Title : HOW CAN I

Pair : HoMin

Rate : T

Genre : Romance, angst

Lenght : Three shoot

"Hyung, apa semua benar-benar berakhir?"

Pria berwajah manis yang saat ini tampak berdiri di balkon kamar sembari menatap sang bulan purnama tersebut bersua, mengungkapkan kegelisahan hati yang tak kunjung sirna dimakan waktu. Di hadapan sang raja kegelapan malam yang terasa mencekam, ia berdiri melawan sang bayu yang mencoba merobohkan tubuhnya. Airmata mulai keluar secara intens dari mata bambinya, membasahi pipi putih nan pucat yang tampak berisi rahang kokoh yang begitu mengagumkan.

Setelah melewati waktu yang cukup panjang untuk bertahan dalam kesakitan cinta, akhirnya ia dipukul mundur untuk menyerah akan sebuah kenyataan, mantan kekasih yang teramat sangat dicintai akan bersanding bersama gadis lain di altar.

Kaitan cinta yang sudah terjalin selama dua tahun lamanya, kini hancur 'tak tersisa, menciptakan bekas luka mendalam yang takkan pernah sirna hingga mata 'tak sanggup lagi melihat indahnya dunia. Hanya karena keegoisannya yang 'tak beralasan, kini sang mantan kekasih benar-benar pergi, takkan pernah ada jalan untuk kembali.

Karena keegoisannya.. Ya, keegoisannya.

.

.

.

"Hey, Changmin-ah!"

Changmin menengadahkan kepalanya, menatap seorang pria berbadan tegap yang baru saja masuk ke dalam kamar sekaligus rumahnya tanpa izin. Sudah menjadi hal yang biasa untuk Changmin mendapatkan tamu 'tak diundang seperti yang sedang terjadi saat ini. Meski begitu, ia tetap meninggalkan sejenak pekerjaannya, menghampiri pria berwajah kecil yang selalu tersenyum bodoh dalam hidupnya itu.

"Apa kau punya waktu nanti siang? Aku ingin mengajakmu makan siang di luar."

Changmin menggeleng malas. "Aku harus datang ke penerbit hari ini, jadi aku 'tak mempunyai cukup waktu untuk bernapas sekali pun."

"Tsk! Kau memang penulis yang 'tak mempunyai kompromi meski dengan mantan kekasihmu sendiri," sindir pria tersebut, mengamati wajah Changmin yang tampak lebih pucat dari sebelumnya. "Kau sakit?"

"Kelihatannya begitu." Changmin menempelkan telapak tangannya ke dahi, memastikan suhu tubuhnya sendiri. "Sedikit demam."

"Pasti tadi malam kau begadang menyelesaikan naskah yang akan kau berikan ke penerbit, 'kan? Bukankah aku sudah sering memperingatkanmu, jangan begadang jika keadaanmu tak memungkinkan? Kenapa kau keras kepala sekali, huh?" seloroh pria tersebut, menangkup leher Changmin menggunakan kedua telapak tangannya. "Sedikit demam? Hey, ini bukan sedikit demam, tapi memang demam."

Dengan kasar Changmin menepis tangan pria tersebut agar menjauh. "Jangan suka menyentuhku seenaknya!"

Pria itu terdiam, 'tak berniat membalas ucapan Changmin yang terasa sangat menyakitkan. Menjauhkan diri dengan cara mundur beberapa langkah dari Changmin, pria tersebut kembali tersenyum bodoh seolah 'tak pernah mendapatkan penolakan sebelumnya.

"Aku akan memanggil Dokter untukmu."

"Tak perlu!" tolak Changmin, menatap mata musang yang ada di hadapannya. "Yunho hyung, sebaiknya kau pergi! Aku harus menyelesaikan naskahku hari ini, jadi jangan menggangguku!"

Jung Yunho.

