PLAY WITH DEATH 5 (Sequel)
Haihoo! Yuki datang! Sejak iseng membaca fic Play with Death buatan AA, saya juga tertarik membuat satu fic lagi! Tapi gak nyambung sama terusannya sih... *memandang jauh*
Oke, seperti yang sering dikatakan AA, jangan kaget kalau ada OOC dari karakter-karakter disini. Siap membaca? Selamat membacaa!
DISCLAIMER: I do not own Harvest Moon and its characters. I do not own too Higurashi no Naku Koro ni and its characters. I do not own this idea because its owned by my best friend, Anisha Asakura.
--
--- (Gray's POV)---
Aku berjalan membawa seorang gadis berambut hitam lebat sepinggang menuju gua winter mine di lantai terbawah, lantai sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Lantai inilah tempat terakhirku bertemu gadis yang kubawa saat ini.
"Jadi, Gray-kun," panggil gadis itu akrab. "Ini tempat kau biasa bermain dan bersembunyi, ya?"
"Iya," jawabku sambil tersenyum. "Ini adalah tempat yang selalu kupakai untuk menyendiri. Apalagi, tak ada seorangpun yang mampu sampai ke lantai ini selain aku."
"Sepertinya kau memang orang yang punya tempat senyaman dan rahasia seperti ini ya. Sesuai yang kuduga sejak kita pertama kali bertetangga." sahut Aja sambil menginjakkan kakinya ke gua lantai terbawah. "Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Gray-kun."
Aku mencoba memasang senyum sesopan mungkin. "Apa itu?"
"Apakah kau menyukaiku, Gray-kun?" tanya Aja dengan nada penuh yakin.
"Ahaha, kenapa mendadak bertanya begitu?" tanyaku sambil tertawa basa-basi.
"Kau tahu kalau aku mengencani ayahmu, kan?" tanya Aja. "Kami berbicara banyak hal akhir-akhir ini. Mengenai apa yang akan kita lakukan di waktu-waktu kedepan. Mengenai hidup kita bersama, dan lain-lainnya."
-_-_-_-_-
Flashback
Aku berjalan mendekati ibu dan ayah yang sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Dengan riangnya aku duduk di sebelah ayah dan ibu dan memakan sarapanku secepat mungkin, tak sabar untuk bermain dengan Trent dan Rick.
"Gray," panggil ibu.
"Ya, ibu?" tanyaku. Kulihat sosok beliau sedang memberikan susu untuk adikku satu-satunya. Ann, adikku yang masih kecil, meminum susu yang diberikan beliau dengan tenang.
Beliau tersenyum padaku. "Begini... Ibu..."
-_-_-_-_-
"Kau takkan bisa menikahi ayahku." sahutku pelan.
"Hah?" tanya Aja heran.
"Aku tak peduli kalau kau mengencani ayahku. Tapi aku takkan mengijinkanmu menikahi beliau." potongku tajam.
"Ah... Ahahaha." Aja tertawa kecil. "Kupikir kau takkan mengerti setelah kujelaskan lebih dalam, tapi ternyata sebagai anak sulung ayahmu kau pintar juga membaca situasi."
"Aku terkejut kau kaget dengan reaksiku."
"Sudah kuduga. Sejak dulu setiap aku mengunjungi rumah kalian, kau selalu kabur bersama Ann-chan. Tapi ngomong-ngomong, boleh aku tahu apa yang tidak kau sukai padaku?" tanya Aja sambil menunduk sedikit ke arah mukaku.
"Segalanya dari awal sejak aku berkenalan dan bertetangga denganmu. Aku membencimu, penampilanmu, dan segalanya darimu." jelasku tajam.
"Sempurna!" Aja bertepuk tangan. "Karena aku membencimu juga! Ahahahahahaha! JADI, APA YANG KAU MAU DARIKU, HAH?!" bentak Aja kasar.
"Jangan atur-atur lagi kehidupan rumah tangga kami." jawabku. "Lagipula, seperti yang kukatakan, aku takkan mengijinkanmu menikah dengan ayahku."
"Ahahaha! Kau takkan bisa menghalangi kami. Kau tahu kenapa?" Aja mendekatiku sambil berbisik di telingaku. "Aku hamil."
-_-_-_-_-
Flashback
"... Ibu hamil, Gray. Kau akan punya adik lagi." sahut ibu dengan tersenyum.
Aku ikut terbelalak gembira.
Ayah manggut-manggut sambil tersenyum, mengerti karena aku memang masih polos saat itu...
-_-_-_-_-
"KAU BOHONG!!!" teriakku kencang, membuat Aja tersentak dan mundur beberapa langkah.
"Kenapa harus bohong? Aku tidak bohong, kok." bela Aja pada dirinya sendiri.
Aku segera mengepalkan tanganku. "Aku melihat segala yang kaulakukan. Kau hancurkan rumah tangga kami, membuat ibuku tak terselamatkan, dan membuat Ann nyaris mati keracunan alkohol! Kau sejak dulu selalu menyiksa keluarga kami! Sejak awal aku memang tak menyukaimu dari tingkahmu yang sialan itu! Aku tahu segalanya dan semua permainan menjijikanmu itu!" teriakku terus menerus tanpa henti, memberikan rentetan-rentetan masa lalu yang menyedihkan melayang keluar dari mulutku, seakan-akan mengeluarkan jarum-jarum beracun dari hatiku yang tertusuk tanpa henti.
