Disclaimer : Naruto bukan punya saya. Kalo punya saya, SasuNaru bakalan nikah. Hahahahaha XD
.
The Crimson Ring © Vandalism27
.
Warning : SASU(FEM)NARU, OOC (sudah jelas, ini fanfiksi BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya. Harap maklum, ya.
.
Note: SEMUA karakter disini bakalan OOC ya, jadi jangan kaget! Saya tidak ingin diprotes karena OOC. Kenapa Sasu(fem)Naru? Akan saya jelaskan di akhir. Thank you.
.
Sinopsis:
Naruto tidak sengaja menemukan cincin cantik berbatu merah tua di pinggir sungai. Siapa sangka, cincin itu ternyata dihuni seorang iblis. Iblis itu bahkan menawarkan Naruto tiga permintaan yang sanggup mengabulkan segalanya!
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
Di hari yang cerah itu, Naruto dan Shikamaru sedang berdiri di pinggir sungai. Bukan, mereka bukan hendak bunuh diri bersama. Mereka sedang memancing. Well, Shikamaru yang sibuk memancing, sedangkan Naruto hanya menemaninya saja.
Mereka adalah sahabat sejak kecil. Naruto adalah gadis tomboy yang tidak bisa akur dengan perempuan, sedangkan Shikamaru adalah pemuda malas yang sebenarnya pintar. Entah bagaimana mereka bisa dekat sebagai seorang sahabat, padahal Naruto itu berisik sekali sedangkan Shikamaru paling menghindari orang yang berisik.
Pengecualian untuk Naruto. Gadis tomboy itu kesepian. Dia sangat ingin berteman dengan gadis-gadis seusianya, tetapi mereka selalu menolak Naruto, seakan-akan Naruto itu datang membawa virus berbahaya. Jadilah gadis itu berteman dengan laki-laki. Salah satunya Shikamaru.
"Ne, Shika. Kenapa lama sekali? Dimana ikannya?" Naruto berjongkok, lalu duduk berselonjor di atas rumput, "Aku capek." Keluhnya.
Shikamaru mendengus, lalu ikut duduk di sebelah Naruto. "Entahlah. Mungkin ikannya takut denganmu." Kata Shikamaru.
Plak! Gadis berambut pirang sebahu itu memukul lengan Shikamaru, "Kurang ajar! Wajahku tak seseram itu, tahu!" katanya. Gadis itu menekuk wajahnya, bibirnya maju beberapa senti. Membuat Shikamaru mengacak rambutnya dengan gemas.
"Aku hanya bercanda, Naru."
"Tidak lucu!"
Shikamaru hendak membalas, tapi dering ponselnya mengalihkan perhatian remaja berambut nanas itu. "Ibuku." Katanya, disertai helaan napas. Ketika pemuda itu mengangkat telepon, serta merta ponsel itu dijauhkan sedemikian rupa. Teriakan ibu Shikamaru bahkan terdengar oleh Naruto.
Naruto meringis, dia tahu betul bagaimana cerewetnya ibu Shikamaru. Dia memperhatikan bagaimana malasnya Shikamaru jika sudah berbicara dengan sang ibu. Tapi biar begitu, Shikamaru sayang ibunya.
Shikamaru memasukkan kembali ponselnya ke saku celana setelah mematikan sambungan telepon. Dia menatap mata biru Naruto, lalu menghela napas, "Maaf Naru, aku harus pulang. Ibuku akan pergi ke suatu acara bersama ayahku, dia menyuruhku untuk menjaga rumah." Katanya, lalu dia membereskan peralatan pancingnya. "Kau mau ikut ke rumahku?"
Naruto menggeleng, "Tidak. Aku di sini saja. Aku ingin melihat matahari terbenam."
"Baiklah. Jangan pulang terlalu malam. Kalau sudah gelap, kau telepon aku. Aku akan mengantarmu pulang." Kata Shikamaru. Dia menepuk kepala Naruto sekali, sebelum beranjak pergi.
Sepeninggal Shikamaru, Naruto tersenyum kecil. Shikamaru memang terlihat cuek dan dingin, tapi sebenarnya dialah yang paling perhatian padanya. Shikamaru adalah teman terbaik yang Naruto punya.
Naruto beranjak dari posisi duduknya. Dia berdiri, lalu melepas alas kakinya. Gadis itu berjalan ke tepian sungai, hendak mencelupkan kakinya. Tetapi gerakannya terhenti ketika matanya menatap sesuatu yang berkilauan di bawah kakinya.
"Apa itu?" gumam Naruto. Dengan kening berkerut, gadis itu berjongkok lalu memungut benda itu. "Cincin?"
Naruto mengangkat temuannya, mengamatinya dengan serius. Sebuah cincin berwarna perak dengan batu kecil berwarna merah tua. Cincin itu terlihat seperti cincin mahal yang sering dipakai orang-orang kaya.
Kepala pirang itu menoleh kesana kemari, melihat apakah ada orang kaya lewat di sekitar sini, lalu tak sengaja menjatuhkan cincin ini? Tapi tak ada siapapun di sekitar situ selain Naruto. Lagipula, untuk apa orang kaya bermain dipinggir sungai?
Pandangan sang gadis kembali terarah pada cincin itu, "Cincin ini cantik sekali. Sayang kalau aku buang. Sebaiknya aku bawa saja." Naruto memasang cincin itu di jari manis tangan kirinya, lalu tersenyum puas. "Cincin cantik untuk gadis cantik." Katanya, lalu dia tertawa sendiri seperti orang gila.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Naruto.
"Ya, Shika?"
"Naru, kau masih di sungai? Aku akan menjemputmu, jangan kemana-mana. Ibuku mengamuk karena aku meninggalkanmu."
Naruto tertawa, "Aku masih di sungai. Ibumu masak apa? Aku lapar."
Naruto berjalan meninggalkan tepian sungai sambil berbicara dengan Shikamaru. Gadis itu tidak menyadari cincin di jari manisnya bersinar redup perlahan, kemudian sinar itu menghilang secara ajaib.
.
.
.
Naruto menggeliat di atas futonnya sambil menggeliat perlahan. Gadis itu tersenyum sambil mengusap perutnya. Dia kenyang. Masakan ibu Shikamaru memang lezat.
Naruto mengangkat kepalanya ketika dia mendengar suara pintu rumahnya terbuka. Rumah sederhana yang dia tinggali bersama sang ayah. Dia hanya hidup berdua bersama sang ayah, sedangkan ibunya sudah meninggal ketika dia masih kecil.
"Kau sudah pulang, Ayah?" Naruto berteriak dari kamarnya. Gadis itu keluar dari kamarnya lalu menghampiri sang ayah. "Ayah?"
"Oh, Naru. Kau belum tidur rupanya. Sudah makan? Ayah membawa ramen." Jawab sang ayah.
Sebenarnya Naruto masih kenyang, tapi dia tak tega untuk menolak. Keluarganya bukanlah keluarga kaya, mereka hidup serba pas-pasan dan dia tahu, ayahnya membeli ramen itu dengan uang hasil kerja kerasnya.
"Terima kasih. Ayah selalu tahu kalau aku ingin makan ramen." Kata Naruto. Dia segera membuka ramen itu. Persetan dengan perutnya yang masih kenyang! Aroma ramen ini membuat perutnya seakan kosong dan berteriak minta diisi. "Enaaaaaak!"
"Makan pelan-pelan, Naru. Nanti kau tersedak." Minato–ayah Naruto–duduk di sebelah sang putri, ikut menikmati ramennya.
Sepasang ayah dan anak itu makan ramen dalam diam. Hanya suara televisi yang terdengar. Minato melirik jari Naruto, mengernyit heran ketika melihat sebuah cincin melingkar di jari manis sang putri. "Cincin siapa itu, Naru?"
Naruto menoleh, lalu mengangkat tangan kirinya, "Oh, cincin ini? Entahlah. Aku menemukannya ketika memancing bersama Shika di sungai." Jawab Naruto.
"Kenapa kau memakainya? Cincin itu terlihat mahal dan mungkin seseorang sedang mencarinya sekarang." Minato menasehati. "Sebaiknya kau serahkan ke polisi. Ingat, Ayah selalu mengajarimu untuk berlaku jujur, jangan mengambil sesuatu yang bukan hakmu sekalipun kau sangat menginginkannya."
Naruto terdiam mendengar nasihat sang ayah. "Benar juga. Baiklah, besok aku serahkan ke polisi." Ucapnya. Naruto melepaskan cincin, diperhatikannya cincin berbatu merah tua itu sekali lagi. "Cincin ini cantik sekali, Ayah. Pasti pemilik cincin ini sedang sedih."