Nama yang sangat indah, begitu juga dengan sang pemilik dari nama itu sendiri. Namun entah mengapa Changmin merasakan rasa sakit layaknya dihujam tusukan belati tepat di ulu hati, ketika bibirnya mengumandangkan nama sakral tersebut. Nama sakral.. dari orang yang sangat dicintainya, hingga melebihi cintanya pada dirinya sendiri.

"Kita akan bertemu lagi, tepat saat kau mengikrarkan janji suci bersama Ara Noona di Altar." Changmin mengepalkan kedua tangannya sebagai pertahanan diri akan kesakitannya. "Pergilah, aku masih banyak pekerjaan."

Changmin berbalik pergi, kembali ke kursi nyaman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu untuk membuat karya fiksi yang sudah banyak menarik perhatian khalayak ramai. Menekuni kembali pekerjaannya yang sempat tertunda, mengabaikan Yunho yang masih 'tak bergeming sedikit pun dari tempatnya.

"Kau egois, Changmin-ah. Kau benar-benar egois," lirih Yunho, tersenyum sendu menahan kesakitannya. "Sampai bertemu lagi.. di Altar milikku."

Yunho memutuskan pergi bersama dengan kekecewaan dan kesakitan yang menggerogoti sanubarinya. 'Tak ada alasan baginya untuk tetap bertahan lebih lama lagi menghadapi sang mantan kekasih yang telah membuangnya dengan alasan yang 'tak masuk akal.

.

.

.

"Pergilah! Aku malas melihat wajah memelasmu."

Changmin mendengus kesal mendengar sindiran pahit dari sang sahabat, Cho Kyuhyun. Niat hati menemui Kyuhyun karena ingin mendapatkan penghiburan atas kesedihannya dikarenakan penyesalan, justru sindiran dan hujatan-lah yang Changmin dapatkan.

Kyuhyun adalah sahabat sekaligus sepupunya. Sudah sepantasnya Kyuhyun memahami isi hatinya tanpa harus melalui sebuah penjelasan yang berbelit-belit dan membingungkan. Dibandingkan menghakimi keputusannya yang telah menjadi penyesalan, alangkah baiknya jika Kyuhyun ikut prihatin dengan kisah cintanya yang sudah hancur tak berbekas, bukan?

"Apa wajahku terlihat sangat mengenaskan?" tanya Changmin, menyipitkan mata bambinya untuk mengancam.

Kyuhyun menyeringai malas. "Lebih dari sekadar mengenaskan. Wajahmu terlihat seperti orang munafik. Lebih tepatnya kau memang munafik."

Changmin tersenyum sinis, membuang muka ke arah lain untuk melarikan diri atas penghakiman yang tengah berlangsung.

Andai Kyuhyun tahu bagaimana perasaan seseorang yang mempunyai cinta terlarang, cinta yang diperankan oleh dua pria tanpa adanya sosok wanita, hingga harus memikirkan perasaan pihak lain yang akan tersakiti akan cinta tersebut, apakah Kyuhyun akan tetap menghakiminya?

"Alasan kau memutuskan Yunho hyung sungguh 'tak berkelas, Changmin-ah. Tidak mau membuat kedua orangtua kalian sedih? Kau benar-benar pria jalang," maki Kyuhyun, menyilangkan kedua kakinya dengan angkuh. "Kau tahu, aku menyesal mempunyai saudara pengecut sepertimu."

Ocehan Kyuhyun yang sudah di luar batas kewajaran membuat Changmin geram. Begitu kerasnya Changmin bersabar menghadapi penghakiman Kyuhyun, tanpa sedikit pun niat untuk membela diri. Namun, bukankah kesabaran ada batasnya?

Changmin mengalihkan perhatiannya pada Kyuhyun, menyelami manik mata onxy pria yang duduk berseberangan meja dengannya tersebut. Emosi mulai menyeruak, menguasai kendali pikiran dan tubuhnya.

