Harry Potter is a murderer!

Hah, omong kosong! Aku seorang pembunuh? Siapa saja yang mempercayai kalimat fitnah yang tertera di poster-poster sialan itu, berarti itu kumpulan orang yang tidak menyayangi nyawa mereka—aku akan jadi pembunuh sungguhan!

Hei, everyone knows, seorang Harry James Potter adalah murid kebanggaan Hogwarts bahkan murid kesayangan Prof. Dumbledore yang dikenal sebagai anak lugu, pintar, baik, dan tidak pernah berbuat jahat—apalagi membunuh!

Oke, maaf aku sombong. Tapi, poster sialan yang seolah-olah aku memang seorang pembunuh itu menempel nyaris di setiap dinding gedung sekolah. Siapa yang tidak kesal coba? Apalagi poster-poster itu diperparah dengan melampirkan gambar wajahku (yang tentu saja diedit) yang terlihat kumal, lidah terjulur, dan berpose metal. Well, siapa lagi kalau pembuat poster sialan itu bukan keempat kacung—gengnya Malfoy?!

"Draco, jangan galau terus, dong," Aku mendengar suara serak Crabbe, makluk gendut nyaris mirip babon, di seberang meja makan asrama Gryffindor. Nadanya jelas menyindirku. "Ayo makan. Kau tidak mau? Kalau begitu, buat aku ya."

Aku menoleh ke belakang, meja makan anak-anak Slytherin, tampak kedua mata abu-abu Malfoy kosong—hanya melihat makanan dan tangannya menopang dagunya—sementara Crabbe melahap dengan rakus makanan yang ada di hadapannya ditemani Goyle. Aku kembali melahap makan siangku.

"Eh, lihat! Si Murderer itu mengintip. Hati-hati kalian!"

Suaranya, suara Zabini. Terdengar sarkastis.

Setelah Zabini berteriak, anak-anak Slytherin terutama gengnya Malfoy berpura-pura ketakutan. Kedua tanganku mengepal hingga kuku-kuku ini membuat telapak tanganku memucat, kemudian aku reflek menggebrak meja (yang sukses membuat piring-piring dan piala-piala bergidik ketakutan), lalu membalik ke arah anak-anak Slytherin. Oke, selamat untuk pelayan-pelayan dungunya Malfoy, mereka adalah orang pertama yang bisa membuatku ingin membunuh orang dengan tanganku sendiri!

"Aku. Bukan. Pembunuh!" Umpatku kesal, nyaris melempar tampang-tampang tolol kaget mereka (kecuali Malfoy yang tampak tidak berekspresi) dengan piring-piring ini.

Untungnya—mungkin sialnya—Prof. Lockhart yang mengenakan jubah merah mudanya datang dengan memamerkan senyuman (sok) menawannya, menahanku seolah-olah pahlawan yang menghentikan perang.

"Hei, Harry! Harry! Harry! Kenapa?" Tanyanya sambil merangkulku—membujukku untuk kembali duduk.

"Maaf, Professor, tapi ulah mereka keterlaluan!"

"Ulah apa?"

"Poster. Poster yang menodai hampir setiap dinding Hogwarts. Apa Anda tidak lihat?"

"Oh—"

"Tapi, Potter memang pembunuh!" Teriak Goyle, memotong kalimat Prof. Lockhart seolah-olah Lockhart tidak berbicara.

"Sampah!" Ron, sahabatku, dengan murkanya dia ikut meninggalkan meja dan berbalik ke arah anak-anak Slytherin." Jaga mulutmu, Goyrilla!"

"Memang benar, 'kan? Bukan hanya kami temannya atau anak-anak Slytherin lainnya, tapi sahabat Mud-Blood-mu juga melihatnya! Perlu bukti apalagi?" Tambah Zabini. Wajahnya yang kecokelatan terlihat lebih gelap.

"Hei, anak-an—"

"Itu berlebihan, Zabini!" Kini Giliran Hermione yang terpancing emosinya. Bagus, aku jadi tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk geng barbar itu.