Minato tersenyum. Sang anak pasti menyukai cincin itu. "Kau mau cincin seperti itu? Nanti Ayah akan membelikannya untukmu."
Naruto menoleh kaget, "Eh?" serunya. "Tidak! Aku tidak suka cincin, Ayah! Aku hanya mengagumi cincin ini! Benar!" Well, Naruto memang suka cincin itu, tapi dia tak akan tega meminta benda-benda mahal pada sang ayah.
"Benarkah?"
"Ya, Ayah. Tapi, sebelum aku menyerahkannya pada polisi, boleh aku pakai cincin ini dulu? Aku suka batu merahnya. Aku janji akan menyerahkannya besok!" Kata Naruto.
Minato mengangguk, "Tentu saja, Nak. Nah, sekarang habiskan ramenmu. Ini sudah malam, besok kau harus sekolah."
Naruto kembali memakai cincin itu di jari manisnya. Dia memandang cincin itu, lalu tersenyum manis. Dia mengusap-usap batu merah itu sebanyak tiga kali. Secara misterius, batu di cincin itu bersinar.
Naruto mengerjapkan matanya, apa dia salah lihat? "Ayah, kau lihat batu di cincin ini bersinar?"
"Apa?" Minato memperhatikan batu merah tua itu, "Bersinar apanya?" tanyanya dengan wajah bingung.
Naruto mengerjapkan matanya sekali lagi. Mungkin dia salah lihat. Tapi, Naruto penasaran. Dia kembali mengusap batu merah itu sebanyak tiga kali. Batu itu kembali bersinar, lebih terang dari sebelumnya.
Dan bukan hanya bersinar, sesuatu seperti asap keluar dari dalam batu berwarna merah tua itu.
"A-apa yang terjadi?" Minato memekik ketika rumahnya dipenuhi asap aneh yang entah datang dari mana. "Naru! Kemari!" Dia segera menarik sang putri ke belakang tubuhnya, bagaimana pun dia tak akan membiarkan sang putri terancam bahaya.
"Ayah! A-apa itu?" Naruto meremas kemeja Minato. "Aku takut!"
"Kau tidak perlu takut, Nona." Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar. Asap yang memenuhi ruangan itu perlahan menipis lalu menghilang. Menampakkan sesosok pria super tampan yang memakai setelan jas. Rambut hitam pria itu disisir rapi ke belakang. Mata hitamnya yang tajam menatap Naruto dan Minato bergantian. "Perkenalkan, saya adalah Uchiha Sasuke. Penunggu cincin berbatu merah itu. Saya akan mengabulkan tiga permintaan Anda."
"Hah?" Naruto bengong. Dari mana datangnya pria super tampan ini? "Tiga permintaan? Apa maksudmu? Kau pikir ini cerita dongeng!"
Pria itu menatap Naruto datar, "Ini bukan dongeng, Nona. Saya di sini untuk mengabulkan tiga permintaan Nona, sebagai master saya."
"Master?" Minato bertanya.
Pria berambut hitam itu mengangguk, "Siapapun yang sudah menggosok cincin berbatu merah itu, dia akan menjadi master saya." Jelasnya. "Jadi, apa permintaan Anda, Master?"
"Master? Kau ini bicara apa?" seru Naruto. "Jangan bermain-main denganku! Mana ada orang bisa mengambulkan permintaan!"
"Saya, Uchiha Sasuke akan mengabulkan apapun keinginan Master."
Naruto berkacak pinggang, "Baiklah, kalau begitu berikan aku uang sekarang juga!" Naruto berseru tanpa pikir panjang, "Yang banyak!" tambahnya.
"Naru! Kau tidak sopan!" Minato menegur. "Maafkan putriku, Tuan…"
Sasuke memejamkan matanya, "Saya, Uchiha Sasuke akan mengabulkan permintaan Master."
Tiba-tiba saja, asap kembali muncul dihadapan Naruto. Bedanya kali ini asap itu tidak memenuhi ruangan seperti awal kemunculan pria aneh itu. Dan yang membuat mata biru Naruto dan Minato melotot seperti hendak meloncat dari tempatnya adalah …
Ada setumpuk uang teronggok di dekat kaki Naruto!
"Apakah itu cukup, Master?" ucap Sasuke. "Kalau kurang, saya bisa menambahnya lagi."
"Woaaah! Stop! Stop! Apa-apaan semua uang ini?!" seru Naruto.
Sasuke mengerutkan keningnya, "Bukankah tadi Anda meminta uang yang banyak, Master?" jawabnya tenang. "Saya hanya mengabulkan permintaan Anda."
Minato berdehem sekali, menarik perhatian Naruto dan Sasuke. "Maaf, Uchiha-san. Tapi … uang siapa ini? Sebaiknya kau kembalikan, ini bukanlah milik kami." Katanya.
"Itu adalah milik master saya, Tuan. Anda tidak usah khawatir, saya tidak mencuri." Jawab Sasuke. "Kalau saya boleh tahu, siapa nama Anda, Master?" Tanya Sasuke pada Naruto.
"Namikaze Naruto." Jawabnya. Naruto menepuk bahu sang ayah, "Dan ini Ayahku, Namikaze Minato." Jawabnya. Naruto terdiam. Dia masih mencerna kejadian ajaib yang baru saja terjadi. "Hei, sebenarnya kau ini siapa?" Tanya Naruto. Gadis itu duduk di depan kotetsu, lalu memberi isyarat pada Sasuke untuk duduk di depannya.
Sasuke menurut, dia duduk dengan sopan di depan Naruto dan Minato. "Saya adalah Uchiha Sasuke, penunggu cincin berbatu merah itu. Nama cincin itu adalah Crimson Ring. Saya tidak tahu apa yang terjadi, sudah lama sekali semenjak ada orang memanggil saya. Saya berasal dari Immortal World, negeri pada iblis, saya anggota klan Uchiha."
"Immortal World? Dimana itu?" Tanya Minato.
Sasuke melirik Minato, "Itu tidak ada di dunia ini, Minato-sama. Dunia saya dan dunia kalian berbeda." Kata Sasuke.
"Lalu, kenapa kau bisa berada di sini? Di dunia manusia?" Kali ini Naruto yang bertanya.
"Saya dihukum karena berbuat kesalahan di negeri saya. Dan sebagai hukuman, saya dikurung di sebuah cincin, dan itu adalah cincin yang Anda pakai, Naruto-sama."
Naruto mengangguk, "Oh, begitu."
"Uchiha-san, apakah Anda tidak apa-apa mengabulkan permintaan seperti itu? Bahaya sekali jika ada manusia yang memanfaatkan kekuatanmu." Kata Minato.
"Ya, hal seperti itu sering terjadi. Kekuatanku dimanfaatkan oleh manusia." Sasuke kembali menjelaskan. "Tapi aku hanya akan mengabulkan tiga permintaan saja. Dan setelah permintaan ketiga terkabul, aku akan pergi, menghilang bersama Crimson Ring, mencari master baru."
"Menghilang?"
"Ya. Dan Naruto-sama masih memiliki dua permintaan lagi. Saran saya, gunakanlah permintaan itu dengan bijak dan bertanggung jawab. Jangan meminta ketika Anda sedang bahagia ataupun sedang bersedih atau marah."
Naruto menghela napas. Gadis itu memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Penunggu Crimson Ring? Ada-ada saja! Ini mimpi! Ya, Cuma mimpi!
.
.
.
Naruto menggeliat di atas futonnya. Hari sudah pagi. Gadis itu menyibak selimut, lalu duduk sambil meregangkan ototnya yang kaku. Dia tersenyum ketika mengingat mimpinya yang terasa konyol dan menggelikan.
Cincin merah ini berpenghuni? Yang benar saja?
Shikamaru akan menertawainya habis-habisan.
Tok… tok… tok…
Naruto mengernyit ketika pintu kamarnya diketuk. Tumben sekali sang ayah mengetuk pintu kamarnya?
"Selamat pagi, Naruto-sama." Sebuah suara berat yang asing sekaligus familiar terdengar. "Apakah Anda sudah bangun? Sarapan sudah siap."
Naruto masih bengong. "Suara siapa itu? Shika kah? Ah, tidak mungkin dia sudah di sini pagi pagi begini!" Gumamnya. Tiba-tiba, mata biru itu membulat. "Jangan-jangan …"
Gadis itu merangkak dari futon untuk berjalan menuju pintu, membukanya dengan sedikit kasar. Dan benar dugaannya, sosok tampan Sasuke sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Tampangnya dingin dan datar, tak ada senyum di sana.