"Apa kau pernah mencintai seorang pria hingga rasanya kau mau mati dalam kebimbangan karena melawan takdir? Apa kau pernah berada dalam sebuah pilihan yang mengharuskanmu memilih antara cinta dan keluarga? Apa kau juga pernah berada dalam sebuah hubungan yang mengharuskanmu melukai perasaan kedua orangtuamu?" seru Changmin, melampiaskan emosi yang sempat tertahan. "Tidak. Kau tidak pernah merasakannya, makanya kau berani menghakimiku seperti ini. Apa kau pikir, kau ini orang suci yang berhak menghakimi kesalahan orang lain? Apa kau pikir, kau ini adalah dewa yang tahu mana yang salah dan mana yang benar?"

Kyuhyun menggeleng, menolak asumsi Changmin. "Aku memang 'tak pernah merasakan apa yang kau rasakan. Tapi yang harus kau tahu, aku memperjuangkan cintaku dengan mengorbankan nyawaku sendiri. Berjuang hingga titik darah penghabisan demi mendapatkan istriku, Kim Hana."

Changmin tertegun, 'tak mampu membalas ucapan Kyuhyun. Tentu Changmin masih ingat kisah perjuangan Kyuhyun untuk mendapatkan restu dari ayah Hana yang merupakan bos mafia terkejam di Seoul.

Semua berawal ketika Kyuhyun memutuskan menemui ayah Hana untuk meminang sang kekasih pujaan, namun yang didapat justru penolakan. Bukan Kyuhyun namanya jika menyerah begitu saja. Berbekal keberanian yang lebih layak dikatakan nekad, untuk kedua kalinya Kyuhyun kembali menemui ayah Hana, meminta restu atas hubungan cintanya. Tentu ayah Hana menjadi sangat marah dengan kekeraskepalaan Kyuhyun, hingga sang ayah memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi Kyuhyun saat itu juga. Alhasil, Kyuhyun pulang dengan luka fatal di sekujur tubuhnya, hingga harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Beruntung nyawa Kyuhyun selamat, namun pria tersebut harus mengalami koma selama empat hari penuh.

Selama dalam tidur panjangnya, Hana 'tak pernah absen untuk mengunjungi Kyuhyun di rumah sakit, meski harus dengan dua ajudan yang ditugaskan sang ayah untuk mengikuti ke mana pun gadis itu pergi. Tak mau makan, minum dan tidur, hingga akhirnya Hana ikut jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama dengan Kyuhyun.

Semua kisah perjuangan tersebut berakhir ketika Kyuhyun sadar dari tidur panjangnya. Dengan tekad untuk terus mempertahankan cintanya sampai mati, Kyuhyun kembali mendatangi ayah Hana, meminta restu untuk kesekian kalinya. Sungguh keajaiban, akhirnya ayah Hana memberikan restu untuk Kyuhyun meminang putri tunggalnya.

Mengingat kembali perjuangan Kyuhyun untuk mendapatkan Hana, Changmin serasa ditampar tangan besar 'tak kasat mata. Rasa malu mulai menyeruak, melingkupi tubuhnya yang mulai menegang. Hingga 'tak ada lagi ucap kata yang keluar dari bibirnya, meski sekadar untuk memberikan pembelaan.

"Aku harus pergi."

"Jangan melarikan diri dariku!" interupsi Kyuhyun, menatap Changmin yang sudah bangkit dari kursinya. "Kau mungkin bisa melarikan diri dariku, tapi kau 'tak bisa melarikan diri dari kesakitanmu."

Changmin 'tak menggubris ucapan Kyuhyun, dan memilih pergi meninggalkan ruangan yang difungsikan sebagai ruang tamu tersebut. Kini, tinggal Kyuhyun yang termenung sedih, memikirkan nasib percintaan sang sahabat yang begitu disayanginya.

"Eh? Changmin sudah pulang, Oppa?"

Kyuhyun mengangguk, menjawab pertanyaan Hana yang baru saja datang dengan membawa baki berisi dua cangkir teh hangat. "Changmin pasti tersinggung dengan ucapanku, makanya dia pergi."

