Baby Blue Eyes
by Megumi Kei
Summary:
Bisa melihat masa depan melalui sebuah mimpi, kau pikir itu keren? Bagaimana jika suatu waktu mimpi yang kau lihat adalah kematian bagi orang yang disayangi? Ingin ia cegah. Tapi dilubuk hatinya yang terdalam, ia tahu satu hal dengan pasti; Kematian adalah sebuah takdir yang tidak bisa manusia hindari.
Pairing:
Grimmjow x Ichigo
Author Notes:
Halo, minna! :) Ini pertama kalinya kita bertemu di fandom Bleach ini, yang artinya; cerita ini adalah cerita saya yang pertama di fandom Bleach setelah sempat mampir nggak jelas di fandom Dynasty Warriors dan Megami Tensei. Fanfic ini AU dan berkemungkinan OOC (pastinya, karena saya bukan Kubo ^^!). Pairing yang ada pun kebanyakan boy x boy (apalagi yang kamu harapkan dari seorang fangirl coba? *shrugs*). Jika kamu menyukai cerita ini, tolong beritahu. Reviews are very welcome! Tapi, jika kamu tidak suka, silakan beranggapan bahwa kamu tidak membaca cerita ini, OK? Yang namanya Flame cuma bikin udara makin panas, dan itu SANGAT nggak menyenangkan.
Warnings:
Yaoi, Alternate universe, possible OOC, dan beberapa hal lain yang tidak baik untuk minor.
Disclaimer:
Don't own Bleach, it's Kubo Tite. Grr...
Chapter 1: Opening
Kegelapan yang lain.
Sudah dua tahun lebih semenjak ia pertama kali mendapati mimpi yang berupa ramalan masa depan bagi pemuda itu. Setiap mata terpejam, ia akan selalu mendapati dirinya berada di lokasi yang sama, dan alur yang sama. Berkali-kali melihat pemuda itu mati di depan mata, tanpa ia bisa melakukan apa pun.
Selalu begitu.
Tidaklah bisa ia bergerak seberapa pun besar ia berusaha untuk memacu otot-otot tubuhnya, seberapa keras pun ia berteriak. Ia hopeless, hanya bisa menyaksikan saat-saat ketika pemuda itu meregang nyawa.
Ia jadi takut untuk tidur.
Tapi, di sisi lain, hanya melalui mimpilah ia bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai 'kapan', 'apa', dan 'di mana' peristiwa yang membuatnya tidak pernah bisa tenang itu terjadi.
Tapi, sampai saat ini hanya satu hal yang bisa ia ketahui.
Bahwa kejadian itu terjadi saat pemuda itu menginjak usia yang ke-21.
XXX
"GRIMMJOW JAEGERJAQUES-SAN!"
Terlompat bangun dari posisi tidurnya, kedua iris biru itu terbelalak menatap lurus ke arah sesosok pria tua berkepala botak—dengan janggut dan kumis yang panjangnya seharusnya sudah bisa mencetak rekor di Guinness—yang berada di depan mejanya. "Apakah kelas saya ini begitu membosankannya sampai anda tertidur nyenyak seperti itu, Jaegerjaques-san?" Mengerang pelan, Grimmjow menahan keinginannya untuk memukulkan kepala batunya itu ke atas meja.
Tidak ingat bagaimana ia bisa tertidur di tengah-tengah kuliah, yang pasti kalau membuat Yamamoto Genryuusai tidak senang, maka kehidupannya di kelas bahasa ini tidak akan berjalan dengan mulus dan akan penuh dengan rintangan.
Padahal nilainya di semester kemarin sudah anjlok sehingga membuatnya terpaksa mengulang.
"Tidak, Yamamoto-sensei. Saya hanya kurang tidur karena mengerjakan tugas untuk mata kuliah yang lain." Sebisa mungkin Grimmjow menahan nada bicaranya sesopan mungkin. Ia tidak mau menambah masalah dengan menggunakan bahasa yang katanya bukan merupakan bahasa yang sesuai EYD.