Naruto meraih lengan Sasuke, membuat pria itu mengerutkan kening. Lalu gadis itu memutar tubuh Sasuke, seakan mengecek apakah pemuda itu nyata atau tidak. "Kau … kau bukan mimpi? Kau … nyata?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.
"Tentu saja saya nyata, Naruto-sama." Katanya.
Naruto melepaskan lengan Sasuke, lalu bersedekap. "Jangan memanggilku Naruto-sama. Panggil saja Naru. Aku bukan tuan putrimu." Kata Naruto. Gadis itu beranjak untuk ke kamar mandi. Dia menyambar handuk di jemuran, kemudian langkahnya terhenti ketika sadar Sasuke masih mengikutinya. "Untuk apa kau mengikutiku?" Tanya Naruto.
"Saya akan membantu Anda mandi, Naruto-sama. Ah, maksud saya, Naru."
Wajah Naruto berubah semerah tomat, "Kurang ajar!" Gadis itu mengibaskan handuknya tepat di depan wajah Sasuke. Untung saja pria tampan itu segera menghindar. "Dasar otak mesum! Pergi sana! Aku bisa mandi sendiri, tidak butuh bantuanmu!" Gadis itu berteriak, lalu berlari mencari sang ayah, "Ayaaaaaah!"
"Ada apa ribut pagi-pagi begini, Naru?" Minato yang baru pulang dari berbelanja di pasar mengerut heran.
"D-dia!" Naruto menunjuk Sasuke, "Dia ingin memandikanku, Ayah!" adunya pada sang ayah.
Minato melotot. "Apa?" Dia menatap Sasuke yang berjalan menghampirinya dengan tenang, "Apa maksudmu ingin memandikan putriku? Memangnya dia kerbau?!" Minato memang seorang ayah yang sabar dan pengertian, tapi dia akan berubah menjadi monster jika ada yang berani mengganggu sang putri. Minato meraih katana yang tergantung di dinding dekat televisi, "Katakan padaku, atau aku potong lehermu!"
Sasuke berdehem, "Saya hanya ingin melayani Master saya. Apakah salah?" katanya. "Master saya yang dulu juga sering meminta bantuan saya untuk mandi. Saya tidak bermaksud apa-apa, Minato-sama."
"B-benarkah? Apakah wanita jaman dulu suka dimandikan laki-laki lain?" Tanya Naruto. Dia berlindung dibalik tubuh ayahnya.
Sasuke menggeleng, "Tidak. Master saya sebelumnya, mayoritas laki-laki." Katanya.
Naruto kembali memegang handuknya, kemudian melemparkannya pada Sasuke, "Kurang ajar! Jadi kau menyamakan aku dengan laki-laki, hah?! Aku gadis tulen, tahu! Aku punya buah dada! Dan besar! Lihat!"
Sasuke menurunkan pandagannya, "Iya, benar. Besar."
"Kau cari mati, Anak Muda?!" Teriak Minato sambil mengacungkan katana-nya.
Kediaman Namikaze yang biasa sepi dan tenang itu, kini ramai oleh teriakan-teriakan Minato dan Naruto. Sepertinya, mulai sekarang semuanya tak akan lagi sama.
.
.
.
Naruto berjalan sambil bersungut-sungut. Dia ngambek.
Sasuke berjalan beberapa meter di belakang Naruto. Pria itu ngotot ingin ikut Naruto ke sekolah. Dia hanya ingin menjaga keselamatan sang master. Tapi dia tak mengerti kenapa masternya malah cemberut.
"Naru, apakah Anda marah?" Tanya Sasuke.
Naruto menghentikan langkahnya, lalu berbalik pada Sasuke yang ternyata juga berhenti melangkah. "Tadi aku bilang apa padamu? Jangan menggunakan bahasa formal, Sasuke! Pakai saja bahasa yang santai. Aku capek mendengarmu bicara formal!"
Sasuke mengangguk, "Baiklah, maaf." Katanya. "Jadi, apa kamu marah, Naru?"
"Marah? Ya! Aku kesal! Gara-gara kau, satu sekolah jadi heboh. Naru, si anak miskin punya bodyguard? Heh, yang benar saja! Ino-senpai yang cantik jelita dan anak orang kaya saja tidak pakai bodyguard segala!"
"Apa salahnya? Aku hanya ingin menjaga keselamatanmu, Naru." Kata Sasuke. Pria itu selalu kalem dan tenang, biarpun Naruto selalu membentak maupun meneriakinya.
"Keselamatan apa? Tak akan ada orang yang mau menculikku! Aku ini hanya anak orang miskin." Katanya. "Meskipun mereka mengancam akan menggorengku, Ayahku tak akan sanggup membayar uang tebusan."
Sasuke memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya. Tatapan itu menajam. "Kamu ingat cincin di jarimu, bukan? Bisa saja ada orang yang mengenali cincin itu dan berusaha untuk merebutnya darimu." Katanya. "Oleh karena itu, disinilah aku. Aku akan melindungimu, karena kamu adalah masterku."
"Master, master! Bagaimana kalau aku melepaskan cincin ini?"
Sasuke menghela napas, "Sebaiknya jangan, cincin itu adalah cincin yang menghubungkan kita berdua. Kalau kamu melepas cincin itu, aku akan menghilang dan perjanjian kita otomatis batal. Aku hanya akan menjadi pemilik cincin itu."
Naruto menatap Sasuke, "Kau akan menghilang?"
"Ya. Kamu mengerti, kan? Jangan pernah lepaskan cincin itu."
Naruto mengangguk. Gadis itu tiba-tiba membulatkan matanya, lalu berlari untuk bersembunyi dibalik tembok sebuah bangunan. Sasuke mengikutinya dengan kening berkerut. Pria itu bertambah bingung ketika Naruto mengintip ke balik tembok.
Sasuke mengikuti arah pandang Naruto. 'Mengapa Master menatap pemuda itu?'
"Kamu menyukainya, Naru?"
"A-a-apa? Apa-apaan kau! Sembarangan!" Naruto mengelak, tapi Sasuke tahu sang master berbohong. Dia bisa melihat dengan jelas, wajah memerah sang master dan senyumnya yang terkesan malu-malu tapi mau. Dan untuk apa pula, dia mengintip pemuda itu?
"Apakah kamu ingin aku membuatnya berbalik untuk menyukaimu? Itu perkara mudah."
Naruto mendelik, "Jangan! Aku tidak suka kau bermain-main dengan perasaan. Kalau pun dia naksir aku, aku ingin dia benar-benar mencintaiku apa adanya, bukan karena sihir! Ingat, jangan bermain-main dengan perasaan!"
Sasuke terdiam. Sejujurnya, baru kali ini dia bertemu dengan manusia seperti Naruto. Padahal masternya yang sebelum-sebelumnya, selalu meminta apapun dengan rakus. Entah kekayaan, ketampanan atau kecantikan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Gadis ini, entah mengapa selalu menolak setiap dia mengingatkan kalau permintaannya masih tersisa dua.
Di awal, gadis itu memang meminta uang. Tapi Sasuke paham kalau itu hanyalah permintaan kosong yang tak ada artinya. Gadis itu hanya ingin mengetes kekuatannya. Tidak lebih dari itu. Karena Sasuke bisa merasakan apa yang dirasakan masternya ketika dia mengucapkan permohonan.
"Naru?" sebuah suara berat menyapa.
Naruto, yang sedang berdebat dengan Sasuke menoleh kaget, "G-Ga-Gaara-senpai?" ucapnya terbata-bata. "A-apa yang Senpai lakukan disini?"
Pemuda yang dipanggil Gaara mengernyit, "Aku hanya melihatmu berdiri di balik tembok, makanya aku bertanya, kau sedang apa." Mata hijau Gaara bertemu dengan mata hitam Sasuke, "Ah, kau pasti bodyguard Naru, yang tadi dibicarakan di sekolah?"
"Ya. Aku Sasuke."
Gaara menunduk sopan, bagaimanapun Sasuke terlihat lebih tua darinya, "Saya Sabaku Gaara. Salam kenal." Kata Gaara pada Sasuke. Pemuda berambut merah bata itu berteriak pada teman-temannya yang menunggu di ujung jalan, kemudian kembali menatap Naruto. "Aku duluan, ne, Naru? Sampai jumpa di sekolah!"
"S-sampai jumpa besok, Senpai!"
"Kamu menyukainya." Sasuke bersuara.
Naruto menoleh, terkejut, "Apa? Tidak!" Dia bilang tidak, tapi pipinya bersemu merah. Dan itu terlihat manis. "Aku tidak berani menyukainya, bodoh!" katanya.
