Holla Nagi bawa TwoShoot kali ini. Adakah yang mau baca? Fic ini di-request sama Hime-chan. Dia penggemar ItaSasu kaya Nagi. Pasangan brother mereka emang bikin gemes ya. Sayang Itachi dibiarkan mati sama Masashi-sensei T^T Langsung ke fic nya aja deh. Happy Reading :)

.

.

"Sasuke-sama larilah!" pekikan Juugo membuat lutut kakinya serasa melemas. Hal terakhir yang dia ingat adalah sebuah ledakan pistol yang diiringi ambruknya sang pengawal dengan genangan darah dibawah tubuhnya.

Kejadian itu terus berputar bagai film 3D yang sering ia tonton di bioskop bersama Papanya. Bedanya yang ini benar-benar nyata. Ketegangan yang ia rasakan sungguh membuat nyalinya menciut.

Kini moncong pistol yang masih menguarkan asap panas itu terarah menuju kearahnya. Sasuke lantas mengelak dengan menendang senjata yang hampir ditarik pelatuknya oleh si pelaku. Tinjunya segera mendarat diwajah bajingan yang sudah mengepung dirinya sesaat lalu. Namun, banyaknya penjahat disekitarnya membuatnya kewalahan luar biasa.

Sasuke bukanlah seorang penguasa beladiri ahli, yang dia tahu hanyalah dasar-dasarnya saja. Walaupun itu cukup membantu tapi nyatanya gerakan yang diarahkannya mampu terbaca juga. Dari belakang tiba-tiba saja ada beberapa pasang tangan yang mengunci pergerakan tubuhnya hingga ambruk di aspal dekat mobilnya terparkir, tak jauh dari sana ia mampu melihat ketiga pengawal serta sopir pribadinya terkapar penuh darah dimasing-masing sisi jalan.

Ia masih sempat menggeram marah dan memberontak saat sebuah tangan terjulur untuk membekapnya dengan sebuah kain basah yang baunya sungguh memabukan seperti cairan antiseptik berbau obat-obatan. Disaat itulah syarafnya mulai melemah meskipun secara samar ia masih dapat mendengar percakapan para penodong yang mungkin sebentar lagi akan menjadi penculiknya.

"Diluar dugaan para pengawal anak ini lumayan tangguh juga. Aku harus mengeluarkan setengah kekuatanku untuk melumpuhkannya,"

"Kau benar, Hidan. Anak inipun lumayan merepotkan juga, tidak kusangka dia akan memberontak sampai segini parahnya,"

"Itu tidak seberapa," sela seseorang yang berada dibelakang sejak tadi, "Lihat ini tanganku nyaris terkilir karna tendangan anak ini, ditambah lagi pipiku sampai lebam begini. Cih! merepotkan sekali!"

"Sudahlah.. Hidan, Kakuzu, Kisame, cepat bawa anak itu masuk kedalam mobil sebelum ada yang melihat. Sasori dan Deidara sudah menunggu kita didalam mobil,"

"Sudah selesaikah, Itachi? Kau yakin tidak ingin membunuh mereka?" tanya rekannya yang memiliki raut wajah seperti ikan hiu.

"Tidak perlu, misi kita hanya menculik Uchiha Sasuke. Tidak perlu sampai membunuh,"

"Kau terlalu naif sebagai seorang penjahat, Itachi," cibir lelaki dengan postur tubuh tinggi besar.

"Itachi benar, tidak perlu sampai melakukan pembunuhan yang merepotkan begini," kata si pria dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya.

"Jangan sok keren kau, Kakuzu!"

"Diamlah! Dan berhenti bertingkah seperti anak kecil. Bos besar sudah menunggu kita dimarkas, Hidan!"

"Kalian sama saja. Yasudahlah.. Sebaiknya kita pergi sekarang." ucapan Kisame menghentikan pertengkaran tidak penting Hidan dan Kakuzu. Dia lekas memanggul tubuh Sasuke yang terlelap karena pengaruh obat bius, Lalu ia berlalu mengikuti Itachi yang berjalan kearah mobil van mereka yang sudah siap melaju dengan Deidara dan Sasori dikursi depan, dibelakang mengekor Kakuzu dan Hidan yang saling melemparkan deathglare dengan aura suram.

Naruto Fanfiction

Who am I?

By : Nagisa Yuuki

Genre : Family/Hurt

Pair : Itachi U - Sasuke U

Disclaimer : Pencipta aslinya hanya Masashi Kishimoto-sensei seorang. Nagi udah izin pinjem kok #DiGampared

Warning : AU, OOC, Typo(s), Alur sedikit membingungkan, dll.

"Ngh.." Sasuke mengerang kecil saat merasakan pegal disekujur tubuhnya. Kepalanya lumayan sakit dan masih terasa berat seperti ditimpa besi.

Mata hitam obsidian miliknya mengerjap pelan. Membiasakan diri dengan pengelihatan asing disekitar dalam pencahayaan remang. Bau debu menguar bebas pada indera penciumannya. Tidak perlu susah payah untuk berpikir dimana dia sekarang berada, otak jeniusnya langsung menebak bahwa dia sekarang ada disebuah gudang.

"Mmmph.." bibirnya coba ia gerakan tapi rasanya ada yang merekatkan mulutnya dengan plester. Sasuke pun terdiam meneliti keadaannya sendiri dan sekarang ia sepenuhnya sadar bahwa dia benar-benar diculik. Tangan dan kakinya diikat dengan tali dan ikatan itu sangat kuat sampai membuatnya kesulitan untuk bergerak.

Percuma saja ia meronta, hasilnya pasti akan sama saja. Akhirnya ia memutuskan untuk bersender pada tumpukan barang yang menyangga tubuhnya sejak ia pingsan tadi. Otak jeniusnya sibuk merecap ulang kejadian beberapa jam lalu, dimana saat itu ia baru pulang dari les pianonya, ditemani dengan tiga orang pengawal dan seorang supir.

Ditengah jalan mereka dihadang oleh beberapa orang penodong dengan senjata api dan sebilah pedang. Dia sangat takut tetapi para pengawal menyuruhnya untuk diam didalam mobil. Tak lama setelah itu ia mendengar teriakan para pengawalnya yang terluka dan ambruk di sisi jalan dengan genangan darah diaspal jalan.

