Title : Backfired
Rating : T
Characters / pairings : Sasuke / Hinata
Genre : Humor / Romance
Warnings : AU.
Summary: Bagi Hinata, Sasuke adalah cowok bermasalah dan bisa bikin kejadian sepele jadi heboh. Tapi kalau dia terseret, bagaimana? Untung ada Neji, Kiba dan Shino yang jadi bodyguards-nya. AU
Disclaimer : Naruto bukan milik saya.
…
Chapter 1
…
Sasuke adalah cowok bermasalah.
Yah, menurutku begitu. Gara-gara dia, hal-hal heboh bisa terjadi. Bukannya dia anak nakal yang gemar berkelahi atau suka memalak orang. Bukan, dia bukan anak yang suka mencari masalah. Sebaliknya, sepertinya masalahlah yang suka mencarinya.
Teman sekelasku itu luar biasa tampan. Kulitnya sepucat susu, rambutnya sehitam langit di malam hari. Dia juga cerdas. Sejak mulai sekolah –begitu yang kudengar. Aku tak tahu pastinya, soalnya aku hanya mengenalnya sejak SMP- dia selalu juara kelas. Otaknya encer.
Dia punya banyak sekali fangirls, di mana-mana pula. Kalau dia lewat, cewek-cewek bakal menahan napas. Repotnya, kalau dia maju untuk mengerjakan soal di papan tulis, teman-teman kami yang piket hari itu jadi enggan menghapus tulisan Sasuke. Aura membunuh menguar tajam dari para fansnya di kelas. Mereka merasa sayang jika tulisan seindah kaligrafi itu lenyap. Tentu saja anak yang hendak menghapus papan tulis jadi takut. Duh, sampai segitunya! Guru yang mengajar kami sampai tak habis pikir. Barulah jika Shino, sahabatku sejak aku bisa mengingat, yang maju dan membersihkan papan, tidak ada yang berani komentar atau menjerit. Sebenarnya hati Shino tidak seseram penampilannya, lho. Aku menahan tawa jika ada yang mau protes dan Shino meliriknya sekilas. Whoo, dijamin siapa pun langsung keder. Meski begitu, Shino tidak selamanya jadi 'penyelamat' petugas piket. Mungkin saking jengkelnya, kadang Sasuke sendiri yang menghapus tulisannya.
Yang paling heboh adalah kejadian minggu lalu.
Ino dan Sakura bertikai hebat memperebutkan Mister 'Hn'. Jika biasanya mereka hanya beradu mulut, saling menyindir dengan nyinyir dan beradu Death Glare yang bisa membuat Sasuke bangga, minggu itu dua gadis cantik itu beradu tampar. Hanya gara-gara Ino memberi sekotak bekal makan siang pada cowok pujaan hati mereka, Sakura marah besar. Sekecap makian yang mampir ke telingaku –saat itu aku di dalam kelas sedang Sakura dan Ino di luar- adalah ungkapan Ino yang merasa di atas angin karena Sasuke memberitahunya bahwa sehari sebelumnya cowok itu menolak Sakura mentah-mentah untuk yang kesekian kalinya. Entah siapa yang memulai, yang jelas sampai sekarang masih ada bekas tamparan di pipi dua teman sekelasku itu. Begitu hebohnya perseteruan itu sampai-sampai separuh teman sekelas kami melerai mereka dan butuh bantuan Kakashi-sensei, wali kelas kami. Pria yang biasanya terkesan cuek itu datang dan menghardik dua kembang sekolah kami itu. Tak perlu disuruh dua kali, Ino dan Sakura mengekor Kakashi-sensei ke kantor.
