Ini adalah fic pertama dari author gila di fandom ini. Karena kecintaan author terhadap Kaneki dengan 3 versi, Kuroneki-Shironeki-Haise, jadi ceritanya nggak jauh-jauh dari 3 orang tersebut. Author juga akan memasukkan Kaneki yang versi oneshoot di tengah fic (walaupun benci banget). Kepribadian 4 orang Kaneki ini akan sama seperti aslinya, termasuk oneshoot yang menurut author benar-benar gila karena hobinya (silahkan baca oneshootnya kalau belum tahu) :v
Saya tidak mendapat keuntungan apapun atas dibuatnya FF ini. Semua hanya hobi dan kesenangan belaka.
'Tokyo Ghoul' © Sui Ishida
Warning! Typo(s), AU, cerita yang super gaje, bahasa frontal yang tak sesuai sopan santun, alur yang (sangat) cepat dan sering maju-mundur cantik serta berbagai kesalahan lainnya yang tidak dapat disebutkan semua. Mohon maklum.
Inside Me
POV. NORMAL
Matahari telah kembali dari tempat persembunyiannya, menandakan hari baru telah datang. Sepasang remaja kembar melangkah cepat menuruni tangga, terburu-buru. Salah satu melirik arloji hitam yang menempel di tangan kirinya.
"Ayo! Jangan membuat senpai menunggu!"
"Niisan... kami akan berangkat!"
Kembar yang lain ikut menyerukan suaranya. Mereka berjalan menuju pintu, duduk di lantai dan memakai alas kaki mereka masing-masing.
"Tunggu, Kuroneki-Shironeki!"
Terdengar suara memanggil nama kedua kembar itu. Dan dari sekat antara dapur dan ruang tengah, sesosok pemuda menyembulkan kepalanya.
"Kalian harus sarapan dulu!"
"Tidak usah, niisan. Kami sudah telat!"
"Ya, aniki. Kami bisa makan di kampus nanti!"
"Kalau begitu tunggu sebentar!"
Dan sejurus kemudian, pemuda itu keluar dari dapur dan kini tubuhnya dapat terlihat sepenuhnya. Pemuda dengan surai abu-abu berkemeja hitam yang ditutupi sebuah apron putih itu berjalan menuju tempat si kembar, tersenyum ramah.
"Niisan mungkin akan pulang lebih malam, jadi kalian langsung tidur saja. Jangan menunggu niisan," pemuda itu menatap kedua kembar yang duduk di lantai tadi sambil membersihkan kedua tangannya dengan sebuah kain putih.
"Apa niisan tidak bisa pulang seperti biasa?" salah satu kembar dengan surai hitam mendongak menatap kakaknya.
"Tidak bisa. Teman niisan sedang sakit, jadi tugasnya untuk sementara niisan gantikan."
"Tapi niisan bisa pulang tidak terlalu larut 'kan?"
"Niisan usahakan. Memang ada apa, Kuro? Jarang sekali kau seperti ini?"
"Aah... Tidak ada. Aku hanya ingin niisan pulang lebih cepat saja," salah satu kembar yang dipanggil Kuro itu tersenyum tipis.
"Baka," kembarannya menjawab sambil memukul pelan kepala adiknya.
"Jangan terlalu manja pada aniki, Kuro. Kita sudah 20 tahun, bersikaplah dewasa," lanjutnya.
"Aku tidak manja, aku hanya ingin nii–"
"KITA SUDAH TELAT! AYO!"
Sang kakak kembar memotong pembicaraan adiknya, menariknya paksa menuju kampus setelah melihat arloji di tangannya yang sedikit lagi menyentuh angka delapan.
"Niisan–aniki, itte kimasu!"
"Itte rasshai!" pemuda itu tersenyum.
XXXX
Pemuda bersurai abu-abu yang dipanggil niisan itu bernama Haise. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya adalah sepasang anak kembar laki-laki. Sudah empat tahun lamanya mereka bertiga tinggal bersama. Orangtua mereka telah wafat ketika Haise masih berumur enam tahun. Dan selama itu pula mereka tinggal bersama kakak sang ibu. Kini setelah Haise memiliki pekerjaan sejak empat tahun lalu, mereka memutuskan untuk tinggal sendiri agar tidak merepotkan bibinya.
Kedua orangtua mereka wafat dalam sebuah kecelakaan beruntun di tengah kota di distrik 13. Haise yang sudah mengerti merasa sangat terpukul. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya menatap kedua adik kembarnya yang sedang tertidur lelap dalam gendongan bibi dan pamannya di pemakaman, tidak memahami kenyataan pahit yang harus mereka terima.
'Andai niisan seperti kalian, mungkin niisan tidak harus mengalami rasa sakit ini'
Haise menangis di antara dua pusara itu. Ia tidak terima akan takdir yang begitu membencinya. Haise masih terlalu kecil untuk kehilangan kasih sayang orangtua. Haise masih terlalu kecil untuk kehilangan penyemangat hidupnya. Haise masih terlalu kecil untuk merasakan semua penderitaan itu. Sepupunya yang lebih tua enam tahun darinya, Nishiki, hanya mampu mengelus pundak saudaranya itu. Ia sangat mengerti bagaimana kehilangan orang yang dikasihi. Ia juga pernah merasakan hal yang sama seperti Haise. Saat itu ia harus kehilangan adik kecilnya, Kimi, karena tertabrak kendaraan yang melintas di depan sekolahnya. Rasa sakit yang Nishiki terima membuatnya mengerti arti kehilangan dan sangat menyayangi Haise. Ia ingin menjadi figur yang baik bagi sepupunya itu agar dia tak lagi merasa kehilangan sosok panutannya.