"Berlebihan? Lihat dia—lihat Draco! Dia jadi pendiam semenjak Potty secara kriminal menggigit ap—pacarnya Draco!"

Pansy Parkinson, gadis berambut kaku yang sangat persis Dora The Explorer, berdiri dari tempat duduknya, menatapku tajam. Aula sunyi beberapa saat.

Mendengar Parkinson berteriak 'Potty secara kriminal menggigit pacaranya Draco' semua orang yang tidak tahu asal-usul perkara menganga lebar—termasuk Gilderoy memasang ekspresi tolol.

Aku bisa mendengar suara mereka yang membicarakanku secara bisik-bisik, tapi karena banyak yang membicarakan jadi terdengar seperti suara pasukan lebah, diantaranya; 'ah, aku gak nyangka Harry membunuhnya dengan mengigit'; 'ternyata murid kesayangan itu busuk'; 'Ya ampun, sadis amat!'; 'Gilaaaaa, parah banget!'; 'jauh-jauh dari si Potty!', dsb.

"DIAM SEMUANYAAAAA!" Teriakku reflek memecah kegaduhan, hingga yang tersisa hanyalah gema suaraku. Semua orang di Aula tidak bersuara dan hampir semua kepala menoleh ke arahku. Merlin, aku tidak sanggup mendengar cibiran-cibiran itu! "Kalian—jangan perca—Ah, sialan!"


Revenge is Sweet

Harry Potter © Joanne K. Rowling

Draco Malfoy x Harry Potter

Headnonte: Harry Potter's point of view

Warning: OOC too much, slash, mild-language, amateur, flat, gaje *as usual*, typo(s), etc

Happy reading and find your regret!

"The sweeter the apple, the black the core. Scratch a lover and find a foe!" - Dorothy Parker


Bagus. Berkat kacung-kacungnya Malfoy, aku merasa terasingkan. Ya, kini aku hanya bisa berada dalam asrama dan duduk di ruang rekreasi sambil menatap perapian. Aku merasa terisolasi—hampir semua orang mengiraku pembunuh. Hei, ini omong kosong. Sebenarnya yang dibicarakan itu hanya sebuah apel. Apel hijau yang tidak sengaja aku makan sampai habis. Mana mungkin aku membunuh, 'kan?

"'Arry ..."

Aku mendengar suara Hermione mendekat kearahku. Aku menoleh kearahnya.

"Bagaimana ini, 'Mione? Lelucon mereka benar-benar gak lucu!" Kataku geram, melempar poster sialan yang dibuat geng Malfoy ke perapian.

"Kalem, Harry. Guru-guru juga percaya kau bukan pembunuh."

"Ya, mereka tolol kalau percaya omong kosong itu!"

Hermione hanya terkikik memandangku.

"Kenapa? Gak ada yang lucu, Hermione!" Kataku kesal, ingin melemparnya dengan kayu yang terbakar di perapian. Tapi, ekspresi Hermione malah semakin mengejekku.

"Dasar bodoh, ganti saja apelnya!"

"Hei, brilliant!"

Aku langsung beranjak dari sofa, jongkok di perapian dan menggenggam bubuk floo.

"Kau mau apa, Harry?" Tanyanya ketika aku nyaris menaburkan bubuk floo ke perapian. Tangannya mencengkram erat pundakku.

"Hogsmeade lah! Mungkin di sana ada apel, 'kan?" Balasku berusaha melepas tangannya di pundakku. Hermione malah melotot seram yang matanya seolah-olah memakiku 'simpan-kembali-bubuk-floo-itu'

"Jangan tolol, deh! Sekarang sudah sore, mana boleh kau keluar berkeliaran di Hogsmeade?" Kata Hermione galak, sambil memaksa membuka telapak tanganku yang menggenggam bubuk floo. "Simpan bubuk floo-nya. Kalau kau ketahuan berkeliaran di Hogsmeade, yang ada malah Pansy dan kawan-kawan akan membuat gosip yang lebih parah lagi!"

Aku mendengus kesal dan terpaksa meletakan bubuk floo ketempat asalnya.

"Itu 'kan masih 'kalau'!"

"Harry!"

