Manusia adalah makhluk yang berakal budi dan mampu menguasai orang lain—sebuah individu. Tuhan menciptakan mereka dengan akal yang membedakan mereka dengan binatang. Satu hal di atas keistimewaan seorang manusia tersebut adalah hati—sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian perasaan dan sebagainya. Hati inilah sumber misteri dari setiap individu. Tak ada satu orang pun yang tahu dengan pasti isi hati orang lain, termasuk tindakan atau apa yang akan dilakukannya.
Before-After Chapter 1:
Hetalia ( c ) Hidekazu Himaruya
Warning: USUK-centric, Fem!Japan, one sided Asakiku, AU, OC, and BL
Tiap quotes yang saya ambil kebanyakan terinspirasi dari Bleach dan komik-komik lainnya. Thanks for KBBI and still, I love USUK. T_T
Okey, prepare yourself and enjoy reading, reader-sama~
POV: Arthur Kirkland
"Apa itu hati? Apakah sesuatu yang berada di dalam dadamu? Sesuatu yang kau simpan dalam otakmu? Ataukah sesuatu yang hangat saat aku menggenggam tanganmu—saat menyaksikan hembusan nafas terakhirmu?"
.
.
.
Maret 2015, Manchester—Inggris.
Gelombang elektromagnetik itu menyadarkanku. Aroma teh yang masih baru segera menyerbu indra penciumanku. Membangkitkan gairah hidupku saat itu yang baru kembali dari alam bawah sadarku selama kurang lebih tiga jam. Kulihat satu pilar tembok di depan jendela yang terkena sinar matahari, bayangannya tepat berada di angka 7 pada lukisan jam di lantaiku. Terdengar aneh bukan ?
Kalau kita melihat sekilas ke masa lalu, jam matahari biasa digunakan oleh suku Maya dalam perhitungan waktunya. Dan arsitek sekaligus desain interior yang merancang kamarku—Francis Bonnefoy menggunakan konsep tersebut dalam merancang kamar tidurku. Hasilnya, dua buah jendela polos di arah timur dan barat dengan dua buah pilar berdiameter sebesar bola basket di masing-masing depan jendela. Dan tak lupa sentuhan artistik pelukis Matthew William di lantaiku sebagai pelengkapnya. Jangan tanya apa jam lukisan itu dapat berfungsi dengan baik atau tidak, tapi harus kuakui letak bayangan pilar temboknya selalu sama dengan jarum jam di jam tanganku.
Mereka berdua adalah dua orang gay yang mengikat hubungan tak resmi mereka selama dua tahun ke dalam sebuah ikatan sakral bernama pernikahan.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku melenggang keluar. Kulangkahkan kaki menuju meja bar dan melihat ia di sana—hampir disetiap pagi saat aku terbangun. Ia melemparkan senyum hangatnya padaku dan menyodorkanku secangkir teh hitam yang masih hangat dan sepiring French toast. Kuucapkan terima kasih dalam bahasa Jepang yang ia balas dengan senyum malu.
"Bagaimana rasanya?" Tanya wanita Asia itu saat aku memakan sarapan buatannya itu. Aku menghentikan makanku dan mengunyah sisa makanan dalam mulut—memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan pertama hari ini. Aku tersenyum dan berkata, "Lebih enak dari bikinanku sendiri. Sepertinya kau sudah mulai mahir memasak, hmm?"
Ia mengangkat alis tipisnya dan seulas senyum manis tersungging di bibir merah yang ranum itu. "Terima kasih. Kau terlalu memuji, Arthur-san." Katanya setelah menerima piring bekas French toast tadi yang sudah tak bersisa. Aku menyesap tehku dan ia telah selesai mencuci piring itu saat aku meletakkan cangkir kosongku ke meja.
"Sakura, ada rencana untuk hari ini?" Aku beranjak dari kursi tinggi yang kududuki dan berjalan menghampiri gadis berusia 22 tahun itu.
Aku membantunya mengelap piring yang sudah bersih dan menaruhnya kembali di lemari penyimpanan. Mata coklat kehitaman itu menatapku sebentar dan kembali berkonsentrasi dengan gelas yang sedang ia cuci sebelum ia berbicara, "Jam 10 nanti ada technical meeting untuk persiapan operasi di ruang audiovisual utama, Arthur-san."
