White Lies
Cast :: Kim Mingyu, Jeon Wonwoo, other cast(s)
Genre :: Romance
Rate :: T+
Warning :: Yaoi. BxB. Typo(s). AU!.
Disclaimer :: Cast disini semuanya milik Tuhan YME, orangtuanya, dan diri mereka masing-masing. Yang milik saya cuma ceritanya aja (walaupun pasaran).
Kalau ada kesamaan, itu murni karena ketidaksengajaan. Apabila tidak suka dengan ceritanya, harap tidak usah dibaca dan jangan bash para cast nya ya~
ddideubeogeo17 present
.
.
.
Hana
Dul
Set
Enjoy it~
.
.
.
BRUK!
"Ma– maafkan aku. Aku tidak sengaja."
Jeon Wonwoo, sosok berperawakan kurus dengan kulit putih tersebut membalikan tubuhnya, ia menemukan lelaki berambut cokelat dengan kulit yang lebih gelap darinya tengah membungkukkan tubuh.
"Eoh? Iya tidak apa-apa. Santai saja, apa kau sedang terburu-buru?" sahut Wonwoo.
"Iya, aku–" ucapan sosok tersebut harus terputus saat mendengar derap langkah kaki yang –sepertinya– terdiri dari beberapa orang.
SRET!
"Eh?"
"To-tolong aku! Sembunyikan aku, ku mohon. . ."
"Ne? Tapi, kenapa?"
"Aku berjanji akan menjelaskannya nanti!"
"Ba–baiklah, ke apartemenku saja. Kajja." Wonwoo berjalan terlebih dahulu, namun sudah beberapa langkah ia berhenti. Merasa jika sosok di belakangnya masih diam di tempat.
"Hmm apa kau akan tetap berdiri di sana?"
"Maaf, bisakah kau menuntunku? Orang-orang itu membuatku kehilangan tongkatku."
Wonwoo tersentak, ia langsung memerhatikan sosok di hadapannya dengan lebih lekat. Tanpa menunggu lama, Wonwoo segera berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapannya, lalu ia menggerakan telapak tangan tepat di depan wajah lelaki tersebut.
'Eoh? Ia seorang tunanetra?' batin Wonwoo.
TAP
TAP
TAP
Mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat, Wonwoo segera menarik tangan sosok asing tersebut dan mengajaknya bersembunyi di sebuah celah sempit yang terhalangi oleh spanduk iklan dan hanya bisa memuat dua tubuh.
"Hah~ hah~ Ap-apa kau melihat mereka?"
"Tidak, arghhh! Kemana sih dia?!"
"Habislah kita!"
"Sudahlah, jangan mengeluh! Lebih baik berpencar saja, kajja!"
TAP TAP TAP TAP
Mendengar derap langkah kaki yang mulai menjauh, membuat Wonwoo menghela napas lega. Ia mengintip sedikit dan saat dirasa keadaan sudah aman ia pun menoleh pada sosok di hadapannya yang masih terdiam.
". . ." Wonwoo tercekat, ia bisa merasakan napas sosok tersebut berhembus di wajahnya mengingat tubuh mereka yang hampir tidak berjarak di ruang sempit itu.
"Hm, apa mereka sudah pergi?"
"Ne?! A-ah iya, mereka sudah pergi." Wonwoo pun menarik pelan lengan lelaki tersebut untuk keluar dari tempat persembunyian, entah kenapa ia jadi malu sendiri sudah terpesona pada wajah tampan di hadapannya.
"Maaf sudah merepotkan."
"Tidak kok, itu bukan apa-apa. Omong-omong, kenalkan namaku Jeon Wonwoo, kau?"
"Aku Lee Mingyu. Salam kenal." ucapnya sambil membungkukkan tubuhnya.
"Eiyh~ Jangan terlalu formal begitu. Usiamu berapa?"
"22 tahun."
"Woah, kau harus memanggilku hyung. Arraseo? Karena aku setahun lebih tua darimu."
"Ne, Wonwoo hyung? Begitu kah? Hmm bolehkah aku menumpang di tempatmu, hanya untuk malam ini saja."
