IN BETWEEN

BTS fanfiction

KookV

Rating: T

Pairing: Jungkook (seme) X V or Kim Taehyung (Uke)

Warning: BL, Typo selalu mengintai

Cast: All BTS member, and other boyband member

Cerita ini dari pemikiran saya setelah menonton marathon Bleach.

BAB SATU

Kehidupan setelah kematian. Apa yang terjadi setelah kematian ternyata mengejutkan. Dan di sinilah seorang Kim Taehyung berada. Kim Taehyung 17 tahun. Di dalam kubikle sempit bersama tumpukan kertas , alat tulis, layar komputer, dan pesawat telepon.Jangan lupkan Kwon Jiyong, atasan dan si bos cerewet. Di kantor ini Taehyung bekerja mendata para arwah masuk supaya mereka bisa menyeberang, menempatkan mereka pada tempat tinggal baru sesuai kriteria.

Terdapat tiga gedung pencakar langit di dunia antara, gedung berwarna putih mengurusi kelahiraan, gedung berwarna hitam mengurusi kematian, dan abu-abu adalah gedung yang menangani pemindahan, tempat Taehyung bekerja. Bangunan-bangunan lain adalah flat-flat tempat tinggal para pekerja.

Orang-orang yang meninggal wajar akibat sakit, kecelakaan, atau usia lanjut. Mereka akan menyeberang, mendapatkan kehidupan baru juga keluarga baru dan keinginan yang di dunia belum sempat terwujud. Untuk jumlah keinginan yang akan dikabulkan bergantung kebaikan yang dibuat di dunia. Ketika menyeberang semua ingatan tentang kehidupan di dunia dan di alam antara akan lenyap seketika.

Sementara mereka yang memilih untuk mengakhiri hidup akan berada di alam antara, bekerja di sana, selamanya. Dan akan terus terikat pada semua kenangan dan keluarga di dunia.

Taehyung terdiam, mengamati layar komputer yang menampilkan latar belakang suram berwarna hitam. Ia ingin mengganti latar belakang monitornya namun belum menemukan ide yang brilian.

"Tae! Tae!" hingga panggilan kurang ajar itu nyaris membuat Taehyung terjungkal dari kursi kerjanya.

"Astaga!" Taehyung nyaris mengumpat dan nyaris menyenggol jus jeruknya ke atas meja, membasahi semua dokumen penting yang akan berakibat buruk nantinya. "Apa yang kau inginkan?!" bentak Taehyung.

Tanpa permintaan maaf, Jimin mendudukan dirinya di sisi kanan Taehyung. Tersenyum mencurigakan. "Apa?!" tuntut Taehyung.

"Akhir pekan ini, kau pergi berkunjung?"

"Ya, tapi hari Minggu saat semua orang berada di rumah."

"Hmm…," Jimin bergumam sambil mengangguk-angguk pelan.

"Butuh bantuan?" tebak Taehyung.

"Kau memang teman sejatiku!" pekik Jimin kemudian memeluk tubuh Taehyung erat.

Cepat-cepat Taehyung mendorong tubuh Jimin menjauh. "Katakan dengan jelas apa maksudmu?!"

"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan." Sekali lagi Jimin tersenyum lebar membuat kedua matanya tertarik, menyipit lucu.

"Ka—kau—tidak sedang mengajakku berkencan kan?!" Taehyung bergidik ngeri hanya sekedar membayangkannya, berkencan dengan seorang Park Jimin.

"Mati saja kau Kim Taehyung!" Jimin berteriak keras, meski secara teknis semua yang ada di sini sudah mati, Jimin mengatakannya karena terlalu kesal pada Taehyung.

"Park Jimin! Berapa kali aku katakan dilarang berteriak di dalam ruangan!"

"Maaf Bos!" pekik Jimin sebelum berlari tergesa menuju kubikelnya. "Kau ikut kan Tae?!"

"Ya!" Taehyung membalas teriakkan Jimin.

"Kalian berdua diam!" Jiyong berteriak murka sementara Jimin dan Taehyung menahan tawa di dalam kubikel masing-masing.

Taehyung menoleh ke arah jendela alih-alih untuk sejenak beristirahat dari tumpukan dokumen mengesalkan, ia justru mengamati jembatan perak, nampak berkilau, kokoh, lebar, dengan ujung yang lain tertutup kabut tebal. Dan iapun mulai membayangkan banyak hal tanpa bisa mencegahnya.

Membayangkan sendainya dia tidak memilih pergi, keluarga baru seperti apa yang akan dia miliki, kehidupan baru seperti apa yang sudah menunggunya di ujung jembatan. Tersenyum tipis, Taehyung meluruskan pandangannya ke arah komputer yang kini berada pada mode tidur. Mengamati wajahnya, bahkan kulitnya terlihat jelas tampak pucat.

