Hai semua.
Ini post cerita kedua saya. Mohon bantuannya. Krisar yang membangun sangat diterima.
Makasih buat reader yang membaca dan review cerita pertama saya. Dan untuk Guest, entah kenapa saya ngerasa tersentuh baca review kamu di cerita pertama itu. Maaf saya masih belum bisa buat bikin kalimat bahasa inggris, tapi saya cukup ngerti review kamu. Yah, semoga ucapan terima kasih ini sampe ke orangnya.
Disclaimer Boboiboy © Animonsta Studio
Warnings: Elemental Siblings, No Super Power, Parent!BoboiboyYaya, Typo
Genre: Family & Friendship
.
.
.
Happy reading
Hujan mengguyur kota Kualalumpur. Seorang pemuda beriris merah hanya menatap kosong keluar jendela yang tampak berembun, menunjukkan betapa derasnya hujan malam ini. Pikirannya melayang mengingat kenangannya dulu...sebelum semuanya terjadi.
"Halilintar, ganti baju dulu. Ada banyak bajumu di sini, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi."
Sebuah suara menyentakkannya, Ia menoleh sebentar kepada pemuda yang berdiri di ujung tangga. Pemuda yang dipanggil Halilintar itu kembali menatap keluar jendela.
"Kau tidak perlu repot-repot, Fang," ucapnya datar. Pemuda yang dipanggil Fang itu menghela napas, berjalan mendekati sahabat yang sudah ia anggap adiknya sendiri. Ia menepuk bahunya.
"Kau bisa cerita padaku, Hali. Sekarang bersihkan dirimu, nanti sakit," bujuknya.
"Huh...bawel," Halilintar mendengus, tapi akhirnya menuruti perkataan sahabatnya. Berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Fang menatap sedih punggung sahabatnya yang perlahan menjauh.
.
.
.
"Jadi, kenapa kau sampai kabur lagi?" Fang memutuskan membuka suara.
"Seperti biasa," jawab Halilintar malas.
"Bertengkar lagi?" tanya Fang. Halilintar mengangguk.
Fang menatap iba sahabat kecilnya. Semenjak insiden mengerikan itu, sahabatnya ini lebih pendiam menutup diri dari luar. Tapi, ia bersyukur setidaknya pemuda di depannya ini masih mau berbagi masalah dengannya.
.
"Aku...menginap lagi di sini, ya?" Halilintar menatapnya memohon.
"Kau boleh kesini kapanpun kau mau," tanpa Halilintar memohon pun Fang akan tetap menyetujuinya. Pemuda di depannya ini selalu menginap di sini jika sudah tidak tahan dengan pertengkaran itu.
"Terima kasih, Fang," Halilintar tersenyum, memeluk sahabatnya sekilas.
.
.
.
"Kak Halilintar, kita mau kemana?" tanya seorang anak berpakaian serba biru kepada kakak kembarnya.
"Kita akan ke rumah kakek di Pulau Rintis, Taufan," jawab anak yang dipanggil kakak oleh Taufan itu.
"Beneran, kak?" tanya satu anak lagi yang berwajah sama dengan dua anak pertama.
"Iya, Gempa," jawab Halilintar.
"YEAY!" teriak kedua adik Halilintar gembira. Hallilintar tersenyum tipis.
BRAK!
Tiba-tiba gerbong kereta berguncang keras. Seluruh penumpang terkejut.
"KYAAAAAAAA"
"KERETANYA TERTIMPA RERUNTUHAN! SELAMATKAN DIRI KALIAN!"
"TOLOOONG!"
Pekikan ketakutan terus bersahutan di dalam gerbong kereta yang mereka tumpangi, ketiganya berpelukan berusaha saling melindungi.
"HALI! TAUFAN! GEMPA!" teriakan familiar membuat ketiganya menoleh. Tampak ibu mereka segera mendekati lalu menarik ketiganya ke tempat yang lebih aman di dalam kereta. Namun-
"TIDAK! TAUFAAN! GEMPAAA!"