Shironeki dan Kuroneki adalah sepasang anak kembar. Mereka adalah adik kandung Haise. Usia mereka hanya terpaut empat tahun. Wajah mereka sangat mirip, yang membedakan hanya rambutnya. Shironeki sang kakak berwarna putih sementara Kuroneki berwarna hitam. Peringainya pun sama, keduanya lembut. Namun beberapa tahun yang lalu, sifat Shiro sedikit berubah.
XXXX
FLASHBACK ON - POV. SHIRO
"Kuro, cepat lari!"
"Aku tidak kuat lagi, Shiro. Aku lelah.."
"Jangan berhenti! Terus lari, Kuro!"
"Tidak bisa. Aku tidak bisa lari lagi."
Dia terjatuh. Sepertinya dia benar-benar kelelahan. Ini tidak baik! Mereka semakin dekat! Apa yang harus aku lakukan?
"Kita harus lari, Kuro! Sekarang!"
Aku menarik tangannya, memaksanya berdiri dan mengikuti langkahku untuk kembali berlari. Sudah tidak ada waktu lagi untuk istirahat. Mereka pasti akan menyusul jika kami tidak bergerak sekarang!
"Tidak bisa! Aku tidak kuat lagi! Kalau kau mau, lari saja sendiri! Tinggalkan aku disini!"
Ia berteriak dan menepis genggamanku dengan kasar, membuatku sedikit tersentak. Sebelumnya Kuro tidak pernah bertindak seperti ini padaku. Dia tidak pernah menentangku, apalagi memarahiku.
"Kuro! Kau–"
"Itu mereka! Disana!"
"Tangkap mereka!"
Kudengar suara orang-orang itu. Sepertinya mereka berhasil menemukan kami. Aku menoleh, mencari sumber kedatangan mereka. Kanan! Dari gang kecil di sebelah kanan! Gawat! Apa yang harus kami lakukan? Melawan mereka? Hanya karena kau tidak sengaja menabrak salah satu dari mereka, kau harus melawan para orang dewasa itu? Kau bercanda!
"Kuro, dengarkan aku. Kita sudah tidak punya banyak waktu. Kau cepatlah lari menuju jalan raya, cari kantor polisi. Minta mereka datang ke tempat ini, sekarang!"
"Dan meninggalkanmu sendiri disini? Kau gila!"
"Ya. Kau juga tadi memintaku untuk meninggalkanmu sendiri disini. Berarti kau juga gila."
Aku terkekeh dalam hati. Bahkan disaat seperti ini, adik kembarku masih saja bertingkah bodoh. Namun bagaimanapun juga, ini adalah kondisi yang sangat serius bagiku. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh bahkan melukai Kuro! Tidak diantara para pria mabuk itu! Sejengkalpun tidak!
"CEPAT LARI, KURO!"
"TIDAK!"
"CEP–"
BUAAGGHHH..!
"SHIROOOO..!"
Aku terjatuh. Sesuatu yang hangat aku rasakan mengalir keluar dari sela bibirku. Kuusap mulutku dengan punggung tanganku lalu melihatnya. Merah. Darah! Ini darah! Darah keluar dari mulutku? Bagaimana bisa?
Saat aku masih menatap noda merah ditanganku itu, aku merasa tubuhku dipeluk seseorang dari belakang. Aku terkejut. Segera berbalik untuk melihat siapa yang memelukku, ternyata itu adalah Kuro! Dia memelukku sambil menangis!
"Ooh... Bukankah anak berambut hitam ini yang tadi menabrakmu, Yamori?"
"Kau benar, Nico. Anak berambut hitam ini yang tadi menumpahkan minuman kaleng itu di jasku."
"Kalau begitu, kau seharusnya memukul anak itu. Bukan si rambut putih ini."
"Ya, aku salah."
Lelaki bertubuh besar yang dipanggil Yamori itu menarik paksa Kuro, melepaskan pelukannya padaku. Dia menjambak rambut adikku lalu mengangkatnya. Kulihat Kuro yang mengerang kesakitan, kakinya sudah tidak menapak tanah lagi.
"AAAARRRGGGHHHHHH...!"
Kuro berteriak. Kini ia melayang sepenuhnya. Tangannya menggenggam jemari besar pria yang menjambaknya. Rasa sakit pada rambutnya membuatnya menangis. Aku kesal dan marah. Aku tidak akan memaafkan siapapun yang membuat Kuro menangis!
"LEPASKAN DIA!"
Aku berteriak. Bangkit berdiri dan melayangkan tatapan marah adalah tindakanku sekarang. Tak peduli badanku yang kecil ini, aku akan tetap berusaha menyelamatkan Kuro. Walau hanya berteriak, aku berharap ada seseorang yang mendengarku dan mau membantuku. Karena teriakanku tadi, pria bertubuh besar itu dan teman-temannya langsung memandangku. Melihatku dengan tatapan meremehkan. Aku diremehkan!
"Kau terlihat sangat mirip dengan anak ini. Apa kalian kembar?"
Seorang pria berpenampilan aneh layaknya wanita bertanya padaku. Dia tersenyum. Tapi aku sangat muak melihatnya. Kau menyiksa orang sambil tersenyum? Kau menikmati penyiksaan itu atau meremehkan korbanmu? Aku hanya diam, sama sekali tidak tertarik untuk menanggapinya.
"Kau pasti kakak si rambut hitam ini 'kan?"
Orang itu kembali bersuara. Aku tidak tahan lagi. Tak peduli kalau aku masih anak-anak. Kuambil sebuah balok kayu yang berada di sampingku lalu kuayunkan pada lelaki bertubuh besar itu dengan kuat.