Yamamoto bergumam. Perlahan ia mengelus janggut kebanggaannya dengan kedua mata terpicing memandang ke arah pria berambut biru-yang sampai saat ini masih ia sangsikan sebagai warna asli.
Tapi ia tidak bisa berkata banyak. Karena anak seni memang banyak yang aneh dan nyentrik.
Yamamoto tidak mengatakan apa pun, membuat Grimmjow berpikiran untuk memberikan pujian kepada sang dosen tua. Tapi sulit, karena selama ini ia terbiasa flirting hanya kepada wanita dan pria yang menurutnya oke saja. Tentunya dengan mengesampingkan pemuda berambut oranye yang selalu ia goda tanpa mengenal waktu.
"Yamamoto-sensei, dihari tua pun tubuh anda tetap kekar ya!"
Tidak mungkin begitu, karena didengar dari mana pun, kesannya tetap salah.
Sekarang Grimmjow mulai merasa pantatnya terbakar karena tekanan yang tidak menyenangkan dari sang dosen. Jika nilainya tidak bermasalah, bisa dipastikan ia akan membentak orang yang membuatnya tidak nyaman dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Tapi, pada kenyataannya, Yamamoto tidak mengatakan sepatah kata pun dan hanya berbalik, kembali berjalan ke arah depan kelas dan melanjutkan apa pun penjelasan yang sempat ia jelaskan kepada para mahasiswa sebelum ini.
Grimmjow mengerjap.
Cuma itu? Tidak ada peringatan atau hukuman apa pun?
Dan ketika tersadar, kelas sudah berakhir dan untuk pertama kalinya, ia mendapati dirinya sendiri begitu fokus terhadap pelajaran tanpa mengalihkan perhatian ke yang lain.
Creepy.
Untuk kali berikutnya, ia tidak mau berurusan yang sulit-sulit dengan Yamamoto Genryuusai lagi.
XXX
"... Pachinko?"
Dahi berkerut, menatap dengan tatapan apa-yang-kamu-katakan-bisa-diulang-sekali-lagi ke arah pemuda berambut pirang yang semenjak tadi terus menunjukkan sederetan gigi-giginya yang putih dengan cengiran lebar yang rasanya sanggup membelah kepala itu menjadi dua.
"Yep!"
"Yang benar saja, Shinji? Itu kan permainan orang tua pengangguran—AW!"
"Ah ah ah," Shinji menggoyangkan telunjuk kanannya tepat didepan wajah Ichigo yang kini mengerut karena ia mendadak menyentil dahinya tadi, "Cuma orang yang belum menikmati dunia orang dewasa saja yang berpikiran seperti itu, Ichi. Pachinko itu bisa membantumu belajar menembak!"
Sembari mengelus dahi, Ichigo menatap teman satu kelasnya itu seolah sang pemuda berambut pirang memiliki antena dikepalanya, "Dan apa yang kamu maksud dengan 'menembak' di sini itu?" Tidak menjawab, Shinji hanya semakin melembarkan cengiran diwajahnya, membuat Ichigo merasa ada karet yang membantu pembentukan bibir sahabatnya itu.
Dan mendadak bulu kuduknya meremang.
"Lupakan! Kurasa aku tidak mau tahu maksudnya!"
Baru saja ia berbalik dan hendak berlari menjauh ketika menyadari arti dari cengiran Shinji, pemuda berambut pirang itu kembali mencegatnya dengan melingkarkan kedua tangannya yang panjang ditubuh Ichigo. "Aaw~ Ayo dong, Ichi. Jiwa mudamu pastinya ingin bisa menembak dengan benar dan tepat sasaran kan~?"
Meronta, "MAAF DEH! TAPI, AKU BUKAN ORANG CABUL MACAM KAMU!" Ia sikut Shinji tepat diperut namun kelihatannya masih belum cukup untuk bisa membuat kedua tangan panjang itu berhenti mengurungnya. Karena wajah Shinji berkerut hanya sesaat sebelum kemudian cengiran lebarnya kembali nampak.