"TAUFAAAN! GEMPAAA!"
"AWAAAS!"
BRAK!
Taufan dan Gempa terpisah.
.
.
.
"TAUFAAN! GEMPAAA!"
Halilintar terbangun dengan napas tersenggal. Mimpi buruk itu kembali menghantuinya.
"Hali! Kau kenapa?" Fang terbangun karena teriakan keras Halilintar, menatap khawatir sahabatnya.
"Aku tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk," jawab Halilintar serak.
"Ini, minum dulu. Lain kali baca doa sebelum tidur," Halilintar hanya mengangguk kecil, mengambil minum yang diberikan sahabatnya.
"Aku mau tidur lagi, kau juga," kata Halilintar lalu berbaring menutupi dirinya dengan selimut, Fang mengangguk saja.
.
Ia tahu mimpi yang dialami sahabatnya ini bukan sekedar mimpi biasa, memori mengerikan yang sangat ingin dilupakannya. Dengan teriakan tadi, sudah cukup membuatnya tahu apa yang sahabatnya mimpikan. Hari dimana ia kehilangan Taufan dan Gempa. Kedua adiknya tidak terselamatkan dari reruntuhan saat kecelakaan kereta hari itu. Sejak saat itulah keluarga bahagia sahabatnya hancur. Ayah dan ibunya setiap hari terus bertengkar dan Halilintar yang sudah tidak tahan selalu kabur dari rumah seperti malam ini.
Fang kembali berjalan ke kasurnya yang berada tepat di samping kasur sahabatnya. Bersyukurlah kamarnya cukup besar dan ada dua ranjang di dalamnya, cukup membantu untuk mengawasi Halilintar lebih dekat. Cukup lama ia memperhatikan Halilintar yang tampaknya sudah benar-benar kembali tertidur. Ia pun memutuskan untuk tidur juga.
.
.
.
"Fang, kau masak apa?" Suara serak khas bangun tidur mengejutkannya yang sedang memanggang roti. Fang terlonjak kaget, hampir saja ia melemparkan piring di tangannya.
"Kau mau membunuhku ya!?" kata Fang kesal.
"Maaf. Kau sedang masak apa?"
"Huh...aku tidak masak. Hanya memanggang roti," jawab Fang, "Cuci muka sana," lanjutnya. Halilintar mengangguk, berjalan ke kamar mandi dapur.
Ini yang Fang tidak suka. Halillintar bersikap seperti baru mengenalnya beberapa hari. Biasanya jika ia kesal, sahabatnya itu akan membuatnya semakin kesal dengan kata-katanya dan berakhir dengan lebam di tubuh masing-masing. Tapi, tidak dengan entah sepuluh atau sebelas tahun terakhir ini. Pemuda itu hanya menerima ketika dirinya disalahkan lalu akan langsung meminta maaf tanpa peduli ia salah atau tidak.
.
.
.
Halilintar berjalan pelan ke rumahnya. Sebenarnya dia tidak ingin pulang, tapi dia tidak enak terus merepotkan Fang. Sudah siang, pasti ayah dan ibunya sudah berangkat ke kantor.
Halilintar berhenti di depan rumahnya, menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Pintu berderit saat dibuka, suasana dingin dan hampa langsung menyambut kedatangannya. Dadanya sesak dan matanya terasa panas. Perlahan ia masuk, berjalan ke arah berlawanan dengan kamarnya dan berhenti di depan sebuah pintu. Pintu kamar kedua orangtuanya. Tangannya terulur hendak membuka pintu.
Drrrt...
Ponsel dalam saku jaketnya bergetar tanda pesan masuk.
.
From: Manajer
Hali, ingat, minggu depan ada kompetisi balap. Kau tidak lupa latihan, 'kan? Jaga kesehatanmu. Jangan kecewakan aku, ok. Aku percaya padamu.