GRAP!
Temannya yang lain berhasil menahan balok itu, membuatku sedikit terkejut. Dia mengambil paksa balok kayu itu dari tanganku lalu mendorongku kuat, membuatku terjatuh di tanah.
"APA YANG KAU LAKUKAN, BOCAH?!"
Dia menendang perutku, membuatku yang baru saja mencoba berdiri justru kembali tersungkur di tanah. Sial! Ini jelas perbedaan kekuatan! Kami masih kecil. Mereka tidak pantas memperlakukan kami seperti ini! Hanya karena mereka lebih dewasa lalu mereka dapat melakukan apa saja terhadap kami? Itu konyol!
Aku kembali mencoba untuk bangkit. Kulihat Kuro yang masih terus berteriak karena sakit yang dirasanya. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa melihat Kuro lebih lama menderita. Dia adikku. Aku harus melindunginya.
"Ojisan, tolong maafkan kami. Kami tidak bermaksud–"
"Apa dengan kalian meminta maaf, jasku akan kembali bersih?" pria bertubuh besar itu memandangku, tersenyum sinis.
"Maaf, ojisan. Kami tahu itu. Tapi kami tadi tidak sengaja. Tolong lepaskan adikku."
Aku memohon dengan terpaksa. Ingat! Sangat terpaksa! Jika karena bukan yang dalam bahaya itu Kuro, aku tidak sudi memohon belas kasihan dari orang-orang gila itu! Ah... Kalau saja tadi siang kami tidak memaksakan diri untuk berjalan pulang sendiri, mungkin sekarang kami sudah di rumah. Seharusnya kami mendengar kata niisan untuk menunggunya dan Nishiki-nii datang menjemput kami. Dengan begitu, kami tidak harus tersesat hingga malam dan berakhir di gang sempit di distrik antah berantah dengan sekumpulan orang-orang mabuk yang gila seperti ini!
"Melepaskan si rambut hitam ini? Aku bahkan belum memberikan pelajaran padanya," pria itu menjawab.
"Bagaimana jika ojisan memberikan pelajaran itu padaku? Tapi sebagai gantinya, tolong ojisan melepaskan adikku."
Aku kembali memohon. Terlihat untuk beberapa saat pria itu memikirkan sesuatu lalu membelakangiku. Dia bercakap sebentar dengan teman-temannya. Dan beberapa menit kemudian, dia kembali menghadapku.
"Baiklah."
Pria itu melepaskan genggamannya pada rambut Kuro, membuatnya terjatuh lemas. Dia langsung berlari menujuku, kembali memelukku lalu menangis. Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya mengelus punggungnya, berusaha menenangkan.
"Shiroo... hiks... maaf... hiks... niisan..." dia tidak berhenti menangis.
"Kau, yang berambut putih. Kemari."
Seorang pria lain bermantel merah menunjukku. Aku meminta waktu sebentar. Aku tahu pelajaran apa yang mereka maksud. Dan sekarang adalah giliranku mendapatkannya. Aku tidak bodoh. Aku tahu itu.
"Kuro, sekarang kau harus benar-benar mendengarkanku. Kau harus pergi ke jalan raya, cari kantor polisi dan tunjukkan tempat ini. Kau ha–"
"KALIAN MERENCANAKAN APA, BOCAH SIALAN?!"
Pria bermantel merah tadi menarik paksa diriku menjauhi Kuro dan langsung meninjuku. Aku terpental ke belakang. Pipiku sakit. Sangat sakit. Darah kembali mengalir keluar dari celah bibirku.
"MENCOBA KABUR, YA?!"
Pria itu mulai melangkah. Aku melihat Kuro yang berusaha menahan kakinya untuk tidak mendekatiku justru ditendang. Orang itu lantas meludah ke wajah Kuro yang kini tergeletak di tanah sambil memegangi perutnya. Selanjutnya, ia kembali berjalan ke arahku, menarik kerah seragam sekolahku lalu berbicara di depan wajahku, membuatku dapat mencium aroma alkohol dari mulutnya. Dia kembali meninju perutku. Tubuhku yang melayang bergetar hebat, membuatku memuntahkan banyak cairan merah kental dari mulutku. Ya, itu darah.
"Lepaskan. Biar aku yang menanganinya," kini pria besar itu yang bersuara. Pria bermantel merah yang baru saja mengangkatku langsung menjatuhkanku lagi ke tanah.
"Maaf, Yamori-san."
Kini giliran pria bertubuh besar itu. Dia berjalan kearahku sementara pria bermantel merah tadi mundur, bergabung dengan rekan-rekannya. Begitu sampai di tempatku, pria besar itu langsung menendangku, membuatku jatuh terlentang. Dia terus dan terus memukulku, menghajarku, menendangku, dan meninjuku. Begitu aku tergeletak lemas di tanah, dia akan menginjakku seolah aku adalah semut yang mudah dimusnahkan.
Orang-orang itu... Mereka semua... Mereka tertawa melihatku! Mereka tertawa melihat penderitaanku! Sial! Mati saja kalian!
Sudah lima menit sejak aku terus disiksa tanpa henti oleh pria berbadan besar ini. Entah sampai kapan tubuhku sanggup bertahan. Aku hanya anak kecil. Seorang anak yang masih berusia tujuh tahun. Apa yang dapat dilakukan seorang anak ingusan? Berlagak sok kuat? Hah! Pasti hanya aku! Bertingkah layaknya jagoan untuk melindungi sang adik, padahal dirinya sendiri sangat ketakutan. Huh... Munafik kau, Shiro!