Mentalku langsung ciut ketika sepasang mata Hermione melihatku tajam. Aku kembali duduk di sofa, mengacak-acak rambut frustasi.

"Jadi, aku harus bagaimana? Telingaku bisa-bisa pecah mendengar ejekan anak-anak Slytherin terus, Hermione!"

"Err ... kalau begitu minta maaf pada Malfoy."

"Hei, aku ber—eh, minta maaf?"

"Memang kau salah, 'kan?"

"Saran yang bagus, Er-my-knee!" Kataku geram, bangkit dan meninggalkan cewek berambut cokelat ngembang itu di ruang rekreasi. Aku masih bisa mendengar bahwa dia tertawa.

Anak-anak Gryffindor yang aku lewati menatapku sinis sekaligus ngeri. Tapi, aku tak pedulikan itu sekarang. Rasanya percuma berteriak bahwa aku bukan pembunuh kepada mereka. Mereka sudah idiot karena dijejali berita sialan dari anak-anak Slytherin.

"Hei, Harry, kau mau kemana?" Tanya Dennis, anak kelas dua yang bertubuh mungil, sambil membawa kamera kakaknya.

"Azkaban."

xoxoxo

Hampir jam tujuh malam, aku (terpaksa) menunggu Malfoy di luar kelas Herbologi. Tidak lama menunggu, dugaanku tepat bahwa Malfoy lah yang pertama keluar dari pintu. Wajah pucatnya tampak murung yang membuatku makin merasa bersalah. Kemudian detik berikutnya Goyle, Crabbe, Zabini, Parkinson, dan—tambah member baru—Nott keluar mengikuti jejak Malfoy. Dan, yah, mereka tidak lupa ketika melihatku layaknya sampah yang dibuang sembarang tempat—meledekku.

"Belum puas membuat Draco sedih, Potty?" Tanya Theodore Nott sarkastis.

"Siapa lagi yang akan kau bunuh?" Tambah Goyle, si gendut berwajah sangar.

"Draco? Kalau kau ingin membunuh Draco, kau harus membunuh kami juga!" Parkinson, cewek satu-satunya di geng kampret ini, malah yang paling aku benci. Dia berlebihan.

"Sudah meledeknya, mademoiselle, monsieurs?" Kataku dingin—lebih cenderung kesal. Tapi, karena malas meladeni mereka, aku malah berlari mengerjar Malfoy yang terus berjalan menuju asrama Slytherin.

"Malfoy!" teriaku di koridor yang sama sekali tidak digubris oleh si pemilik nama. Teman-temannya berjalan semakin dekat ke arahku. Aku lari lagi. "Malfoy, sebentar!"

Lenyap sudah. Malfoy masuk keasramanya. Sementara teman-teman Malfoy berjalan menuju pintu asrama Slytherin (yang kebetulan sekali melewatiku) dan tidak lupa mereka memberiku cibiran sinis dan tawa meledek. Begitu pun dengan anak-anak Slytherin lainnya.

"Hei, kalau aku jadi Malfoy, aku sudah membunuhnya! Gara-gara dia, Draco jadi pendiam!" Jelas ini sindiran bagiku yang dilontarkan Daphne Greengrass, fangirl gila Draco setelah Pansy. Daphne dan teman-temannya masuk ke asrama.

Oke. Aku muak.

Aku juga kembali ke asramaku lagi. Hampir semua tempat sudah sepi. Ya, memang sekarang sudah waktunya siswa haram berkeliaran di luar asrama. Benar juga kata Daphne, akhir-akhir ini (semenjak kejadian itu) Draco Malfoy berubah jadi pendiam. Bagus sih, jadi telingaku bisa istirahat karena tidak mendengar cibirannya dan juga ... yah, hidupku agak tenang karena Malfoy tidak usil lagi. Oh, Merlin, aku sama sekali bersyukur dia menjauh dariku.

Tidak terasa, aku sudah sampai lagi kedepan pintu asrama.

"Moncong babi." Kemudian lukisan nyonya gemuk mempersilahkan aku masuk.