Halilintar tersentak. Ia benar-benar lupa akan hal ini.
.
To: Manajer
Akan kuusahakan.
.
Ya. Halilintar merupakan seorang pembalap. Dulu saat setelah kelulusan SMA dirinya hanya iseng mendaftar kompetisi balap mobil antar kota dan tak disangka ia memenangkannya. Sejak itu, ia selalu diikutsertakan dalam berbagai kompetisi balap oleh pemerintah dan lolos masuk club balap dunia saat berusia 18 tahun.
To: Fang
Temani aku latihan sekarang.
Halilintar bergegas mandi dan berganti baju. Ia menyambar kunci mobilnya yang diletakkan di meja.
.
.
.
"Kenapa mendadak?"
"Aku lupa," jawabnya datar.
"Lupa...apa?" Fang mengernyitkan dahi.
"Minggu depan ada kompetisi, di pusat kota Kualalumpur."
Saat ini keduanya sedang menuju sirkuit tempat biasa Halilintar berlatih. Halilintar melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, meski seorang pembalap ia tidak pernah sekalipun kebut-kebutan di jalan umum. Ia tahu tempat.
"Kau ini. Kenapa ceroboh sekali!? Kompetisi yang akan kau ikuti itu kompetisi besar, jangan sampai kau malu karena kecerobohanmu sendiri. Beruntung kompetisinya dilaksanakan di Malaysia. Bagaimana jika di luar negri!?" omel Fang. Halilintar memutar matanya.
"Iya, iya. Maafkan aku. Puas?" suasana hening setelah itu.
"Fang," Fang menoleh.
"Kau...mau datang untuk mendukungku, 'kan?" Fang mengeryit heran dengan pertanyaan sahabatnya.
"Tentu saja aku akan datang, jangan permalukan aku dengan kekalahanmu."
"Tentu. Aku akan berusaha keras."
.
.
.
Fang hanya memperhatikan sahabatnya yang sedang berlatih dengan mobil yang sudah tersedia di sana. Sungguh, ia mengagumi sahabatnya itu. Selama beberapa tahun terakhir sahabatnya memenuhi kebutuhan hidup dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Uang saku dari orangtuanya bahkan tidak cukup untuk membayar biaya kuliahnya dulu.
Ia sangat bangga pada Halilintar, sukses dengan gemilang di usia yang masih sangat muda. Bahkan uang tabungannya kini sudah cukup untuk membeli sebuah mobil sport keluaran terbaru. Fang teringat saat pertama kali Halilintar mendapatkan uang dari kompetisi dunia pertama yang dimenangkannya. Lebih dari seratus juta.
.
"Fang, bagaimana ini!? Aku tidak bisa menyimpan uang sebanyak ini. Aku takut."
"Kau tinggal buat rekening bank lalu menabungkannya, Hali. Tidak perlu setakut ini."
"Aku...aku tidak tahu cara membuat rekening bank."
.
Kalimat terakhir Halilintar saat itu selalu berhasil membuatnya tertawa. Bagaimana Halilintar mengucapkannya dengan sangat polos ditambah ekspresi ketakutannya yang langka dan sangat menggemaskan.
.
"Nah, sekarang kau bisa menyimpan semua uangmu di sini. Kau tidak perlu takut lagi."
"Tapi, uang sebanyak ini untuk apa?"
"Kau bisa gunakan itu untuk biaya kuliahmu, dan mungkin saja untuk membantu mengembangkan perusahaan ayahmu."
"Benar juga. Aku akan membantu ayah nanti. Terima kasih, Fang."
.
Fang tersenyum. Saat itu ia merasa menjadi seorang kakak yang berhasil membahagiakan adiknya. Senyum Halilintar saat itu sangat manis, ia takkan pernah melupakannya.
"Fang! Kau sedang apa, sih!? Aku panggil dari tadi, tau!" Halilintar berseru kesal yang entah sejak kapan sudah berada di depannya.