"Lebih baik kalian urus si rambut hitam itu, jangan sampai dia kabur," pria besar itu tiba-tiba bersuara, masih dengan sepatunya yang menempel di wajahku. Semua orang disana saling menoleh.
"YAMORI-SAN! BOCAH BERAMBUT HITAM ITU TIDAK ADA! DIA MELARIKAN DIRI!"
Pria bermantel merah yang lain berteriak, membuat sosok yang dipanggil Yamori itu langsung berbalik, mencari keberadaan Kuro. Akupun demikian. Dan benar saja. Di lorong sempit itu, aku sama sekali tidak melihat keberadaan Kuro. Syukurlah, dia berhasil melarikan diri!
"APA YANG KAU RENCANAKAN, BOCAH?!"
Pria bermantel merah lain langsung menerjang ke arahku dan kembali menendang perutku, membuatku mengeluarkan darah segar sekali lagi.
"Hentikan. Biar bocah ini aku yang urus. Kalian semua pergi."
Pria besar itu membuat gestur mengusir pada tangannya, membuat empat pria lain bermantel merah dan seorang pria lain berpenampilan aneh, yang kalau tidak salah pria besar itu menyebutnya Nico, menjauh dari tempat itu. Kini hanya tinggal kami berdua, aku dan si pria besar yang dipanggil Yamori itu.
Dia berjalan mendekatiku yang masih mencoba untuk bangkit berdiri. Tanpa berbicara, dia langsung menyerang leherku, mengangkatku, lalu membenturkan kepalaku pada dinding lembab di sana. Dia mencekik leherku dengan keras. Aku tidak bisa bernafas. Aku merasa tulang leherku akan patah. Aku meronta, berusaha keras agar dia melepaskanku.
"Kau hebat, bocah. Berani membela adik manismu itu. Kau tahu, aku cukup menikmati saat bersenang-senang denganmu seperti ini."
Dia berbicara, namun aku sama sekali tidak mempedulikannya. Aku benar-benar kehabisan nafas. Tangan kecilku yang semula memegangi tangannya kini terjatuh, terkulai lemas. Aku mulai kehilangan kesadaran.
"Oh, apa kau pingsan bocah? Tidak menarik," dia menjatuhkanku begitu saja, membuatku terbatuk-batuk karena leherku yang sedari tadi tercekik dengan kuat.
"Jadi kau tidak pingsan? Hebat juga. Sepertinya kau memang pantas menjadi ksatria untuk adik manismu itu. Kau tidak buruk, nak."
Entah itu pujian atau hinaan, aku tidak peduli. Dia berlutut di hadapanku, mengamati bagaimana aku terbatuk lalu menyeringai. Aku takut. Aku belum pernah melihat senyum seperti itu. Kuro dan niisan tidak pernah tersenyum aneh seperti itu. Bahkan Nishiki-nii juga tidak pernah. Senyum itu mengerikan. Aku benar-benar harus keluar dari tempat ini. Kulihat sebuah botol kaca tergeletak cukup dekat denganku. Itu pasti botol alkohol yang mereka minum tadi. Aku ingin meraihnya. Namun sayang, pria itu telah mengangkatku lagi. Mengangkatku dengan cara yang sama saat dia mengangkat Kuro. Ya, dia menjambak rambutku kasar.
"Anak kecil tidak boleh bermain botol kaca, itu berbahaya. Kalau botol itu pecah, tanganmu bisa terluka," dia kembali dengan senyum mengerikannya.
"Tapi kalau kau mau, aku bisa mengajarimu bagaimana menggunakan botol ini dengan benar."
Pria itu melepaskan genggamannya pada rambutku, lalu berjalan menuju botol alkohol itu dan mengambilnya. Dia berbalik, melangkah menujuku dengan botol itu ditangannya.
"Seperti ini cara memakainya, nak."
PRAAANNGGG...!
Dia memukulkan botol kaca itu pada kepalaku, membuat benda itu menjadi hancur berkeping-keping. Aku merasakan sesuatu mengalir dari keningku. Aku mencoba untuk mengusapnya. Sudah kuduga, darah lagi. Dan seketika itu pula aku terhempas ke tanah. Lututku sudah tidak mampu menampung beban tubuhku. Aku pusing. Sangat pusing.
"SHIROOOOOO...!"
"DIAM DI TEMPAT!"
Aku mendengar suaranya, suara adik kembarku. Suara Kuro! Kupaksa mataku untuk terbuka, mencari keberadaannya. Benar. Dia disana, bersama beberapa orang berpakaian polisi. Aku juga sempat melihat pria besar itu sedang mengangkat kedua tangannya disampingku. Syukurlah, akhirnya Kuro mendengar ucapanku.
Terlihat seorang anak berlari ke arahku. Pandanganku mulai kabur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas lagi. Tapi aku tahu itu Kuro. Dia mendekatiku, memangku dan mengelus keningku yang berdarah. Dia menangis. Dan saat itu juga aku kehilangan kesadaranku.
Jangan menangis, Kuro. Kumohon, jangan menangis. Tetaplah tersenyum. Aku baik-baik saja. Selama kau dan niisan berada di sisiku, aku akan baik-baik saja. Jadi jangan menangis, Kuro.
XXXX
POV. HAISE
"Apa! Kau yakin? Baik, kami akan kesana sekarang."
"Nishiki-nii, ada apa? Shiro dan Kuro... Apa mereka telah menemukan Shiro dan Kuro?"
"Ya, mereka ada di distrik 13. Kita harus kesana sekarang!"
