Chapter I — Penjawab Telepon Misterius

Ran berjalan menyusuri jalan kecil di Kota Beika 2 sambil membawa payung. Sayang sekali hari ini Sonoko tidak bisa mengekorinya ke rumah Shinichi karena ada acara. Yah, keluarga Suzuki memang memiliki banyak kenalan sehingga sering mengadakan pesta atau diundang ke suatu pesta. Ran merasa maklum karena mau bagaimana pun, bukan Sonoko yang memilih jadi orang kaya. Dan bukan salahnya atau Sonoko juga karena ditakdirkan bersahabat.

Tiba-tiba terdengar suara petir. "Oh, Kami-sama...," keluhnya pelan. Ia buru-buru membuka payungnya sebelum air hujan yang deras mengguyur badannya.

Sambil berlari-lari kecil, Ran menghampiri rumah beralamat yang di Kota Beika 2 Nomor 22. Ia menekan bel berkali-kali sebelum akhirnya seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun membuka pintu rumah itu.

"Mencari siapa?" tanyanya.

Ran tersenyum. "Konnichiwa, Ai-san! Apa Profesor Agasa di rumah?"

"Chotto matte, akan kupanggilkan."

Ran mengangguk pelan sebelum Ai kembali menutup pintu rumah besar tersebut. Tidak, ini bukan rumah keluarga Kudo melainkan rumah Profesor Agasa, teman dekat keluarga Kudo. Ran ke sini juga bukan karena ingin mengunjungi sang Profesor dan mengajaknya berdiskusi soal temuan barunya yang tidak berguna, melainkan untuk meminta suatu hal penting yang berhubungan dengan Shinichi.

"Ran-chan! Ada apa mencariku?" sapa Profesor Agasa ketika membuka pintu.

"Konnichiwa, Profesor."

"Konnichiwa, ada apa, ya?"

"Apa kunci rumah Shinichi ada padamu?"

Profesor mengangguk. "Kau mau menggunakannya, Ran-chan?"

Ran mengangguk cepat. "Hari ini aku berencana membersihkan rumahnya."

"Aa... sou desu." Profesor manggut-manggut. "Ini kuncinya. Jangan lupa memberikannya padaku lagi setelah kau menyelesaikan urusanmu.

Ran membungkuk. "Hai. Arigatou gozaimasu, Profesor!"

"Douitashimashite," jawab Profesor. "Jangan menghabiskan waktumu seharian di sana, ya!"

Ran tertawa kecil. "Tentu saja."

"Kau ada di rumahku sekarang?" tanya Shinichi via telepon.

"Haruskah kau bertanya lagi?" balas Ran sebal. "Ya, aku di rumahmu sekarang."

"Untuk apa, Ran?" tanya Shinichi. "Aku kan, tidak menyuruhmu membersihkan rumahku atau apa. Kau mengharap bayaran, ya?"

Ran mendengus. "Enak saja! Kau harusnya bersyukur karena aku sudah meringankan bebanmu sedikit. Kau memang tidak tahu terima kasih, Shinichi!"

Shinichi tertawa kecil. "Arigatou, Ran."

Ran terdiam sejenak. Apakah ini hanya perasaannya saja, atau Shinichi memang terdengar berbeda? Ran menghela napas. Setelah meyakinkan diri bahwa Shinichi tidak serius, ia menjawab, "Douita."

"Oh, aku dipanggil, ada kasus," ujar Shinichi buru-buru. "Sayonara, Ran."

"Sayonara, Shinichi. Mata ashita."

Shinichi membalas pelan. "Aku harap begitu."

Dan hubungan telepon pun terputus.

Conan menghela napas panjang. Entah sampai kapan ia harus membohongi Ran seperti ini. Sebenarnya, ia ingin cepat-cepat mengakui semuanya pada Ran. Tapi... Ai selalu melarangnya.

"Kalau kau bongkar identitasmu pada pacarmu, dia juga akan terancam bahaya," ujar Ai. "Organisasi bergerak seenaknya dan mereka akan menghapus bukti sekecil apa pun. Kalau rahasiamu bocor, bukan hanya kau dan aku yang akan dibunuh. Profesor, orang tuamu, si detektif tidur itu, juga pacarmu akan dibunuh. Kau mengerti, kan? Kau tidak boleh membocorkan identitasmu itu. Kau tidak tahu bahayanya sebesar apa."