"O-oh, baiklah. Kau memang memiliki hutang penjelasan padaku."
Mereka pun berjalan dengan Wonwoo yang menggenggam sebelah lengan Mingyu. Malam sudah semakin larut, namun suasana kota Seoul yang tidak pernah sepi cukup membuat Wonwoo merasa aman tiap pulang kerja dari café seperti ini.
Mereka melangkah dalam keheningan, enggan memecahkan keheningan yang tercipta. Hingga beberapa menit kemudian telah sampailah mereka di sebuah flat sederhana yang ditempati oleh lelaki bermarga Jeon itu.
"Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan cokelat hangat untukmu."
"Tidak usah repot-repot hyung, aku–"
"Ssstt, diam dan tunggu. Oke?"
Wonwoo pun berlalu, ia menuju dapurnya untuk membuatkan minuman bagi tamunya. Entahlah, seingatnya ini untuk pertama kalinya ia menerima tamu 'asing'. Karena yang pernah bertamu di flatnya hanya teman-teman kuliah dan kerjanya seperti Jun, Jihoon, Jeonghan, dan Soonyoung. Wonwoo yakin jika ia menceritakan kedatangan Mingyu, apalagi ditambah dengan pertemuannya tadi yang tidak berkesan baik, pasti teman-temannya itu akan menceramahinya betapa dunia ini penuh tipu muslihat dan orang-orang jahat hingga ia harus berhati-hati pada siapapun.
Sesaat setelah selesai, Wonwoo pun menghampiri sambil membawa dua gelas cokelat hangat dengan asap yang masih mengepul.
"Ja~ Ini minumannya."
"Terima kasih, hyung."
"Jadi siapa orang-orang tadi?"
"Mereka mengincarku karena aku tidak bisa melunasi hutang orangtuaku." jawab Mingyu lancar dengan nada suara yang menyiratkan keputus asaan.
Wonwoo benar-benar merasa kasihan pada sosok di depannya, hatinya terenyuh melihat keadaan Mingyu. "Lalu, orangtuamu kemana?"
". . ."
"E-eh apa pertanyaanku menyinggungmu? Ah iya, pasti. Ini kan pertemuan pertama kita, tapi aku sudah bertanya hal yang sensitif begitu. Maaf ya." ujar Wonwoo sambil mengusap tengkuknya.
"Tidak apa-apa hyung. Entahlah, aku tidak tahu orangtuaku dimana."
"Benarkah? Lalu kau tinggal dengan siapa?"
"Aku tinggal sendiri."
"Oh…" Wonwoo kehabisan ide, ia bingung harus bicara apalagi. Pada akhirnya ia hanya sibuk menyeruput minuman hangatnya.
Ruangan itu hanya diisi dengan suara detikan jarum jam yang sibuk berotasi, tidak memedulikan dua insan yang masih diselimuti keheningan.
"Hyung?"
"Iya?" Wonwoo memfokuskan pandangannya.
"Maaf sebelumnya, tapi bolehkah aku menumpang di sini selama beberapa hari? A–aku tidak berjanji akan membayar dengan uang, tapi setidaknya aku bisa membantu membersihkan rumah dan hal lainnya."
Wonwoo terdiam, di hatinya tengah terjadi perang batin. Membuatnya bingung apa yang harus ia lakukan, haruskah ia membiarkan Mingyu menumpang di tempatnya atau menolaknya. Tapi hati kecilnya berteriak heboh jika ia memutuskan untuk menolak. Bagaimanapun ia tetaplah sosok Jeon Wonwoo, si naif nan lugu dengan rasa simpatinya yang begitu tinggi, tentu saja ia tidak akan mungkin membiarkan sosok tunanetra rapuh seperti Mingyu berkeliaran di jalanan yang rentan akan kejahatan.
"Baiklah. Tapi kau tidak perlu serepot itu, aku tulus membantumu." jawab Wonwoo pada akhirnya.