Aku langsung berlari menuju kamarku, mengambil jaket dan mengikuti Nishiki-nii dibelakangnya. Kami berjalan keluar rumah setelah dia mengunci pintu. Sekarang kami hanya tinggal berempat, ojisan dan obasan sedang keluar kota menghadiri pernikahan sepupu kami, Seidou-nii.
"Nishiki-nii, apa Shiro dan Kuro baik-baik saja?"
"Ya, Haise. Mereka baik-baik saja. Kau jangan khawatir."
Nishiki-nii tersenyum lembut padaku, namun dia menggenggam tanganku dengan kuat. Ini bukan kebiasannya. Aku tahu, pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Apa sebenarnya keadaan Shiro dan Kuro tidak baik?
"Nishiki-nii, apa Shiro dan Kuro baik-baik saja?"
Aku mengulang kembali. Kali ini ia berhenti, membalikkan badannya, berlutut dan menatapku dalam. Ia mengelus punggung tanganku lembut, berusaha meyakinkanku bahwa perkataannya benar.
"Ya, Haise. Polisi itu sendiri yang mengatakannya pada Nishiki-nii. Kau harus percaya. Jangan berfikiran yang buruk tentang Shiro dan Kuro. Kau tidak mau 'kan pikiran burukmu itu justru menjadi kenyataan?"
"TIDAK!" aku menggeleng cepat.
"Nah. Jadi Haise tidak boleh khawatir lagi, ya. Shiro dan Kuro baik-baik saja."
Kemudian Nishiki-nii bangkit berdiri. Ia kembali menggenggam tanganku. Kami berjalan sedikit lalu dia menghentikan sebuah taksi. Kami masuk ke dalam. Dia mengatakan sebuah tempat yang akan kami tuju. Menurutku, tempat itu terdengar seperti nama sebuah rumah sakit. Tidak asing bagiku.
XXXX
"Ayo Haise, kita turun disini."
Nishiki-nii menuntunku keluar dari dalam taksi. Dia memberikan beberapa lembar uang lalu kembali menggenggam tanganku untuk bersama berjalan di halaman rumah sakit itu.
"Nishiki-nii, kenapa kita ke rumah sakit? Bukankah seharusnya Shiro dan Kuro berada di kantor polisi?"
"Ya, Haise. Mereka memang sebelumnya berada di kantor polisi. Tapi sekarang mereka ada di rumah sakit ini," dia menjawabku.
"Apa Shiro dan Kuro sakit?"
"Mereka hanya sedikit lelah. Lagipula menurut Haise, lebih baik kantor polisi atau rumah sakit?"
"Tentu saja rumah sakit! Kantor polisi berisi orang-orang jahat! Shiro dan Kuro bukan orang jahat!"
Aku menjawab cepat. Nishiki-nii hanya tertawa mendengar pernyataanku. Apa aku salah? Kantor polisi memang tempat orang jahat ditahan 'kan? Aku yakin Shiro dan Kuro bukanlah orang jahat. Mereka adalah adikku yang paling berharga, yang paling kusayang.
Kami berjalan menuju sebuah pintu besar yang menghubungkan halaman dengan ruang informasi. Aneh, rasanya ruangan ini tidak asing. Sepertinya aku pernah kesini. Tapi kapan? Aku benar-benar tidak ingat. Nishiki-nii melihatku yang nampak kebingungan.
"Ada apa, Haise?"
"Ah, tidak ada Nishiki-nii."
Kami terus berjalan. Nishiki-nii menuntunku menuju salah satu kamar di lantai empat. Aneh. Bahkan lantai ini seperti tidak asing lagi! Dan akhirnya kami memasuki sebuah kamar dengan angka tujuh yang tertempel pada daun pintunya. Di dalam, terdapat tiga buah tempat tidur. Dua diantaranya kosong, sedangkan satu yang berada paling ujung dekat jendela tertutup oleh tirai. Kami berjalan menuju tempat itu dan begitu sampai disana, Nishiki-nii langsung membuka tirai itu.
Aku terkejut. Di hadapanku nampak Kuro yang pergelangan tangannya terlilit sebuah perban putih. Ia duduk disisi sebuah ranjang sambil menangis. Disana, di ranjang itu, terbaring Shiro yang tidak sadarkan diri! Cairan berwarna merah dan bening yang dimasukan ke dalam tubuhnya menggunakan sebuah selang, sebuah benda yang menutup hidungnya, bahkan alat-alat tidak jelas yang tertempel pada dadanya yang menghubungkan dengan sebuah benda menyerupai televisi kecil yang memunculkan garis-garis naik-turun membuatku bergidik ngeri.
"Niisaaaaannnn..!" Kuro langsung melompat turun dan memelukku erat. Dia menangis. Aku langsung menoleh pada Nishiki-nii.
"Tadi Nishiki-nii bilang Shiro dan Kuro baik-baik saja. Nishiki-nii berbohong padaku!" aku menggeram.
"Tidak, Haise. Nishiki-nii tidak bermaksud membohongimu. Nishiki-nii hanya tidak ingin membuatmu terluka."
DGGHHH..!
Perasaan ini... Keadaan ini... Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba tubuhku terasa kaku? Tidak! Aku tidak bisa bergerak! Nafasku tertahan! Aku pusing! Bagaimana ini? Kakiku? Kakiku lemas! Tidak! TIDAK! TIDAAAAKKKK!
BUGGHHH..!
"Niisaaaaaannn..!"
"Haiseeeeeee..!"
Aku tidak mengingat apapun lagi setelah itu.
XXXX
"Nishiki-nii, ada apa dengan okaasan dan otousan?"
"Tidak ada apa-apa, Haise. Mereka baik-baik saja."