Ketika kedua kakiku menapaki ruang rekreasi, hampir semua orang yang berada di sana tiba-tiba berhenti bicara dan menatapku sinis sekaligus ngeri. Bahkan Fred dan George yang sedang bawel mempromosikan dagangannya mendadak diam setelah melihatku.

"Hello, Harry!" Kata si kembar kompak di tengah keheningan. Kemudian Fred menghampiriku sambil menyodorkan bungkusan yang disebutnya 'permen'. Sementara anak-anak kelas satu, dua, dan tiga yang tadi tengah asik melakukan kegiatan ekonomi dengan si kembar, kini mereka menatapku ngeri. Ada perasaan takut ketika mereka tidak sengaja membuat suara, seolah-olah aku akan menerkamnya.

"Jangan hiraukan mereka, Harry." Kata George.

"Benar, Harry, ini untukmu." Tambah Fred tersenyum, memaksa aku untuk menggenggam bungkusan permen itu. "Kusarankan kau memakannya di depan Malfoy. Lebih disarankan lagi kalau kau menjejalkannya pada Malfoy."

"Tunggu, maksud kal—"

"Hey, Gryffindors! Jangan cemaskan Harry—dia bukan pembunuh! Kalau masih mencemaskan Harry, berarti itu kumpulan orang idiot yang mau bergabung dengan Slytherin!" Teriak George berusaha meramaikan kembali ruang rekreasi.

"Nah, kami punya permen yang bisa membuat kalian tidak cemas. Ayo siapa yang mau, berbarislah. Yang tidak membeli, berarti idiot."

"Fre—"

"Jangan takut, kita semua Gryffindor. Cepat beli permen kami sebelum kehabisan!"

Fred dan George sukses membuat ruang rekreasi kembali gaduh. Semua anak kelas satu, dua, tiga yang berada di sana dengan tidak teratur berbaris ke arah Lee yang menyediakan barang dagangan si kembar. Sementara Si kembar kembali mempromosikan dagangannya.

"Fred! George!" Teriakku kepada mereka. Tapi, sepertinya mereka tidak mendengar suaraku, malah terus mempromosikan dagangan mereka.

Oke, daripada aku capek, aku lebih baik ke kamarku sebelum Hermione berteiak kepada si kembar dan Lee. Tapi, seseorang menarik jubahku ketika aku nyaris menaiki tangga.

"5 galleon, Harry." Bisik Fred dan George serempak, sambil tangan George menengadah.

xoxoxo

Besok paginya, sebelum pelajaran charms, aku bersama seluruh murid Hogwarts sarapan dan duduk di meja asrama masing-masing. Kali ini aku duduk menghadap meja anak-anak Slytherin yang kebetulan juga Malfoy dan antek-anteknya menghadap meja Gryffindor.

Kalau aku hitung semenjak kejadian itu, pagi ini berati hari kedelapan Malfoy murung, bahkan dia enggan makan sampai aku juga tidak jadi menyuapkan potongan pai apel karena terus menatap Malfoy yang pandangannya tampak kosong. Semakin ada rasa bersalah di benakku kalau melihatnya begini terus.

"Harry!" Ron berteriak tepat di telingaku. Buru-buru aku mengalihkan pandangan dari Malfoy ke Ron." Jangan melamun, eh! Ada Hedwig 'tuh!"

Tadinya, aku ingin mengutuk Ron karena nyaris membuatku tuli, tapi karena melihat burung hantu seputih salju dengan mata kuningnya terbang dari arah barat sambil membawa sesuatu di keresek putih, kemudan mendarat tepat di hadapanku membuatku mengurungkan niat untuk memarahi Ron. Hedwig beruhu-uhu riang, memberi kode ingin dibelai manja olehku.

"Terimakasih, Hedwig." Kataku, membelai paruhnya. "Sekarang, pergilah!"

Kemudian Hedwig dengan gilanya terbang kembali meninggalkan meja makanku. Entah mengapa dengan si Hedwig. Pundung, mungkin, tapi aku kurang peka mengapa si Hedwig terlihat marah.