Dulu, dia selalu memiliki kulit berwarna kecoklatan, dan sekarang semuanya menghilang. Semua orang di dunia terbuai dengan godaan untuk terus menjadi muda, membeli berbagai macam produk, melakukan berbagai perawatan menguras dompet. Tapi sekarang, Taehyung berharap ia bisa menua. Berada selamanya di usia tujuh belas tahun, terasa mengerikan.

"Selamanya." Taehyung menggumam pelan, kalimat itu selalu berhasil membuatnya ketakutan.

Pukul dua belas siang, istirahat. Taehyung berdiri dari kursi kerjanya melewati kubikel Jimin. Melongok dan mendapati Jimin tengah tertidur, ada waktu satu jam sebelum ia harus kembali menekuni dokumen-dokumen jelek itu.

Merogoh saku kanan celana kainnya, Taehyung mengeluarkan permen loli, membuka bungkusnya, kemudian memasukan permen itu ke dalam mulut. Berjalan melewati lorong gedung, dua puluh langkah membawanya ke depan pintu lift berwarna cokelat. Melangkah masuk seorang diri. Taehyung menekan tombol berwarna hijau. Menunggu pintu lift tertutup sembari mengamati pantulan bayangannya.

Ketika pintu lift terbuka, Taehyung tak lagi berada di dalam gedung membosankan tempatnya bekerja. Di hadapannya terhampar area pemakaman sunyi. Lolipop yang belum ia habiskan sudah ia campakan di dalam lift tadi. Ia melangkah keluar menyusuri jalanan setapak. Merasakan hembusan angin lembut dan memandang langit cerah. Ia tersenyum tipis.

"Musim panas," gumamnya. Musim panas selalu menjadi kesukaannya.

Pada sisi kanan dan sisi kiri jalan setapak tanah ditanami bunga Herbras, yang mekar dengan berbagai macam warna-warna cerah. Kupu-kupu berwarna putih dan kuning terbang rendah di antara bunga-bunga yang tengah mekar, Taehyung tidak menyempatkan diri untuk menghitung jumlah kupu-kupu itu. Langkah kaki Taehyung terhenti di ujung jalan setapak. Berbelok ke kanan.

Mendudukan dirinya di depan sebuah batu nisan. Mengamati nisan itu selama beberapa detik kemudian tersenyum. "Halo Taehyung." Gumamnya. Rasanya benar-benar aneh berada di depan nisannya sendiri. Dan rasanya nyaris sama ketika dulu dia pergi ke makam untuk mengunjungi makam Neneknya sewaktu kecil bersama keluarganya.

Tangan kanan Taehyung terjulur menyentuh kelopak bunga Lily putih di dalam vas porselin hitam yang mulai layu. Ia menyingkir ketika mendengar langkah kaki. Di jam ini, selalu ada seseorang dari anggota keluarganya yang datang berkunjung. Taehyung duduk di hadapan sang ayah, tersenyum sambil menekuk kedua kakinya.

"Selamat siang Taehyung, Ayah datang disela jam istirahat sekolah."

"Ayah tidak boleh terlambat, itu akan membawa sedikit masalah." Taehyung membalas namun suaranya tentu tak terdengar oleh sang ayah.

"Bunganya layu!" tuan Kim berseru. "Tapi Ayah membawakan yang baru untukmu, jangan cemas."

"Itu bunga yang indah, terimakasih." Taehyung mengamati wajah sang ayah lekat.

"Apa kau baik-baik saja di sana?"

"Aku baik-baik saja Ayah, jangan cemas. Bosku memang sedikit menyebalkan tapi semuanya baik-baik saja."

"Apa kau bahagia di sana?"

"Tanpa pekerjaan tambahan dan lembur, aku bahagia di sana. Aku memiliki seorang sahabat, aku akan memberitahu semuanya jika uangku terkumpul."

"Taehyung, seharusnya kau berusia dua puluh tahun. Tahun ini, seharusnya kita bisa merayakan hari kedewasaanmu, Ayah bahkan akan mengijinkanmu mencicipi arak."

Taehyung tersenyum membayangkan hari bahagia itu, hari bahagia yang tidak akan pernah bisa dia rasakan. Taehyung tersentak ketika ayahnya mulai menangis. "Hentikan!" pekik Taehyung sambil memeluk erat tubuh sang ayah. Namun, pelukan itu sekali lagi tak akan bisa dirasakan oleh ayahnya.

"Jangan menangis Ayah, aku sudah menguras tabunganku untuk mengirim pesan pada Ayah dan semuanya. Untuk tidak bersedih karena kepergianku. Mengirim pesan ke dunia itu sangat mahal…," keluh Taehyung. "Jadi aku mohon jangan menangis."