"Oh… persiapan operasi untuk Alfred, ya." Aku memberikan handuk kecil untuk mengelap tangannya dan kami berjalan menuju lemari buku di ruangan tengah. Sakura mencari sesuatu diantara deretan map serta berkas-berkas pasienku dan mengeluarkan sebuah map hijau dengan lambang rumah sakit tertera di depannya yang bertuliskan Alfred F. Jones pada kotak nama pasien. Aku meraihnya dan membaca riwayat kesehatan pasien yang terdapat di dalam map tersebut.
"Selamat berjuang, dok. Semoga operasi itu berhasil."
POV: Alfred F. Jones
"Keputusasaan itu menyergapku, dengan cara yang paling tidak kusukai."
.
.
.
Februari 2015, Manchester—Inggris.
"Jangan membantahku! Kau cukup lakukan apa yang kukatakan, Ekaterina!"
Nada gusar itu jelas membuat gadis cantik di depanku tersentak. Gadis cantik berdarah Russia itu kemudian hanya mengangguk dan mengambil sebuah jarum suntik berisi cairan biru pekat. Dengan tangan sedikit bergetar, asisten laboratorium yang baru bekerja dua minggu denganku itu menyerahkan benda di tangannya padaku.
Aku meraihnya dan mengecek kembali dengan tak sabar. Kulirik sebentar tikus putih yang berada di dalam sangkar di atas meja laboratorium yang dingin, matanya terlihat memelas. Tapi aku harus mengabaikan nurani kali ini. Apa gunanya penelitian yang sudah kurencanakan sejak kuliah ini jika harus gagal karena kasihan pada sampel percobaan?
Perlahan, kubuka sangkar tikus putih itu dan menggenggam hewan itu dengan sarung tangan karet silikonku. Kuperhatikan tikus putih itu tak berdaya dalam genggaman tanganku. Seringai kecil menghiasi wajahku saat kami bertatapan.
Tepat pada saat aku akan menyuntikkan cairan biru pekat itu ke dalam tikus puih di tanganku, getaran hebat menggangguku.
"Alfred, остерігатися! Землетрус!" Ekaterina meneriakkan sesuatu dalam bahasa yang sayangnya tak kumengerti.
Seketika aku kehilangan keseimbangan dan jarum suntik di tanganku terhempas ke lantai marmer—menimbulkan suara mendesis pelan. Seluruh benda di laboratorium itu bergetar cepat, beberapa tabung Erlenmeyer berjatuhan ke lantai. Disusul buku-buku dalam rak besar di depan ruangan. Kulihat Ekaterina panik, ia berusaha menjangkauku saat kulihat sebuah rak besi berisi peralatan laboratorium pecah belah jatuh ke arah Ekaterina.
"KATYA—!"
Untuk sesaat aku berpikir bahwa aku sudah mati. Semuanya begitu gelap, seakan seseorang mematikan lampu dan sekujur tubuhku mati rasa. Aku tak dapat merasakan apapun atau setidaknya suhu kulitku sendiri. Namun beberapa detik berlalu aku dipaksa kembali pada kenyataan oleh suara Ekaterina yang terus-menerus memanggil namaku. Suaranya terdengar bergetar, apakah dia menangis? Hebat juga, padahal aku tidak melihatnya dengan mataku…
Mata?
Aku yakin mataku sudah bekerja, namun rasanya seperti seluruh cahaya di alam semesta dipadamkan. Yang ada hanyalah kegelapan dimana-mana…
Mataku…
Aku menggertakkan gigiku saat tiba-tiba gelombang kesakitan itu sampai di otakku. Impuls itu kemudian dilanjutkan menuju saraf motorikku, aku mengangkat tanganku—memegang mataku yang seakan kehilangan kinerja fungsinya. Sakit. Sakit. Sakit! Sakit! Mataku serasa terbakar…
"AAAAAAAARRRGGHH!"
Aku berteriak. Menggeram menahan rasa sakit yang kini menjalar ke seluruh tubuhku. Dapat kurasakan air mataku mengalir. Sakit! Sesuatu seperti mengoyak kedua bola mataku. Membakar tiap lapisannya dan memberikan rasa sakit yang amat nyata. Membuatku menjerit kesakitan lebih keras selama beberapa detik dan kemudian kembali menjadi gelap. Kesadaranku berangsur menghilang.
Satu hal yang aku tahu saat aku merasakan rasa sakit itu, keputusasaan berhasil menyergapku. Untuk pertama kalinya aku merasa ingin segera mati saja.
TBC
mayaoreo here!
uhm... saya tau banyak hutang yang belum saya selesaikan, tapi apa daya? draft Before-After ini memaksa untuk dipublish... -_- haha
so, how is the story? is it entertaining enough? review or kritik, please? ;D