Saat itulah Sasuke keluar dari mobil dan hampir terkena pukulan kalau saja saat itu Juugo tidak melindunginya. Dan selanjutnya suara ledakan pistol terdengar beserta ambruknya tubuh Juugo. Yah, dia tahu lanjutan setelah itu adalah dia yang dibekap lalu terbius kemudian diculik.

"Hoo.. Sang pangeran sudah bangun rupanya?" tegur sebuah suara dengan nada mencibir. Sasuke menoleh kearah pintu ruangan berada dan mendapati seorang pemuda bersurai blonde panjang tengah menyenderkan punggungnya pada tepian pintu sambil menatapnya intens.

"Sayang sekali anak manja sepertimu harus terkurung diruangan menjijikan seperti ini," cibiran itu tak membuat Sasuke terpancing. Justru ia semakin menatap tajam Deidara dengan sikap tenang khas Uchiha.

Pemuda blonde itu mulai mendekat, seringai buasnya terpahat dan nyaris saja Sasuke termakan ketakutannya sendiri dan berhasil menguasainya dengan baik. Deidara berjongkok tepat dihadapan Sasuke masih dengan memahat seringainya yang semakin lebar.

"Kenapa menatapku seperti itu? Mau mengajakku berkelahi? Anak manja sepertimu memangnya bisa apa jika tanpa kekuasaan orangtuamu? Maaf saja ya.. Setelah urusan kami selesai dengan Ayahmu, kau akan segera kubereskan secepatnya. Jadi nikmati hidupmu selagi sempat bocah," Deidara menepuk-nepuk pipi Sasuke pelan, "Karna kau tidak akan bisa merasakan apapun lagi saat itu terjadi. Kematianmu tidak akan sakit karna aku akan melakukannya dengan perlahan-lahan." suara itu terdengar santai tapi berefek tidak baik pada jantung Sasuke. Suara mengancam itu terus berputar di memorinya, terngiang-ngiang dan selalu menggema dalam gendang telinganya.

Sasuke tak mampu mempertahankan ketenangannya lagi, sikap dinginnya serasa hancur dengan ucapan mengerikan Deidara. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat saat Deidara menarik sejumput poni rambutnya. Mendongakkan kepalanya dengan paksa hanya untuk melihat ketakutan yang terpancar dari bola mata kelamnya.

"Mmmph!" Sasuke meringis merasakan sakit pada kulit kepalanya lalu tak lama jambakan itu terhempas begitu saja hingga kepalanya terantuk pada pinggiran tumpukan kayu disebelahnya.

"Jangan menakutinya, Deidara, dia hanya anak-anak," sebuah suara menginterupsi. Didalam pencahayaan lampu temaram itu Sasuke melihat pria yang lain. Kalau tidak salah dia yang sudah menumbangkan salah satu pengawalnya dengan sekali hantaman.

"Mau apa kau, Itachi?" Deidara melotot pada Itachi yang mengganggu kesenangannya menakut-nakuti sandera mereka. Walaupun yang dia katakan memang benar.

"Kau dipanggil oleh bos besar, dan aku disuruh menggantikanmu mengawasi anak ini,"

"Cih! Mengganggu saja!" dengus Deidara kesal, "Sampai nanti anak manja!" ia mengetuk-ngetukan jarinya pada dahi Sasuke hingga meninggalkan bekas kemerahan disana.

Tak jauh berbeda dengan kawannya, justru pria yang dipanggil Itachi jauh lebih menakutkan. Dengan sorotan matanya saja Sasuke merasakan aura dingin dan tatapan membunuh dari bola mata hitam itu. Ia tak mampu lagi bersikap tenang seperti biasa. Ia sangat takut sekarang. Dan Sasuke hanya mampu menunduk saat lelaki itu tak henti-hentinya menatap tajam dirinya ketika mereka tengah berhadapan.

Itachi melengos cuek, berusaha mengalihkan perhatiannya pada earphone yang menyumbat telinganya, memutar sebuah lagu dan hanyut dalam irama yang hanya bisa dinikmatinya seorang sendiri. Kakinya bertumpu pada meja yang terletak didepan kursi yang didudukinya. Sementara mata hitam setajam Elang itu sesekali melirik sadis bocah berumur 12 tahun yang sedang menundukkan kepalanya karna takut bertatapan dengan dirinya. Seketika seringainya terpatri indah di bibir delima Itachi.

...

_Brak!_

Pintu usang penuh debu itu dibanting oleh beberapa orang pria. Ditengah buaian mimpi Sasuke tersentak saat mendengar suara gaduh lalu mendapati beberapa pasang mata menatapnya buas. Ditangan seorang lelaki yang dipanggil Sasori tergenggam sebuah tongkat pemukul kasti dari kayu. Naluri Sasuke seakan langsung berbisik buruk. Perasaannya pun terganggu, dia seperti merasa menjadi terpidana mati yang hendak di eksekusi.

"Mmmph! Mmmph!" Sasuke menjerit dengan raut kesakitan saat pria dengan pierching di wajahnya menarik kasar helaian raven miliknya hingga ia berdiri paksa sampai kakinya sedikit berjingkat dari lantai.

Plester yang membungkam mulutnya pun ditarik hingga terlepas, dan disaat itulah jeritan tertahan Sasuke menyeruak bebas.

"Ingat, jangan sampai dia mati hanya secukupnya saja agar si tua bangka Uchiha itu tidak membangkang!" nada perintah tegas itu meluncur bebas dari si pierching seraya melempar tubuh kecil Sasuke hingga menabrak lantai.

"Ugh! S-sakit!" rintihan itu seolah dianggap angin lalu.

"Lakukan sekarang, Sasori!"

"Kau yakin, Yahiko?" tanya Sasori datar yang hanya direspon tatapan tajam dari Yahiko.

Pemukul kasti itu pun melayang diudara lalu mendarat tepat menghantam punggung Sasuke. Suara jeritan kesakitan bocah berumur 12 tahun itu lagi-lagi membahana. Tak sampai disitu, hantaman demi hantaman kembali menyerang fisiknya secara membabi buta, disisi kanan Sasori ada Kakuzu yang tampak tenang sambil mengabadikan momen penyiksaan itu kedalam video.

Merasakan penyiksaan sesadis itu tentu saja membuat anak seumuran Sasuke terus menjerit dan menangis semakin deras. Kepalanya baru saja terhantam dinding saat ia terlempar ketika Sasori memukul telak perutnya. Luka lebam kebiruan tampak menghiasi sekujur tubuhnya disertai beberapa percikan darah yang keluar dari mulut serta pelipis kirinya. Rauangan kesakitan Sasuke perlahan semakin melemah meskipun isakan tangis sesegukannya belum menghilang. Dan disaat pukulan terakhir itu mendarat dikepalanya, Sasuke tak dapat menahan kesadarannya lagi. Dia menabrak dinding kemudian terkapar disudut ruangan penuh debu.