Kelihatannya tidak peduli dengan pandangan mahasiswa lain yang terarah kepada mereka.
Tapi, mendadak Shinji melepaskan cengkeramannya sehingga Ichigo hampir saja tersungkur ke aspal halaman kampus. Dan ia diharuskan menahan mati-matian keinginannya untuk memasukkan sneakers-nya ke dalam mulut Shinji ketika melihat sahabatnya itu memasang wajah sok innocent.
"Oh! Maafkan aku, Ichi! Aku lupa kalau kamu lebih suka berada dibawah!"
Kali ini ia benar-benar memasukkan sneakers-nya ke dalam mulut Shinji. Dilanjutkan dengan memukul-mukulkan buku ditangannya yang berjudul "The Book of Dead Philosophers" ke kepala si pirang.
Mendengus, "Akan kupastikan untuk memotong adik kebanggaanmu itu dan membuatmu memakannya kalau kau berani mengatakannya lagi." Dengan sengaja Ichigo merendahkan suaranya beberapa oktaf, tapi Shinji yang sudah terkapar masih saja tertawa genit, membuatnya mempertanyakan kembali alasannya berteman dengan pemuda berambut pirang yang ia kenal semenjak awal SMA dahulu.
"Kurasa aku pulang saja."
Merasa percuma untuk melanjutkan pembicaraan dengan Shinji, Ichigo pun berbalik dan mulai berjalan ke arah gerbang belakang. Saat itu, gerbang belakang jauh lebih dekat dengan kelasnya sebelum ini daripada gerbang utama yang berada di bagian selatan Karakura University. Tanpa menoleh kebelakang pun, Ichigo tahu jika Shinji pun mengikutinya karena tawa genit itu masih bisa ia dengar. Dan daripada menghabiskan tenaga untuk hal yang percuma, ia memutuskan untuk mencuekinya habis-habisan.
Tapi, mendadak tawa dan langkah Shinji terhenti, sehingga membuat Ichigo yang penasaran pun menoleh kebelakang, melihat Shinji melambai kesebuah arah, "Oh! Heeeey, Grimmy-chaaan~!" Dan menyaksikan dengan jelas teman semenjak SMA-nya itu menerima lemparan tas ransel tepat diwajahnya.
Ichigo kembali mendengus dan melanjutkan langkahnya, membiarkan Shinji meratapi wajahnya yang dibanggakan hampir saja tertukar mana hidung dan mana mulut.
"Hey, Strawberry, kau sibuk hari ini?"
Dia lagi.
Menahan keinginan untuk menghela nafas, Ichigo menelengkan kepalanya ke samping sedikit, seperti seolah tengah berpikir, "Hmm... Coba kuurutkan. Tugas jurnal untuk mata kuliah teori warna, perancangan website kampus yang harus selesai minggu depan, karakterisasi untuk kelas ilustrasi..." Menggelengkan kepala, "Tidak. Aku tidak punya waktu untuk menemanimu bermain benang, Kitty." Mengibaskan tangan tanpa menoleh ke arah lawan bicara, Ichigo bahkan tidak mau ambil pusing untuk berhenti dulu dan terus berjalan ke arah gerbang yang sudah ada di depan mata.
Sembari membenarkan posisi tas yang sempat ia lempar ke arah Shinji, Grimmjow menyeringai tipis.
Strawberry selalu bermain dengan sulit. Mempercepat langkah kakinya, sehingga ia bisa berjalan tepat disebelah sang pemuda berambut oranye, Grimmjow menyandarkan tangannya dipundak yang bersangkutan, "Dan kau tahu kalau Kitty ini makhluk yang alot kan?" Oh, Grimmjow tidak bisa tidak melebarkan seringai diwajahnya itu ketika merasakan getaran yang ada pada tubuh Ichigo.