"Tidak ada. Memangnya ada apa kau memanggilku?"
"Aku lapar," Fang membulatkan matanya.
"Kau mau makan sambil mengemudi lagi!? Yang benar saja!" kata Fang marah, ia takkan membiarkan Halilintar makan sambil mengemudi lagi. Terakhir kali sahabatnya melakukan hal itu, sahabatnya terbaring lemah di ranjang berhari-hari, sakit(*).
"Sudah tidak ada waktu untuk aku bersantai. Lagipula aku sudah terbiasa."
"Tidak boleh! Duduk dan makanlah di sini," kata Fang tegas.
"Tidak bi-.."
"Duduk!"
"Huh...Iya!"
Memang tepat keputusannya membawa bekal makanan. Bukan sekali dua kali ia menemani Halilintar seperti ini, sahabatnya ini selalu kelaparan saat latihan dan tidak pernah sekalipun ingat untuk membawa bekal. Ia sudah sangat hafal.
Fang hanya memperhatikan Halilintar makan dalam diam. Entah untuk keberapa kalinya ia sangat bangga kepada sahabat di depannya ini. Meski keadaan keluarga mereka sudah diambang kehancuran, Halilintar tetap ingin memberikan yang terbaik.
.
.
.
.
"YAYA! APA YANG KAU LAKUKAN, HAH!?"
"HEH! MEMANGNYA KENAPA!? PERUSAHAAN INI KITA DIRIKAN BERSAMA JADI AKU PUNYA HAK!"
"BUKAN BERARTI KAU BISA MENGAMBIL SEMAUMU! AKU JUGA PUNYA HAK, YAYA!"
"PERHITUNGAN SEKALI KAU, BOBOIBOY!"
Halilintar terbangun dari tidurnya. Setelah latihan tadi ia merasa begitu lelah dan langsung tertidur sesaat setelah menjatuhkan dirinya di kasur. Suara-suara itu menggema dari arah ruang tamu. Suara yang sangat dibencinya. Sampai kapan ayah dan ibunya terus seperti ini? Apakah masih ada harapan keluarganya kembali seperti seperti dulu lagi? Ia menutup kedua telinganya dengan bantal, berharap suara itu teredam. Air mata jatuh membasahi pipinya, entah sejak kapan.
Halilintar terus menangis semalaman sampai akhirnya kelelahan lalu jatuh tertidur.
.
.
.
Halilintar memaksa matanya untuk terbuka saat merasakan terpaan sinar matahari yang mengganggunya. Tapi, ia merasa begitu kesulitan.
"Ukh...perih," gerutunya.
Tangannya terus berusaha menyingkirkan benda-benda kecil yang mengkristal sekaligus merekatkan kelopak matanya. Ia ingat semalaman ia menangis lalu tertidur setelah merasa sangat lelah. Ia sebenarnya sudah terbiasa, tapi mungkin kali ini yang terparah.
Hampir sepuluh menit akhirnya ia berhasil membersihkan matanya dan membukanya perlahan. Bisa saja tadi ia langsung ke kamar mandi untuk membersihkannya, tapi ia tidak mau mengambil resiko tersandung atau menabrak sesuatu dan berakhir fatal.
Setelah matanya terbiasa, ia melirik sebentar jam dinding di kamarnya. Jarum panjang menunjukkan angka empat, sedangkan jarum pendek berada diantara angka sembilan dan sepuluh. 09.20, untuk jam digital. Suasana rumah sepi, ayah dan ibunya pasti sudah pergi ke kantor pagi tadi.
.
Aku harus latihan lagi hari ini.
.
Halilintar berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, Fang pasti akan mengomelinya jika telat. Mereka sudah janji bertemu jam sepuluh, masih ada waktu sekitar empat puluh menit untuknya bersiap.