"Cukup!" teriak Yahiko yang lekas berlalu pergi dari ruang penyekapan Sasuke.

Sasori mengusap keringat yang membasahi keningnya dengan punggung tangan kanan sambil menyampirkan tongkat pemukul dibahu kirinya. Ia melirik Kakuzu yang tampak sibuk dengan handycam ditangannya.

"Kau tahu? Terkadang aku merasa Yahiko itu seperti bukan manusia. Dia bahkan tidak memiliki hati untuk mengasihani seorang anak kecil," protes Sasori dengan pipi yang digembungkan sebelah. Matanya melirik sekilas Sasuke yang terkapar mengenaskan disudut ruangan.

"Bukahkah kau jauh lebih mengerikan?" kata Kakuzu kemudian.

"Eh? Aku?" respon Sasori heran.

Kakuzu memutar bola matanya sambil melayangkan pandangan sinis seakan mencibir, "Tentu saja kau. Memukuli anak kecil dengan sikap dingin tanpa ekspresi itu lebih dari tidak punya hati seperti Yahiko,"

"Kalau begitu kau juga sama. Membunuh seorang bayi hanya demi uang, bukankah itu sama dengan tidak punya hati?"

"Itu berbeda," ralat Kakuzu tak terima.

"Apa bedanya?"

"Aku melakukan itu semua demi uang, setidaknya aku punya tujuan. Daripada kau, melakukan tindakan kriminal hanya untuk kesenangan atau perintah dari Yahiko saja. Itu sama saja kau tidak memiliki tujuan yang jelas,"

"Ouch, benar kata Hidan, mulutmu sangat pedas, Kakuzu," sindir Sasori dengan seringai jahilnya.

"Aku tidak akan menyangkal hal itu." sahut Kakuzu tak perduli kemudian menghilang dari balik pintu.

"Setidaknya aku tak perlu mengucapkan terima kasih." Sasori bersungut kemudian mengekor dibelakang Kakuzu dan berlalu.

...

"Kenapa?"

"Sakit.. Kak.."

"Siapa yang melakukan hal ini padamu?"

"Mereka.."

Jari mungil itu menunjuk sekumpulan anak nakal yang tampak asyik tertawa ditaman setelah menjahilinya. Melihat adiknya terluka bahkan sampai menangis sesegukan seperti ini pastinya tidak akan ia maafkan begitu saja.

Kedua tangan besarnya terkepal kuat dengan gertakan giginya yang mencoba menahan rasa kesal dan amarahnya. Iapun lekas menghampiri para anak-anak nakal itu dengan bendera permusuhan yang sangat kental dan terus berkibar.

Sementara Sasuke masih terduduk ditempatnya sambil melihat sang kakak yang tengah menghajar habis-habisan sekumpulan anak nakal yang sudah membuatnya menangis. Tak lama kemudian sosok kakak yang lebih tua 7 tahun darinya akhirnya kembali setelah membuat perhitungan pada mereka yang sudah kabur entah kemana karna ketakutan menghadapinya.

"Apa yang sakit?" tanya si kakak lembut sambil memangku adiknya yang baru berusia 4 tahun dikursi taman.

"Ini.." Sasuke masih menangis merasakan sakit diwajahnya. Tangan mungilnya menunjuk pipi tembamnya yang tampak membiru dan disudut bibirnya mengalir darah segar.

"Sudah jangan menangis lagi. Mereka tidak akan mengganggumu lagi," tangannya mengusap kepala Sasuke lembut lalu menyeka darah disudut bibirnya pelan-pelan. Ia mengecup pipi adiknya yang tampak lebam, dan ia juga mengecup sudut bibirnya yang terluka.

"Nah, Ayo pulang.." si kakak tersenyum lebar lalu menggendong adiknya didepan. Mengusap punggungnya yang masih sedikit bergetar dan terdengar sesegukan. Membaringkan kepala mungil itu dibahunya, dan tak lama kemudian Sasuke tertidur lelap.

"Kau tidur? Hei bangun.."

"..."

"Bangun.."

"?"

"Bangun kubilang!"

Suara sentakan itu seketika membuat matanya terbuka lebar diiringi dengan siraman air dingin yang mengguyur kepalanya. Sasuke meringis sebentar, merasakan perih diwajahnya, ia juga belum sepenuhnya membuka mata, tatapannya sayu dengan kelopak mata yang sedikit membengkak karna pukulan Sasori.

Didepannya telah berjongkok Deidara. Ia membanting sepiring makanan disamping Sasuke kemudian menarik tubuhnya agar duduk, dan yang terjadi Sasuke nyaris ambruk lagi kalau tidak ada tumpukan kotak yang ada di sisi lain tubuhnya.

"Bangun pemalas! Sekarang makan, kami tidak ingin kau mati, setidaknya sebelum urusan kami dengan Ayahmu selesai," Deidara bersuara seolah tidak melihat bagaimana mental Sasuke saat ini. Bagaimanapun Sasuke masih trauma, ia yang selalu dimanjakan tiba-tiba diperlakukan sekasar ini oleh beberapa orang asing, hampir membuat mentalnya terguncang.

"Jangan melihatku seperti itu! Mau ku pukul?"

Sasuke menggeleng cepat, dan kepalanya langsung terasa nyeri dan berputar-putar.

"Heh, si Sasori danna itu habis bersenang-senang rupanya," cibir Deidara melebarkan seringainya yang menakutkan bagi Sasuke, "Berhenti menatapku seperti itu! Kau benar-benar ingin ku pukul ya?!"

"Hentikan, Deidara!" Itachi menghentikan aksi Deidara yang hendak melemparkan pukulan diwajah lebam Sasuke. Tangannya sudah terangkat tinggi dan dengan terpaksa ia segera menurunkannya lagi.

"Cih! Kau ini mengganggu, Itachi!"

"Kau sudah lihat kan, anak ini sudah babak belur oleh Sasori, kalau kau memukulnya lagi dan dia mati, Yahiko pasti akan membunuhmu, Deidara,"

Ucapan Itachi memang benar, dan Deidara hanya mendecih sebal karena niatnya terhalangi oleh Itachi. Tak lama iapun pergi dari ruangan kumuh itu dengan mulut yang terus menggerutu dan sempat-sempatnya melirik Sasuke dengan sorot mata mengancam.