Ron tampak penasaran dengan bungkusan yang dibawakan Hedwig tadi. Aku juga penasaran sih, tapi memilih membukannya setelah sarapan. Tapi, sialnya, Ron yang malah memaksa membukanya.

"Whoaaaaa, apel!" Pekik Ron berisik, dengan ekspresi norak seakan-akan belum pernah melihat apel. Aku ingin meninjunya. "Banyak banget! Bagi satu ya, Harry?"

"Eh, apel? Dari siapa?" Tanyaku, merebut keresek putih itu dari Ron

"Dari Hedwig,"

"Jangan tolol, Ron,"

"Berikan saja pada Malfoy!" Tiba-tiba aku mendengar suara Hermione. Dari ekspresinya sepertinya Hermione yang memberikanku apel-apel hijau ini, tapi aku ragu.

"Kasih ke Malfoy?! Bloody Hermione!" Sela Ron, tapi Hermione tidak mengindahkanya, malah melihatku dengan tatapan tajam.

"Sekarang!"

Aku masih ragu dengan apel-apel ini. Dih, harga diriku langsung turun (bahkan tidak punya harga diri lagi, mungkin) kalau aku berlutut meminta maaf pada si Ferret Kampret itu. Dan, ugh, Hermione terus mendesakku.

"C'mon, Harry!" Bisik Hermione, memaksaku untuk gerak.

"No, Harry!" Kata Ron, menarik lenganku ketika aku sudah berdiri dari kursi. Kali ini aku sangat setuju dengan Ron, bahkan rasanya ingin memeluknya—yuck!

Tapi, sialnya, kedua kakiku bertolak belakang dengan pikiranku dan malah berjalan ke meja Slytherin. Oke, Happee Bad Dae Harry!

"Ehm ... ehm ..." Suara dehaman yang dibuat-buat. Suara Parkinson, Nott, Zabini, Crabbe, dan Goyle. Kini sebagian besar anak-anak Slytherin menoleh ke arahku.

"Mau apa kau kemari, murderer?" Sindir Parkinson, tapi aku berusaha keras untuk tidak menanggapinya—malah melihat wajah murung Malfoy.

"Dra—Malfoy, ma-maafkan aku," Kataku setengah malas-setengah tulus. Dan, yeah, Merlin's beard, si Ferret itu tidak menanggapiku—malah tidak menganggapku ada.

"Hei, Pott—awh!" Crabbe nyaris berteriak dan berdiri, tapi Malfoy menahannya—memukulnya. Crabbe duduk kembali sambil menatapku lapar, seolah-olah aku ini makan enak—siap dilahap. Sementara Malfoy masih menunduk, mengaduk-aduk sarapannya. Tidak peduli sama sekali dengan kehadiranku.

"Ayolah, Malfoy, aku mengaku bahwa aku salah. Aku minta maaf, benar-benar minta maaf. Aku tidak sengaja memakan apelmu," Kataku setengah berteriak. Jujur ya, sebenarnya aku ingin memotong lidahku sendiri sudah mengemis minta maaf pada Malfoy, tapi yah ... melihatnya murung terus membuatku semakin merasa bersalah.

Malfoy masih masa bodoh.

Kini gengnya Malfoy menatapku. Kalau saja Malfoy tidak memelototi mereka, aku sudah jadi seonggok daging karena dicabik-cabik oleh mereka.

Dan, aku masih tidak tahu mengapa Malfoy mencegah anak buahnya tidak menyerangku.

Aku memberanikan diri lagi untuk berbicara. "Look! Sudah kubilang 'kan kalau aku tidak sengaja memakan apelmu dan aku benar-benar minta maaf akan hal ini. Aku terpaksa membuat harga diriku jadi murah hanya karena untuk minta maaf padamu. Tapi, aku tulus, Malfoy, maafkan aku."

Masih, Malfoy tidak menggubrisku. Tetapi, kali ini sepertinya dia geram.

Well, sekarang sebagian besar anak-anak Slytherin (kecuali Malfoy dan gengnya) mentertawakanku karena memang aku seperti orang bego berdiri di samping Malfoy tanpa dipedulikan sedikitpun oleh si pirang ini.