Tuan Kim tertawa pelan, menghapus air matanya. "Kau selalu tidak suka melihat orang lain menangis. Maafkan Ayah, besok Ayah akan menyempatkan diri untuk datang."

"Ayah tidak perlu memaksakan diri. Setiap hari Minggu aku datang berkunjung ke rumah. Jangan memaksakan diri."

Tuan Kim tersenyum mengangkat wajahnya, pandangan mereka bertemu dan detik itu Taehyung berharap ayahnya bisa melihat keberadaannya. "Ayah merindukanmu, kami semua sangat merindukanmu."

"Aku juga merindukan kalian." Bisik Taehyung menahan air mata yang mendesak keluar.

Taehyung berjalan di sisi kanan ayahnya mengikuti sang ayah hingga pintu gerbang. "Ayah tahu, minggu kemarin aku pergi ke konser 2PM, tanpa tiket. Itu hebat!" Taehyung berseru ceria. "Semuanya baik-baik saja, aku baik-baik saja." Ucap Taehyung ketika ayahnya menoleh ke belakang, mengamati areal pemakaman sebelum melangkah memasuki mobil.

Tangan Taehyung terangkat, melambai lemah. "Sampai jumpa," bisiknya kemudian menunduk. "Dan maafkan aku yang memilih pergi."

TING!

Taehyung terlonjak mendengar denting pintu lift. Wajah Taehyung terangkat dan langsung berhadapan dengan Jimin. Berdiri dengan cara menyebalkan di dalam lift. "Waktu istirahat habis, sudah tak terhitung lagi berapa kali aku harus menjemputmu Kim Taehyung." Keluh Jimin.

Tersenyum lebar Taehyung menyusul Jimin memasuki lift. "Bukankah kita sahabat."

Jimin memutar kedua bola matanya, malas mendengar kalimat Taehyung. "Kau menangis."

"Aku hanya terharu."

"Siapa yang datang hari ini?"

"Ayahku."

"Tahun ini, tiga tahun kan?"

"Ya, kau perhatian sekali padaku Jim…," puji Taehyung dengan suara menjijikan.

Jimin tersenyum malas. "Kita lahir dan mati di tahun yang sama."

"Ah benar juga." Balas Taehyung.

"Apa Ayahmu masih menangis? Apa semua orang masih menangis?"

"Kadang-kadang."

"Keluargaku juga sama padahal sudah tiga tahun. Dan aku merasa sedih ketika mereka menangis."

"Aku juga."

Kesunyian tercipta di antara keduanya, tidak ingin merasakan atmosfir kesedihan yang menggantung berat Jimin memutuskan untuk membuat Taehyung ceria kembali. "Kita pergi ke konser malam ini? Bagaimana?!"

"Kurasa bukan ide yang buruk. Aku ikut denganmu."

"Kau selalu ikut denganku." Cibir Jimin.

"Memang ada pilihan lain?"

"Tidak ada." Jimin tersenyum lebar di akhir kalimat.

Pintu lift terbuka dan keduanya kembali berhadapan dengan lorong gedung yang membosankan.

.

.

.

Taehyung mendudukan dirinya di ujung ranjang tempat tidur, Jimin sedang mandi dan dia bernyanyi dengan suara keras. Taehyung yakin bahkan di dalam kamar mandi sana Jimin sedang menari-nari tidak jelas. Sudah beberapa kali Jimin terpeleset akibat tarian anehnya di dalam kamar mandi itu. Tapi seorang Park Jimin sepertinya tidak peduli.

BRAK!

"Aku baik-baik saja!" lengkingan suara Jimin terdengar setelah bunyi benda-benda terjatuh ke atas lantai kamar mandi. Taehyung memilih diam, sudah bosan dengan kebiasaan menyebalkan Jimin berlama-lama di kamar mandi.

Apapun yang terjadi mereka tidak akan pernah terluka bahkan mati. Jadi, semuanya aman. "Jimin cepatlah! Kita tertinggal konser nanti!" Taehyung meneriaki sang sahabat.

"Sebentar Tae! sebentar lagi selesai!" pekik Jimin dari dalam kamar mandi.

Taehyung berdiri dari ranjang dan berjalan mendekati cermin setinggi seratus senti meter tertempel pada dinding bercat abu-abu muram. Memerhatikan penampilannya, celana kain hitam dan jas putih. Membosankan, tapi mau bagaimana lagi dia tidak memiliki pakaian lain. Semua yang ada di sini memakai pakaian seperti dirinya, tak bisa berganti.

Taehyung menoleh ke arah jendela. Tirai tersingkap dan dia kembali memandangi jembatan. "Sudah cukup Tae!" ia membentak dirinya sendiri. Memerintahkan kepada dirinya untuk berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan mustahil.

