Ia berlari sekuat tenaga. Mengatur napas yang mulai tersengal menghimpit paru-parunya. Peluh menjalar membasahi permukaan kulit tubuh dan wajahnya. Mata bulatnya menyiratkan ketakutan luar biasa saat sosok hitam itu melesat cepat kearahnya.
Ia terseok saat kakinya nyaris tersandung tanah yang basah. Air mata ketakutan mengalir tak kalah deras dengan keringat yang muncul dari pori-pori kulitnya. Lelah menguasainya dengan segala otot yang mengejang protes ingin diistirahatkan. Ia terbatuk saat jatuh di tanah, mengais oksigen yang mulai menipis untuk memenuhi rongga parunya.
Wajahnya pucat pasi saat sosok itu semakin dekat menghampirinya. Tongkat dengan ujung berbulan sabit itu membuatnya ketakutan setengah mati. Saat melihat seringai menakutkan dari sosok itu hawa disekitarnya tiba-tiba mendingin. Membekukan tulang-tulangnya dan udara yang terasa sedingin es yang membuat tubuhnya menggigil.
Ia ingin berteriak sekerasnya saat melihat ujung runcing tajam itu berkilat karena sinar rembulan. Membayangkan betapa sakitnya jika benda tersebut menggores lehernya hingga putus. Ia bergidik dengan kerongkongan yang terasa kering. Teriakan diujung lidahnya tertelan dengan segala kepanikan yang menguasai dirinya.
Jubah hitam yang sosok itu kenakan berkibar akibat angin yang berhembus terlalu kencang. Ia dapat merasakannya, itu aroma kamboja dan melati yang menusuk indra penciumannya. Wangi kematian yang begitu terasa dekat menghampirinya.
"Do Kyungsoo, inilah kematianmu." Sosok itu berbicara dengan suara berat dan dingin. Kyungsoo terdiam dengan wajah yang semakin memucat tanpa aliran darah. Ia memejamkan matanya saat tongkat kematian itu terayun tepat kelehernya.
.
.
"TIDAKKKK!"
Dark Angel
KaiSoo from EXO Fanfiction
Ia terlonjak bangun, terduduk dengan napas yang tersengal. Memutar pandangannya mengitari tempat ia berada sekarang. Menarik napas lega saat matanya tertumbuk mengenali keadaan sekitarnya. Syukurlah, ia masih berada di kamarnya.
Ia menyeka keringat dingin yang entah sejak kapan membasahi wajahnya. Rambutnya lepek karena betapa derasnya peluh yang menyirami sekujur tubuhnya. Belum lagi piyama tidurnya yang sepenuhnya lengket dengan kulit tubuhnya.
Gerah, ia meneguk segelas air putih yang berada disamping tempat tidurnya hingga habis tak bersisa. Wajahnya masih pucat mengingat mimpi yang begitu mengerikan. Sudah seminggu mimpi itu menghantuinya. Bagai sebuah tanda buruk yang akan menimpanya. Ia memijat tengkuk lehernya, terkejut mendapati aliran darah di telapak tangannya. Seketika dunianya terasa runtuh akan ketakutan yang merasuk menguliti organ tubuhnya.
Ia menangis tanpa suara dan sorot mata kosong. Tak ada matahari pagi itu. Gelap memenuhi kota Seoul dan juga relung hatinya. Setelah sepuluh menit terdiam, ia bangkit dengan lesu menuju kamar mandi. Masih ada sekolah yang harus ia hadiri. Setidaknya mungkin dengan bertemu teman-temannya ia dapat sedikit merilekskan pikirannya.
oOo
"Ada apa denganmu?"
Ia menggeleng lemah saat Baekhyun bertanya padanya. Saat sampai di kelas pagi tadi, lelaki yang memiliki mata bulat itu langsung duduk dengan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya. Tak menghiraukan orang-orang yang menyapanya. Bahkan saat ia duduk tegakpun matanya menyorot kosong sesuatu yang abstrak.
Jelas Baekhyun sebagai sahabat serta teman sebangkunya merasa khawatir luar biasa. Tak biasanya lelaki dengan tubuh mungil itu terlihat begitu frustasi dengan wajah pucat. Mata bulatnya bahkan tak menampilkan cahaya kehidupan layaknya manusia. Belum lagi perban yang ada dileher lelaki itu menambah raut khawatir pada paras tampan Baekhyun.