"Tapi Nishiki-nii, kenapa okaasan dan otousan tidak mendengarku?"
"Obasan dan ojisan sedang tertidur. Karena itu mereka tidak mendengar kita."
"Kenapa okaasan dan otousan tidur di tempat seperti ini? Bukankah okaasan dan otousan bisa tidur dirumah?"
"Obasan dan ojisan ketiduran disini. Apa Haise tega membangunkan mereka?"
"Tapi Nishiki-nii, kalau okaasan dan otousan tidur disini, siapa yang menemani Haise dirumah? Siapa yang merawat Shiro dan Kuro? Haise hanya mengerti menyuapi mereka."
"Untuk sementara, Haise, Shiro dan Kuro akan menginap di rumah Nishiki-nii. Jadi Haise tidak perlu khawatir. Nishiki-nii akan menemani Haise di rumah. Okaasan dan otousan akan merawat Shiro dan Kuro."
"Apa okaasan dan otousan akan menginap di rumah Nishiki-nii juga?"
"Ya, Haise. Setelah obasan dan ojisan bangun, mereka akan menginap bersama kita."
"Kapan okaasan dan otousan bangun?"
"Tidak akan lama lagi."
"Tapi Nishiki-nii, bukankah ini rumah sakit? Apa okaasan dan otousan sedang sakit?"
"Ya, obasan dan ojisan memang sakit. Tapi sebentar lagi mereka akan sembuh."
"Tadi Nishiki-nii bilang okaasan dan otousan baik-baik saja. Nishiki-nii berbohong padaku!"
"Tidak, Haise. Nishiki-nii tidak bermaksud membohongimu. Nishiki-nii hanya tidak ingin membuatmu terluka."
XXXX
Gelap. Aku tidak bisa melihat apapun. Kemana perginya Nishiki-nii? Apa dia meninggalkanku? Aku harus apa? Ini sangat gelap. Aku benar-benar tidak bisa melihat apapun.
...seseorang...tolong...temukan aku...
"Niisaaaaaaannnnn..!"
"Nnghh... Kuro..."
...tadi itu apa? Aku dan Nishiki-nii sedang membicarakan siapa? Okaasan? Otousan? Tidur? Nishiki-nii membohongiku? Aku terluka? Apa maksudnya itu?...
"Haise! Kau sudah sadar? Kau tidak apa-apa?"
"Uugh... Ya, aku tidak apa-apa."
...ruangan ini...tidak asing...
"Aku dimana?"
"Di rumah sakit. Tadi mendadak kau pingsan. Kenapa? Apa kau sakit, Haise?"
"Ah, tidak Nishiki-nii. Maaf merepotkan."
"Tak masalah. Oh iya Haise, kalau kau sudah merasa sehat, lebih baik kau turun dan lihat Shiro."
Nishiki-nii menggeser posisinya, memberi ruang padaku untuk melihat Shiro di ranjang sebelahku. Dia masih belum sadar. Aku segera bangkit lalu berjalan menuju ranjangnya, duduk di sebuah kursi di samping Kuro.
"Sudah berapa lama aku pingsan?"
"Hampir dua jam. Sebenarnya niisan kenapa? Aku kaget tiba-tiba niisan terjatuh dan menindihku," Kuro terlihat cemas menatapku.
"Selama itu? Entahlah, niisan mendadak merasa pusing," aku menjawab.
"Niisan tahu tidak, tubuh niisan berat sekali! Untung saja Nishiki-nii langsung mengangkat niisan. Kalau tidak, mungkin aku sudah remuk!" Kuro mengerucutkan bibirnya, tanda bahwa dia sedang kesal.
"Niisan minta maaf ya, Kuro," aku mengelus pucuk kepalanya, tersenyum geli melihat adikku yang justru menggemaskan ketika sedang marah.
"Huh, niisan! Aku 'kan serius! Niisan malah tertawa, menyebalkan!"
Dia semakin memajukan bibirnya. Sangat menggemaskan menurutku. Aku kembali mengusap surainya dan akhirnya dia tersenyum. Nishiki-nii yang melihatku nampak lebih baik segera membuka suara.
"Kalian berdua tetap disini ya. Nishiki-nii mau berbicara dulu pada polisi di depan sekaligus menelpon obasan dan ojisan. Haise, kau jaga Shiro dan Kuro ya."
"Baik, Nishiki-nii," aku mengangguk. Nishiki-nii segera bangkit berdiri dan berlalu keluar kamar. Aku menoleh, kulihat Kuro yang kembali menatap kembarannya dengan cemas. Aku berusaha mengalihkan perasaan sedihnya itu.
"Kuro, bagaimana tanganmu?" aku memandang perban di tangan adikku.
"Tidak apa-apa, niisan. Hanya tergores sedikit," dia menjawab.
"Tergores apa?"
"Uumm...kaca? Beling? Ah, aku tidak tahu! Pokoknya botol kaca yang pecah! Itu disebut beling bukan, niisan?" dia mengacak rambut hitamnya, terlihat seperti seorang yang frustasi.
"Botol kaca? Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian?" aku balik menanyainya. Kuro terlihat terkejut. Dia langsung berdiri.
"Niisan, aku beli minum dulu ya," ujarnya.
"Tunggu, Kuro! Jawab niisan dulu!"
"Aku sangat haus, niisan. Nanti setelah beli minum bagaimana?"
"Ya sudah. Jangan jauh-jauh, Kuro!"
Dan ucapanku dibalas sebuah anggukan. Dia langsung berlari keluar kamar, meninggalkanku berdua dengan Shiro. Aku memindahkan pengamatanku pada adik kecilku yang ini. Alat-alat aneh itu membelenggunya. Shiro pasti tidak nyaman. Dia pasti merasa resah.