"Kenapa?"
Naruto menghela napas. "Dia itu sempurna, ganteng, baik hati, meskipun wajahnya sedikit menyeramkan dan dia juga pendiam." Katanya. "Dia juga kaya, sedangkan aku? Aku biasa-biasa saja. Kaya tidak, cantik tidak, pintar juga tidak."
Sasuke mengerutkan keningnya, "Tapi kamu cantik, Naru." Katanya "Siapa yang mengatakan kamu tidak cantik?"
"Heh! Jangan bicara sembarangan!" Pipi Naruto bertambah merah, bahkan sampai ke telinganya. Seumur-umur, belum pernah ada seorang pemuda pun yang mengatakan dirinya cantik. Selain ayahnya, tentu saja. "Aku tidak cantik!"
"Cantik itu tidak hanya soal penampilan fisik, tapi juga hati. Kamu cantik, karena kebaikan hatimu. Ayahmu juga baik. Aku senang kamu adalah master-ku."
Naruto tersenyum tulus, "Terima kasih, Sasuke. Kau adalah pria terbaik yang pernah aku kenal, selain Shikamaru dan ayahku, tentu saja."
"Shikamaru?"
"Oh, dia sahabatku sejak kecil."
"Naru!" sebuah suara membuat dua kepala berlainan warna itu menoleh bersamaan. "Kenapa kau pulang duluan? Aku kan sudah memintamu untuk menungguku selesai latihan basket!" kata Shikamaru. "Kau bersama bodyguardmu?" mata kuaci Shikamaru melirik Sasuke.
Naruto menatap Sasuke, "O-oh, dia bukan bodyguard. Dia saudara jauh, keponakan ayah. Dia sedang berlibur disini. Kenalkan, namanya Sasuke."
"Aku Sasuke." Sasuke mengulurkan tangannya, yang dibalas oleh Shikamaru sambil menyebutkan namanya. Dia tersenyum tipis, yang dibalas anggukan kepala Sasuke.
"Naru, ikut aku. Aku menemukan sebuah tempat asyik, di sana ada permainan yang kau sukai!" Shikamaru menarik lengan Naruto, tapi tertahan karena lengan Naruto yang satunya ditahan oleh Sasuke.
Naruto tertawa, "Gila! Mirip adegan drama!" kata gadis itu.
"Kalian mau kemana? Ini sudah waktunya Naru untuk pulang." Kata Sasuke.
"Aku mau main bersama Shika, kau pulanglah duluan." Kata Naruto. Dia hendak melepaskan cekalan tangan Sasuke. Tapi gadis itu mengernyit ketika lengannya dicekal dengan kuat oleh pria itu. "Bisa lepaskan tanganku, Sasuke?"
Sasuke melirik Naruto. "Tidak. Kamu lupa apa yang aku katakan tadi?"
"Tapi, Shika …"
"Tidak ada tapi-tapian, Master." Sasuke berkata dengan tegas. Naruto mendengus dalam hati. Sebenarnya siapa master-nya? Kenapa Sasuke malah memerintah Naruto? "Kalau kau ingin pergi, aku ikut denganmu."
Naruto mendengus, "Baiklah, kau ikut." Kata Naruto. Dia mengibaskan lengannya ketika cekalan Sasuke mengendur. Naruto menggamit lengan Shikamaru, "Ayo jalan, abaikan saja dia!" gumamnya pada Shikamaru.
Shikamaru berdehem. Dia bisa merasakan tengkuknya meremang. Apakah pria tadi memelototinya? Dia merasa seorang iblis sedang berusaha melubangi punggungnya dengan tatapan maut.
.
.
.
"Naru, dia siapa?"
"Kan tadi sudah aku jelaskan?"
Shikamaru garuk-garuk kepala, "Iya, tapi aku merasa dia seperti seorang suami yang mengawasi istrinya berjalan bersama mantan kekasihnya."
Naruto menjitak kepala nanas itu, "Sembarangan, siapa suami istri? Sekali lagi kau bicara melantur, aku tenggelamkan kau ke laut!"
Shikamaru menghela napas. Tadi ketika dia pergi ke pusat kota bersama Naruto untuk bermain di game center yang baru buka, pria itu hanya diam mengawasi Naruto. Dia menolak untuk ikut bermain, tetapi selalu mengikuti mereka. Well, mengikuti Naruto lebih tepatnya. Dan tatapan matanya, entah mengapa membuat Shikamaru merinding.
Bahkan ketika di jalan pulang pun, Shikamaru masih merasakan aura yang bikin merinding itu. Dia tak tahu apa yang dilakukan Sasuke di belakang punggungnya. Shikamaru dan Naruto berjalan beriringan sedangkan Sasuke berjalan di belakang mereka. Seolah mengawasi.
Ketika sampai di depan rumah Naruto, Shikamaru melambaikan tangan pada Naruto yang masuk ke dalam rumah. Pemuda itu membungkuk pada Sasuke yang masih berdiri tegak di depan rumah, lalu segera pulang. Sang ibu sudah mengomel sejak tadi.
Sasuke masih mengamati keadaan sekitar rumah. Dia menghela napas sejenak, lalu masuk ke dalam rumah sederhana milik keluarga Namikaze.
Dia tidak bermaksud menakuti teman Naruto, hanya saja dia berusaha "membaca" siapa Shikamaru ini. Apakah dia punya niat jahat pada sang master? Tapi sepertinya tidak. Dia sudah mengawasi Shikamaru berjam-jam dan dia putuskan kalau Shikamaru itu tidak berbahaya.
"Sasuke, kenapa kau kaku sekali pada Shikamaru?" Tanya Naruto ketika mereka sedang makan malam.
"Tidak, aku hanya ingin mengawasinya, apakah dia punya rencana jahat atau tidak. Aku disini untuk melindungimu, kamu tahu itu kan?" jelas Sasuke, sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
"Ck!" Naruto berdecak. "Kau berlebihan!" katanya, lalu mencomot satu ikan buatan Sasuke.
Buatan Sasuke? Yap, Sasuke yang memasak makan malam. Naruto tak paham dengan dapur dan segala urusannya. Dapur bukanlah wilayahnya. Naruto bersyukur ada Sasuke disini, karena ayahnya sedang pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan dan mungkin dia akan kelaparan kalau saja tak ada Sasuke.
"Jadi, apakah menurutmu Shikamaru berbahaya?" Tanya Naruto.
"Tidak. Dia tidak berbahaya."
Wajah Naruto berubah cerah, "Jadi aku bisa bermain dengannya, kan? Dia temanku sejak kecil!"
"Tentu saja." Kata Sasuke. "Tapi aku tidak bisa membiarkanmu berdekatan dengan Gaara."
Wajah Naruto yang semula cerah, mendadak berubah keruh, "Apa? Memangnya Gaara berbahaya? Dia membawa virus mematikan, begitu?" sindir Naruto. "Kau bahkan tidak mengenalnya, bagaimana bisa kau bicara begitu?"
"Entahlah. Aku punya firasat tidak enak tentang dia."
"Dari mana kau tahu?" Naruto sewot. Oke, dia akui. Dia sedikit menyukai Gaara.
Sasuke mengangkat bahunya acuh, "Instingku mengatakan begitu."
"Insting! Makan tuh insting!" Naruto menggebrak meja, lalu beranjak menuju kamarnya tanpa menghabiskan makannya. "Aku sudah kenyang! Mau tidur! Jangan ganggu aku!"
Dia tidak suka Sasuke menjelekkan laki-laki yang disukainya. Dia sudah lama memperhatikan Gaara. Dan sekarang, Sasuke malah menjelekkannya dan menyuruhnya menjauhi Gaara?! Yang benar saja!
.
.
.
Sasuke menghela napas. Ini sudah dua hari Naruto mendiamkannya. Gadis itu tidak mau berbicara dengannya, dia selalu menghindar dan enggan menatap wajahnya. Sepertinya dia masih marah karena kejadian malam itu.
Sasuke bukanlah iblis penyabar, tapi entah mengapa dia tidak bisa marah pada masternya itu. Ini pertama kalinya Sasuke memiliki master seorang gadis yang masih remaja. Dia ingat, pernah punya master seorang wanita, tapi masternya yang dulu sangat dewasa dan tak pernah ngambek. Sasuke pun hanya sebentar bersama wanita itu.
"Kamu masih marah padaku?" Tanya Sasuke. Dia menghalangi Naruto yang hendak keluar rumah.
Gadis itu menatap Sasuke tajam, "Ada perlu apa denganku? Tak usah bicara panjang lebar, aku sibuk. Lihat? Aku hampir terlambat!" Naruto menunjuk jam dinding dengan dagunya, yang sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. "Aku tidak mau berdesakan di kereta! Minggir!"