Ya, ya, ya. Conan terlalu malas untuk mengingatnya. Conan selalu benci semua perkataan dan peringatan Ai. Mau bagaimana pun, ia menyukai Ran. Sangat. Tapi, gara-gara insiden APTX 4869 itu dia harus menahan perasaannya jika tidak mau Ran terluka. Padahal, ia yakin Ran sudah terluka dengan absennya Shinichi Kudo selama beberapa bulan ini. Yang Ran tahu, dirinya sedang menangani kasus sulit di luar negeri sehingga absen dari kehidupannya di Tokyo. Padahal, selama ini dirinya selalu ada di dekat Ran. Ia selalu melihat dan memerhatikan Ran. Ia selalu mendengar semua ucapan Ran mengenai Shinichi—meski kadang ia tahu Ran tidak bicara sesuai dengan isi hatinya. Ia tinggal di rumah Ran. Ia bisa menggapai Ran kapan pun. Argh, keluhnya. Semua kenyataan ini membuat Conan sakit hati.

Nyatanya, ia juga sangat merindukan Ran. Walau bisa melihatnya dari jarak yang terhitung sangat dekat, ia tidak bisa jujur terhadap perasaannya dan tentunya, Ran. Berpura-pura jadi anak kecil sangat melelahkan. Conan—dalam konteks ini, dirinya sebagai Shinichi—dihadapi dilema yang sangat menyesakkan dada. Haruskah ia mengaku pada Ran bahwa ia adalah Shinichi yang diberi obat bernama APTX 4869 oleh sebuah organisasi jahat hanya karena ia mengintip transaksi gelap antar organisasi itu dengan organisasi lain? Ran tidak akan percaya.

Tunggu, bukankah Ran sudah pernah mencurigainya? Ia pernah mengaku... waktu itu... momen itu... restoran di puncak Beika Centre Building... ketika ia menyangka penawar APTX 4869 dari Ai bekerja dengan baik... ah, sial...

"Sebenarnya, aku selalu menganggap bahwa Conan adalah Shinichi," tutur Ran pelan.

"Eh?"

"Aku kira kamu bersembunyi dari kasus sulit dengan cara meminum obat dari Profesor. Tapi... rupanya aku salah, ya?"

Sebagian besar tepat, pikir Shinichi.

"Tapi aneh, sejak kamu kembali, dia jadi seperti orang lain..."

Tentu saja, karena dia adalah Ai yang menyamar, pikir Shinichi lagi.

Ah, sial, pikir Conan alias Shinichi. Memikirkan hal-hal seperti ini bahkan tidak membuat perasaanku lebih baik.

Conan kembali memainkan bola sepak favoritnya. Hanya dengan bola sepak ia bisa menenangkan pikirannya. Tapi mau dengan cara apa pun, masalah perasaannya pada Ran tidak akan bisa diatasi dengan apa pun, walau itu sepak bola sekalipun. Justru hal-hal ini hanya membuatnya semakin galau dan kalut. Ia benci perasaan ini ketika ia merasa tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Conan tadi sengaja berbohong pada grup detektif dengan alasan tidak enak badan. Padahal, tiga orang anak itu—Ayumi, Genta, dan Mitsuhiko—sangat menantikan acara kemping kali ini. Conan sedang tidak bersemangat. Akhir-akhir ini, yang ada di pikirannya hanya Ran, Ran, dan Ran. Firasatnya buruk sekali akhir-akhir ini. Ia tahu ia tidak boleh berpikir negatif, tetapi perasaannya benar-benar tidak enak dan seringkali membuatnya pusing.

Conan memutuskan untuk menghampiri Ran di Kota Beika 2 nomor 21. Memikirkan Ran saja hanya membuatnya frustasi, dia harus menemui gadis itu sekarang juga. Bisa gawat urusannya kalau rasa frustasinya sudah mencapai titik maksimal. Ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Conan tiba di sebuah rumah besar berpapan nama "Kudo" di pagarnya. Ya, ini rumahnya. Conan berjinjit lalu menekan bel pintu. Terdengar suara pintu terbuka. Oh, rupanya Ran.

"Conan-kun!" serunya senang. "Sedang apa kamu di sini?"

Conan menggeleng. "Shinichi Oniisan bilang kalau Ran Oneesan sedang di sini. Ia menyuruhku datang ke sini dan membantu."

Ran mendecak sebal. "Dasar bocah tak tahu terima kasih! Masa anak kecil sepertimu disuruh membantu ya, Conan-kun? Sudahlah, aku sudah selesai, kok. Untuk membalas kekurangajaran si gila misteri itu, bagaimana kalau kita meminjam dapurnya sebentar?"