"Kyungsoo…" Baekhyun memegang pundak yang merosot lesu itu, berusaha mengambil perhatian lelaki bermarga Do tersebut. Tak terlalu berhasil, walaupun Kyungsoo telah menatapnya kini, tapi perhatian lelaki itu tak sepenuhnya berada bersamanya.
"Kau punya masalah?" Baekhyun menunggu hingga Kyungsoo menjawabnya. Lima menit hingga mata Kyungsoo kembali fokus menatapnya. Ia menggeleng menjawab pertanyaan Baekhyun.
"Aku baik-baik saja." Suaranya bergetar saat merangkai kata itu. Baekhyun mengerutkan alisnya ragu dengan jawabannya, bahkan ia sendiri merasa tak yakin dengan jawaban tersebut.
Ia kembali melamun, atensinya sepenuhnya direnggut oleh kecamuk pikirannya sendiri. Merasa Kyungsoo tidak berniat menceritakan masalahnya, Baekhyun hanya diam tak melontar pertanyaan yang membuat pria itu tak nyaman.
"Kalau kau sakit pergilah ke ruang kesehatan."
.
.
Sekolah sudah sepi saat itu. Tak ada kegiatan apapun yang membuat tempat itu ramai. Hari masih gelap dengan awan hitam yang bergelung dilangit. Rintik air mata langit mulai berjatuhan, tak deras tapi dengan intensitas yang banyak, cukup membuat orang-orang malas keluar dari tempat teduhnya.
Hanya ia yang tersisa di kelas, saat bel pulang tadi ia sempat melihat mata Baekhyun yang terlihat mengkhawatirkannya. Ia menolak ajakan sahabatnya itu saat ia mengajaknya untuk pulang bersama. Kyungsoo hanya tak ingin pulang dan berada di kamarnya. Tempat itu seperti gerbang kematian baginya sejak mimpi-mimpi yang sama itu mengikuti malamnya.
Cukup lama ia terdiam hingga akhirnya keluar dari kelas. Menunggu di pintu depan sekolah sambil memandang hujan yang semakin deras memandikan bumi. Tangannya mengadah menerima buliran air hujan, merasakan aliran air itu bergerak masuk kedalam lengan bajunya hingga basah.
Matanya membulat penuh saat melihat seorang lelaki yang tergeletak jatuh di luar gerbang sekolah. Menimbang berbagai kemungkinan akhirnya ia luluh dengan sifat baiknya. Cukup satu jam untuk melihat pria itu tak urung juga bangkit dari jatuhnya.
Ia berlari sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Berharap agar hujan tak membasahi kepalanya walau nyatanya itu sia-sia belaka. Hanya saja daya tahan tubuhnya memang kurang baik. Biasanya jika ia hujan-hujanan seperti ini dalam seminggu ia mungkin akan terserang demam yang cukup parah atau buruknya besok mungkin kepalanya sudah berputar pusing.
Saat berada tepat disamping lelaki itu ia terkejut saat melihat aliran darah yang mengalir dari perut lelaki tersebut. Merasa bersalah karena tak menolong lelaki itu sedari tadi membuat Kyungsoo merutuk dirinya sendiri.
Dengan susah payah ia mengangkat tubuh lelaki itu yang ternyata tak sepenuhnya pingsan. Berat tubuh dan tinggi lelaki tersebut membuat Kyungsoo kesusahan memapahnya berjalan. Dan sialnya lagi, kenapa jarak apartmentnya cukup untuk membuatnya lelah kehabisan tenaga nantinya.
oOo
"Kau sudah sadar?" ia mengerjapkan matanya berulang kali berusaha menyesuaikan dengan cahaya terang disekitarnya. Rasa sakit dan ngilu itu menyerang perutnya saat putaran memori menghantamnya untuk mengingat kejadian masa lalu. Ia menggeram hingga membuat lelaki didekatnya mengerutkan alisnya.
"Kenapa?" itulah saat pertama kali ia melihat sang penolong. Mata tajam itu terbelalak saat mengetahui sosok yang tengah mendekat kearahnya. Kepalanya pening mendadak hingga membuatnya memejamkan mata erat, berusaha untuk menetralisir rasa sakit yang mulai menggerogoti tubuhnya.
Seingatnya, ia tadi sudah jatuh tak dapat mengendalikan otot-otot tubuhnya, belum lagi basah hujan yang membuat tubuhnya menjadi semakin mati rasa. Lalu, kenapa ia ada ditempat ini? Baru ia menyadari jika ia tidak mengenakan pakaian atasnya dan perban yang mulai berwarna merah yang meliliti perutnya yang sakit. Tangan tan itu terangkat menutup mata seakan gerakan itu dapat mensugestinya untuk mengurangi rasa sakit.