Ichigo menghela nafas, dan kali ini ia benar-benar menatap wajah 'senpai' berambut birunya dengan jelas. Dahinya berkerut, "Alot atau tidak, sebaiknya kau langsung pulang saja, Grimm. Aku masih harus ke toko buku." Kerutannya semakin dalam ketika menyadari wajah Grimmjow nampak lebih lelah daripada biasanya. Ia yakin, kemarin ini warna hitam dibawah mata pria muda 24 tahun itu tidak sejelas sekarang. Kesal, Ichigo menggeplak dengan keras kepala Grimmjow ketika pria muda itu malah nyengir semakin lebar.
"Kau khawatir, Strawberry?"
"Nggak."
Langkahnya semakin cepat hingga tanpa terasa sudah sampai lagi di halte bus depan universitas.
"Mhm... Kau tahu aku suka kalau kau tsun seperti ini, tapi aku lebih suka lagi kalau kau jujur." Tanpa peduli sekitarnya, Grimmjow membelai rambut oranye Ichigo dan memberikan kecupan dibelakang kepalanya. Ichigo bisa merasakan kalau wajahnya meranum sekarang, dan itu membuatnya tidak nyaman sehingga ia langsung menamparkan buku tebalnya ke wajah Grimmjow dan terbirit-birit menaiki bus yang menuju pusat kota.
Dari situ, ia tidak tahu kalau Grimmjow terus memandangi bus yang ia naiki hingga hilang dari pandangan.
XXX
Sabtu.
Hari yang cerah, serupa dengan beberapa hari yang lalu. Sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda akan hujan walaupun panas matahari tidak begitu menyengat. Cuaca yang menurut para penduduk bagus untuk berada diluar rumah, membuat mereka meletakkan celemek dipinggiran kursi dan mengenakan sepatu serta membawa dompet. Sekedar berkeliling di daerah pertokoan atau berkumpul bersama teman menjadi pilihan yang nampak menggiurkan.
Bisingnya jalan raya dimana kendaraan berlalu-lalang, tidak menyurutkan keinginan sebagian orang untuk bercengkerama dengan seseorang dibalik telepon ketika tengah berjalan menuju tujuan masing-masing.
Pria, wanita, tua, dan muda, memenuhi trotoar hingga rasanya untuk berjalan saja lebar tubuh tidak bisa lebih dari 40 cm.
Inilah pusat kota.
Keadaan yang nampak semerawut dikarenakan banyaknya penduduk yang berkumpul, sudah menjadi sebuah ciri tersendiri dan tidak ada orang yang terlalu memusingkannya. Kecuali sekedar bersungut-sungut karena terus tersenggol orang lain.
Tapi, walau pun tempat ini merupakan tempat dimana paling banyak warga kota berkumpul, tempat ini pula yang dikatakan paling tidak aman. Banyak orang sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak mau ambil pusing dengan yang tidak dikenal. Sehingga tidak heran ketika ada seseorang yang dicopet, tidak ada yang menyadari. Ada orang mesum yang senang memegang bagian tubuh tertentu menggunakan alasan tidak sengaja menabrak pun, tidak ada yang peduli.
Semuanya berjalan masing-masing.
Tapi, bagaimana jika ada orang yang mendadak meletuskan senjatanya?
"Oh, ayolah. Kita ini tidak sedang berada di film action. Dimana menabrakkan satu mobil dengan mobil lainnya merupakan hal yang lumrah."
Beberapa orang pastinya akan menjawab seperti itu jika mendadak ditanya mengenai hal semacam ini. Bukan hal yang aneh dan patut diributkan memang, tapi hal itu juga membuktikan kesadaran masing-masing orang akan kemungkinan yang persentasenya tidak 0 itu bisa saja terjadi, sangatlah kurang.
Dan bukanlah hal yang mengherankan jika tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada beberapa orang yang terus diam di satu sisi selama berjam-jam.
"Namanya juga pusat kota, orang yang nongkrong berjam-jam tidaklah aneh."
Benar memang.
Tapi, bagaimana jika sekumpulan orang itu memandangi hal yang sama selama berjam-jam. Dan hal itu adalah bank?
"Ken-chan, apa yang kau lihat dari tadi?"