Begitulah. Hanya dengan hal-hal sepele, apa pun yang dikerjakan –atau berasal- dari Sasuke bisa jadi masalah. Karena itulah diam-diam aku menjulukinya Cowok Bermasalah. Shino hanya manggut-manggut tanpa ekspresi mendengarnya, sedang Kiba –sahabatku yang satunya lagi- malah tertawa terbahak-bahak. Kata dia, jangan sampai fans Sasuke mendengar julukanku. Aku bisa dimusuhi cewek satu sekolah, atau lebih parah lagi, dicincang dan dibenci seumur-umur aku sekolah di Konoha High School. Jelas saja aku tidak ingin menghabiskan sisa dua tahun aku belajar di sini seperti itu. Tidak, terima kasih. No way!
Lain waktu aku tidak sengaja mendengar Kakashi-sensei bergumam pada Iruka-sensei bahwa kelas sepuluh tahun ini 'is quite a handful'. Butuh penanganan ekstra, katanya. Terakhir kali dia butuh energi sebanyak ini adalah saat kakak laki-laki Sasuke, Itachi Uchiha, bersekolah di sana. Itu bertahun-tahun yang lalu.
Jadi kesimpulanku, Uchiha bersaudara bisa dikatakan cowok bermasalah. Karena tampan. Pintar. Magnet kaum hawa. Diperebutkan cewek sampai ekstrim.
…
Saat itu masih pagi sekali. Seperti biasa, aku adalah salah satu dari segelintir siswa yang sampai di sekolah saat gerbang masih terbuka separuh. Aku segera menghampiri mading di depan Lab Komputer, sambil berjalan kukeluarkan buku dan pulpen. Sebelumnya Kurenai-sensei mengumumkan bahwa siang kemarin jadwal pelajaran terbaru yang berlaku mulai minggu depan akan ditempel. Artinya, baru nanti para ketua kelas akan mencatatnya sebelum membaginya ke kelas.
Aku sampai ke jadwal hari Kamis ketika pundakku menyenggol seseorang. Refleks aku menoleh dan bergumam, "Sorry, tidak lihat."
"Hn."
Aku terbelalak, tidak menyangka sama sekali itu Sasuke. Dia balas menatapku sebelum matanya kembali ke kode mata pelajaran dan guru di depan kami.
Baru kali ini aku berdiri sedekat itu dengan Pangeran Konoha. Samar-samar aku mencium cologne-nya. Wanginya manis namun maskulin. Hampir sama seperti yang dipakai Neji, sepupuku yang setahun di atasku. Rambutnya masih basah, menandakan habis keramas. Seragamnya sama seperti yang dipakai teman-teman cowokku, tapi jelas Sasuke lebih rapi. Tampak beda sekali bila dia yang mengenakannya. Saat itulah Sasuke's Handsome Power menyerangku full force, dengan kekuatan penuh.
Tapi sebelum aku benar-benar terpana olehnya, ada suara kecil di kepalaku yang membisikkan julukan yang kubagi dengan Kiba dan Shino. Sasuke Cowok Bermasalah. Ugh. Cepat-cepat aku menyeret kakiku ke ujung mading.
"Kenapa? Tiba-tiba menjauh seperti aku membawa virus menular saja," gerutu Sasuke.
Lagi-lagi aku terkesiap. Tidak menyangka Sasuke bakal menegur sikapku. "Ah, ano, aku tak ingin dekat-dekat denganmu," cetusku sebelum aku bisa mengontrol mulutku.
Sasuke terlihat tersinggung. Aku langsung menutup mulutku sampai gigiku berbenturan dengan bunyi 'Tck'.
"Huh? Apa maksudmu?" Sasuke jelas sangat tersinggung. Dia bahkan menurunkan pulpen dan kertasnya dan memutar tubuhnya ke arahku.
Mataku jelalatan, memeriksa sekelilingku. Boleh jadi saat itu super duper pagi, tapi kalau ada yang memperhatikan bahwa Hinata Hyuuga berdiri berdampingan dengan Sasuke Uchiha dan kabar ini tersiar, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku. Siapa sih yang tak bangga berada sedekat ini dengan Tuan Populer? Tapi aku malah takut. Takut dengan reaksi fans Sasuke.