Gila misteri katanya? pikir Conan sebal. Tapi ia tidak mungkin menunjukkan ekspresi itu di depan Ran yang tidak tahu identitasnya. Ia memasang senyum semanis mungkin lalu berkata, "Shinichi Oniisan tidak akan keberatan, kok."

Ran mengerutkan dahinya. "Bagaimana kau tahu?"

"Eh... ano..." Conan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tadi di telepon, dia bilang kalau Ran Oneesan bebas menggunakan dapur dan perpustakaannya, selama tidak mengotori rumahnya."

"Aneh sekali, dia bilang sebaiknya aku tidak perlu membersihkan rumahnya, tapi dia melarangku mengotorinya," gumam Ran. "Ya sudah. Conan-kun, kau mau ikut denganku?"

Hanya itu alasan yang terpikir olehku... "Ke mana, Ran Oneesan?"

"Kita belanja bahan makanan," kata Ran sambil mengemasi tasnya. "Kamu tahu kan, sejak Shinichi hilang, tidak ada yang tinggal di sini. Di sini tidak akan ada bahan makanan."

Conan mengangguk. "Kalau begitu, aku tunggu di sini saja, ya?"

Ran tersenyum. "Oke, aku akan pergi sebentar. Kamu mau kubuatkan apa, Conan-kun?"

Conan terdiam. "Apa saja asal tidak gosong!"

Ran tertawa kecil. "Enak saja! Baiklah, kamu masuk saja dulu. Nanti, tolong bukakan pintunya ketika aku kembali, ya! Itte kimasu!"

"Itte rasshai, Ran Oneesan!" balas Conan sambil tersenyum kecil.

Sudah empat puluh lima menit berlalu dan Ran belum kembali.

Aneh, pikir Conan. Ini benar-benar aneh.

Pikiran Conan mulai dirasuki hal-hal yang tidak masuk akal dan mengerikan seperti Ran mendadak ingin bunuh diri karena ingin bertemu dengan dirinya yang tak kunjung kembali, Ran tertabrak mobil di tengah jalan, Ran tersiram air ketika seseorang sedang menyiram tanaman dan terpaksa kembali ke rumahnya dulu, Ran tersesat di tengah kota, Ran lupa membawa uang, Ran bingung menentukan tempat untuk membeli bahan-bahan, semuanya tentang Ran dan semuanya sama sekali tidak membantunya menenangkan pikiran. Ia memutuskan untuk menelepon Ran sebagai Conan, bukan Shinichi.

TUT! Oh, rupanya Ran mengangkat telepon.

"Moshimoshi? Ran Oneesan?"

"Oh, anak kecil," kata seseorang di ujung sana.

Itu bukan Ran. Kenapa orang ini menggunakan ponsel Ran? pikir Conan heran.

"Siapa ini?" tanya Conan galak.

"Tenang saja, anak kecil. Kakakmu ada pada kami. Ia tidak akan apa-apa."

Conan terdiam. "Penculik?"

"Oh, itu kata yang terdengar sangat kasar. Kami bukan penculik, Nak," jawab orang itu. "Kami hanya menyandera kakakmu karena sudah berlaku kasar pada kami. Yang benar saja, temanku diberi tendangan tepat di dadanya!"

"Conan! Tolong ak—ARGH!"

Conan tertegun. Ran?!

"Diam kau, gadis! Sumpal dia!" perintah seseorang yang memegang ponsel Ran. "Nah, terima kasih pada kakak tersayangmu, kau dapat mendengar suaranya. Nah, anak kecil, kamu pasti tahu kalau kami tidak ingin berurusan dengan polisi. Terlalu berbelit-belit. Bisakah kami meminta bantuanmu untuk mengerjakannya sendiri saja?"

"Apa mau kalian?"

"Taruh uang lima juta yen di depan kantor Detektif Mouri pukul tiga sore ini. Jika kamu tidak melakukannya atau melapor polisi, nyawa kakak tersayangmu ini akan dalam bahaya. Kami bisa membunuhnya kapan pun kami mau. Kamu mengerti kan, Nak?"

Conan terdiam. "Jam tiga sore ini di depan kantor Detektif Mouri."

"Bagus, sampai jumpa jam tiga sore."

Hubungan telepon terputus.

Conan meremas ponselnya dengan gemas. Bagus sekali. Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Oh, bukan, apa yang bisa dia lakukan? Nyawa Ran dalam bahaya!

Bersambung...