Seorang gadis berusia kurang lebih 5 tahun dengan rambut merah mudanya itu berlari dengan riang dan nemplok dengan nyamannya di kaki seorang pria bertubuh tinggi besar yang—dengan sekali lihat kau akan tahu—wajahnya nampak seperti narapidana. "Hmm..." Kenpachi hanya menggeram, dan tanpa mengalihkan pandangannya, ia mengambil Yachiru dan membiarkan gadis kecil itu numpang dipundaknya seperti biasa.
"Kenpachi! Apa yang kau lakukan di situ?"
Kali ini pria bermata satu itu menoleh, dan mendapati seorang wanita berambut oranye memandang kesal ke arahnya, "Bukankah sudah kukatakan kalau kali ini kita kebanjiran pesanan? Aku memintamu untuk menyelesaikan 50 buket bunga hari ini kan?"
Dengan santai, Kenpachi menunjuk ke salah satu sudut toko tempatnya bekerja, "Sudah selesai kok."
"Apa? Serius?" Wanita itu langsung berbalik ke arah sudut yang dimaksudkan, dan dengan sigap langsung menghitung seluruh buket yang ada. Dan benar saja, Kenpachi ternyata sudah menyelesaikan 50 buket yang diinginkan. Padahal baru 3 jam berlalu, tapi kinerja pegawai bertampang narapidananya itu memang sangat cepat. Saat pertama melihat Kenpachi, ia malah tidak menyangka kalau pria itu bisa merangkai bunga dengan sangat bagus.
Dan ia akui, jauh lebih bagus dari dirinya.
"Hei, Rangiku."
Rangiku menoleh, dan kali ini ia menyadari arah pandangan Kenpachi yang nampaknya semenjak tadi fokus pada satu titik. Membuatnya berjalan mendekati sang pria dan mencari sumber yang begitu menarik perhatiannya, "Hm? Apa yang kau pandangi semenjak tadi, Ken?" Kembali ia mengikuti telunjuk yang diarahkan Kenpachi pada sekelompok orang yang berdiri dibawah sebuah pohon, yang nampak tengah memandangi bangunan diseberang jalan yang ia kenali sebagai bank.
"Sudah 2 jam mereka berada di sana dan memandangi tempat yang sama."
"..."
Hening.
Dan dalam keheningan itu, Yachiru bergantian melihat ke arah pamannya dan bibi pemilik toko bunga. Menelengkan kepala ke samping, gadis kecil itu tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang dewasa didekatnya. Setidaknya, sampai suara riang Rangiku memecah keheningan yang tercipta secara kebetulan, "Oh! Lihat pria berkepala botak itu, Yachiru! Kepalanya bersinar terkena cahaya matahari lho!" Yachiru menanggapi dengan memekik senang, karena pada kenyataannya ia mengenal pria botak yang dimaksudkan.
"Ne, ne, Ken-chan! Itu Ikka-chan kan?"
Gadis kecil itu menggosok-gosokkan tangannya kerambut Kenpachi tanpa menyadari pamannya itu kini menunjukkan kerutan yang lebih dalam lagi diwajahnya.
Kenpachi yakin ia tidak salah hitung kalau tahun ini masih merupakan masa penahan Ikkaku.
XXX
"Pekerjaan ini benar-benar tidak cocok untukku."
Menghembuskan asap rokok terakhirnya, Ikkaku menolehkan kepala kesamping, menatap wajah rekan kerjanya saat itu. "Seingatku, kau memang selalu bermain sebagai second banana, Renji." Ia buang puntung rokok dan ia injak hingga apinya benar-benar padam.
Renji menahan keinginannya untuk mengerang kuat lantaran bosan, sebagai gantinya, ia hanya mengacak-acak rambutnya saja. "Memangnya kau tidak menyadarinya, Ikkaku?" Dengan wajah yang kesal ia menunjuk ke arah rambutnya menggunakan jempol kirinya, "Rambutku merah! For fuck sake! Terlalu mencolok sebagai seorang pengintai!" Seolah baru menyadari, Ikkaku mengangkat kedua alisnya sementara mulutnya terbuka dan membentuk huruf 'o'.