Setelah kepergian Deidara seluruh perhatian Sasuke jatuh pada sosok Itachi yang sedang menatapnya dengan sorot tak terbaca. Ia merasa mengenali Itachi dan pernah bertemunya disuatu tempat. Sosoknya sangat familiar bagi Sasuke.

"Kenapa melihatku seperti itu?" protes Itachi risih, namun kebalikannya justru dialah yang menatap Sasuke tanpa henti.

"Tidak," Sasuke menggeleng dengan sesekali meringis meratapi wajahnya yang kian nyeri begitu juga dengan tubuhnya, "Apa kita pernah bertemu? Rasanya wajahmu sangat familiar untukku,"

"Kau juga merasakan itu?" diluar dugaan Itachi membalas pertanyaannya lalu berjongkok menyamai pandangannya dengan Sasuke.

"Um.. Ya," angguk Sasuke, "Aku seperti mengenalmu, tapi entahlah aku sendiri bingung,"

Itachi terus menatapnya tajam. Berusaha menggali ingatannya lebih dalam, namun tidak menemukan apapun, bahkan tentang perasaan aneh dihatinya tak mampu terjawabkan. Ia menarik rahang Sasuke yang tampak mengalihkan pandangannya dari wajah Itachi.

Anak itu meringis merasakan sentuhan itu seperti halnya sebuah cengkeraman.

"Sakit.."

"Berapa umurmu?" Itachi tak menghiraukan rintihan itu. Dia malah semakin menahan pandangan Sasuke dengan dagunya yang ia cengkeram.

"Du-dua belas tahun,"

"Kalau begitu ini pasti sebuah kesalahan. Karena aku tidak mungkin memiliki kenalan seorang bocah," terkanya angkuh. Dihempaskannya dagu itu kasar. Ia sudah tidak tertarik lagi mengobrol dengan bocah berusia 12 tahun, ditambah lagi Sasuke adalah seorang sandera. Pikiran aneh macam apa itu sampai ia merasa ia memiliki sebuah ikatan dengan bocah manja dihadapannya.

"Makanlah jika kau tidak ingin mati," ujarnya datar. Itachi berjalan kearah kursi dan mendudukinya dengan kaki yang sengaja terangkat bertumpu pada tumpukan kotak usang penuh debu.

"Tapi tanganku.." Sasuke melirik tangannya yang terikat dibelakang punggung. Sayang sekali Itachi mengacuhkan ucapannya dan lebih memilih untuk tenggelam dalam buaian mimpi yang telah menunggu diseberang sana.

..

...

"Ittai!" pekikan yang disertai oleh tangisan lucu itu membuat senyum tipisnya terpahat. Siapa yang tidak akan tertawa melihat wajah manis nan imut itu cemberut. Seorang kakak manapun di dunia ini pasti akan merelakan seluruh nyawa dan jiwanya hanya untuk melindungi sosok kecil dengan raut polos tanpa dosa itu.

"Apa lagi sekarang?"

Geez, dia nyaris terbahak saat melihat si kecil mendongak dengan wajah yang dipenuhi awan mendung serta mata yang berkaca-kaca. Memperlihatkan raut imut yang seakan memaksa dirinya untuk melancarkan cubitan gemas di pipi gembul adiknya.

"Aku jatuh karna tersandung akar-akaran itu," jari telunjuk mungilnya menunjuk kearah asal-muasal dia pertama kali terjerembab.

Oh.. astaga! Dia benar-benar tidak kuat melihatnya. Adiknya sungguh amat menggemaskan. Wajah putih si malaikat kecil dihiasi rona merah di pipi karna menahan isakan tangisnya. Sementara di sudut matanya sendiri si kakak melihat adanya setitik airmata yang nyaris lolos menelusuri perpotongan wajah si kecil.

"Sudah.. Jangan menangis lagi ya.. Kita pulang saja, yuk!" kedua tangannya terbentang, hendak menyambut tubuh mungil itu dalam dekapannya.

"Uhm.." anak kecil itu hanya menggangguk dengan senyum khas anak-anak yang sangat lucu. Kedua tangan kecilnya dilingkarkan dileher sang kakak yang langsung menggendongnya dengan kecupan sayang dikening.

"Lain kali tidak boleh nakal atau kakak tidak akan mengajakmu bermain lagi,"

"Aku tidak nakal, tapi akar itu yang nakal dan membuatku jatuh,"

"Tapi kamu tidak menepati janjimu untuk tidak berlari seenaknya di taman ini," tuntut si kakak.

"Iya, maafkan aku kak, aku tidak akan membantah kakak lagi," rajuk si kecil sambil memeluk kakaknya manja. Napas anak itu serasa menggelitik lehernya yang saat ini dibenami oleh wajah polos adiknya yang merajuk.

"Ya baiklah.. Laki-laki tidak boleh mengingkari janjinya loh, Sasu.." senyumnya terpatri di bibir delima si kakak sebelum mengecup sayang pipi gembul malaikat kecilnya lagi, "Sepertinya, Mama, sudah menunggu kita untuk makan siang. Kau lapar kan? Sup tomat kesukaanmu pasti sudah menunggu di meja makan,"

Ucapan itu membuat si kecil tampak antusias. Kedua tangan kecilnya terkepal dan diangkat tinggi-tinggi keatas langit dengan seruan menggemaskan.

"Yatta!"

"Haha.. Ikuzo!"

_DEG!_

"Hosh.. Hosh.. Hosh.."

Pria berambut hitam gelap itu terbangun. Napasnya terengah dan terkesan memburu dengan detakan jantungnya yang berpacu cepat. Kepalanya menoleh dengan gerakan cepat seperti tengah mencari sesuatu. Namun, saat sadar ternyata semua itu hanyalah mimpi.

Onyx-nya terpaku kearah sebuah sosok anak kecil yang tengah tertidur dengan tubuh meringkuk diatas lantai penuh debu. Anak itu terlihat menggeliat tidak nyaman selain itu ia tampak kedinginan. Itachi mengusap peluh yang membanjiri wajahnya lalu beranjak untuk mendekati Sasuke.