"Maafkan aku, Malf—"

Brak!

"Kau buatku muak, Potter!" Kata Malfoy akhirnya. Suaranya terdengar sangaaaat dingin. Meski suara Malfoy tidak begitu berteriak, tetapi itu entah bagaimana membuat hampir semua orang yang ada di Aula Besar sekarang menoleh ke arahku.

Epic! Bangkitnya Malfoy, menyulut perang antara Gryffindor dan Slytherin. Ron dan banyak anak Gryffindor lainnya (aku baru tahu kalau mereka memperhatikanku dari tadi, duh) bangkit dari kursi, siap tawuran dengan anak-anak Slytherin yang merasa tertantang.

"Bersikap sopanlah pada sahabatku, Malfoy!" Teriak Ron berang.

"Sahabatmu yang barbar sudah membunuh pacar Malfoy, Weasel!" Balas Nott.

Dan kemudian yang tadi aku khawatirkan terjadi: tawauran. Aku yang berada di antara meja Gryffindor dan Slytherin harus berjongkok cepat karena makanan-makanan yang ada di meja saling dilempar dan suara gaduh pun (kedengarannya: fight! fight! fight!) mulai mengisi atsmosfer Aula Besar.

Sementara Malfoy menghindari kerusuhan di Aula Besar dan aku buru-buru mengikutinya. Aku berusaha melewati anak-anak Gryffindor dan Slytherin yang sedang ribut sampai akhirnya aku melihat Malfoy.

"Malfoy, tunggu!" Aku berteriak, dan kita sudah tahu bahwa Malfoy pura-pura tuli, "Hei, Malfoy, sebentar!"

Malfoy masih tidak peduli padaku, terus berjalan ke arah asramanya. Aku terus berusaha mengejarnya.

"MALFOOOOOYYY!"

Akhirnya lelaki berambut pirang-platina itu berhenti berjalan, menoleh ke arahku. Wajahnya yang pucat seakan memaki-maki diriku dan kedua matanya yang sama pucatnya menatapku tajam. Tak pernah aku melihat Malfoy sejudes ini meski dia usil.

"Revenge is sweet. Ikut aku Potter!" Katanya, kemudian entah setan apa yang masuk ke dalam tubuhnya, Malfoy tiba-tiba menggiringku entah ke mana. Sementara aku bisa mendengar jerit kengerian Parkinson dari kejauhan (yang ternyata dia mengikuti kami). Sepertinya dia mencoba mengejarku dan Malfoy, tetapi pandangan Malfoy seoalah-olah berbicara kepadanya—'jangan ikut!'.

Genggaman Malfoy begitu kasar sampai aku yakin lenganku pucat karena arteri maupun vena-ku tertekan oleh genggamannya. Dia menggiringku ke suatu tempat. Dan akhirnya kami berhenti berjalan. Ternyata si pirang jangkung ini membawaku ke bukit dekat pondok Hagrid.

"Beraninya kau melahap apelku, Potter!" Suaranya terdengar tertahan agar tidak berteriak, tetapi juga dingin menusuk. Malfoy mendorongku ke batu besar, mengapitku dengan kedua lengannya. Aku bisa merasakan nafasnya panas—maksudku, dia betul-betul marah.

"Hei, Malfoy, itu hanya sebuah apel!" Kataku geram yang malah membuat Malfoy terlihat semakin marah.

"'Hanya sebuah apel?'" Suaranya melingking. "Kau membunuh pacarku, Potter!"

"Pacar? HAHA! Konyol!"

"Kau tidak tahu betapa berharganya Drapple Queen!"

"Drapple Queen? .HA. Idiot!"

"Kau yang idiot, Potty! Dengan enaknya makan apelku seperti orang bego yang tidak pernah makan apel!"

"Yah, salahmu juga kenapa meninggalkan Drapple Queen -mu itu di meja!"

"Bukan meninggalkan tapi ketinggalan!"