"Menurutmu aku aneh, begitu?" gertak Sasuke, menyadarkanku.
Aku jadi sebal. "Bukan begitu! Tak tahukah kau kita terlihat seperti apa?" sergahku balik.
"Seperti teman sekelas yang kebetulan mencatat jadwal pelajaran bersama," jawabnya datar.
"Tapi fansmu tidak akan melihatnya demikian," balasku. "Aku tidak ingin mereka berpikir macam-macam. Fansmu nyeremin, tahu!"
Kilatan mata Sasuke memberitahuku bahwa dia ingat insiden Sakura dan Ino minggu lalu. Wajah Sasuke berkerut aneh, bagai mengingat sesuatu yang lebih baik dia buang jauh-jauh. "Bukannya aku ingin dipuja-puja," gumamnya kecut. "Tapi aku memang lebih cakep dari Itachi, sih."
Aku benar-benar terkesima. Hah, ge-er banget teman sekelasku ini! Sepertinya Sasuke tahu yang ada di pikiranku, karena kemudian dia cepat-cepat menyergah, "Ibuku yang bilang." Tapi wajahnya tetap angkuh dan tidak terlihat malu.
"Iya- iya, aku percaya," kilahku cepat-cepat. Sebelum aku sempat menelusuri jadwal hari Kamis, Sasuke memanggilku.
"Hei, Hinata, kau imun dengan tampangku, ya?" celetuknya. Suaranya mengandung penasaran.
Aku bingung mau menjawab apa. Aku mengangkat bahu. "Bukannya imun, tapi kalau kau tumbuh bersama Neji, ayah dan pamanku, kau akan terbiasa melihat orang ganteng," jawabku hati-hati, berharap Sasuke tidak tersinggung. Tapi kemudian aku menyadari bahwa secara tidak langsung aku mengakui bahwa Sasuke ganteng.
Bibir Sasuke berkedut. "Hn. Keluarga Hyuuga memang terkenal berwajah bagus." Dia nyengir. "Ternyata kau tidak serendah hati seperti yang kau tampakkan."
Aku melotot. "Apa?" Aku jadi makin kesal. Boleh jadi aku pendiam dan pemalu, tapi aku juga punya perasaan. Dan disindir seperti itu membuatku jengkel setengah mati.
"Barusan. Kau berkata bahwa pria di keluargamu tampan. Terang-terangan pula. Hn." Cecarnya.
"Aku tidak bermaksud sombong," kilahku. Aku merasakan wajahku memanas. Entah mimpi apa aku semalam. Pagi-pagi malah berdebat dengan Sasuke. Tapi kalau dipikir-pikir, inilah percakapan terpanjangku dengannya.
"Sasuke…." Teriak Ino dan Sakura seraya berlarian ke arah Sasuke. Dari gerbang mereka berlari-lari kecil. Teriakan mereka menyentak kami.
Saat itu aku tahu kalau waktu terus merambat. Siswa mulai ramai berdatangan. Sekolah tidak sesepi tadi. Tidak ingin ditanyai macam-macam dan dicemburui dua teman sekelasku, aku mulai berjalan ke kelas.
"Lho, Hinata, mau ke mana?" sapa Ino sebelum aku sempat melangkah jauh. Bagi sebagian orang Ino termasuk judes, tapi karena keluargaku sering membeli bunga di tokonya, dia baik padaku.
"Ke kelas," jawabku singkat.
"Wah, Hinata beruntung, dong, berduaan dengan Sasuke," ujar Ino sedikit cemburu.
"Ah, kalian ngobrol apa? Aku lihat, lho," tuntut Sakura.