Ia berjongkok dan mengamati wajah polos dengan beberapa lebam itu sejenak. Memperhatikan cara tidurnya lalu menangkap rintihan pelan dalam igauannya. Disekitar pergelangan tangan dan kakinya terlihat pilur kemerahan. Dan Itachi akhirnya mengerti. Alasan Sasuke bergerak tidak nyaman karena ikatan itu pastilah terlalu kencang dan menyakitkan untuknya.

Itachi membungkuk, tangannya terjulur untuk melonggarkan ikatan itu agar tidur Sasuke sedikit lebih nyaman dan rileks. Benar saja dugaannya, tak lama setelah ia memperbaiki posisi tidurnya, wajah Sasuke terlihat lebih nyaman dan tidurnya semakin pulas. Tanpa sadar Itachi tersenyum, namun ia segera melenyapkan senyuman itu. Ia merasa aneh kenapa ia bisa tersenyum selepas ini hanya karna melihat wajah polos nan damai Sasuke saat tidur.

Tangannya mengacak surai hitam miliknya sedikit frustasi. Beberapa detik kemudian tatapannya kembali terarah memandangi wajah damai si bocah yang menjelma layaknya seorang malaikat kecil.

"Sasu? Apa maksudnya mimpi itu?"

Kepalanya mendadak pening saat mengingat mimpi itu lagi. Lalu secara dejavu, Itachi melihat suatu memori yang sudah lama terlupakan. Ia bahkan merasakannya dengan sangat jelas, seakan ia menyaksikan adegan itu langsung layaknya film 3 Dimensi.

...

"Papa! Mama!" ia berteriak panik. Mobil yang dikendarai Papanya mendadak saja tergelincir memasuki semak-semak. Sebelumnya Fugaku hanya ingin menghindari laju truck yang tidak disadarinya tiba-tiba muncul dari arah depan.

"Tenanglah sayang.. Jangan panik. Lindungi adikmu, jangan buat dia ketakutan," tegur Mikoto. Senyumnya terpoles meneduhkan. Meskipun faktanya ia juga merasa panik dengan keanehan laju kendaraan suaminya yang tak mau berhenti padahal pedal rem sudah berulang kali diinjak kuat.

Remnya rusak?

Fugaku mengakuinya dalam hati, tapi ia tidak mau keluarganya panik dengan mengatakan yang sesungguhnya.

"Huweee.." si kecil Sasuke mulai menangis. Sebisa mungkin ia dekap tubuh mungil itu agar tangisannya reda sekaligus memberikan rasa aman ditengah ketakutannya.

"Mama.."

"Itachi jaga Sasuke."

Pesan itu menghentikan deru napasnya sepersekian detik sebelum bunyi tabrakan keras terdengar, dan merasa kendaraan yang dinaiki keluarganya terguling-guling lalu dekapannya pada adiknya melonggar hingga Sasuke terhempas keluar melalui pintu mobil yang patah. Diikuti anggota keluarganya yang lain beserta dirinya. Mereka terpisah-pisah. Tak lama ledakan yang dihasilkan mobil yang meluncur jatuh kedalam jurang memekakan telinga mereka sebelum kehilangan seluruh kesadarannya.

...

Nggh!" Itachi mengerang lagi. Ingatan itu membuat kepalanya semakin terasa sakit hingga pening. Tangannya berusaha bertumpu pada dinding untuk berdiri tapi tiba-tiba ia terjatuh dengan sendirinya.

"Siapa sebenarnya aku? Dan siapa sebenarnya anak ini? Kenapa aku bisa melihat kejadian itu seolah aku juga ikut terlibat didalamnya. Apa yang terjadi? Aku tidak mengerti.. Semua itu membuatku bingung."

...

"Dimana ini?" Itachi mengedarkan pandangannya kesegala penjuru arah. Tempat itu sangatlah asing untuknya. Rasa sakit dikepalanya membuat ia tidak mampu mengingat apapun selain nama yang terukir pada bandul kalung peraknya.

"Itachi? Namaku Itachi tapi aku tidak bisa mengingat kelanjutannya, aku tidak mampu mengingat apapun. Kenapa ini? Ada apa denganku? Aargh! Kepalaku sakit! Aku tidak bisa mengingatnya! Apa yang terjadi padaku! Siapa aku sebenarnya!" ia histeris sendiri. Berusaha mencari jejak apapun yang sekiranya bisa membuatnya ingat tentang jati dirinya sendiri. Tapi sebelum hal itu ia dapatkan kawanan berandal gunung menculiknya.

"Siapa kalian? Hei, lepaskan aku! Lepaskan aku!"

Seingatnya ia dijual oleh seorang pria pemabuk yang menjadikannya budak untuk menghasilkan uang dipinggir jalan. Itachi masih mengingatnya. Ia dipaksa untuk mengamen, dan ia tidak bisa kabur sejengkalpun karna dia dan para korban lain selalu diawasi selama 24 jam.

"Lihat ada polisi yang menangkap orang-orang jahat itu! Ini kesempatan kita untuk kabur!" cetus seorang anak berambut oranye mengkomandoi para anak yang memiliki nasib sama dengan Itachi.

Kesempatan itu tak di sia-siakan olehnya. Ia lekas berlari sekuat tenaga menjauhi tempat yang mengurung serta menyiksanya bagai neraka. Hidupnya terombang ambing dijalanan, kelaparan dan hampir mati jika saat itu Pein tidak menolongnya.

"Bergabunglah denganku, aku akan memberikan tempat tinggal untukmu pulang."

Kalimat itu bahkan masih terngiang sampai sekarang. Pein sudah menolongnya dari kerasnya hidup dijalanan. Tapi kehidupan dengan menjadi seorang penjahat juga tak lebih baik dengan menjadi seorang gelandangan. Malah membuatnya tampak lebih hina dari mengemis dijalanan.

Itachi menyadari. Sekali terjerat dalam kegelapan. Maka akan sulit bagi Itachi menemukan cahaya terang.

..

...

Entah sudah berapa lama ia disekap diruangan itu. Ia ingin bebas dari sini secepatnya, dan ia berharap Papanya bisa segera menemukan keberadaan serta menyelamatkannya. Sasuke menunduk menatap beberapa makanan yang tergeletak disebelahnya tanpa mampu ia sentuh sedikitpun. Dia kelaparan tapi tidak bisa memakannya.

Kawanan penculik itu tak mau melepaskan ikatannya barang sedetikpun. Ia sangat sulit untuk bergerak, terlebih lagi untuk makan. Sekarang ia malah terlihat ingin buang air kecil. Sudah beberapa jam yang lalu ia menahannya. Wajar bukan sudah lebih dari 2 hari ia terkurung disini tanpa bisa kemana-mana.