"'Kan sudah kubilang, aku tidak sengaja makan apelmu, aku lapar saat itu, dan aku sudah berkali-kali bilang aku minta maaf. Sekarang, terserahmu kalau tidak mau memaafkanku." Kataku akhirnya, mendorong Malfoy agar memberikan jalan untukku. Tapi, sialnya, langkahku kalah cepat dari genggamannya. Lenganku sudah digenggam erat lagi oleh Malfoy.

"Kau benar-benar tidak punya hati ya, Potty. Kau tidak tahu kalau aku begitu err ... pada Drapple Queen. Pohon apel di rumahku—pohon yang dari biji ditanam olehku—ditebang oleh Father. Itu artinya, dia adalah apel terakhir, biji terakhir yang aku akan tanam kembali. Tapi kau—"

"Aku bukan pembunuh!" Aku menyela. Dia menyeritakan Drapple Queen-nya seolah-olah apel bodoh itu manusia. Dasar lebay!

"Kau memang bukan pembunuh tapi pencuri!"

"Dan aku juga BUKAN pencuri! Sudah kubilang berapa kali kalau aku tidak sengaja memakannya!"

"Well, sekarang kau harus tanggung jawab, Potty!" Dia mendorongku lagi batu besar. "For Drapple Queen's sake!"

"Hei, mau ap—"

Tiba-tiba (dan ini sangat menjijikan) bibirku diblokir oleh bibirnya. Juga kedua tangannya mencengkram erat pinggangku, membuatku susah untuk melepas ciumannya. Rasanya bibirku terkoyak-koyak, bahkan aku merasa bibirku sudah habis dilumat olehnya. Bloody hell, Malfoy!

"Mal—" Aku masih belum bisa bicara, dia masih memblokir mulutku, dan aku masih berusaha keras melepaskannya.

Entah ini sudah berapa menit berlalu (tapi, aku merasa ini sudah satu jam lebih!), akhirnya Malfoy melepaskan ciumannya. Dia menatapku sangat dekat dan menyeringai. Aku yakin saat ini suhu tubuh naik tiga derajat celcius—bahkan lebih—dan juga pembuluh darah di pipiku membesar yang mengakibatkan pipiku merah semerah-merahnya!

"Revenge is sweet ya, Potty?" Katanya, terkekeh. Saat ini juga aku ingin menojoknya, tapi ketika dia memandangku 'begitu' tanganku malah gemetar.

"You. Steal. My. First. Kiss. Malfoy!"

"O, ya? Dan kau membunuh pacarku!"

"Please, Malfoy, jangan bicara seolah Drapple Queen-mu itu manusia!"

Seringai jahatnya hilang, digantikan dengan ekspresi marah. Sepasang pupil hitamnya yang berada di tengah iris abu-abu-nya mengecil karena menatapku tajam. Kalau saja kedua matanya sebuah bor, kedua mataku sudah berlubang saking tajamnya!

"Kenapa?" Tanyaku,,"Memang dia apel, 'kan?"

"Kalau begitu—"

Tanpa aku bisa menghindarinya—brengseeeeekkk dia menciumku lagi!

Aku menjambak rambut pirangnya ketika dia mencengkram erat pinggangku, agar dia melepaskan ciumannya. Tapi, itu malah membuatnya semakin liar.

Dan (jangan tanyakan aku berapa lamanya) akhirnya dia menjauhkan bibirnya lagi. Menatapku, menyeringai.

"—jadilah Drapple Queen-ku, Potty."

Seluruh darahku mengalir secara liar ke ujung kaki membuatku ingin menjatuhkan diri saat ini juga setelah dia bilang begitu. Aku tak perlu cermin karena aku sudah yakin bahwa wajahku merahnya semerah pantat bayi yang alergi.

"Malfoy ..."

"Apa?"

"Kau—gaaaaayyyy!"

Fin


A/N: Ini cacaaaaaat!H4H4H4 Sori saya buat karakter OOC-nya keterlaluan. Serius, Draco sok-sok pendiem gitu karena liat di half-blood prince astagaaaa dia seksi /dor sori ending-nya juga ... apa ya? jelek? hahahaha serius saya ga tau harus gimana. mau dilanjut takut makin ancur. sori ya sekali lagi sori :)

Thanks for reading! :)