"Yo, yo Tae!" Jimin keluar dari kamar mandi dengan cara berisik. Mengenakan pakaian yang sama persis dengan Taehyung kemudian Jimin mulai bertingkah dengan memutar tubuhnya. "Bagaimana? Apa wangi sabunku tercium?"

"Iya." Balas Taehyung memilih mengalah daripada Jimin terus mengganggu ketenangannya. "Jadi—bisakah kita pergi sekarang?"

"Wah tak biasanya kau bersemangat pergi ke konser Tuan Kim Taehyung?" suara Jimin terdengar menggoda.

Taehyung ingin sekali melempar tubuh Jimin dari flat tempat tinggal mereka. Tapi itu percuma saja, Jimin akan baik-baik saja, dan dia akan kembali dengan lebih menyebalkan, mengganggu Taehyung setiap detik. "Aku sedang suntuk." Balas Taehyung.

Jimin nyaris tertawa terbahak, baiklah dia memang tertawa namun masih dalam porsi wajar. Arwah merasa suntuk? Itu terdengar sedikit tidak biasa. Secara teknis mereka semua arwah, Taehyung dan tentu saja dirinya sendiri. "Baiklah ayo!" Jimin berteriak nyaring menarik lengan kiri Taehyung dan menyeret sang sahabat pergi.

Derap langkah kaki keduanya menggema di lorong flat yang sebenarnya tak sepanjang lorong gedung tempat mereka bekerja. Keduanya lantas berhenti di depan lift berpintu cokelat. Lift yang akan membawa siapapun di dalamnya ke tempat tujuan yang mereka inginkan, dimanapun, di seluruh belahan dunia.

Terkadang Taehyung menghibur dirinya dengan hal ini. Menjadi arwah tak perlu mengeluarkan biaya transportasi. "Jadi kita akan menghadiri konser siapa?" Taehyung bertanya sesaat setelah pintu lift tertutup.

"Siapa ya—lihat saja sendiri."

Kening Taehyung berkerut dalam, tak biasanya Jimin merahasiakan siapa yang akan mereka tonton. "Kau jangan mengajakku menonton sesuatu yang aneh ya Jim." Peringat Taehyung.

"Iya, aku janji. Kita masih tujuh belas tahun." Canda Jimin.

Taehyung tersenyum tipis. "Berarti selamanya kita tidak bisa menonton acara dewasa." Ucap Taehyung berpura-pura kesal. Jimin hanya tertawa tak membalas ucapan Taehyung.

Pintu lift terbuka dan suara hiruk pikuk penonton yang begitu ramai menyapa Taehyung dan Jimin. Jimin melangkah keluar dari lift terlebih dahulu kemudian Taehyung menyusul. Keduanya melewati kerumunan manusia dengan mudah. Taehyung mencoba memerhatikan keadaan sekitar, mencari tahu siapa yang berada di balik keributan ini.

Musik bergema, teriakkan penonton semakin nyaring. Taehyung mendongak dan pada akhirnya ia bisa membaca nama seseorang yang sedang mereka saksikan. "J-Hope." Gumamnya.

Ketika pertama bertemu Jimin benar-benar pendiam. Dia hanya berbicara sedikit dan lebih banyak tersenyum. Butuh waktu yang cukup lama bagi Taehyung untuk berteman dengan Jimin dan membuat Jimin percaya padanya. Begitupun sebaliknya. J-Hope, Taehyung tak mengenal nama itu. Mungkin ketika dia masih hidup J-Hope belum debut atau dirinya memang tak memiliki kesempatan mengenal dunia luar, entahlah.

Taehyung melihat J-Hope benar-benar hebat. Dia rapper hebat dengan kemampuan menari yang tak bisa diremehkan. Taehyung melirik Jimin, ia melihat wajah sahabatnya itu tampak sedih. Taehyung menarik lengan kiri Jimin membawa sahabatnya berjalan menjauhi panggung.

Jimin ingin menjadi seorang penari hebat, melihat J-Hope seperti melihat keinginan dan impiannya sendiri. Semua keinginan dan impian yang tidak akan pernah bisa terwujud. Jimin tak mengucapkan sepatah kata apapun bahkan ketika Taehyung menariknya ke dalam lift. Pintu lift tertutup. Taehyung menarik lepas tangannya dari lengan Jimin.

"Bagaimana menurutmu penampilan J-Hope?"

"Bagus." Taehyung membalas singkat kemudian menoleh menatap Jimin. "Kau mengenal J-Hope secara pribadi?"

"Dulu kami berada di kelas menari yang sama."

"Oh." Taehyung tidak tahu harus membalas apa.

"Apa kau memiliki keinginan atau impian yang belum terwujud?" Jimin bertanya tatapannya bertemu dengan Taehyung dari pantulan pintu mengkilat lift.

"Banyak." Taehyung menggumam sambil memandangi pantulan wajahnya dan juga Jimin yang terlihat sama pucatnya.

TBC