Harapannya lekas menggantung pada sosok Hidan yang baru saja memasuki ruangan tempat penyekapannya.

"Apa?" Hidan mengernyit, merasa aneh dengan wajah Sasuke yang terlihat tersiksa dalam duduknya.

"Aku.. Ingin buang air kecil,"

"Merepotkan! Kau ingin kabur dengan berpura-pura ke toilet?" tudingnya, Sasuke menggeleng untuk membantah tuduhan Hidan.

"Baiklah.. Aku akan mengantarmu sampai kedepan toilet tapi ingat jangan coba-coba untuk kabur atau Sasori dan Deidara akan menghabisi nyawamu," ancaman itu tidak main-main. Sasuke tahu diantara kawanan penculiknya yang paling sadis dan sering memukulnya adalah kedua orang yang disebutkan itu. Meskipun yang lain juga tak pernah bersikap baik.

Hidan menuntun lengan Sasuke setelah melepas ikatan dikakinya dan membantunya untuk berdiri. Mereka berjalan menelusuri tempat yang baru pertama kali Sasuke lihat selama terkurung diruangan pengap itu. Mereka berhenti didepan pintu toilet. Ikatan ditangannya segera dilepas dan ia dibiarkan masuk seorang diri kedalam toilet.

Matanya menelusuri sekeliling ruangan sempit itu dan tidak menemukan adanya celah untuk lari. Sudah ia duga pasti akan sulit untuk kabur dari tempat kumuh ini.

"Sedang apa kau?" tanya Deidara dari arah luar.

"Mengantar anak itu ke toilet. Memangnya apa lagi?" Hidan bertanya balik dengan nada malas.

"Oh, jangan sampai dia kabur. Setelah bos besar mendapatkan uang tebusan kita akan segera membereskannya,"

"Kenapa? Bukankah dia hanya anak-anak, kenapa tidak dilepaskan saja? Tinggalkan dia sendirian disini selama kita kabur untuk mengecoh, mudah kan?"

"Bodoh! Anak itu sudah mengenali wajah kita semua. Berbahaya membiarkan dia lolos begitu saja. Aku tak ingin menjadi buronan dengan gambar sketsa wajahku ditelivisi serta surat kabar," Deidara mendengus malas.

"Yah, terserah kalian saja."

Sasuke mematung dibalik pintu toilet. Obrolan mereka benar-benar menakutinya. Ia sangat ketakutan sekarang. Sama saja ia seperti terpidana dengan vonis hukuman mati. Hanya bisa menikmati hidupnya dalam waktu singkat.

Pintu mulai digedor tak sabar dari luar. Sasuke membuka kunci penahan pintu dengan tangan gemetar. Raut wajahnya pucat pasi. Tapi ia mencoba untuk mengontrol emosinya.

"Cepat, kembali keruanganmu!" Hidan menarik lengannya paksa. Sudah tak ada lagi Deidara disampingnya.

Ruangan kumuh itu lumayan luas, dan Sasuke tetap mengedarkan pandangannya kesegala arah penjuru bangunan. Sampai ia melihat adanya celah untuk kabur. Sebuah jalan menuju arah luar dan yang paling penting tidak ada siapapun yang berjaga didepannya.

Pelan-pelan ia menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara teratur. Dalam hitungan detik. Sasuke lekas menginjak kuat-kuat kaki Hidan dan memberi sebuah tendangan manis pada selangkangannya yang terbuka lebar. Jeritan kesakitan Hidan pun menggema seiring dengan melonggarnya cengkeraman dari lengan Sasuke.

Sedikit lagi ia akan sampai pintu luar. Sedikit lagi ia akan bebas. Dan sedikit lagi ia akan terselamatkan dari kematian yang menyakitkan. Namun, semua itu hanyalah angan-angan Sasuke belaka.

Sebuah sosok pria yang entah dari mana tiba-tiba menghadangnya dari arah luar. Tubuhnya lekas diangkat lalu dipanggul layaknya karung beras. Hancur sudah harapannya. Ia mendelik tajam menatap Itachi yang balas menatapnya tanpa ekspresi.

"Bocah sialan!" bentak Hidan kesal. Hampir saja ia menampar wajah bak malaikat itu tiada ampun. Sayangnya, Itachi sudah dapat membaca serangannya lalu menahan tinju itu saat nyaris menyentuh wajah bocah yang dibopongnya.

"Dia hanya anak-anak lagipula salahmu sendiri menurunkan kewaspadaan terhadapnya. Jika Yahiko sampai tahu kau pasti akan diadukan oleh bos besar," cibir Itachi santai, tapi berefek dalam.

"Ya, kau benar. Untung kau segera menangkapnya Itachi. Sudah, bawa dia kembali keruangannya dan ikat dia dengan kuat agar tidak berencana kabur lagi."

Hidan menghadiahi pelototan tajam pada Sasuke yang terus meronta dalam bopongan Itachi. Dan setelahnya Itachi lantas meninggalkan Hidan dan membawa Sasuke kembali keruang penyekapannya.

"Lepaskan aku!" Sasuke memukul-mukul punggung Itachi dengan sekuat tenaga. Namun, tak membuat Itachi bergeming. Ia merasa pukulan itu seperti helaan napas yang sama sekali tak terasa sakitnya.

"Diam!"

"Tidak mau!"

"Diam atau kupukul!"

"Coba saja! Aku tidak takut!" tantang Sasuke dengan rontaan yang membuat Itachi jengah. Ia sudah menurunkan bocah itu dari bahunya dan sekarang Itachi harus menahan kedua lengannya dengan kekuatan penuh layaknya menahan pergerakan orang dewasa.

"Sakit!" Sasuke berusaha menarik tangannya yang dicengkeram oleh Itachi.

"Makanya kubilang diam!" sosok itu sangatlah teramat dingin. Dia bahkan tidak mau mengasihani anak kecil sama seperti rekan-rekannya yang lain. Padahal Sasuke berharap Itachi berbeda dan memperlakukannya lebih spesial.

Untuk apa ia kecewa?

Itachi sama seperti rekannya yang lain. Dia penjahat. Tak seharusnya Sasuke berharap hal-hal yang baik terhadapnya.

"Lepaskan aku! Aku mau pulang! Aku mau bertemu Papa!" jeritnya keras.