"Terima kasih banyak, Wonwoo hyung." Mingyu tersenyum, dan untuk pertama kalinya Wonwoo menyadari jika lelaki yang lebih muda setahun darinya itu memiliki senyum yang sangat menawan. Mata yang akan menyipit disertai lekuk indah bibirnya, ditambah dengan gigi taring yang lebih panjang dari orang pada umumnya. Membuat Wonwoo terpaku dan diam menikmati keindahan hasil karya Tuhan itu.
"Hyung?"
"A-ah ya?!" Wonwoo terkejut, ia sedang tenggelam akan pesona Mingyu dan tanpa sadar memerhatikan wajah di depannya dengan begitu lekat. Untung saja Mingyu tidak bisa melihatnya, Wonwoo akan merasa sangat malu jika tertangkap basah sedang menatap dengan sebegitu dalam.
"Aku sebenarnya sangat mengantuk, boleh kah aku meminjam bantal? Dan ku rasa aku akan meminjam sofanya juga, aku akan tidur di situ."
"Aku masih memiliki satu kamar kosong jadi di sana saja. Jika di sofa, meskipun memakai selimut nantinya kau tetap akan merasa kedinginan. Asal kau tahu, tempat tinggalku ini hanya flat sederhana dan seringkali penghangat ruangannya tidak berfungsi. Mari ku antar ke kamar." ajak Wonwoo.
Dengan perlahan ia menuntun Mingyu untuk memasuki kamar tamunya. Sejak pertama menatap bola mata kecoklatan lelaki itu, Wonwoo sudah merasakan ada yang tidak beres dengan jantungnya, dan makin dirasa tidak beres saat kulitnya bersentuhan dengan kulit Mingyu seperti ini. Rasa-rasanya seperti sarafnya dialiri listrik dan menimbulkan sensasi yang sangat asing.
'Ada apa denganku?' batinnya tidak mengerti.
"Terima kasih banyak, hyung. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bertemu denganmu." ucap Mingyu, membuat Wonwoo tersadar dari lamunannya. Tenggelam dalam pikirannya sendiri membuat Wonwoo baru sadar jika ia dan Mingyu sudah sampai di kamar tamu. Bahkan sekarang Mingyu sudah duduk di tepi kasurnya.
"Iya, sama-sama. Jangan sungkan begitu." respon Wonwoo. Ia melihat jika Mingyu sudah mulai bersiap untuk tidur, namun bukannya pergi justru Wonwoo malah tetap berdiri di tempatnya.
"Hyung masih di sini ya?" tanya Mingyu dengan tatapan menerawang ke atap kamar.
"E-eh iya, hmm itu aku– aku sedang mencari charger. Ya, charger. Kemarin aku sempat menaruhnya di sini, ah tapi sepertinya tidak ada. Ya sudah, kalau begitu selemat tidur, Mingyu-ya." Wonwoo pun berbalik dan melangkah dengan cepat sambil memukul kepalanya. Merasa bodoh dengan alasan yang terlontar dari mulutnya.
CKLEK
BRAK
Saat pintu sudah benar-benar tertutup, Mingyu mulai memejamkan matanya. Untuk kali ini ia bisa tidur dengan nyenyak, bahkan seulas senyum terlukis di bibirnya.
.
.
.
.
.
Hari berlalu dengan cepatnya, tak terasa sudah dua minggu waktu yang Mingyu habiskan untuk menumpang tempat tinggal dengan Wonwoo. Bagi Wonwoo, kehadiran Mingyu pun seakan menambah warna di hidupnya yang menurut orang-orang begitu monoton dan membosankan.
Dua porsi scramble egg, bacon, dengan segelas susu hangat dan caramel macchiato telah tersedia di atas meja makan minimalis tersebut. Terlihat sepasang anak adam yang siap memulai sarapan pagi mereka.
"Scramble egg ada tepat di hadapanmu, bacon di kanan, dan caramel macchiato di sebelah kiri. Ja~ Selamat makan!" Wonwoo berujar dengan semangat.