Selesai bersiap, ia berlari kecil menuruni tangga menuju ruang makan. Halilintar mendesah kecewa saat tidak menemukan apapun di sana, padahal ia sangat berharap ibunya sudah menyiapkan sarapan dengan note pesan 'jaga kesehatan' untuknya. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia merasakan masakan ibunya, ia sangat merindukannya. Pada akhirnya ia kembali menyesali sikapnya yang menurutnya terlalu banyak berharap.
Dengan berat hati, Halilintar pergi meninggalkan ruang makan menuju garasi dimana mobil pribadinya terparkir. Setelah mengeluarkan mobilnya dan mengunci pintu, ia mengirim pesan singkat kepada kedua orangtuanya sekaligus.
To: Ibu / Ayah
Kunci rumah kuletakkan di tempat biasa.
Meski ia tahu ibu dan ayahnya memegang kunci cadangan masing-masing, tapi hanya inilah cara agar dia bisa sedikit berkomunikasi dengan keduanya.
.
.
.
"Kau telat," kata Fang dingin, Halilintar memutar matanya.
"Aku tau. Maaf," kata Halilintar, menunduk.
"Kau harusnya-.. Hei! Apa yang terjadi? Kau habis menangis, ya!?" omelan Fang terhenti saat melihat mata Halilintar yang membengkak dan merah.
"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Kau sudah sarapan?" Halilintar mengalihkan topik.
"Jangan menghindar, Hali."
"Aku sedang tidak ingin membahasnya, ok? Kita sarapan di luar ya, hari ini," ajak Halilintar.
"Terserah kau saja. Kau berhutang cerita padaku, Hali," Halilintar memutar bola matanya.
"Iya," Halilintar berjalan lebih dulu memasuki mobilnya diikuti Fang. Mobil bergerak pergi menuju warung nasi favorit Halilintar.
.
.
.
Dua puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah warung sederhana yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Dua sahabat itu turun, berjalan santai memasuki warung di depannya. Setelah memesan keduanya mengambil tempat duduk dekat jendela yang lagi-lagi tempat favorit Halilintar.
Sembari menunggu pesanannya, Halilintar mengecek ponselnya. Berharap menemukan balasan pesan dari kedua orangtuanya, dan ia kembali mendesah kecewa saat tidak menemukan apapun di sana.
Fang melihatnya. Ingin bertanya, namun ia tahu pasti Halilintar tidak akan menjawabnya. Jadi, ia memilih untuk diam. Tahu jika sahabatnya memang belum siap bercerita. Tak berapa lama, pesanan datang. Keduanya menyantap makanan yang dipesan masing-masing. Sekilas Fang melihat ekspresi tidak berselera Halilintar, namun sahabatnya itu berusaha menutupinya.
.
.
.
"Kau ini kenapa, sih? Sejak tadi tidak konsentrasi sama sekali. Lebih baik kita pulang saja, percuma kau latihan jika keadaanmu seperti ini," Fang terus mengomeli Halilintar saat sahabatnya itu berhenti. Bagaimana tidak, sejak awal latihan Halilintar sudah sangat kacau. Ban-ban yang disusun rapi sebagai pembatas sirkuit bagian dalam hampir semuanya berantakan karena terus tertabrak. Entah sahabatnya itu sengaja atau tidak.
Fang lalu menyeret Halilintar pulang yang sama sekali tidak membantahnya. Ia berinisiatif menggantikan sahabatnya mengemudikan mobil dan membawanya kerumahnya. Ia akan langsung menginterogasi Halilintar saat sampai nanti.
.
.
"Kita sampai," ucap Fang.
"..."
Merasa tidak mendapat sahutan, Fang menoleh ke sampingnya.
"Tidur ternyata," gumamnya, ia mengguncang pelan bahu sahabatnya.
"Hali, bangun. Kau lanjutkan tidur di dalam saja,"
"Hm..."