"Shiro, cepatlah bangun," aku bergumam pelan. Menggenggam tangan kecil itu erat membuatku merasa bersalah.
"Niisan minta maaf, Shiro. Karena niisan terlambat menjemput kalian, kau harus seperti ini. Niisan benar-benar minta maaf," aku merasa sesuatu lolos dari sudut mataku. Aku menangis. Di hadapan Shiro aku menangis.
"Lihat, Shiro. Niisan menangis karena kau seperti ini. Apa kau tidak ingat, kau bilang tidak akan membiarkan niisan ataupun Kuro menangis. Nyatanya apa? Kau sendiri yang justru membuat niisan seperti ini. Jadi cepatlah bangun, Shiro! Berjuanglah! Demi niisan dan Kuro, kau harus bangun!"
Aku menatapnya sendu. Berharap apa yang baru saja kukatakan itu dapat ia dengar. Kini aku sepenuhnya menangis. Air mataku jatuh membasahi tangan kecilnya yang ku genggam dengan kuat. Aku menyatukan wajahku dengan punggung tangannya. Aku tidak berharap apapun, aku hanya ingin Shiro segera sadar. Itu saja.
Hening menguasai ruangan ini selama beberapa menit. Kuperhatikan Shiro dengan seksama. Apakah dia mendengarku? Aku mengalihkan pandangan, sesaat teringat adikku yang satu lagi. Aku bingung, kemana perginya Kuro? Bukankah dia hanya keluar sebentar untuk membeli minuman? Kenapa lama sekali? Apa dia tersesat? Ah, itu tidak mungkin! Lucu sekali kalau Kuro terse–
"Shiro!"
Aku tersentak! Tangan Shiro yang kugenggam baru saja bergerak! Memang hanya sedikit, tapi setidaknya ia merespon!
"Shiro! Apa kau bisa mendengar niisan?" aku membalikkan genggamanku, membuat telapak tangan kami saling menyatu. Kugunakan tanganku yang lain untuk mengelus lembut punggung tangannya.
"Shiro... niisan disini... kau harus bangun..." aku menatap lekat wajahnya. Air mata kembali mengalir dari sudut mataku. Kedua kelopak itu tidak menunjukkan tanda-tanda ingin terbuka. Namun tidak beberapa lama kemudian, aku merasa ada yang aneh dengan tanganku.
"Shiro!"
Aku kembali tersentak. Tanganku yang menyentuh telapak tangannya perlahan merasakan sebuah gerakan lembut. Shiro membalas genggamanku! Dia mempererat jari-jarinya, seolah hendak memenjarakan tanganku itu!
"...nii..san..."
Aku terbelalak. Shiro memanggilku! Aku langsung berdiri, membuat kursi yang kududuki terjatuh, menimbulkan suara gaduh di ruangan itu. Kulihat perlahan mata kelabu itu muncul dari balik kelopak mungilnya. Shiro bangun! Shiro sadar!
"SHIROOOO..!" aku berteriak sejadinya.
"NIISAN! ADA APA?!" Kuro yang baru saja kembali terkejut melihatku yang melompat dari kursi. Aku sendiri juga terkejut melihat kedatangannya, namun aku segera menguasai diriku.
"KURO, CEPAT PANGGIL DOKTER! SHIRO SUDAH SADAR!"
Aku berteriak. Kuro sempat terkejut. Ia langsung berlari menuju kearah kami. Melihat Shiro yang sudah membuka matanya, walau belum sempurna, Kuro menarik ujung bibirnya, gembira. Dan dia langsung berlari keluar.
XXXX
Sudah tiga hari Shiro dirawat, dan kini dia sudah diperbolehkan pulang. Obasan dan Ojisan yang telah kembali sedang menjemput Shiro. Aku, Kuro, dan Nishiki-nii disuruh untuk tetap tinggal di rumah. Selama dirawat, kami tidak pernah menjenguk Shiro. Ojisan melarang karena kami harus sekolah, tapi sebagai gantinya ojisan selalu memberitahu kami keadaan Shiro. Mendengar berita bahwa Shiro akan pulang jelas membuatku dan Kuro sangat senang. Nishiki-nii juga begitu. Daritadi dia selalu menelpon Obasan untuk menanyakan apakah mereka sudah dekat dengan rumah atau tidak.
"Sebentar lagi mereka sampai!"
Nishiki-nii berucap semangat. Aku yang mendengar itu juga tidak kalah semangat, apalagi Kuro. Sudah sejak duapuluh menit yang lalu dia berdiri di depan rumah, menunggu mobil yang dibawa Ojisan untuk menjemput Shiro tiba.
Tak berapa lama, terdengar suara sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Aku dan Nishiki-nii yang sedang berada di ruang tamu langsung berlari menuju teras, ingin melihat Shiro yang akhirnya bisa keluar dari rumah sakit. Kami berdiri disisi Kuro yang nampaknya benar-benar gembira mengetahui saudara kembarnya sudah kembali. Mobil telah terparkir dan mesinnya sudah dimatikan. Dari pintu pengemudi keluar Ojisan yang langsung membuka pintu penumpang di belakang. Nampak Obasan yang keluar sembari menuntun seorang anak berambut putih. Itu Shiro! Kuro yang melihat kakak kembarnya itu langsung berlari dan berteriak dengan sangat kencang sembari merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Shiro.
"SHIROOOO..! AKHIRNYA KAU PUL–"
GRAP!
"Eh?"
"Aku langsung ke kamar."