Sebenarnya ia tipe yang sering melewatkan waktu sarapannya. Jika pun tidak memiliki jadwal kuliah di pagi hari, jelas ia akan memilih pergi ke taman atau perpustakaan kota untuk menghabiskan waktunya. Enggan sarapan sendiri, karena itu akan menimbulkan celah bagi otaknya untuk berpikir tentang masalah hidupnya.
"Ne, selamat makan hyung." sahut Mingyu, tangannya mulai meraba dan dengan perlahan ia pun memakan sarapannya.
"Apa enak? Dari semua percobaan beberapa hari ini, ku rasa pagi ini yang terbaik." ujar Wonwoo tanpa bisa mengalihkan pandangan dari wajah tampan lelaki di depannya.
"Hm? Enak, tentu saja. Yang kemarin-kemarin pun enak kok."
"Eiyh~ Kau membual, huh? Bahkan lidahku saja mengejek hasil kerja tanganku." sungut Wonwoo kesal sendiri akan bakat memasaknya yang benar-benar nol.
"Tidak tidak, aku bersungguh-sungguh. Makanan apapun yang dimasak dengan penuh ketulusan, itu akan terasa enak. Bahkan mengalahkan chef manapun!" jawab Mingyu semangat, bibirnya melukiskan senyuman.
"Hei, memangnya siapa yang bilang aku tulus? Tidak juga, sih." goda Wonwoo, ia sangat gemas dengan gigi taring Mingyu yang akan terlihat tiap sang pemiliknya tersenyum.
Tanpa sadar jarinya sudah terjulur, namun belum sempat jarinya menyentuh gigi taring lucu itu ia kemudian tersadar dan segera menjauhkan tangannya. Tanpa sadar pipinya sudah merona, malu sendiri akan tindakannya barusan.
"Orang sepertiku memiliki tingkat kepekaan yang tinggi tahu, jadi aku pasti benar." Mingyu tidak mau kalah, membuat Wonwoo hanya menggumam sebal. Hal itu tak luput dari pendengaran Mingyu, membuatnya tersenyum mendengar Wonwoo yang kalah berdebat darinya.
"Ohiya, hari ini sepulang dari kampus aku akan langsung ke café, tidak akan pulang dulu. Kau tidak apa-apa kan?"
"Tentu, memangnya aku kenapa?"
"Bagaimana dengan makan–"
"Tidak usah khawatir, sungguh. Sebelum aku menumpang disini, aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian hyung."
"Oh, begitu." gumam Wonwoo. Di hati kecilnya benar-benar tak rela harus meninggalkan Mingyu seharian. Biasanya ia akan mencuri waktu untuk pulang terlebih dahulu ke flatnya, meskipun nyatanya jarak dari kampus ke cafenya justru lebih dekat. Tapi tidak masalah, ia tulus melakukan semuanya untuk Mingyu.
Jujur, sampai detik ini pun Wonwoo masih tidak mengerti akan perhatian yang diberikannya pada Mingyu. Apakah hanya berdasarkan rasa simpati atau lebih dari itu, tapi yang pasti ia akan merasakan kebahagiaan tersendiri tiap berhasil menciptakaan seulas senyuman di bibir Mingyu.
"Hyung?!"
"A-ah iya?"
"Hyung sedang melamun ya? Daritadi ku panggil, tapi hyung tidak menyahut."
"Hm? Tidak, aku hanya sedang memikirkan tugas. Sepertinya aku akan segera bersiap dan berangkat secepatnya, taruh saja cucian kotornya. Jangan memaksakan diri, oke?"
"Kenapa?" lirih Mingyu sambil menundukan kepalanya.
"Kenapa? Maksudmu?" tanya Wonwoo dengan alis terangkat sebelah, tidak begitu paham dengan pertanyaan yang Mingyu layangkan.
"Apa hyung takut aku membuat kekacauan? Sungguh, indera perabaku sangat sensitif. Aku berjanji akan berhati-hati, tidak akan memecahkan piring, gelas, atau apapun."
Wonwoo tertegun mendengar perkataan Mingyu, tidak pernah terbesit sedikit pun di benak Wonwoo ke arah sana. Ia melarang Mingyu melakukan banyak hal bukan karena takut barang-barangnya rusak atau apa, tapi justru lebih ke rasa khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada Mingyu.