Halilintar turun dari mobil, berjalan terkantuk-kantuk mengikuti sahabatnya. Ia masuk saat pintu rumah dibuka dan langsung menuju kamar Fang. Halilintar menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dan langsung terbang ke alam mimpi. Posisinya tengkurap dengan bagian pinggang sampai kaki menggantung, mungkin terlalu lelah.
Fang yang melihat itu hanya menggelengkan kepala, ia membenarkan posisi tidur Halilintar lalu menyelimutinya. Niatnya menginterogasi hilang sudah, ia tahu pasti masalah yang menimpa sahabatnya ini sudah jelas menyangkut kedua orangtuanya.
"Kau pasti sangat lelah, ya?" katanya sambil menatap wajah Halilintar yang begitu tenang dan polos. "Istirahatlah," lanjutnya lalu mengusap lembut kepala sahabatnya.
.
.
.
Kedua sahabat kini sedang makan malam bersama. Halilintar memaksa untuk memasak dengan alasan tidak ingin merepotkan Fang terus-menerus. Bahkan Halilintar sampai menyeret Fang menuju ruang tengah lalu menyalakan televisi yang sedang menayangkan kartun. Tentu saja Fang sangat kesal dan akhirnya membiarkan Halilintar memasak makan malam untuk mereka.
Fang sama sekali tidak diperbolehkan membantu Halilintar. Jadi, ia memutuskan untuk duduk memperhatikan dari meja makan.
.
.
"Mulai malam ini sampai kompetisi nanti, kau tinggal di sini," Fang memutuskan ini bukan tanpa alasan. Setelah melihat kondisi Halilintar tadi pagi, ia yakin masalah yang dihadapi sahabatnya kali ini lebih besar.
Uhuk!
"Me-memangnya kenapa?" Halilintar terbatuk saat minum, menatap Fang kaget.
"Jika kau pulang, aku tidak jamin kondisimu akan tetap baik. Kau harus fokus."
"Tap-.."
"Jangan membantah. Ini perintah," cukup untuk membungkam Halilintar.
.
.
"Aku sudah menelepon orangtuamu bahwa kau akan menginap beberapa hari di sini untuk mengerjakan tugas kuliah," kata Fang sambil berjalan memasuki kamarnya. Halilintar sedang duduk di ranjangnya.
"Lalu?"
"Mereka mengizinkan," jawab Fang.
Halilintar menghela napas. Sebegitu sibuknya 'kah orangtuanya sampai tidak ada waktu untuk berbicara dengan anaknya sendiri, menanyakan kabar atau apapun itu. Ia menunduk sedih, sedih karena masih terus berharap.
Fang melihat itu. Ingin saja ia berbohong mengatakan bahwa orangtuanya merindukannya, tapi ia tidak tega. Sadar itu hanya akan membuat luka baru di hati sahabatnya. Tangannya terulur menepuk bahu sahabat kecilnya dan tersenyum.
"Kau tidak sendiri, Hali. Masih banyak orang yang menyayangimu, jangan putus asa," hiburnya. Halilintar mendongak menatap Fang yang berdiri di sampingnya, tersenyum.
"Terima kasih, Fang."
Setelah mengobrol beberapa hal, keduanya memutuskan untuk tidur.
.
.
.
.
TBC
A/N:
*Otak akan kesulitan jika mengerjakan sesuatu yang berat secara bersamaan. Contohnya pengalaman Halilintar tadi, bagaimana bisa dia sakit karena makan sambil mengemudi yang bahkan terlihat sepele? Otaknya dipaksa untuk fokus berlatih, dan saya yakin semua bisa tahu seberapa seriusnya latihan itu. Harus benar-benar konsentrasi. Nah, jadi secara tidak sadar, Halilintar akan menelan makanannya dalam keadaan tidak halus atau bahkan sampai lupa mengunyahnya. Ini tentu saja berdampak buruk pada sistem pencernaan. Seperti, sakit perut, radang lambung dan masih banyak lagi dampak buruk lainnya.
Oke, makasih buat yang udah berkenan baca.
*RnR