Aku lekas menggelengkan kepala. "Tidak, kok. Kami hanya mencatat jadwal." Di belakang mereka, aku menjumpai pemandangan yang tidak lazim. Sasuke menyeringai sekaligus nyengir. Hanya dia yang bisa melakukan dua hal itu tanpa terlihat jelek. Wajahnya kembali pasif saat Ino dan Sakura menarik-narik lengannya.
…
"Sasuke percaya diri sekali," ujarku saat istirahat siang itu.
"Oh ya?" kata Kiba seraya menarik kursi ke bangkuku.
"Wajar saja," timpal Shino. "Mister Perfect tidak mungkin minder."
Tiap istirahat kedua kami bertiga makan siang bersama. Sejak masuk kelas sepuluh kami selalu membawa bekal. Bangkuku dan Shino berurutan, jadi biasanya kami memutar kursi ke mejanya, sedang Kiba menarik kursinya sendiri. Kami makan sambil bercerita.
"Yap. Dia bilang sendiri kalau dia cakep," beberku.
Kiba mencemoh dan Shino hanya menarik bibirnya sedikit.
Bisa dibilang kami ini trio yang unik. Aku cewek satu-satunya. Dua temanku ada yang berisik, dan ada yang super kalem. Aku ada di antaranya.
"Dia tanya apa aku tidak terpengaruh pesonanya," lanjutku. "Aku bilang saja, ada banyak pria cakep di keluargaku. Jadi aku biasa saja."
Bahkan Shino nyengir.
"Karena itu dia bilang aku tidak rendah hati," ungkapku sedikit masam. Hei, aku tidak sombong, kok.
"Ya, ya, kau juga manis, Hinata," cetus Shino.
Aku bengong. Selama ini kata 'Manis' hanya diberikan Shino pada koleksi serangganya. "Aku…tersanjung," kataku akhirnya, jujur. Sungguh, bila anak seanteng Shino memujimu seperti itu, kau pasti akan salah tingkah dan bingung sendiri. Aku tersanjung, tapi di sisi lain aku tak tahu harus bereaksi bagaimana bila disandingkan dengan serangga yang pernah dikoleksinya.
Kiba tertawa. "Kau bunga di antara kumbang," selorohnya.
Aku ikut tertawa. "Lebih tepatnya, perawan di sarang penyamun."
Kiba membuka bekalnya dan mulai makan. Aku meliriknya. "Tumben hanya nasi dan telur goreng," ucapku.
"He-eh, tadi Ibu bangun kesiangan. Jadi aku tidak sempat dibuatkan lauk macam-macam," jelas cowok bergigi lancip itu sambil meringis.
"Nih, kubagi laukku," putusku. Kuberikan separuh cap cai plus udangku.
"Trims, Hinata. Kau memang yang terbaik," Kiba girang. Matanya berbinar, mengingatkanku pada anjingnya yang besar, Akamaru, kalau sedang senang.
"Jelas, dong, kan cuma aku satu-satunya," kataku geli.
"Hinata, ada yang melotot," gumam Shino pelan.
"Siapa?" tanyaku setelah membagi udang terakhir ke kotak Kiba.
"Sasuke," masih dengan suaranya yang datar, Shino memberitahuku.
Aku mendongak, mengikuti arah sumpit Shino. Benar saja, dari bangkunya, Sasuke melotot garang. Tak hanya ke arahku, tatapan matanya juga menghunjam Kiba. Aku agak bergidik sementara Kiba masih makan dengan santai dan lahap. Seram sekali kalau Sasuke seperti itu. Aku mengingat-ingat, salah apa aku padanya. Ketika tak kunjung menemukan jawaban, aku berbalik ke Shino. "Perasaan, aku tak berbuat apa-apa padanya," jelasku. Masa sih dia tersinggung dengan ucapanku tadi pagi?
"Hm," Shino manggut-manggut, menenangkanku. Anggukan kepala Shino punya sejuta arti. "Mungkin dia lapar tapi tak ada yang bisa dimakan, makanya wajahnya seram begitu," lanjutnya.