Sasuke memejamkan matanya. Kemudian terdengar helaan napasnya, "Kamu tidak ingin terlambat? Aku bisa mengabulkan keinginanmu, kalau kamu memintanya." Kata Sasuke. "Jadi permintaanmu tinggal satu."
"Tidak, terima kasih. Itu permintaan sepele yang tidak berguna. Aku bisa naik kereta." Jawab Naruto ketus. "Minggirlah, Tuan Iblis!"
Sasuke menatap Naruto tajam, "Tuan Iblis, huh? Aku sudah berbaik hati padamu, Naru. Tapi kamu selalu mengabaikanku. Dan tak ada seorangpun yang boleh mengabaikan aku."
"Memangnya kenapa kalau aku mengabaikanmu? Kau yang salah!"
Sasuke menaikkan alisnya, "Oh, jadi aku yang salah disini? Baiklah, aku minta maaf. Apakah aku harus berlutut sambil mencium punggung tanganmu?"
"Ya! Kau harus minta maaf seperti pangeran di negeri dongeng!"
"Baiklah." Sasuke berjongkok di depan Naruto, lalu meraih tangan kanan gadis itu. Diciumnya punggung tangan gadis itu, lalu matanya menatap Naruto lembut. "Maafkan aku, Naru. Jangan marah lagi, oke?"
Deg!
Naruto membeku. Demi apa, dia kan cuma bercanda!
Dan, apa-apaan tadi, kenapa jantungnya berdebar ketika Sasuke tersenyum? Sial. Sepertinya ada yang salah dengan jantungnya.
"Y-ya, aku sudah memaafkanmu." Naruto menarik tangannya yang masih dalam genggaman Sasuke yang entah mengapa terasa panas. "A-aku mau berangkat dulu. Aku tidak mau kau ikut ke sekolah! Aku akan memanggilmu kalau terjadi apa-apa." Naruto menggigit bibirnya, dia bisa merasakan pipinya yang menghangat. Shit! Pasti wajahnya memerah sekarang.
Sasuke mengangguk, "Ya. Hati-hati di jalan."
Tanpa buang waktu lagi, Naruto segera berlari. Dia malu setengah mati! Bagaimana bisa wajahnya memerah hanya karena perlakuan aneh Sasuke? Gadis itu diam-diam mengelus punggung tangannya yang tadi dicium Sasuke. Demi apa, dia belum pernah dicium oleh laki-laki lain, selain ayahnya.
Gadis itu tersenyum kecil, "Sial. Aku tidak bisa berhenti tersenyum!"
"Naruto!"
Senyum Naruto mendadak lenyap ketika dia mendengar suara yang familiar. Dia menoleh ke belakang, "Gaara-senpai?" gumamnya, heran. Kenapa dia jalan kaki? Setahunya, Gaara selalu diantar jemput supir pribadi. Maklum, anak orang kaya.
"Selamat pagi, Naru!"
"Selamat pagi, Senpai!"
Gaara membenarkan letak ranselnya yang melorot, "Aku naik kereta hari ini. Mau berangkat bersama?" katanya. "Kalau kau tidak keberatan."
Naruto segera mengangguk, "Tentu saja!" Rejeki nomplok, tambahnya dalam hati. "Kenapa tidak pakai supir pribadi, Senpai? Tumben naik kereta?" Tanya Naruto.
"Kau tahu aku diantar jemput? Tahu dari mana?"
Naruto menggigit bibir, tidak mungkin dia bilang kalau selama ini dia selalu memperhatikan Gaara diam-diam, kan? "Ngg, itu … setiap hari aku berpapasan dengan Senpai yang baru turun dari mobil pribadi, di dekat gerbang sekolah."
"Benarkah?" Tanya Gaara. "Kenapa tidak menyapaku?"
Naruto meringis, dia tidak menjawab. Bagaimana bisa dia menyapa Gaara, kalau di sekolah ada perkumpulan–kalau tidak boleh disebut gang–yang menamakan diri Gaara Fans Club? Baru mendekat beberapa meter saja, gadis-gadis bermakeup tebal dan berambut digulung-gulung mirip tornado sudah memelototinya. Apa jadinya kalau dia nekat berbicara pada Gaara?
Belum lagi dia, Namikaze Naruto, gadis aneh yang suka usil, selalu menempel bersama tiga orang sahabatnya, malah mengajak Gaara berbicara! Duh, dia masih sayang nyawa.
Naruto mengenal Gaara ketika gadis berambut pirang itu tidak sengaja melempar sepatu milik Kiba, teman sekelasnya, dan jatuh tepat mengenai punggung Gaara. Pemuda berambut merah itu menoleh, tatapan seramnya menghentikan aksi konyol teman-teman Naruto.
Tapi Naruto yang lugu dan tidak mengerti pacar-pacaran, dengan entengnya meminta sepatu milik Kiba. Dia bilang maaf, lalu berlalu begitu saja. Tapi bagi Gaara, itu adalah sebuah kejadian ajaib. Belum pernah ada yang berani melemparnya, pakai sepatu pula!
Gaara mengancam Naruto, tapi gadsi itu tidak pernah takut. Dia selalu menganggap Gaara kakak kelas yang baik karena selalu menyapa Naruto di gerbang sekolah. Padahal niatnya, Gaara ingin memberi pelajaran pada gadis itu.
Hingga pada suatu hari, Naruto diganggu sekelompok preman ketika dia baru pulang dari rumah Shikamaru. Dan Gaara menolongnya bagaikan seorang pahlawan. Sejak saat itu, Naruto naksir Gaara dan selalu memperhatikannya diam-diam. Dia tidak berani mendekat karena Gaara dikelilingi banyak gadis cantik dan galak.
Meskipun begitu, diam-diam Gaara sering mengajaknya berbicara. Gaara memang pemuda yang baik, Sasuke saja yang terlalu sensitif. Naruto mendengus mengingat perkataan Sasuke tempo hari.
"Kenapa, Naru?" Tanya Gaara.
Gadis itu buru-buru menggeleng. "T-tidak."
Mereka sedang ada di kereta. Jam segini adalah jam sibuk, dan sialnya kereta benar-benar padat. Naruto menahan napasnya ketika sadar tubuh Gaara hanya berjarak beberapa inchi dari tubuhnya. Matanya melotot horror ketika kereta berguncang, kepalanya nyaris menubruk dada Gaara.
'Sial, rejeki nomplok datangnya tidak kira-kira.' Batin Naruto.
Napas Naruto kembali tertahan. Bukan, bukan karena Gaara menciumnya atau dia mencium Gaara. Tapi ada sebuah tangan yang merayap, mengelus-elus pahanya. Tangan itu membelai pahanya dengan cara yang menjiikkan.
Naruto ingin menangis. Ini pertama kalinya dia diraba-raba oleh orang tak dikenal. Gaara tidak melihatnya karena pemuda itu sedang memandang ke arah lain. Tiba-tiba Naruto teringat Sasuke. 'Hati-hati di jalan'. Kata-kata pria itu terngiang di telinga Naruto.
Detik itu juga, Naruto berbisik, "Sasuke … Sasuke … Tolong aku!" bisiknya, sambil menggenggam cincin di jari manisnya. Naruto menggigit bibirnya sekuat tenaga agar isakannya tidak lolos. Meskipun dia berteman dengan banyak laki-laki, dan dia juga sering berbuat usil, tapi Naruto tetaplah seorang gadis. Gadis remaja yang ingin dilindungi dan punya rasa takut.
"Lepaskan tanganmu atau aku patahkan!" Sebuah suara baritone yang familiar menelusup masuk ke indra pendengaran Naruto. Membuat gadis itu mendongak. Dilihatnya Sasuke sedang mencengkram pergelangan tangan laki-laki tua dan gendut yang meraba-raba paha gadis itu.
"A-apa maksudmu, hah?"
"Oh, kau tidak mengakui perbuatanmu? Bagaimana kalau kita ke kantor polisi? Buktikan dirimu tidak bersalah di sana!" ancam Sasuke. Tatapan mata itu menusuk, terlihat mengerikan dan berbahaya.
"M-maafkan aku! Maafkan aku!" kata bapak tua itu. "A-aku tidak akan mengulanginya lagi!"
Sasuke hendak memaki pria tua mesum itu, tapi seseorang menyentuh lengan bajunya. Naruto menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan bibir gemetaran. Serta merta Sasuke melepaskan cekalannya pada pria tua itu, lalu sang pelaku pencabulan kabur secepatnya. Para penumpang kereta menatap jijik padanya, bahkan beberapa terang-terangan mengatainya.