"Astaga, lukanya terbuka lagi." Lelaki itu berujar dengan panik. Dari ekor matanya dapat ia lihat bagaimana lelaki tersebut tengah berusaha membuka perbannya dengan hati-hati. Perlahan merasakan tangan lembut itu mengelus lukanya dengan kapas membuatnya terbuai untuk tertidur. Untuk saat ini biarkan ia melupakan tugasnya yang semakin terasa berat untuk ia lakukan.
.
.
Saat kedua kalinya ia membuka mata, rasa sakit ditubuhnya perlahan membaik. Dengan usahanya ia menyandarkan tubuh penuh lukanya disandaran ranjang. Meringis saat gerakannya itu sedikit menyakiti perutnya yang sepenuhnya belum sembuh benar.
Ia mengamati ruangan itu. Cat dinding berwarna biru yang pasti terasa sejuk saat disiang hari. Tak banyak perabotan di kamar itu, hanya ranjang, lemari pakaian dan meja yang berada tepat disamping tempat tidurnya. Matanya perlahan menjadi sendu saat melihat potret diri seseorang dalam bingkai yang ada di atas nakas. Tangannya bergerak mengambil benda dengan ukiran kayu yang ia akui buatan tangan yang bagus.
Diamatinya lelaki yang tengah tersenyum lebar itu, mata bulat lelaki itu nyaris tertutup karena eyesmile yang menghiasi permukaan wajahnya, terlihat begitu gembira saat tertangkap lensa kamera. Belum lagi deretan gigi putih dan rapi itu menyempurnakan senyum dibibirnya.
Tangannya perlahan terangkat menyentuh permukaan kaca pada bingkai itu. Mengelus lembut pipi sang lelaki seakan dapat merasakan permukaan kulit lelaki tersebut. Padahal nyatanya yang ia rasakan hanyalah dinginnya permukaan kaca bening yang sedikit berdebu.
Ia meletakkan kembali bingkai tersebut dan mengalihkan pandangannya pada jendela yang tepat berada disampingnya. Onyx itu menatap penuh harap rembulan yang berada tinggi di atas kelamnya langit.
"Sanggupkah aku…?" gumamnya saat itu.
"Kau sudah bangun?" kepalanya dengan cepat teralih melihat lelaki itu, sang lelaki pada potret ukiran kayu tadi. Lelaki tersebut mengenakan apron yang menutupi t-shirt merahnya. Tangannya tak dapat menggapai daun pintu untuk menutup pintu coklatnya. Kedua tangannya penuh dengan nampan yang ia bawa. Terus mengamati pergerakan lelaki itu yang berjalan pelan kearahnya. Ia mengangguk tak ingin membuat lelaki tersebut kesal karena diacuhkan.
"Baguslah, aku membuatkan sup sayuran untukmu." Lelaki itu meletakkan nampan di atas meja. Membuka penutup mangkuk yang dalam sekejap mengepulkan uap panas keudara. Wangi masakannya harum memenuhi kamar dan melesak dalam indera penciumannya. Ia menerima sodoran mangkuk itu dari tangan lelaki yang duduk disampingnya.
Memakan dengan perlahan sup yang melumer dilidahnya dan terasa menghangatkan perutnya. Ia tau jika lelaki itu tengah menatapnya sedari tadi.
"Ada apa?" tanyanya pelan.
Lelaki itu tiba-tiba menjadi gugup dan salah tingkah. "Aaa… itu… apakah makanannya enak?"
Ia tersenyum mendengar pertanyaan itu, "Selalu lezat seperti biasanya."
"Eh?" ia mengabaikan raut wajah bingung disampingnya dan terus melahap makanannya hingga habis tak bersisa. Ia menyodorkan mangkuk kosong itu pada lelaki tersebut.
"Terima kasih makanannya."
"Kurasa kau harus istirahat, eum…"
"Jongin, namaku Jongin." Lelaki itu mangangguk dan membantu merebahkan tubuhnya untuk dapat tidur. Menyelimutinya sebelum pergi, tapi ia menahan tangan lelaki itu.
"Tidurlah disini Kyungsoo."
Kyungsoo–nama lelaki itu-terkejut karena ia bahkan belum menyebutkan namanya. Bagaimana lelaki ini bisa tahu? Mulutnya sudah terbuka ingin bertanya saat Jongin menyelanya.