"Mungkin," balasku, percaya pada kawanku itu.
Ketika mata kami bertemu lagi, Sasuke segera melengos. Wajahnya tertekuk dan masam. Tapi setahuku, kapan sih Sasuke tidak berwajah masam?
…
Besoknya, lagi-lagi aku mendapati Sasuke dengan ekspresi yang sama seperti kemarin. Saat itu aku, Kiba dan Shino hendak makan. Shino memberiku tatapan yang sama, dan lagi-lagi aku mengulang perkataannya, "Mungkin dia kelaparan." Dia nyengir kecil.
Kali itu kami makan agak banyak. Kiba bercerita pada ibunya bahwa aku membagi bekalku kemarin. Hari ini, ibunya masak banyak dan enak untuk kami bertiga. Ibu Kiba baik sekali. Kalau aku dan Shino main ke rumahnya, dia akan mencium pipiku dan berkata aku manis sekali dan dia tak keberatan kalau suatu hari nanti aku jadi menantunya. Senang malah. Kiba bakal berseru, "Ibu!"
"Mari makan masakan calon mertuamu," kata Shino agak keras. Beberapa teman kami tertawa seraya menunjuk aku dan Kiba.
Kiba berwajah merah padam dan merengut karena malu. Ekspresinya hampir sama denganku. "Shino! Jangan menimbulkan gossip!" gusarnya.
"Kau tidak suka Hinata, ya?" balas Shino cuek.
Kiba melirikku dan tergagap. "Bu-bukan begitu, Hinata. Ini… "
"Iya iya, aku mengerti," tukasku cepat. Aku yakin sekali wajahku semerah kepiting rebus. Kiba memang baik padaku. Dia tak sekasar penampilannya. Tapi kami hanya teman.
Selesai makan, Kiba dan Shino ke toilet. Aku memasukkan kotak bekalku ke tas ketika sekali lagi aku menangkap mata Sasuke. Dia tidak segarang tadi, bahkan wajahnya terlihat agak lesu. Aku jadi tidak enak sendiri melihatnya seperti itu. Aku celingukan. Saat itu hanya sedikit anak di kelas. Kebanyakan mereka bersosialisasi keluar atau makan di kantin.
"Hei, Sasuke, kau lapar?" tanyaku, tak berani keras-keras. Kuharap menyapa orang setenar dia tidak akan membuatku terlibat masalah. Hei, ini Sasuke, lho. Hal-hal yang seharusnya wajar bagi orang lain bakal tidak akan wajar kalau sudah menyangkut dirinya.
Sasuke terbelalak sedikit, mungkin tidak mengira aku akan menyapanya. "Tidak. Kenapa kau tanya begitu?"
Habis, wajahmu seram. Nyaris saja aku mengatakan itu. Tapi aku adalah Hinata Hyuuga yang pintar menahan diri. Ehem, sering juga aku keceplosan, sih. Aku kan hanya manusia biasa, tidak sempurna. Ini bukan pembelaan. Hanya kenyataan. "Kelihatan dari wajahmu," jawabku sekenanya.
"Kenapa wajahku?" Sasuke balik bertanya.
"Shino bilang, kalau wajahmu begitu, itu tandanya kau lapar tapi tak ada makanan," jawabku jujur.
Sesaat tampang Sasuke berkedut hebat. "Kata Shino? Dan kau percaya?" ujarnya. Wajah Sasuke benar-benar aneh, campuran antara jengkel, ingin tertawa dan tak habis pikir jadi satu.
"Tentu saja. Dia sahabatku!" sergahku tertahan.
"Hn! Aku memang lapar, tapi bukan karena itu mukaku berkeriut," tukasnya pendek.
Seharusnya, batinku, kalau lapar lebih baik keluar mencari makan. Daripada bertampang aneh. Teringat sesuatu, aku mengambil secarik kertas dan menuangkan beberapa biskuit yang kubuat kemarin sore. Kuberikan bungkusan itu secepat kilat di meja Sasuke.