"Naru–" Gaara bersuara. Dia bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi.
"Sasukeeee … huuueeeee …" Naruto merengek, mengabaikan Gaara. Gadis berambut pirang itu memeluk Sasuke lalu menangis di dadanya. "A-aku takut! Hiks!" Gumamnya disela isak tangisnya.
"Ssshh, sudah, tidak apa-apa." Sasuke balas memeluk Naruto, melingkarkan lengannya dengan protektif ke tubuh mungil gadis itu. "Tidak akan ada yang menyakitimu, Naru. Ada aku disini. Kamu aman." Katanya.
"Apa yang terjadi, Sasuke-san?" Tanya Gaara bingung. Dia tadi sibuk memperhatikan ponselnya jadi tak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba Sasuke muncul, mengancam seorang pria tua, dan Naruto menangis. "Aku tidak tahu kau di kereta ini juga."
Sasuke menatap Gaara, tajam. "Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi bersamamu." Kata Sasuke. "Kau terlalu bodoh, bahkan tidak tahu caranya menjaga seorang gadis!" Tambahnya. Sebenarnya, diam-diam Sasuke mengikuti Naruto. Ketika Gaara datang, dan dilihatnya wajah ceria Naruto, pria itu memutuskan untuk kembali ke rumah. Tapi … lihat apa yang terjadi!
"A-apa?" Gaara kaget, kenapa Sasuke tiba-tiba marah padanya?
Sasuke memejamkan matanya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba waktu seolah berhenti berputar. Semua orang terdiam, bahkan kereta itu ikut berhenti. Kemudian Sasuke membuka matanya kembali. Mata yang semula hitam itu berubah merah tua. Warnanya sama dengan batu di Crimson Ring.
Sasuke menggendong tubuh Naruto yang terdiam sambil memejamkan mata. Dia menghapus linangan air mata yang jatuh membasahi pipi sang gadis. Dia menghela napas, "Maaf, seharusnya aku menjagamu."
Sasuke mengeratkan pelukannya pada tubuh Naruto. Kemudian dia menghilang tanpa jejak, seolah ditelan bumi. Dan sedetik kemudian, semuanya kembali normal. Kereta melaju dengan kencang, terdengar suara orang-orang sedang mengobrol dan ada Gaara yang celingukan mencari Naruto yang tiba-tiba menghilang.
Kemana gadis itu?
.
.
.
Naruto duduk di sebuah bangku taman sambil meneguk teh yang diberikan Sasuke. Gadis itu masih sesenggukan. Sepertinya dia masih shock.
Sasuke yang semula duduk di sebelahnya, tiba-tiba berjongkok di depan gadis itu, lalu menyentuh tangannya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Nadanya masih datar dengan wajah yang datar pula, tapi Naruto tahu, ada kekhawatiran terselip di sana.
Gadis itu mengangguk, lalu menyeka matanya yang masih basah, "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kaget." Kata Naruto. "Kenapa kau bisa ada di kereta itu? Setahuku kau berada di rumah."
Sasuke mendengus, "Aku ini hebat." Katanya.
Naruto mencebik, "Hebat apanya!" gumamnya. "Tapi terima kasih, kau sudah menolongku." Gadis itu tersenyum manis. "Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya kalau Gaara-senpai melihatku dalam posisi seperti itu. Pasti malu berat!"
"Kamu lebih memikirkan malu, dari pada keselamatanmu?"
"Tidak juga, sih." Naruto meletakkan kaleng teh yang sudah kosong di atas bangku taman, lalu tangannya mengelus rambut Sasuke. "Terima kasih, ya."
Sasuke tertegun. Dia mengalihkan tatapannya, lalu berdiri. "Ayo, sebaiknya kita pulang. Kamu tidak mungkin masuk sekolah, kan? Kamu sudah sangat terlambat." Kata Sasuke. "Lagi pula sudah tugasku untuk menjagamu. Kamu adalah master-ku."
Senyum Naruto perlahan pudar. Ada rasa aneh yang menyusup ke dalam hatinya ketika Sasuke mengucapkan kata 'kamu adalah master-ku'.
Perasaan aneh apa ini?
.
.
.
Keesokan harinya, kelasnya yang tadinya riuh dan berisik, mendadak hening. Naruto yang baru memasuki kelas tertegun diambang pintu. Teman-teman sekelasnya menatap aneh padanya. Seolah kepala Naruto tumbuh kepala baru.
"Kenapa?" Tanya Naruto.
"Narutooooo! Kemana saja kau kemarin, hah? Bolos tidak mengajak kami!" Kiba berseru dari bangkunya.
Shikamaru terbangun dari mimpi indahnya di pojokan kelas, "Naruto? Kemana saja kau kemarin? Aku menghubungi ponselmu tapi tidak aktif." Tanyanya ketika Naruto sudah duduk di sebelahnya. "Tumben kau bolos sekolah?"
"Aku tidak bolos, Kepala Nanas! Kemarin aku sakit."
"Hah? Sakit apa? Bukankah orang bodoh tidak gampang sakit?" Tanya Kiba. "Iya kan, Shino?"
Naruto menendang betis Kiba, "Enak saja mengataiku bodoh! Aku tidak bodoh!"
Kiba meringis mendapat tendangan manis dari Naruto, "Ya, tidak usah pakai tendang-tendang segala. Kau itu perempuan, bersikaplah manis. Seperti Sakura-chan!" kata Kiba. Dia mengirimkan cium jauh ketika Sakura menoleh, gadis berambut merah jambu itu membuat gerakan seolah-olah mau muntah.
Naruto tertawa keras, menertawakan nasib Kiba yang selalu ditolak gadis secantik Sakura. Well, Sakura termasuk gadis tercantik di sekolah yang selalu diperebutkan siswa. Padahal dia itu judes dan galak.
"Naru! Beritahu temanmu itu agar tidak menggangguku! Merusak mood saja!" Sakura berteriak pada Naruto.
Naruto memang tidak mempunyai teman perempuan, tapi dia akrab dengan teman-teman sekelasnya. Meskipun kelakuan Naruto kadang sama usilnya seperti anak-anak lelaki di kelas, tetapi ajaibnya mereka mau berteman dengan Naruto.
"Tenang saja, Sakura-chan! Kiba jinak kok, dia sudah suntik rabies!" perkataan Naruto membuat seisi kelas tertawa keras, menertawakan Kiba. Sedangkan Kiba sendiri sudah pundung dipojokan kelas. "Man, aku kasihan pada Kiba yang selalu mengejar Sakura." Bisiknya pada Shikamaru yang sedang menutup matanya.
Mata kuaci itu terbuka, sambil menghela napas dia berkata pelan, tapi menusuk. "Seperti kau tidak sedang mengejar seseorang saja. Senpaaa~aai." Ucap Shikamaru, menirukan cara Naruto memanggil Gaara, tentunya dengan gaya yang dilebih-lebihkan.
"Sialan! Aku tidak segenit itu, tahu!"
Sebagai seorang sahabat, Shikamaru mengingatkan. "Berhentilah, Naru. Gaara tidak punya perasaan apa-apa padamu." Katanya. "Berhentilah sebelum kau merasakan yang namanya patah hati."
Naruto pura-pura tidak mendengar ucapan Shikamaru. "Aku lapar. Nanti ke kantin enaknya makan apa, Shika?" tanya Naruto, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia sayang Shikamaru, tapi dia tidak suka jika sahabatnya itu mencampuri urusan pribadinya.
Shikamaru menghela napas lelah. Dia tahu Naruto itu keras kepala. Padahal dia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, kalau Gaara itu berciuman dengan Ino-senpai, kakak kelas yang cantiknya luar biasa. Mereka berciuman di gudang bekas yang sudah tidak terpakai. Saat itu Shikamaru sedang mencari sepatunya yang disembunyikan Kiba, dan tidak sengaja melihat pemandangan itu. Dalam hati Shikamaru mengutuk, jika sahabatnya tersakiti oleh laki-laki macam dia, Shikamaru tak akan segan menebas kepalanya.
Sepertinya Gaara dan Ino menjalin hubungan khusus, tapi entah mengapa selalu ditutupi.
Tiba saatnya jam istirahat. Naruto, Kiba, Shikamaru dan Shino berjalan ke kantin dengan bercanda tidak jelas. Mereka berpapasan dengan Gaara dan beberapa teman sekelasnya. Naruto tidak berani memandang Gaara, dia masih malu soal kejadian di kereta tempo hari.
Ketahuan dilecehkan di depan gebetan, benar-benar memalukan!