"Kau tidak akan bertemu dengannya kalau kau tak mau menjaga sikap,"

"Pembohong! Kalian akan membunuhku setelah mendapatkan apa yang kalian mau kan? Iya kan?!" Sasuke balik membentak, Itachi tetap tak mengubah ekspresi wajahnya.

"Itu bukan urusanku," satu kalimat itu membuat Sasuke terperangah. Dia jauh lebih kecewa mendengar ucapan Itachi yang seperti ini.

"Kau jahat!"

"Aku memang penjahat. Kurasa kau sudah tahu itu. Nah sekarang diamlah, jangan memaksaku untuk berbuat kasar padamu,"

"Ergh!" Sasuke terus memberontak. Berusaha melepaskan cengkeraman Itachi yang terlalu kuat pada lengannya.

Itachi mendesah lelah. Sikapnya masih terlihat santai, dia bahkan tidak kewalahan sedikitpun menghadapi pemberontakan Sasuke. Tenaganya jauh lebih kuat dibandingkan anak itu.

"Sepertinya dengan cara halus kau tidak akan pernah mengerti rupanya."

Onyx-nya memandang tajam Sasuke yang terus memberontak. Ia menarik kedua tangan bocah itu dan meletakannya dibelakang punggung. Menahan pergerakannya hanya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain meraih tali yang ada diatas tumpukan kayu diruangan itu.

Itachi mendudukan Sasuke diatas kursi secara paksa. Mengikat tangan dan kakinya, lalu menambahkan lilitan tali disekitar paha serta dadanya. Membuat gerakan Sasuke kian menipis dengan banyaknya tali yang mengekang kebebasannya.

"Sudah mulai tenang sekarang?" perhatiannya masih terpusat pada bocah yang tampak kelelahan sehabis memberontak untuk melepaskan dirinya.

"Ugh.. Nggh.. Lepas.. Hiks.. Papa!" diluar dugaan Sasuke malah menangis. Bagaimanapun dia hanyalah bocah berusia 12 tahun yang biasa hidup dimanja dan segala sesuatunya selalu terpenuhi.

"Papa.. Papa.." lirihan tangis itu membuat Itachi terusik.

"Ck, sekarang apalagi? Menangis agar mendapatkan belas kasihan begitu? Anak kecil memang menyusahkan."

Napasnya dibuang kasar. Meskipun sifat tenangnya masih terus terjaga dengan sorotan datarnya yang tanpa ekspresi. Didekatinya Sasuke lalu berjongkok didepannya.

"Kau sangat ahli membuat orang lain kesal bocah,"

"Kau jahat!"

"Aku sudah sering mendengarnya,"

Sasuke semakin menangis keras. Membuat Itachi kesal dan harus menutup rapat-rapat telinganya. Namun, gagal. Suara tangisan itu jauh lebih keras dari yang ia perkirakan. Dia benar-benar jengah sekarang. Akhirnya ia memutuskan untuk meredam suara berisik itu dengan memplester mulut Sasuke. Dan tangisan itupun terendam begitu saja saat mulutnya terbungkam.

"Begini lebih baik." ucap Itachi datar, tanpa menghiraukan Sasuke yang masih menangis walau suaranya tak sekeras yang tadi.

...

"Sudah selesai menangisnya?" Itachi menyindir dengan lirikan sinisnya melihat Sasuke yang terus menunduk karna lelah menangis, samar-samar suara sesegukannya masih terdengar lirih.

Ia mendekat lalu melepaskan plester itu dari mulutnya saat Itachi yakin bocah dihadapannya tidak akan menangis serta menjerit lagi.

"Kenapa? Kau sudah kehabisan suaramu?" cibiran itu membuat telinga Sasuke panas. Ia mendelik geram, namun tak lama ia kembali menunduk, wajahnya meringis dalam merasakan sakit yang berdentam-dentam dikepala serta perutnya yang tak terisi sedikit makananpun selama beberapa hari.

Itachi menarik dagu Sasuke agar bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Mata anak itu sembab dengan wajah yang memerah dan dia juga terlihat kesakitan. Sasuke juga membuang napasnya agak berat seperti penderita asma. Ketika Itachi menyentuh dahinya, ia merasa suhu tubuh anak itu sedikit hangat.

"Anak manja memang menyusahkan!"

"Aku lapar.." rintih Sasuke lemah. Matanya masih berkaca-kaca sehabis menangis.

"Salahmu sendiri tidak mau makan,"

"Bagaimana aku bisa makan dengan tangan terikat,"

"Kau tidak butuh tangan untuk makan. Lakukan dengan mulutmu,"

"Hiks.." wajah itu kembali sendu. Jurus tangisan anak-anaknya benar-benar membuat Itachi kelimpungan. Pada akhirnya Itachi hanya mampu mendesah keras sambil bersedekap.

"Merepotkan sekali," pemuda berusia 19 tahun itu beranjak dari kursinya untuk keluar ruangan. Beberapa menit kemudian Itachi kembali lagi sambil membawa sepiring makanan untuk sanderanya, "Aku hanya melakukan ini sekali. Ingat itu, hanya sekali saja."

Kata-kata itu ditekan dengan nada penegasan. Kalau yang mengucapkannya orang lain mungkin Sasuke akan takut, anehnya dia memang tidak merasa takut pada Itachi. Sasuke malah merasa nyaman dan aman jika didekat pemuda stoic minim ekspresi itu.

Diruangan itu mendadak sunyi. Hanya bunyi dentingan alat makan yang digunakan oleh Itachi yang mampu terdengar. Sekarang ia merasa seperti seorang baby sitter dalam mengurusi anak asuhnya. Dia seorang penjahat, anggota kriminal terkenal Akatsuki, saat ini dengan tidak elite-nya menyuapi makanan untuk sanderanya yang masih bocah.

Berulang kali ia merutuki kebodohannya, kenapa harus merasa kasihan pada Sasuke. Biasanya ia tidak perduli jika orang lain kelaparan tapi anehnya ia tidak mampu menahan rasa iba saat sosok kecil itu meratap dengan sorot matanya yang lirih.

Sementara Sasuke hanya diam. Ia membuka mulutnya hanya untuk menyambut suapan dari Itachi dan selebihnya ia akan mengunyah dan larut dalam keheningan yang tercipta. Jika ada yang melihat kedekatan mereka pasti orang-orang itu akan berkata bahwa wajah keduanya sangat mirip layaknya saudara.

..

...