Wonwoo beranjak dari kursinya, Mingyu yang mendengar derap langkah kaki itu pun makin menundukkan wajahnya, ia pikir Wonwoo meninggalkannya. Mingyu benar-benar merasa tidak berguna dan terlalu merepotkan orang sebaik Wonwoo.
GREP
"Jangan pernah berpikir seperti itu. Aku takut terjadi apa-apa padamu sehingga aku melarangmu melakukan ini dan itu, maaf jika hal itu justru membuatmu salah paham seperti ini." ujar Wonwoo, ia berdiri tepat di samping Mingyu yang masih duduk, kedua tangannya merengkuh kepala Mingyu, membuat yang dipeluk memilih menyandarkan kepalanya pada perut lelaki yang lebih kurus.
Jangan heran dengan skinship yang terjadi diantara mereka berdua, itu semua atas inisiatif Mingyu. Ia bilang jika ia paling suka berada dalam dekapan ibunya, sangat hangat dan menenangkan. Namun, keadaanlah yang membuat hubungannya dengan sang ibu berubah menjadi dingin.
"Terima kasih, hyung."
CTAK!
"Aw!"
"Sssttt, berhenti mengatakan itu. Aku bosan tahu!" Wonwoo merasa puas sekali sudah menjitak pelan dahi Mingyu dengan jahilnya, mereka berdua pun terkekeh. Kehangatan matahari pagi itu pun tersaingi oleh kehangatan yang tercipta diantara Mingyu dan Wonwoo.
.
.
.
.
.
TRAK!
"E-eh?" mata sipit bak rubah itu sontak melebar, ia terkejut mendapati secangkir frapuccino sudah tersedia di hadapannya.
"Apa hobimu sekarang melamun, huh?" tanya lelaki berhidung mancung yang merupakan teman kuliah sekaligus rekan kerjanya di café Carat itu.
"Tidak juga. Kenapa kau bisa berpikir begitu, Jun-ah?"
"Siapa yang tidak akan berpikir begitu jika tiap melihatmu seperti raga tanpa nyawa, hm?" sambar seorang lelaki berperawakan paling mungil diantara mereka bertiga.
"Nah, aku setuju padamu Jihoon-ah!" sahut si lelaki mancung –Jun– dengan semangat, merasa ada pihak yang bisa diajaknya untuk berkoalisi dalam opini yang sama.
"Jadi ada apa, Wonwoo-ya? Apa kau punya masalah yang tidak kami ketahui?"
"Tidak dan tidak Jihoon-ah. Itu jawabanku." usai mengatakan hal itu, Wonwoo segera beranjak dari balik etalase dan segera memasuki ruangan khusus karyawan.
"Hei! Yak! Ish, sudah ku buatkan minum juga. Malah diabaikan." rutuk Jun kesal sambil meminum minumannya dengan sebal. Jihoon yang melihatnya hanya mengendikan bahu dan berlalu, ia lebih memilih melanjutkan tugasnya mengelap kaca daripada harus mendengar gerutuan Jun dengan bahasa campuran Korea-China nya yang akan terdengar aneh.
Ah, ya.
Omong-omong Wonwoo sedang berada di café dan sebenarnya jam kerja sudah berakhir dari beberapa menit lalu, namun bukannya membantu tugas temannya yang lain –seperti kebiasaannya– justru temannya mendapati ia tengah melamun.
Sebagai teman terdekat Wonwoo, Jun dan Jihoon memang sudah merasakan ada kejanggalan, namun jangan harap mereka akan mendapat info apapun jika si lelaki Jeon itu tengah gusar. Alih-alih dijadikan tempat sandaran, justru kemungkinan besar mereka malah akan mendapatkan omelan Wonwoo.
"Eoh? Wonwoo-ya, kau akan pulang sekarang? Tidak menunggu Jeonghan hyung dan Soonyoung kembali dari belanja bahan dapur?"