Aja memasang senyum licik. "Hee, jadi kau tahu semuanya ya..." Aja menoleh ke kanan dan kiri. "... Ngomong-ngomong ini adalah tempat dimana seorangpun takkan bisa kesini, kan?"
Aku menyundut pandanganku pada Aja. Apa yang mau dilakukannya?
"Tak ada siapapun yang dapat sampai ke tempat ini selain kau, kan?" tambah Aja.
PLAKK!
Aku terkejut. Aja menamparku hingga membuat topiku terjatuh.
JRET
Aja menjambak rambutku. "DASAR ANAK BRENGSEK! Aku sudah hampir berhasil mendapatkan bisnis ayahmu yang menggiurkan itu! Takkan kubiarkan kau menghancurkan usahaku sejak dulu sampai sekarang!" teriaknya sambil mencekikku dan menjatuhkanku ke tanah. "MATI KAU!"
Aku mulai merasakan sesak dan panas. Gua winter mine ini memang paling terdalam, ditambah lagi cengkraman kedua tangan Aja pada leherku membuatku sulit bernapas di tempat yang kurang oksigen ini.
"Tenang saja... Aku takkan membunuhmu... Tapi aku takkan bisa mendapatkan orang yang bisnisnya sangat menguntungkan seperti ayahmu... Lagipula aku sudah memutuskan untuk kabur setelah mendapatkan semua uang miliknya..." Aja berbisik perlahan sambil sibuk mencekikku tanpa henti.
Aku makin merasa sesak. Kuraba-raba tanah, untuk mencari sesuatu untuk menghentikan gadis gila ini. Tangan kananku mulai meraba sebongkah batu karang tajam. Tanpa ragu langsung saja kugores pinggang gadis itu.
"AAAAAAAAAAAAARRGH!!!!" teriak Aja kesakitan, memegangi pinggangnya yang berdarah dan menjauhiku sebentar.
Aku langsung memakai lagi topiku sambil mengatur pernapasanku kembali. Kalau saja tak kulukai gadis itu, bisa saja aku mati konyol disini! "Uhuk, uhuk..."
"Sialan!" Aja merintih berkali-kali sambil menahan sakit di pinggangnya. Dia sedang berjongkok memegangi pinggangnya yang mulai meneteskan darah.
Aku yang sudah menyiapkan sebatang besi sepanjang satu meter dari ranselku, langsung kukeluarkan dan kuangkat tinggi-tinggi dan kuhujamkan tanpa henti ke bagian atas tubuh Aja.
"Tu... Tunggu, apa yang akan kau—" perkataan Aja langsung terputus dan disambung kembali dengan teriakan. "AAAAAAAAAAAAAHH!!"
"MATI! Mati! Mati! MATILAH KAU!!!" teriakku tanpa henti sambil terus menghujamkan batangan besi tajam itu ke muka serta badan bagian atas Aja, disertai darah muncrat dari luka yang kuhasilkan. Aku tak peduli dan terus saja menyerangnya sampai dia tak bernyawa.
Setelah beberapa menit berlalu dan batangan besi yang sudah basah oleh darah, aku berhenti menyerang dan melihat keadaan Aja. Muka Aja sudah hampir tak beraturan dengan darah dimana-mana. Aku masih sibuk mengatur napas karena melakukan tindakan itu tanpa persiapan yang cukup dan masih agak sesak karena cekikan Aja tadi. Setelah pernapasanku agak normal, aku langsung mengambil sekop dan kukubur Aja pelan-pelan.
--- Outside of Winter Mine ---
Aku tak peduli meski seragamku kotor karena darah gadis itu. Yang penting keluargaku selamat dari ancaman gadis itu. Gadis itu sudah tak ada. Ya.
Aku langsung berlari menuju Inn. Masih agak dini hari, makanya aku bisa keluar masuk rumah dengan tenang.
--- Doug's Inn ---
Aku berjalan perlahan-lahan sambil menyimpan seragam blacksmithku yang basah karena darah Aja tadi.
"Siapa itu?"
Aku menoleh. Oh, ternyata Ann rupanya. "Kau belum tidur?"
"Aku hanya... Mau ke kamar mandi aja kok." Ann mengucek sebelah matanya. "Niichan sedang apa?"
"Ssst..." aku menempatkan jari telunjukku ke kedua bibirku. "Kau ke kamar mandi saja dan tidur, oke?"
Pandangan mata adik semata wayangku melemah, dan Ann hanya mengangguk saja sebagai respon. Setelah ke kamar mandi, Ann lalu kembali ke kamarnya.
Aku juga langsung kembali ke kamar, melupakan segala yang terjadi semalaman, dan tidur menuju alam mimpi.
--
Selesai...
BRAK GABRUK KAPAW GUBRAK BRAK
Ampun!! Ampun!!! *dilempar kulkas sama para author* Maaf gue emang lagi gak mood trusin fic bersambung yang lain!! Gue minta maaf!!
*terus diserang*
G... Gue nantikan review andaa!! *kabur sebelum dilempar lemper*