Cowok itu memandangku. "Apa ini?"
"Biskuit," jawabku singkat.
Perlahan Sasuke membuka pembungkusnya dan mengendus si biskuit. "Kelihatannya enak," gumamnya.
"Tentu. Aku yang buat." Dibantu Ibu, tapi tak perlu ada yang tahu. "Cepat makan."
"Tidak ada jampi-jampinya, kan?" tanyanya curiga.
Oh my god! Aku makin sebal padanya. Sudah dikasih, masih komentar yang tidak mengenakkan hati pula! "Kalau pun ada, Shino dan Kiba pasti sudah merengek-rengek di kakiku," cetusku berlebihan.
Selanjutnya terjadi sesuatu yang baru kali ini aku lihat. Sasuke tertawa kecil. Dia mampu tertawa! Oh oh. Tidak bakal ada salju di siang bolong ini, kan? Aku mulai cemas.
Tapi sejak itu Sasuke agak ramah padaku. Kadang dia memberiku senyum kecil atau anggukan kepala. Sumpah, aku tidak mengirimkan jampi-jampi padanya! Tidak ada mantra di biskuit yang kuberikan.
…
Aku panik. Sekali lagi kubolak-balik kartu SPP-ku, tapi tetap saja uang yang hendak kubayarkan tidak ada. Kubuka dompetku, kuaduk-aduk tasku, buku-bukuku kukeluarkan dan kujungkir balikkan, siapa tahu uangnya terselip di sana, meski sejujurnya aku yakin aku tidak memasukkan uang yang sudah kupersiapkan tadi pagi ke antara lembaran buku. Aduh, dimana ya? Kugigit bibir dan kukuku. Rasa panikku tak juga reda.
"Mencari apa?"
Tahu-tahu Sasuke sudah ada di samping mejaku. Pastinya dia penasaran dengan mejaku yang sekarang tidak rapi, dengan tumpukan buku berserakan dan tas yang tergeletak tak berdaya.
"Ano, uang SPPku," jawabku, baru menyadari bahwa tanganku gemetar dan dingin.
"Coba ingat di mana kau letakkan tadi," saran Sasuke.
Aku mengangguk lemah. Kuhela napas dalam-dalam, berusaha mengingat. Tadi pagi, seusai menerima uang dari Ayah, aku kembali ke kamar. Kuletakkan lembaran berharga itu di meja. Kemudian aku keluar untuk sarapan. Setelah itu aku tidak ingat. "Mungkin di meja," gumamku lirih.
Sasuke menghempaskan diri di kursi Shino. Dalam keadaan normal, aku pasti menyadari bahwa beberapa teman melirik kami. "Aku juga mau bayar SPP." Dia mengacungkan kartunya. "Apa pakai uangku dulu?" katanya menawarkan.
Aku terbelalak. "Tidak usah! Uhm, memang uangmu banyak ya?" Aduh, pertanyaan bodoh! Sasuke termasuk anak yang beruntung. Keluarganya ber-uang. Kalau dia menawarkan uangnya, pasti uang di dompetnya tidak sedikit.
Sasuke mengangkat bahu. "Pokoknya ada."
"Tidak, deh," tolakku sekali lagi.
Setelah agak lama, aku yakin uangku tidak hilang. Sepertinya aku harus memeriksa kamarku saat aku pulang nanti. Aku beranjak dan keluar, hendak mencuci muka. Siapa tahu air dingin bisa membuatku lebih tenang.
Di luar, Sasuke menghampiriku. Aku berhenti.
"Ini," dia menyerahkan secarik kertas putih.
"Apa ini?" tanyaku heran. Tak urung aku menerimanya. Aku terkesiap. Ternyata itu kwitansi pembayaran SPP. Namaku tertera di situ. "Sasuke?"