Suasana hening. Hanya terdengar suara langkah Shiro yang berlalu begitu saja, melewatiku dan Nishiki-nii tanpa berbicara apapun. Kami semua terdiam melihat Shiro. Ada apa? Ada apa dengan Shiro? Tadi dia menghentikan Kuro yang ingin memeluknya? Dan dia bahkan tidak menyapaku? Dia juga tidak berterimakasih pada Obasan dan Ojisan? Dan dia juga tidak memberi salam pada Nishiki-nii? Shiro, kau kenapa?
XXXX
POV. KURO
"Shiro, boleh aku ke ruanganmu?"
"Ya."
Aku berjalan melewati sekat yang dibuat Ojisan untuk memisahkan tempat tidur kami. Ya, aku dan Shiro sekamar. Kami menggunakan kamar tamu karena rumah Nishiki-nii hanya mempunyai empat kamar. Satu kamar untuk obasan dan ojisan, satu kamar untuk Nishiki-nii, satu kamar untuk niisan yang dulu adalah kamar Kimi-nee, dan yang terakhir adalah kamar tamu yang aku dan Shiro pakai. Kamar ini cukup luas hingga mampu menampung dua tempat tidur berukuran satu orang. Semua perlengkapan kami ditaruh di satu tempat yang sama. Hanya tempat tidur kami yang dipisah dan diberi sekat. Kata ojisan, ini supaya kami bisa belajar untuk tidak takut tidur sendiri.
"Umm... Kau sedang apa, Shiro?" aku yang telah melewati sekat itu menemukan Shiro yang sedang membaca sebuah buku dengan berbaring diatas kasurnya. Aku berjalan lalu duduk di kursi belajarnya.
"Membaca," dia menjawab singkat. Ya, aku sudah tahu dia sedang membaca, aku melihatnya. Konyol sekali bertanya seperti itu.
"Kau sudah merasa lebih baik?"
"Ya."
"Apa kau perlu sesuatu?"
"Tidak."
"Kau yakin?"
"Ya."
"Kau tidak lapar?"
"Tidak."
"Kau sudah mengerjakan PR untuk besok?"
"Ya."
"Shiro, bisa kau menjawab pertanyaanku selain kata 'ya' dan 'tidak'?"
"Baiklah."
Aku diam. Sudah seminggu Shiro keluar dari rumah sakit, dan sejak saat itu sifatnya berubah. Dia tidak ceria seperti dulu, lebih terkesan dingin. Entah seperti apa menggambarkannya. Yang bisa kujelaskan hanyalah dia tidak bisa mengungkapkan perasaannya lewat emosi. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tidak pernah tersenyum lagi. Tidak pernah tertawa lagi. Tidak pernah mengelus rambutku lagi. Tidak pernah memelukku lagi. Tidak pernah bermanja pada niisan lagi. Semua dalam dirinya berubah.
"Shiro, boleh aku bertanya sesuatu?" aku perlahan membuka suara.
"Ya."
"Sebenarnya, apa yang terjadi padamu saat aku meninggalkanmu bersama orang-orang itu?" aku bertanya hati-hati.
"Tidak ada," dia menjawabku sambil tetap membaca bukunya.
"Kau berbohong."
"Terserah."
"Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Kau melihatnya sendiri saat itu."
"Mereka memukulmu?"
"Ya."
"Lalu?"
"Ada banyak."
"Sebutkan."
"Terlalu banyak."
"Salah satunya."
"Aku diinjak-injak."
DGGHHH..!
Apa yang dia katakan? Diinjak-injak? Shiro diinjak-injak?
"Bercandamu lucu, Shiro!"
"Aku serius."
Hening.
Salahku! Semua salahku! Seharusnya aku tidak meninggalkannya sendiri! Karena aku menurutinya mencari kantor polisi, Shiro harus menderita! Karena aku tidak sanggup berlari lagi, kami tertangkap! Karena aku terlalu lemah, Shiro menggantikanku menanggungnya! Salahku! Semua salahku! Karena aku Shiro menjadi seperti ini! SALAHKU!
"Jangan menangis, Kuro."
"Eh?"
"Jangan menangis."
Aku tersentak, tak sadar bahwa daritadi Shiro memandangku. Kini dia telah duduk tepat didepanku, mengelus pipiku yang basah. Tunggu, basah? Apa aku sedang menangis?
"Ini bukan salahmu."
"Shiro?" apa dia membaca pikiranku?
"Jangan menangis lagi."
Apa benar ini Shiro?
Ah, kau benar! Ini pasti Shiro! Ini pasti dia! Shiro tidak akan membiarkanku menangis! Lihat, sekarang dia sedang mengusap airmataku! Ini Shiro! Ini benar-benar Shiro! Tidak ada yang salah! Tidak ada yang berubah! Shiro tetaplah Shiro! Dan akan tetap seperti itu sampai selamanya!
"Shiro...aku minta maaf..."
"Kau tidak salah, Kuro. Tidak pernah salah."
Dia memelukku. Ya! Ini benar-benar Shiro! Ini benar-benar dia! Tak sadar aku kembali menangis. Dia memeluk sambil mengelus lembut punggungku. Damai. Itu yang aku rasakan sekarang. Benar-benar damai.
"Jangan menangis lagi."
"...maaf, Shiro..."
To Be Continue...
Arigatou buat yang udah baca sampai sini dan author mohon maaf kalau ceritanya kurang menarik. Sebagai gantinya, mungkin ada yang bersedia meninggalkan jejak berupa fav, follow, atau reviews mungkin (?) kalau tidak berkenan author tak memaksa kok :D
Yosh! Author masih baru, jadi mohon bantuannya ya! Arigatou :)
