Gaara!"

Gaara menghentikan langkahnya dan berbalik memandangku. Saat dia berdiri diam sambil memandangku, ingin rasanya aku berlari ke arahnya, memeluknya dan tidak melepaskannya lagi. Dadaku terasa sakit dan aku mulai berharap dapat mencabut keputusanku itu, tapi aku tau itu tak mungkin.

"Er... Makasih juga Gaara buat semuanya dan Good Luck juga buat kuliahnya." Kataku padanya.

"Ya." Jawab Gaara singkat.

"Sampai jumpa."

"Ya." Jawab Gaara padaku, ia mengayunkan tangannya kearahku dan tersenyum kecil.

Aku hanya bisa berdiri di tempatku, melihat Gaara memutar tubuhnya dan kembali berjalan menuju pintu rumahnya tanpa berbalik untuk melihatku lagi. Aku terus memperhatikannya hingga ia masuk dan menutup pintu rumahnya. Saat itu aku sadar bahwa aku telah kehilangan dia. Pintu rumah itu tidak akan pernah lagi terbuka lebar menunjukkan seorang pemuda berambut merah yang akan menyambut kedatanganku. Memikirkan hal itu dadaku terasa sakit. Tanpa sadar tanganku memegang dadaku berharap rasa sakit itu hilang.

Sadar bahwa aku masih berdiri di depan rumah Gaara, aku pun kembali masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk pulang. Dalam perjalanan pulang ku pacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin segera meninggalkan rumah Gaara, berharap rasa sakit itu dapat segera hilang. Namun semakin jauh aku berjalan rasa sakit itu semakin terasa. Aku marah pada diriku sendiri, sangat marah. Aku menyesali keputusanku tadi. Aku sadar bahwa sebenarnya aku tidak mau kehilangan dia. Ingin rasanya aku memutar mobilku kembali ke rumahnya. Tapi itu tak mungkin kulakukan.

Hampir saja aku melewatkan lampu merah yang menyala. Aku pun menghentikan mobilku. Rasa marah dan bersalah tadi sudah tak bisa kutahan lagi.

"SIAL!! SIAL!! SIAL!!" Teriakku sambil memukulkan tangan kananku pada setir mobilku.

"NEJI KAU ADALAH ORANG PALING BODOH!!!" teriakku pada diriku sendiri.

Tanpa sadar air mata sudah membasahi wajahku. Aku merasa lemah sekarang. Aku sangat benci diriku sendiri. Tanpa sadar aku telah menyakiti diriku sendiri dan juga menyakiti Gaara. Aku benar-benar tak tau harus melakukan apa lagi, yang bisa kulakukan sekarang hanya memukul apa pun yang ada di dekatku sekeras mungkin. Rasanya jika ada seseorang yang bisa memecahkan kepalaku, rasanya aku benar-benar ingin memecahkannya. Tanpa aku sadari tetes-tetes hujan telah turun di kaca mobilku. Suasana yang tepat, hujan ditambah air mata rasanya tepat sekali. Aku melangkah keluar dari mobil, bersandar lalu menatap langit. Kini tetes-tetes hujan telah membasahi wajahku dan hampir sekujur tubuhku.

"Gaara... kalau saja sekarang kamu memintaku untuk kembali, aku pasti akan kembali."

Aku menundukkan wajahku, 'jadi inikah yang dinamakan penyesalan. Membuang sesuatu yang berharga demi sebuah harapan yang tak tau kapan akan terwujud.' Tak terasa sekarang air hujan telah bercampur dengan air mataku.

=.=.=.=.=.=

Aku melangkah masuk ke rumahku dalam keadaan basah kuyup. Saat aku berada di ruang keluarga, Hinata menatapku dengan pandangan kaget dan bingung.

"Neji Nii, kenapa?" Tanya Hinata sambil menghampiriku dan mengibaskan tetesan air hujan di rambutku.

Aku hanya menepis tangannya, mengangkat bahuku dan berlalu darinya.

Saat kubuka pintu kamar semua perabotan di kamarku menyambutku dengan hangat dan ramah. Tapi yang kuinginkan hanya satu, Gaara. Kutanggalkan pakaianku yang basah karena hujan lalu kukenakan pakaian tidurku. Saat aku melemparkan tubuhku ke ranjang, tak sengaja ku lihat foto kenangan aku dan Gaara. Ku raih foto itu, kupandangi wajah kami berdua, aku tersenyum kecil dan mencoba meyakinkan diriku sendiri sekali lagi bahwa keputusan yang kubuat tadi tidaklah salah. Kudekap erat-erat foto itu, kupejamkan mataku, mencoba untuk tertidur.

"Hari esok pasti akan lebih baik Neji." Kataku pada diriku sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

-to be continued-


This is my first fic. I hope all readers liked this story and please tell me what you think. Feel free for Review.

My special thanks to Lovelylawliet.