"Maaf. Sepertinya tidak, aku sedang buru-buru. Aku duluan ya!" pamit Wonwoo tanpa menunggu jawaban dari Jun, Jihoon, serta beberapa karyawan lain yang masih tersisa. Mereka hanya mengernyitkan dahi melihat kelakuan Wonwoo yang dirasanya makin aneh.
"Jihoon-ah, apa kau berpikiran sama denganku?" tanya Jun sambil membersihkan meja.
"Ck memang kau pikir aku cenayang?! Mana ku tahu pikiran kita sama atau tidak? Aneh!" ujar Jihoon sambil melemparkan kain yang baru saja digunakannya untuk mengelap kaca ke arah Jun. Membuat sosok yang mendapat lemparan segera berdesis kesal, 'Dasar! Si mungil galak!'
"Apa katamu?!"
"Ti-tidak!"
.
.
.
.
.
Cklek.
Wonwoo melangkah dengan pelan memasuki flatnya. Ia segera menyalakan lampu di ruang tengah, mengarahkan pandangan pada jam dinding dan mendapati jika waktu sudah menunjukan pukul 11 PM. Ah, pantas saja ia merasa lelah. Padahal hari ini ia pikir tidak terlalu banyak menggunakan tenaganya, tapi pikiran yang melalang buana ke sana-sini ternyata bisa menguras energi juga.
"Mingyu-ya?"
Tidak ada sahutan dan Wonwoo maklum, mungkin saja Mingyu sudah tidur. Maka Wonwoo beranjak menuju kamar tamu, ia bersyukur Mingyu tidak pernah mengunci pintu kamar. Namun, apa yang di dapatinya hanya kekosongan. Membuat napasnya tercekat untuk sesaat.
"Mi-Mingyu?! Mingyu-ya?! Kau dimana?" Wonwoo masuk ke dalam kamar, berharap ada petunjuk akan hilangnya Mingyu.
Rasanya seluruh otot di tubuhnya melemas, ia benar-benar ketakutan. Semua pikiran buruk mulai mengambil alih fokusnya, dengan berbagai hal berkecamuk di kepalanya ia melangkahkan kaki ke seluruh penjuru ruangan di flatnya. Berharap menemukan Mingyu yang ia harapkan tertidur di dapur atau kamarnya, namun realitanya di flat sederhana itu hanya ada dirinya seorang.
Wonwoo sangat benci keadaan ini, dimana ia hanya sendiri tanpa ada siapapun yang menemaninya. Lagi-lagi ia tenggelam dalam keheningan yang mencekam.
BRUK
"Hiks... hiks..." Wonwoo ambruk, saat ini ia bagaikan rumah tanpa fondasi. Selama ini Wonwoo hanya mengandalkan keberanian dan perhatian dari teman-temannya sebagai fondasi yang memang tidak seberapa kuat itu, namun kehadiran Mingyu seakan mengokohkan fondasi tersebut.
Membuat Wonwoo sedikit demi sedikit berani meletakkan asa di puncak tertinggi bangunannya, namun ketiadaan eksistensi Mingyu yang mendadak ini mampu merobohkan sebuah pilar yang bagi Wonwoo itu adalah pilar terpenting, dan inilah yang terjadi.
"Hiks... Ak-aku harus apa... Bagaimana ini? Hiks kau dimana?" Wonwoo hanya menenggelamkan wajahnya di lipatan lutut, ia meracau dengan tidak jelas. Keadaannya membuat siapapun yang melihat akan merasa iba, sungguh ia terlihat sangat rapuh.
Cklek.
"Hiks... Hiks..."
"Hyung? Wonwoo hyung?!" sosok lelaki yang baru masuk ke ruangan tersebut sangat terkejut. Bagaimana tidak jika hal pertama yang menyambut indera pendengarannya adalah suara isakan dari seseorang yang begitu dikenalnya.
TAP
TAP
TAP
"Hyung?!"
Wonwoo mendongakkan kepalanya, dan saat itu juga air matanya semakin menganak sungai. Namun jelas berbeda, bukan air mata kesedihan nan pilu seperti beberapa menit lalu. Kali ini, air mata penuh kelegaan dan kebahagiaan yang membuncah.