Dia tidak pernah merasa sebahagia ini. Melihat bintang dengan adik tersayangnya merupakan suatu hiburan yang menyenangkan. Ia menggendong tubuh balita itu diatas bahunya, membuat si bungsu itu lebih leluasa menatap langit kelam yang dipenuhi kerlipan bintang.

"Kakak, Sasu mau bintang itu," suara lucu itu membuatnya terkikik geli.

"Bintang tidak bisa diraih Sasu.. Bintang hanya bisa dilihat dan dipandang,"

"Kenapa tidak?" raut imut itu mengerjap polos.

"Tentu saja karna ukuran aslinya sangat besar dan terletak diatas langit,"

"Tapi Sasu mau bintang,"

"Sasu kan punya kakak yang akan selalu menjadi bintang dihatinya Sasu. Kakak akan menerangi kegelapan disetiap langkahmu, dan kakak akan selalu mengawasi serta melindungimu walau jarak kakak jauh," jeda. Mereka saling menatap kerlipan bintang diatas langit, tak lama mereka kembali bertatapan.

Terukir sebuah senyuman diwajah Itachi. Ia menurunkan adiknya dari atas bahunya kemudian mendudukannya diatas beranda balkon sambil berlutut didepannya, "Ingatlah.. Meskipun suatu saat nanti kita terpisah jauh. Jika kau rindu kakak, lihatlah keatas langit. Cari bintang yang menurut Sasu paling terang, karna kakak akan mengawasimu melalui bintang itu."

Itachi terbangun lagi setelah mendapatkan mimpi yang aneh. Dia terengah dengan keringat yang membanjiri seluruh permukaan wajahnya. Rasanya kepalanya sakit lagi tapi tidak separah beberapa hari lalu. Ia menelengkan kepalanya ketika dirasanya seseorang juga sedang terjaga.

Dia Sasuke, ya.. Anak itu belum tidur padahal hari telah larut. Pandangannya terlihat kosong dan terarah menuju jendela kecil berteralis besi yang jaraknya cukup tinggi. Itachi tidak tahu apa yang bocah itu pandangi sejak tadi, tetapi ketika ia mengarahkan pandangannya ia melihat banyaknya bintang dari atas langit.

Ia pun terpekur sejenak. Ini aneh dan sangat membingungkan. Baru saja ia memimpikan sesuatu yang menyangkut soal bintang, dan ketika ia bangun dirinya malah melihat bocah itu terpaku menatap bintang. Seperti.. Seperti.. Ya Tuhan! Anak itu seperti balita yang ia lihat didalam mimpi.

"Hei, sedang apa kau?" keheningan itu terpecah dengan suara baritone-nya yang berat.

Tak ada jawaban. Sasuke masih sibuk menatap salah satu bintang yang paling terang dengan raut kosongnya.

"Hei, bocah aku bertanya padamu,"

Masih sama hening tak ada jawaban.

"Kau tuli ya!" ekspresinya menampakan sedikit rasa kesal saat pertanyaannya tak digubris. Tangannya dengan kasar menarik pandangan Sasuke dan seketika itu juga Itachi tersentak. Ia merasa suhu tubuh anak itu semakin panas dari sebelumnya.

Cepat-cepat telapak tangannya mengecek keningnya lalu turun menuju lehernya. Dia tidak salah, Sasuke memang demam.

Pandangan Sasuke perlahan mengabur. Tetapi ia masih sempat melafalkan nama yang sangat dirindukannya, "Kakak.." setelah itu ia tak mengingat apapun lagi.

Tinggalah Itachi yang terlihat panik. Tangannya melepas lilitan tali yang mengikat Sasuke. Ia meletakan sebuah alas sebelum menidurkannya dilantai. Ia tak ingin anak itu kedinginan dan semakin parah sakitnya.

Sosok kecil itu merapatkan tubuhnya pada Itachi, mencari sebuah kehangatan ketika tubuhnya menggigil kedinginan. Itachi berinisiatif melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Sasuke. Sekarang ia tidak tahu harus apa. Tapi seingatnya ketika Itachi demam, Kisame selalu mengompres dahinya dengan air dingin. Ia rasa ia akan meniru cara itu.

Diambilnya sewadah air dengan sebuah handuk kecil. Langkahnya begitu cepat, saat kembali buru-buru dicelupkannya handuk itu kedalam air lalu meremasnya untuk mengikis kandungan air yang terserap dalam handuk itu. Setelahnya diletakannya diatas kening Sasuke. Itachi terus mengulanginya selama beberapa jam. Demam itu pun tak kunjung membaik.

Didalam tidurnya Sasuke mengigau. Ia menggapaikan tangannya diudara hendak meraih sesuatu. Bibir pucatnya terus melanturkan nama yang sama.

"Kakak.. Kakak.. Kakak.."

Itachi menggenggam tangan itu dan sosok itupun menggeliat dalam tidurnya.

"Kakak.. Jangan tinggalkan aku.. Uh.. Aku takut.." wajahnya mengekspresikan sebuah ketakutan, "Kakak.. Kakak dimana? Kakak.."

Ia tahu Sasuke pasti tengah bermimpi buruk. Itachi menepuk pelan tangan yang lebih kecil itu dalam genggamannya. Ia merasakan panas tubuh Sasuke menyalur pada telapak tangannya yang terasa sejuk. Menghantarkan sensasi aneh yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.

"It's okay. Im here.. Sasu."

Secara ajaib kalimat itu membuat Sasuke lebih tenang dalam tidurnya. Anak itu tidak lagi mengigau, sepanjang malam ia hanya tertidur pulas disamping Itachi sambil merapatkan tubuhnya pada orang yang dianggap kakaknya.

.

.

Tbc

.

.

Insya allah ini TwoShoot. Chap depan berarti ending. Alur cerita ini Nagi dapet didalam mimpi. Anehnya Nagi meranin karakter Sasuke sementara kakak Nagi meranin karakter Itachi. Saat bangun Nagi malah nangis dan ngerasa pengen meluk kakak dan buru2 Nagi kekamarnya dan nerjang dia diatas kasur padahal waktu itu baru jam 3 pagi (Gomen Onii-chan) alhasil sepanjang malem Nagi bobo sama kakak. Karna dia pikir Nagi mimpi buruk (emang iya sih).

Adoh kenapa malah curhat. Ini fic pesenan kamu udah Nagi buat ya Hime-chan. Buat Readers jangan lupa Review dan kalo ada yang mau request fic silahkan, insya allah Nagi akan menulisnya untuk kalian.

Jaa matta ne :)