"Bukannya hanya ada satu kamar? Aku akan merasa sangat bersalah jika kau tidur disofa ruang tamu."
"Bagaimana…" Kyungsoo tak dapat menemukan suaranya saat badannya tertarik kearah Jongin. Terebah pada kasur birunya yang sempit karena berjejalan dengan tubuh lelaki itu. Ia ingin bertanya banyak hal tapi urung saat melihat wajah lelah Jongin yang kini memeluknya menyamping. Mereka baru kenal tapi rasanya ia sudah mengetahui banyak hal tentang lelaki itu.
Akhirnya ia memilih menyamankan dirinya dalam pelukan lelaki itu. Ia terdiam saat mengetahui posisi mereka yang pasti membuat perut sobek jongin merasa tak nyaman ataupun sakit. Ia sudah berniat menggeser tubuhnya saat tangan Jongin semakin erat memeluk tubuhnya yang lebih kecil.
Mungkin sebaiknya ia menunggu Jongin hingga terlelap saat beranjak pergi menuju sofa. Entahlah, tapi setiap melihat wajah lelaki ini ia merasa harus merawatnya hingga sembuh total.
"Tolong tetap seperti ini… lebih nyaman."
"Tapi perutmu…" Kyungsoo berusaha membuat alasan rasional agar lelaki itu mau melepaskan pelukannya. Tapi sia-sia karena alih-alih memikirkan rasa sakit akibat luka yang mulai terbuka lagi, Jongin lebih memilih melesakkan wajahnya pada perpotongan leher lelaki dalam dekapannya. Aroma lelaki itu masih sama dalam ingatannya saat ini.
Napas hangat itu mau tak mau membuat Kyungsoo merasa semua ini terasa terlalu berlebihan. Lelaki ini baru ia temui kemarin sore, bahkan mereka baru berkenalan tadi, tapi kenapa mereka terasa begitu dekat? Perlahan matanya tertutup sambil merapalkan tekad agar ia segera pergi saat lelaki yang tengah memeluknya terlelap. Tapi sepertinya itu hanya omong kosong belaka karena nyatanya ia terlebih dahulu terlelap menikmati rengkuhan hangat yang menggelitik alam bawah sadarnya.
Suara dengkuran halus itu menyadarkan Jongin jika lelaki dalam dekapannya sudah tertidur lelap. Perlahan ia menjauhkan wajahnya menikmati suguhan wajah polos lelaki itu. Air matanya perlahan turun saat dilihatnya lingkaran hitam dibawah mata Kyungsoo.
Perlahan ia mendekatkan wajahnya, mencuri sebuah ciuman pada kelopak mata itu. Menjauhinya lagi sebelum mendekat untuk menyesap manis bibir itu dan air matanya semakin deras membasahi pipinya serta permukaan wajah Kyungsoo. Diamatinya sekali lagi permukaan wajah itu setelah ia melepas bibir sang lelaki. Tangannya bergetar saat mengusap lembut helai poni didahi Kyungsoo sebelum mencium kening itu. Bibirnya bergetar merasakan gejolak jiwanya yang memberontak.
"Sanggupkah aku sayang?" gumamnya setelah meraih kepala Kyungsoo untuk semakin erat ia peluk, seakan tak rela menyerahkan tubuh yang terasa begitu ringkih dalam pelukannya.
Dan itu malam pertama dalam seminggu yang selama ini terasa begitu mengerikan bagi seorang Do Kyungsoo. Malam pertama ia dapat tertidur begitu lelap tanpa mimpi mengerikan itu.
Tapi yang Kyungsoo tak tahu, bahwa kini sang mimpi tengah memeluknya sambil menangis.
.
.
.
TBC
A/N:
Ini repost loh readerdeul. Dulu ini merupakan fic pertama saya tapi sempat saya hapus karena alasan tertentu dan tidak tahu ingin membuat ending apa untuk ff ini. tapi sekarang saya sudah menyelesaikan ending untuk cerita nggak jelas ini. mungkin 2 atau 3 hari lagi bakal saya publish chap endingnya karena ini cuma twoshoot. Semoga dapat menghibur pembaca sekalian. Saya sungguh mengharapkan kritik dan koreksi kata seperti EYD, typo, penulisan yang benar atau apapun yang dapat membangun saya untuk menulis lebih baik lagi.
Salam,
Gengie