"Aigoo, hyung kenapa? Hyung?" panggil Mingyu dengan tangannya yang sibuk mengarahkan tongkat –yang Wonwoo belikan tepat sehari setelah ia menginap di flat tersebut.
GREP
TRAK
Tongkat yang sedari tadi dipegangnya sontak terlepas, Mingyu refleks membalas pelukan Wonwoo yang tiba-tiba berdiri dan menubruknya. Mingyu tidak tahu apa yang terjadi, ia juga tidak berniat menanyakannya sekarang. Lebih baik ia mengelus pelan kepala Wonwoo yang sekarang tengah bersembunyi di dada bidangnya. Beberapa menit berlalu dan Mingyu bisa merasakan kaos depannya basah oleh air mata Wonwoo.
Mingyu menunggu dengan sabar, hingga saat dirasa tangisan Wonwoo sudah mereda, Mingyu pun mulai buka suara.
"Hyung? Kita duduk saja ya?"
Meskipun tidak menjawab, tapi Wonwoo menggenggam lembut tangan Mingyu dan menggiring tubuh keduanya untuk duduk di sofa. Mereka duduk berdampingan, saat Wonwoo akan melepaskan genggamannya, Mingyu justru malah makin mengeratkan tautan tangan keduanya. Sepasang tangannya menggenggam erat kedua tangan Wonwoo, mencoba menyalurkan kehangatan yang ia punya.
Hening mengambil alih atmosfer di ruangan tersebut untuk beberapa menit. Tidak ingin pikirannya digerogoti berbagai spekulasi yang kejelasannya masih abu-abu, Mingyu pun memilih bertanya.
"Hyung?"
"Hm?"
"Jadi, kenapa hyung menangis, hm?" tanya Mingyu selembut mungkin, dalam hatinya sudah mengantisipasi jika seandainya Wonwoo marah.
Namun ada jeda, dan yang dapat ditangkap oleh pendengaran Mingyu hanyalah suara pergerakan Wonwoo. Sepertinya Wonwoo merubah posisinya dengan menyandarkan sebelah tubuh di sofa namun tetap menghadapnya, tebak Mingyu.
"Aku,"
"Iya hyung?"
"Aku khawatir! Aku juga takut kau pergi tanpa pamit. Se-setidaknya, jika kau memang benar-benar akan pergi meninggalk–"
GREP
"Sssttt, memangnya siapa yang akan meninggalkan siapa hm?"
"Lalu kau darimana?" tanya Wonwoo dengan suara teredam. Jelas saja, setengah wajahnya masih menyusup di leher Mingyu.
"Aku berniat ke minimarket hyung, tapi aku lupa jika wilayah ini masih sangat asing karena tiap kali keluar pun aku pasti didampingi olehmu. Membuatku tidak menghapal jalan, dan ya. . . saat akan kembali, aku justru tersesat. Untunglah ada seorang kakek baik hati yang mau mengantarku. Maaf sudah membuat hyung khawatir." sesal Mingyu dengan tangan yang masih terus mengusap kepala Wonwoo. Ia benar-benar tidak menyangka tindakannya akan berefek pada Wonwoo sampai begini.
"Hu'um. Jangan begitu lagi."
Mingyu tersenyum begitu lebar, matanya menyipit dan jika ditelisik terlihat binar kebahagiaan di kedua bola matanya. Hatinya sangat tersentuh, meskipun ia dan Wonwoo baru mengenal tapi entah kenapa rasanya seperti mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun.
Dan Mingyu akui, takdir Tuhan benar-benar luarbiasa. Saat ia sudah akan menyerah pada hidupnya, tiba-tiba Tuhan mempertemukannya dengan salah satu malaikat berwujud manusia, ya ia adalah sosok malaikat tanpa sayap bagi Mingyu, Jeon Wonwoo.
.
.
.
.
.
TBC
*Annyeong~ Adakah yang berminat sama ff ini? Kemarin sneak peeknya udah di post dan ini lah chap 1 nya~
**Mind to RnR? Gomawo^^