Hana tersenyum, meletakkan baki ke atas meja, lalu mengambil tempat di pangkuan Kyuhyun. "Aku yakin Changmin tahu apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan cintanya pada Yunho Oppa. Kau tenang saja, 'tak perlu khawatir. Selama janji suci belum terucap, masih banyak kesempatan untuk Changmin merubah keputusannya."

Tangan kekar Kyuhyun perlahan mengusap lembut surai sang istri tercinta. Walau kalimat penenang sudah diberikan Hana padanya, namun kekhawatirannya pada Changmin belum sepenuhnya sirna. Kyuhyun tahu benar bagaimana kesakitan akan cinta yang menyiksa. Entah mengapa, Kyuhyun merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi pada Changmin setelah ini.

.

.

.

Yunho menyandarkan tubuhnya ke dinding, mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang mulai lelah setelah seharian mengantarkan Ara berbelanja. Mata musang tersebut terpejam erat, mengingat kembali kenangan masa lalu yang telah usai.

Andai yang bersamanya saat ini adalah Changmin, mungkin takkan ada rasa lelah yang dirasakannya. Justru ia akan sangat bahagia bisa menghabiskan waktu berbelanja seharian mengelilingi Mall bersama Changmin. Namun yang bersamanya saat ini adalah Ara, gadis yang dua hari lagi akan berdiri bersamanya di Altar. Segenap hati dan perasaannya takkan pernah rela jika harus mendampingi gadis tersebut, terlebih hingga seumur hidup. Dipastikan hidupnya akan terjebak dalam sebuah tempat yang dinamakan neraka.

"Yunho-Ssi, bagaimana menurutmu? Apa pakaian ini cocok untukku?"

Ara keluar dari kamar ganti sembari memamerkan dress putih selutut yang tampak sangat pas menempel di tubuhnya. Sesekali gadis itu memutar tubuhnya, bergaya bak model ternama di hadapan Yunho. Gadis itu 'tak pernah sadar, pria yang dimintai komentar atas pakaian yang tengah dicobanya tersebut mendesis muak dengan tingkahnya.

"Bagus."

"Hanya itu?" protes Ara, tak puas dengan jawaban yang diberikan Yunho.

"Apalagi?"

Senyum yang sebelumnya melekat di bibir ranum Ara perlahan memudar. Yunho adalah satu-satunya pria yang 'tak bisa memperlakukannya dengan baik. Dingin, kasar dan ketus, tiga sikap itulah yang selalu Yunho tunjukkan padanya. Andai bukan karena kedua orangtuanya yang memaksakan kehendak agar ia bersedia menerima pinangan keluarga besar Yunho, mungkin ia akan memilih pria yang dicintainya, Anh Daehan, untuk menemani kesendiriannya saat ini.

"Bukan hanya kau yang terluka di sini, tapi aku pun sama. Kau meninggalkan orang yang kau cintai untuk menikah denganku, aku pun sama. Jadi 'tak bisakah kau memperlakukanku sedikit lebih baik, Yunho-Ssi?"

"Jangan sok tahu!" ujar Yunho, menekan setiap kata yang terucap dari bibirnya. "Aku 'tak pernah meninggalkan siapa pun untuk menikah denganmu, termasuk orang yang kucintai."

Ara mengerutkan dahinya bingung. "Bukankah kau pernah mengatakan jika kau memiliki seseorang yang kau cintai sebelum bertemu denganku? Kau melepasnya untuk menikah denganku, 'kan?"