"Naru!" Gaara memanggilnya. Dia mengisyaratkan teman-temannya untuk pergi duluan, kemudian menghampiri Naruto yang berdiri kaku. "Bisa bicara sebentar?" tanyanya. "Boleh aku pinjam Naruto sebentar?"
"Silahkan! Dipinjam selamanya, atau dibawa ke penghulu juga tidak apa-apa, Senpai!" celetuk Kiba. Shikamaru membungkam mulut pemuda berambut cokelat itu.
"Silahkan, Senpai." Kata Shino, mewakili Shikamaru. "Kami duluan ke kantin, Naru. Nanti kau menyusul kami saja, akan aku pesankan kau makanan."
Naruto mengangguk, "Baiklah. Pesankan aku ramen super pedas!" kata Naruto.
Shino mengangguk, lalu mengajak teman-temannya untuk ke kantin lebih dulu. Shikamaru menghela napas. Semoga saja sahabatnya itu segera sadar.
Naruto dan Gaara berjalan berdua ke taman di belakang sekolah. Taman itu sepi dan jarang dikunjungi siswa ataupun siswi lainnya. Kalaupun ada yang ke sini, kemungkinan mereka sepasang kekasih, atau ingin mengutarakan perasaan pada orang yang disukai.
"Jadi, mau bicara apa, Senpai?" tanya Naruto. Sumpah, dia gugup sekali ditatap begitu dalam oleh Gaara.
"Hari itu, kau kemana? Aku tak menemukanmu di kereta. Seolah kau menghilang ditelan bumi. Dan anehnya, kenapa tiba-tiba Sasuke-san datang? Apakah dia kebetulan berada di kereta?"
Naruto mengangkat bahu, masalahnya dia juga tidak paham karena ketika dia membuka mata, dia sudah berada di taman dengan posisi dia memeluk Sasuke seperti anak koala yang menempel pada induknya.
Blush!
Wajah Naruto mendadak merah ketika mengingat kejadian di taman.
'Sial!' Batin Naruto.
"Kau tidak apa-apa?" Gaara menyadarkan Naruto dari lamunannya.
"Eh? O-oh, tidak, aku baik-baik saja." Naruto tergeragap. Gadis itu memainkan kukunya sebentar, lalu menatap Gaara. "Senpai, bisa tidak, kita lupakan kejadian ke kereta? Aku benar-benar tidak ingin mengingatnya."
Gaara menghela napas, lalu mengangguk, "Baiklah. Maafkan aku sudah mengingatkanmu pada kejadian tidak mengenakkan seperti itu." Kata Gaara. Dia menyesali kebodohannya yang tidak segera menyadari apa yang terjadi pada gadis itu. Dia baru tahu ketika dia celingukan mencari Naruto, seseorang memberitahunya kalau gadis berambut pirang itu baru saja dilecehkan.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Senpai." Kata Naruto. Dia membungkuk sopan, "Permisi."
"Tunggu, Naru!" Gaara mencekal pergelangan tangannya.
Naruto menoleh, menatap tangannya yang dicekal Gaara dengan bingung, "Ya?"
Gaara merogoh sakunya, memberikan sesuatu pada Naruto. "Aku ingin kau datang." Kata Gaara. Dia menyerahkan secarik undangan pesta ulang tahunnya. "Ajaklah teman-temanmu, karena aku ingin mengumumkan sesuatu disana, dan kau adalah tamu special. Harus hadir!"
"T-tamu special?" Naruto membeo. Jadi, dia akan menjadi tamu special? Perasaan dia baru beberapa kali berbicara dengan Gaara.
"Ya, sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kau gadis yang berbeda. Kau tidak agresif seperti gadis-gadis di sekolah ini. Jadi kau akan menjadi tamu specialku." Katanya. "Jadi, kau akan datang, kan?"
Tanpa berpikir dua kali, Naruto mengangguk, "Ya! Pasti!"
.
.
.
Dan disinilah Naruto sekarang, mengacak isi lemarinya. Dia merutuki kebodohannya karena menerima undangan dari Gaara tanpa berpikir panjang. Apa sebaiknya dia tidak usah datang, ya? Ah, tidak, tidak. Gaara pasti kecewa padanya. Gaara bilang dia ingin mengumumkan sesuatu, dan Naruto harus datang karena dia adalah tamu special.
"Kira-kira Senpai akan mengumumkan apa, ya?" Naruto menggigiti kukunya, penasaran dengan apa yang akan Gaara umumkan nanti. Diam-diam dia berharap, "Apa Senpai akan menembakku, ya?" gumamnya, tiba-tiba dia tertawa sendiri seperti orang gila. "Mana mungkin! Mimpi!"
"Apa yang kamu lakukan, Naru?" Sasuke masuk ke kamar gadis itu tanpa mengetuk pintu, membuat sang gadis menjerit kaget.
"Sasuke! Ketuk pintu sebelum masuk!" kata Naruto. "Bagaimana kalau aku sedang berganti baju, hah?! Aku bisa rugi besar!"
"Rugi besar?" beo Sasuke. "Lagi pula pintu kamar ini tidak tertutup, untuk apa aku mengetuk pintunya." Kata pria tampan itu. "Kenapa kamu mengacak isi lemarimu?" tambahnya.
Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Well, aku diundang ke pesta ulang tahun temanku, tapi aku tidak tahu harus memakai baju apa. Aku tidak punya gaun, dress, atau apalah itu namanya. Aku hanya punya kaus, celana jeans, dan celana pendek. Bagaimana ini? Aku tidak punya uang untuk membeli baju baru."
Sasuke memperhatikan Naruto yang mondar-mandir di kamarnya. "Mau aku bantu?" tawarnya.
"Bantu?"
Sasuke mengangguk, "Permintaanmu masih ada dua, ingat?"
Naruto terdiam. Dia berpikir. Agaknya gadis itu sedikit tak rela untuk memakai permintaannya. Diam-diam, gadis itu tak ingin perpisah dengan Sasuke. Dia sedikit menyayangi pria itu. Ingat ya, sedikit!
Tapi …
"Ya, baiklah. Aku akan menggunakan satu permintaanku." Kata Naruto pada akhirnya. Tidak apa, masih ada satu permintaan lagi, kan? Dia hanya perlu berhati-hati, jangan sampai dia mengajukan permintaan apapun pada Sasuke.
"Katakanlah."
Naruto memejamkan matanya, lalu menarik napas panjang. "Uchiha Sasuke, aku ingin … aku memakai dress yang sederhana tapi cantik, lengkap dengan riasan tipis yang tidak berlebihan, dengan sepatu yang nyaman dipakai tapi tetap cantik. Aku ingin pergi ke pesta ulang tahun Gaara-senpai."
Sasuke sempat tertegun mendengar permintaan Naruto. Sial, gadis itu tadi tidak mengatakan ingin pergi ke pesta Gaara! Laki-laki bodoh yang bahkan tidak sanggup menjaga sang master!
Tapi … nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau, dia harus mengabulkan permintaan Naruto.
"Tetap pejamkan matamu, Naru. Jangan dibuka sebelum aku perintahkan."
Naruto tetap memejamkan matanya. Tiba-tiba, cincin merah di jari manis Naruto berkedip-kedip. Kemudian, kepulan asap muncul dari kaki Naruto, merambat naik sampai ke kepala sang gadis. Asap itu begitu pekat sampai menutupi seluruh tubuh Naruto.
Seperti kejadian sebelumnya, asap tebal itu perlahan menipis. Sosok Naruto mulai terlihat. Gadis itu memakai simple dress berwarna biru tua, dengan wedges setinggi lima senti sehingga masih nyaman digunakan. Rambut pirangnya dikepang dengan bentuk yang cantik dan sedikit rumit. Semuanya terkesan simple, namun Naruto terlihat sangat cantik.
"Buka matamu." Kata Sasuke.
Ketika gadis itu membuka matanya, Sasuke menahan napasnya. Dia tidak menyangka, gadis cerewet dan tukang rajuk ini bisa menjelma menjadi gadis yang cantik, dengan sedikit polesan. Diam-diam iblis dari Immortal World itu mendengus, sedikit tidak rela Naruto ingin terlihat cantik karena laki-laki lain.
"Sasuke! Kau ajaib sekali! Keren!" Naruto mematut dirinya di depan kaca. "Aku cantik sekali!" Gadis itu sibuk mematut dirinya, hingga tidak menyadari perubahan ekspesi di wajah Sasuke yang biasa datar itu.
"Kamu memang cantik." Kata Sasuke tiba-tiba. Dia bilang begitu, tapi nadanya sedingin es.