"Kubayarkan dulu. Nanti bawa kartu SPPmu ke TU dan tunjukkan tanda bukti itu," urainya seakan membayarkan SPPku senormal membeli roti di kantin.
Saat itulah gumaman di sekelilingku mulai terdengar keras.
"Sasuke membayari Hinata! Apa artinya ini?"
"Artinya Hinata tak usah bayar SPP, bodoh!"
"Bukan itu. Maksudku kenapa? Kok bisa?"
"Buktinya bisa!"
"Pasti ada apa-apa di antara mereka."
"Memang ada apa?"
"Tanya saja sendiri!"
"Kudengar mereka makin akrab, lho."
"Ah, itu pasti cuma kabar burung!"
"Kyaaa!"
Ough. Aku mengerang. Wajar saja, kan, kalau ada yang membayari temannya? Tunggu! Ini Sasuke! Kalau dengan dia, tidak akan jadi hal yang wajar. Heran! Masa begini saja bisa heboh. Tunggu, tunggu! Tak usah heran!
"Jangan-jangan Sasuke ada hati sama Hinata."
"Masa? Secakep dia bisa suka…. Sama-sama kalem tidak akan cocok!"
"Tapi Hyuuga dan Uchiha termasuk keluarga tertua di Konoha."
"Ah, jangan-jangan karena itu ada perjodohan. Meneruskan tradisi kuno."
"Perjodohan?"
"Kalau tidak, mana mungkin duit sebanyak itu diberikan."
"Ohhh… Sasuke tidak available, dong."
Gila! Aku menutupi wajahku dengan kwitansi putih itu, yang hanya mampu menutup mata dan alisku. Wajahku pastinya sangat pucat, tapi rasanya kok panas? Mendadak aku ingin ditelan bumi dan pindah ke galaxy lain.
"Aduh…" erangku.
"Hn?"
Kuturunkan kwitansi itu. Aku dan cowok berambut pantat ayam itu sudah jadi tontonan publik entah sejak kapan. Beberapa bahkan tak sungkan dan menunjuk kami terang-terangan.
"Bukannya aku tak berterima kasih, Sasuke," sergahku buru-buru, tidak ingin terlihat tak tahu terima kasih.
"Terus?" tanyanya datar.
Aku menatap nanar ke sekeliling kami. Aku dan Sasuke hanya berada beberapa langkah di depan kelas, tapi sekarang nyaris semua mata terpaku ke arah kami. "Kita jadi bahan gossip," tukasku lemah.
Tak dinyana Sasuke malah nyengir. Au au… "Kau takut?" tantangnya.
Aku meringis ngeri. "Aku takut keselamatanku! Kau tahu kan yang terjadi dengan Sakura dan Ino. Dan aku tak siap dimusuhi cewek-cewek di sekolah karena digosipkan denganmu," terangku cepat. Perutku mulas ketika kabar angin di dekat kami makin menjadi.
Sasuke memutar kepala. Dia mencermati teman-teman kami dan bahkan anak kelas lain yang melongok dan menjulurkan leher penuh perhatian. "Ehem," dia berdehem keras. "Kalau ada yang berani mengganggu calon pacarku, dia akan berhadapan denganku sendiri!" tukasnya garang. Mata hitamnya berkilat berbahaya.
Sunyi senyap. Tidak terdengar lagi celetukan gossip yang aneh-aneh. Sasuke sukses membungkam mereka semua.
Rasanya mulutku terbuka. Aku melongo. "A-a-..."
Aku seperti orang bodoh. Terlalu terpana dengan pernyataan Sasuke sampai hanya bisa berartikulasi secerdas monyet.
Sasuke tersenyum manis. "Nah, Hinata, ayo kuantarkan ke kantor TU. Kok diam? Bisa jalan? Atau butuh lenganku untuk bersandar?"
…
TBC
A/N : Saya kembali dengan pair favorit saya. Selamat membaca!