Belum sempat Ikkaku mengeluarkan pendapatnya, suara tawa kecil didekatnya membuat ia dan Renji menoleh.
"Teme! Apa yang lucu, Szayel?"
Menghentikan tawanya, Szayel Aporro Granz memandang kedua rekannya dengan senyum lebar yang masih terukir dengan jelas diwajah, "Oh, maaf, Abarai-kun. Tapi, biar kuperjelas padamu, bukan hanya dirimu saja yang memiliki warna rambut mencolok." Seolah untuk menegaskan kata-katanya, Szayel menyibakkan rambut merah mudanya kebelakang, membuat mulut Renji dan Ikkaku kini sama-sama membulat.
Mencueki keduanya yang nampak ingin menanyakan sesuatu, Szayel mengembalikan pandangannya kepada gedung 6 lantai diseberang tempatnya berdiri. Seringai kecil kini mengganti senyum yang sebelumnya tertempel diwajahnya, ia tidak sabar untuk bisa segera memulai misi Robin Hood yang dijanjikan sang Bos. Jarang-jarang dirinya yang biasanya bekerja dibalik layar, kini berada di garis depan. Sebuah tanda, bahwa pekerjaannya kali ini adalah suatu hal yang sangat penting dimana kegagalan tidak bisa ditolerir.
"Abarai-kun, Madarame-kun,"
Mendengar nama mereka dipanggil, Renji dan Ikkaku langsung menoleh. Dan mengetahui dengan pasti dari raut wajah Szayel kalau pekerjaan mereka akan segera dimulai.
"Hubungi Byakuya setelah pemuda dengan rambut oranye itu masuk."
XXX
Mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai, sementara kedua mata terus menyorot ke arah papan nomor digital yang semenjak tadi angkanya tidak kunjung berganti juga. Padahal nomornyalah yang berikutnya dipanggil. Memangnya orang di bank mau apa sih selain mengambil uang, transfer, dan menabung? Mendecak kesal, sekali lagi Ichigo mengubah posisi duduknya. Ia sudah tidak sabar untuk segera ke toko buku dan membeli segala keperluannya untuk mata kuliah minggu depan.
Tapi, ia diharuskan ke bank terlebih dahulu karena sang ayah menitipkan padanya sejumlah uang untuk ditransfer ke rekening bibinya di kota sebelah. Katanya sih, si janggut kambing pernah berhutang pada sang bibi.
Bel berbunyi, sebagai tanda nomor antrian yang berikutnya sudah bisa maju, membuat Ichigo rasanya ingin melompat kegirangan sambil berteriak "akhirnya!". Bergegas ia berjalan ke arah teller, namun dahinya sempat dibuat berkerut ketika menyadari ada orang lain yang juga berjalan dibelakangnya.
Apa ada yang nomornya serupa dengan dirinya?
Nampaknya, wanita yang menjadi teller-nya saat itu pun menyadari keganjilan ini, sehingga wanita berambut hijau itu membuka suara, "Maaf, Tuan, tolong duduk dahulu karena Tuan inilah yang memiliki nomor antrian E201." Jelasnya sembari menerima nomor antrian dari Ichigo.
Ichigo mendengus, kentara sekali kalau ia tidak suka dengan kejadian ini karena waktunya jadi semakin terbuang. Berpikiran orang yang mengekorinya itu kembali duduk, ia hanya diam dan menunggu teller dihadapannya kembali on duty. Tapi, belakangan ia tahu kalau orang yang dimaksudkan masih tetap berada dibelakangnya—jika benda dingin yang menyentuh tengkuknya itu merupakan sebuah pertanda. Matanya membelalak, begitu juga dengan wanita berambut hijau dihadapannya.
"Ahh... Apa sekarang aku terlihat seperti orang yang mengantri untuk menabung?"
TBC
Author Notes:
Chapter 2 baru akan saya post setelah chapter ini mendapatkan setidaknya 6 review yang menyatakan kalau cerita ini layak untuk dilanjutkan :)
Thanks for reading, guys!