"Aku bukan tipe orang yang penurut. Jika memang seperti itu kenyataannya, aku lebih memilih menentang keinginan orangtuaku untuk tetap mempertahankannya di sisiku, meski itu berarti aku akan kehilangan hak-ku sebagai seorang anak," jelas Yunho, mulai luluh ketika ingatannya kembali memutar kenangan indah saat masih bersama Changmin "Dia meninggalkanku terlebih dahulu. Aku 'tak bisa berbuat banyak untuk mempertahankannya, karena memang itulah yang dia inginkan. Bersamaan dengan itu, orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Kuharap dengan adanya rencana pernikahan kita, dia akan menyesali keputusannya dan kembali lagi padaku. Nyatanya, sampai saat ini belum ada penyesalan darinya. Aku telah kalah. Mungkin dia memang sudah 'tak mencintaiku lagi."

Yunho berbalik, menyembunyikan lelehan airmata yang mulai membasahi pipinya dari Ara. Sungguh memalukan, dikarenakan satu nama, Shim Changmin, ia menjadi begitu rapuh dan menyedihkan di hadapan orang lain. Seorang Jung Yunho, CEO dari Perusahaan Konstruksi terbesar di Korea Selatan, kini tengah menangisi cintanya yang sudah menyatu bersama angin lalu. Bagaimana pendapat dunia?

~ grep ~

Tangis Yunho terhenti ketika sebuah tangan halus menyambangi bahu dan punggungnya. Bahu kekar yang sebelumnya naik turun secara konsisten karena menahan isak tangis tersebut, kini mulai tenang seiring tangan hangat Ara yang semakin intens memberikan usapan lembut untuk memberi dukungan.

"Aku 'tak bermaksud membuatmu tersinggung atau sedih. Maafkan aku," ucap Ara tulus, lalu menyandarkan kepalanya di punggung Yunho dengan ingatan yang melayang ke saat-saat bahagia ketika dirinya masih bersama dengan kekasih tercinta. "Kuharap, dia akan segera sadar betapa berharganya kau untuk ditinggalkan. Dengan begitu, kau akan segera menemukan kebahagiaanmu bersamanya."

"Semoga kau juga sama," balas Yunho, menutup kedua matanya erat, meresapi rasa simpatik yang tertuju padanya. "Terima kasih, Ara-Ssi."

Di balik punggung Yunho, Ara tersenyum tulus. Dalam hati Ara hanya mampu berdoa agar Yunho dan orang yang dicintai pria tersebut, berkenan memilih jalan yang sama untuk menuju ke satu titik akhir yang dinamakan kebahagiaan. Dengan begitu, dirinya pun akan memperjuangkan hal yang sama bersama kekasih yang sempat ditinggalkannya, Anh Daehan.

Semoga

.

.

.

Helaan napas panjang terdengar keluar secara teratur dari bibir Changmin yang sedikit terbuka. Keresahan hati yang 'tak kunjung sirna, kini mulai datang menyiksa seiring bergulirnya sang waktu yang menggiringnya ke dalam posisi sangat sulit.

Waktu kian menipis, menyisakan hitungan jam, menit, serta detik untuknya menyesali keputusan berat dikarekan melepas cinta sejati. Kesempatan untuknya hanya tinggal esok hari, dan semua akan berakhir ketika Yunho mengikat seorang gadis di Altar dalam sebuah takdir bahagia yang menyiksa batin.

Bukankah seharusnya takdir bahagia itu miliknya?

Dirinya yang mencinta, sedangkan orang lain yang mendapatkan kebahagiaan atas takdir yang dirajutnya. Bukankah 'tak ada keadilan dalam sebuah cinta terlarang?

Andai dirinya seorang gadis yang memang tercipta untuk menyempurnakan tulang rusuk Yunho, akhir cerita takkan begitu mengenaskan. Namun, dalam hal ini dirinya adalah pria, makhluk yang jelas-jelas membutuhkan kaum hawa untuk menyempurnakan dirinya. Baginya, takkan ada masalah jika memang dirinya ditakdirkan untuk menjadi replica seorang hawa yang akan menyempurnakan tulang rusuk orang tercinta. Namun semua kembali pada garis takdirnya sebagai seorang pria, serta ketakutan akan kesakitan dan kesedihan orang-orang yang dicintainya.