"Hah?" beo Naruto. "Kau bilang apa barusan?" Gadis itu berputar, menatap Sasuke. Dia mengorek telinganya pakai kelingking, "Ah, sepertinya aku salah dengar." Gumam Naruto, pada dirinya sendiri. Gadis itu kembali mematut dirinya, kemudian tidak sengaja melirik pantulan Sasuke di cermin. Dia baru sadar ternyata Sasuke sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan tajam. Tidak biasanya Sasuke menatapnya seperti itu?
"Kenapa?" tanya Naruto. Gadis itu berbalik, menatap Sasuke dengan pandangan bertanya. "Apa kau marah, aku meminta ini?"
Sasuke menggeleng, "Tidak." Katanya. "Kamu pergi jam berapa? Siapa yang akan mengantar dan menjemputmu? Apa aku perlu ikut?"
Naruto tersenyum, "Tidak perlu, sebentar lagi Shika akan menjemputku." Kata Naruto. "Sekali lagi terima kasih, Sasuke. Kau baik sekali padaku."
Sasuke tidak menjawab, dia mengalihkan tatapannya, berlalu begitu saja dari kamar gadis itu tanpa bersuara. Aneh sekali, padahal biasanya Sasuke selalu memberikan wejangan dan ceramah tiada henti sebelum Naruto melangkah keluar rumah.
Naruto mengangkat bahu, "Mungkin dia sedang PMS." Katanya.
.
.
.
Naruto meringis. Pesta Gaara benar-benar meriah dan mewah. Pesta ulang tahun ke tujuh belas saja, pakai acara menyewa gedung hotel. Untung saja ada Sasuke, jadi dia tak perlu malu melangkah ke dalam gedung mewah ini.
Baju yang dia kenakan tidak kalah cantiknya dengan gaun-gaun yang dikenakan gadis-gadis kaya di seberang sana.
"Naru, kau mau minum? Aku haus. Aku akan mengambilkan untukmu kalau kau mau." Kata Shikamaru.
Naruto mengangguk, "Iya. Aku sedang pakai sepatu setinggi menara Tokyo, nih. Tolong, ya."
Kiba tertawa, "Salah sendiri sok pakai sepatu tinggi, pakai dress segala! Biasanya kau cuma pakai sneakers, kaus dan celana jeans!" celetuk Kiba.
"Diam kau! Aku sudah cantik begini, masih diejek juga! Dasar teman sialan!" gerutu Naruto. Tapi sebenarnya dia agak menyesal sudah dandan secantik ini. Banyak teman-teman di sekolah yang mengejeknya, katanya dia mirip Cinderella. Sialan!
Kerusuhan Kiba dan Naruto terhenti oleh suara Gaara yang memenuhi ruangan. "Teman-temanku semua. Terima kasih sudah datang. Aku sangat menghargai kesediaan kalian semua untuk meluangkan waktu menghadiri pesta ulang tahunku yang tidak seberapa ini." Kata Gaara.
Beberapa orang, termasuk Naruto, mendengus. Tidak seberapa, katanya?
"Selain acara ulang tahun ini, aku ingin mengumumkan sesuatu. Aku… akan bertunangan dengan seseorang." Katanya, sengaja diberi jeda untuk mempersilahkan seluruh orang yang ada disana berseru kaget, sesuai dugaannya. "Gadis ini, adalah gadis pertama yang bisa merebut hatiku. Dia berbeda dari gadis kebanyakan. Di saat semua gadis mendekatiku dengan agresif, dia malah cuek denganku. Mungkin selama ini kalian mengira aku dingin pada gadis-gadis, padahal sebenarnya tidak. Aku hanya ingin menjaga perasaan gadisku. Gadis yang sangat aku cintai. Sebenarnya aku ingin melamarmu untuk langsung aku nikahi, tapi sebaiknya kita tunangan saja dulu." Seluruh penghuni gedung riuh mendengar ucapan Gaara yang terdengar romantis.
"Dan sekarang, kemarilah, naik ke podium bersamaku. Gadisku tercinta …"
Naruto menahan napasnya, senyum terkembang di bibirnya. Jangan-jangan …
"… Yamanaka Ino."
Senyum gadis itu serta merta lenyap. Jadi, Gaara dengan Ino-senpai? Gadis itu menunduk memandang ujung sepatunya. Benar apa yang dikatakan Shikamaru. Seharusnya dia berhenti. Seharusnya dia berhenti mengejar Gaara. Pemuda itu hanya bersikap baik padanya, tidak lebih.
Seharusnya Naruto sadar diri.
Ketika gadis itu mendongak, dia bertatapan mata dengan Gaara. Sambil memeluk Ino yang menangis haru, pemuda itu tersenyum ke arahnya. Entahlah, Naruto tidak tahu dia tersenyum pada siapa. Dia tidak berani berharap lagi.
"Kiba, kau tahu Shika pergi kemana?" tanya Naruto pada Kiba yang sibuk menyoraki Gaara.
"Eh? Tidak tahu." Jawab pemuda itu.
Naruto menghela napas, "Katakan pada Shika, aku pulang duluan." Tanpa menunggu jawaban Kiba, Naruto segera meninggalkan ruangan itu. Saksi bisu hancurnya hati seorang Namikaze Naruto. Gadis itu juga tidak menyadari tatapan bingung Gaara.
Ketika dia sampai di luar gedung, Naruto tak sanggup membendung tangisnya. Dia duduk di anak tangga, lalu menangis sendirian disana. Dia mengelus cincin berbatu merah itu, kemudian memanggil nama Sasuke dalam isak tangisnya.
Pria tampan itu berdiri di hadapan Naruto, dengan tatapan bingung. Dia berjongkok, lalu menangkup wajah sembab Naruto. Gadis cantik itu menangis.
"Hei, katakan padaku, kenapa kamu menangis?" tanyanya, "Bukankah kamu menghadiri pesta ulang tahun Gaara?" Sasuke menghapus linangan air mata Naruto dengan lembut.
"Ga-Gaara … hiks!" Naruto tak sanggup mengucapkan kata-katanya. Dia sesenggukan dan susah berkata-kata.
Melihat keadaan gadis itu yang menyedihkan, amarah Sasuke seakan menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dia akan menghajar siapapun. SIAPAPUN yang berani membuat Naruto menangis seperti ini. "Apa yang sudah dilakukan Gaara? Aku akan memberi pelajaran padanya!" Bisiknya. Gigi Sasuke bergemeletuk, menahan emosi.
Naruto menggeleng, "Tidak, tidak. A-aku yang salah! A-aku yang salah! Aku mau pulang. Bawa aku pulang, Sasuke! A-aku mau pulang!" rengek Naruto. Gadis itu memeluk Sasuke yang sedang berjongkok di anak tangga dengan erat. Gadis itu masih menangis.
Iblis yang sudah merubah warna matanya menjadi merah tua itu memejamkan mata, lalu menghela napas berat. Ketika dia membuka mata, mata itu sudah kembali menjadi hitam.
"Baiklah, kita pulang." Sasuke membimbing Naruto untuk berdiri, lalu dia menggendong gadis itu ala pengantin. "Berpegangan padaku dengan erat, lalu pejamkan matamu." Katanya. Sasuke mencium puncak kepala gadis itu sekali, lalu sama seperti kejadian di kereta, mereka menghilang seolah ditelan bumi.
.
.
TBC
.
.
Bagaimana menurut kalian? Gaje ya? Layak dilanjutkan nggak?
Rencananya sih ini twoshot doang, part selanjutnya udah diketik, tinggal dipoles sedikit. Semoga saya ada waktu untuk menyelesaikan bagian keduanya. Soalnya, saya sibuk banget. Saya sempatkan menulis untuk mengurangi stress sekaligus untuk mengobati rindu pada Sasuke dan Naruto. Juga kalian *kedipmanjah*
Oh ya, kenapa disini Sasu(fem)Naru? Soalnya… (ini juga salah satu penyebab kenapa saya belum melanjutkan fic saya yang lain). Salah seorang teman saya mengatakan. "Kok kamu nulis genre YAOI? Nggak takut dosa? Gimana kalo cowokmu ternyata cium-cium atau begituan sama cowok lain?"
Dan itu bikin saya berpikir keras. Apakah ternyata selama ini saya salah? Saya suka YAOI dan kebetulan suka menulis. Saya galau, teman-teman. Saya ingin berhenti nulis YAOI tapi susah… apalagi Sasuke dan Naruto itu chemistry-nya kuat banget. #halah!
Kalo saya sih sekarang mencoba untuk bikin Sasu(fem)Naru. Ada masukan atau saran? Hahahahaha maaf yak, galau mulu guenya :')
Adios!