Bagaimana jika keluarganya akan tersakiti karena cintanya?

Sungguh, dirinya sangat mencintai keluarganya, walau jarak memisahkan mereka dalam kota yang berbeda. 'Tak ada sedikit pun niat untuknya menyakiti keluarganya, terutama sang ibu. Andai keluarganya tahu betapa ia memiliki cinta terlarang dengan seorang pria, ketakutan akan kehilangan kasih sayang dari keluarga tersebut begitu besar, hingga ego mulai menguasai dirinya untuk mengakhiri segala cinta terlarang yang diembannya selama dua tahun terakhir.

Kendala terbesar dalam pengorbanan untuk kebahagiaan keluarganya adalah penyesalan cinta yang semakin menyiksa. Seiring bertambahnya waktu, ia semakin sadar jika takkan ada nafas penghidupan andai Yunho 'tak di sisinya. Kian hari bahkan raganya seperti mati, 'tak lagi menginginkan sang tuan. Ia sangat membutuhkan Yunho, namun ia juga ingin menjaga perasaan keluarganya.

Mati?

Apa hanya jalan kematian yang bisa mengakhiri kebimbangannya?

.

.

.

"Oppa, kau sudah pulang?"

Yunho menghentikan langkah kakinya ketika kata sambutan masuk rumah dari adik perempuannya, Jung Jihye, mengalihkan perhatiannya dari ruang lamunan. Niat untuk segera naik ke kamarnya sirna, berganti menghampiri Jihye yang tengah menonton TV di ruang tengah seorang diri. Mengambil tempat di samping sang adik, Yunho pun ikut menyaksikan berita kriminal yang sedang memenuhi layar kaca.

"Kau 'tak menjawab pertanyaanku," sungut Jihye, tersinggung karena diabaikan. "Apa kencanmu dengan Ara Eonni 'tak berjalan dengan baik?"

Berhasil.

Kali ini pertanyaan Jihye mendapatkan respon yang cukup baik dari Yunho, karena pria tampan tersebut kini mengalihkan perhatiannya pada sang adik tercinta yang memiliki wajah cantik bak dewi kayangan.

Setelah menunggu cukup lama untuk ucap kata keluar dari bibir Yunho, Jihye dibuat kesal karena penantiannya tersebut hanya sia-sia. Nyatanya Yunho 'tak berniat menjawab atau menanggapi pertanyaannya, justru kakaknya tersebut lebih asyik melihat sesuatu yang ada pada wajahnya.

"Apa wajahku ada masalah hingga kau melihatku tanpa berkedip seperti itu?" sakartis Jihye, memajukan bibirnya kesal. "Sudahlah, aku malas berbicara denganmu, Oppa."

Melipat kedua tangannya, Jihye kembali fokus ke layar kaca, mengabaikan keterdiaman Yunho yang begitu membingungkan untuknya. Jihye sangat tahu jika perjodohan antara Yunho dan Ara adalah sebuah paksaan, dan mungkin itulah alasan Yunho sedikit berubah akhir-akhir ini, sering melamun dan 'tak pernah menyenangkan jika diajak mengobrol. Sepertinya setelah ini ia akan mengajukan banding untuk kedua orang tuanya agar perjodohan yang mengekang Yunho dibatalkan. Jujur, ia merindukan kakaknya yang selalu ceria di setiap kali kesempatan, seperti dulu.

"Jihye-ya, apa kau pernah mencintai seseorang?"

Jihye menatap Yunho dengan sinis. "Berapa umurku? Aku ini sudah bukan anak kecil lagi, tentu saja aku pernah mencintai seseorang," jawabnya sakartis. "Memang kenapa? Ada masalah?"

"Kau pernah mencintai seseorang hingga rasanya kau mau mati?"

Dahi Jihye berkerut aneh, merasa bingung dengan pertanyaan ambigu yang diberikan Yunho padanya. Cinta memang gila, tapi Jihye 'tak pernah tahu jika cinta bisa membawa sugesti untuk sang pemeran cinta merasakan aura kematian.

"Tidak," jawab Jihye pada akhirnya. Kembali ia bertanya, "Ada apa? Kau sedang ada masalah, Oppa?"

"Kalau begitu, kau sangat beruntung."

Jihye semakin penasaran. "Beruntung? Beruntung bagaimana?"

Alih-alih menjawab, Yunho justru mengalihkan perhatiannya kembali ke layar kaca, mendengarkan baik-baik berita kriminal yang tengah disajikan. Sesekali Yunho harus mencondongkan tubuhnya ke depan saat telinganya kurang jelas mendengar laporan dari sang pembawa berita. Saking asyiknya, bahkan pria tampan tersebut melupakan eksistensi sang adik yang sedang duduk di sampingnya.

Menyerah, Jihye memilih 'tak mempertanyakan rasa penasarannya terhadap perkataan Yunho yang dirasa semakin membingungkan. Tangannya mengambil handphone yang ada di atas meja, melihat pesan masuk yang dikirimkan rekan-rekan kerjanya yang tengah antusias membahas liburan musim panas yang tinggal menghitung detikan waktu, tepat setelah acara pernikahan Yunho digelar.

"Di mana bisa mendapatkan sianida dengan mudah?"

Lagi, pertanyaan membingungkan dari Yunho membuat Jihye terpaksa mengalihkan perhatiannya pada sang kakak tercinta. Mata indah itu memicing tajam, memperhatikan ekspresi Yunho yang begitu serius dengan layar kaca di hadapannya.

Penasaran, Jihye pun mengikuti arah pandang Yunho. Saat ini berita pembunuhan dengan mencampurkan sianida ke kopi korban tengah diputar di layar kaca. Kini, Jihye pun mulai mengerti asal muasal Yunho mempertanyakan zat sianida padanya, tentu saja karena melihat berita yang tengah diputar di layar kaca. Namun pertanyaannya, sejak kapan Yunho tertarik dengan berita dunia kriminal?

"Sianida?" Jihye mengulang pertanyaan Yunho dengan heran. "Memang kenapa? Kau mau bunuh diri?"

Yunho terdiam, menatap wajah sang adik tanpa ekspresi sama sekali. "Jawab saja!"

Jihye mendesah kesal. "Aku 'tak tahu, Oppa."

"Kalau 'tak tahu, ya sudah," balas Yunho, kembali mengalihkan pandangannya ke layar kaca, meninggalkan Jihye dalam rasa penasaran. "Aku rasa mati dengan sianida adalah cara paling efektif untuk menghilangkan nyawa seseorang tanpa harus melewati penderitaan yang begitu panjang."

Jihye tak mampu berkata banyak, hanya pemikirannya saja yang terbang ke negeri antah berantah guna mencari maksud dari pertanyaan tersebut. Terlintas pemikiran negatif jika Yunho akan melakukan hal yang tidak-tidak dengan zat bernama sianida tersebut, namun dengan cepat ia menepis pemikiran itu jauh-jauh. Ia mengenal betul siapa dan bagaimana Yunho. Rasanya 'tak mungkin kakaknya tersebut akan berbuat nekad dan 'tak masuk akal semacam itu. Yunho adalah salah satu dari sedikit orang yang menghargai kehidupan yang diberikan Tuhan. Tentu ketakutannya tersebut tak beralasan sama sekali, mustahil.

Di lain pihak, Yunho hanya terdiam dengan pemikirannya sendiri. Mungkin memang sepasang mata musang itu terbuka lebar untuk melihat indahnya dunia, namun tidak dengan pikiran dan hatinya. Nyatanya saat ini hati dan pikirannya tertuju pada satu nama, yaitu orang yang sangat dicintainya.

'Changmin-ah..'

《 TBC 》