Just Be Friends

Shingeki no Kyojin ©Isayama Hajime-san

Just be friends song © VOCALOID Megurine Luka

Kokoronashi (If somehow) song © utaite

Chapter 1

Fict ini diperuntukkan untuk memuaskan keinginan author memperbanyak fict nyesek di fandom ini.

Sebenernya agak aneh nulis lagi setelah vakum sebulan ke belakang ._. ditambah sekarang author lagi pegang rp petra, jadi kayak ada sensasi gitu -/- perasaan malu-malu jijik karena merasa ngalemin sendiri.. maafkan author yang seperti ini ya TvT author mah da baper superrrr, jadi jangan heran kalo agak lebay

Ok, selamat datang di dunia nisstah author~ lalalala akhirnya author nyempetin diri buat nulis walau sebenernya masih sibuk ini-itu. Tapi demi readers tercintah, author relaaaaa meski ngetiknya mepet-mepet, buru-buru, sehingga banyak typo bertebaran disana- sini.

Yap! Seperti janji author di fict sebelumnya, author sekarang bawain fict Rivetra yang nyesek tingkat dewa. Semoga readers suka yaaaa –w-

Oh iya lupa, soal fict Never Find Ending Story.. author agak lupa akhir chapter 1-nya gimana jadi belum ada bayangan chapter 2 (alias lupa) jadi author mau baca dulu lagi ntar, biar ada ide dan inget sama alur yang author ciptain sendiri ._.

Ekm ekm baiklah kembali ke fict ini –v- naah, kalian yang tau lagunya pasti ada sedikit bayangan buat isi fict nistah author –w- huahahahaha

Kali ini author bawainnya agak rumit, soalnya nanti ada 2 sisi cerita yang beda cara pandangnya, yang satu ada di sisi Petra ,yang satu lagi ya di sisi Levi. Lebih jelasnya ikutin ceritanya aja yuuuuk

Yuk ah enjoooy

Kesamaan cerita diluar dugaan author ya

Please RnR

.

.

.

.

Just be friends..

All we gotta do, just be friends..

It's time to say goodbye, just be friends..

-Petra Side-

Mata caramel yang biasanya tampak cerah itu kini tak terlihat. Tersamarkan oleh suramnya pagi yang menyelimuti harinya. Jujur saja, gadis bermata caramel indah itu belum pernah mengalami hari suram seperti sekarang. Dan mungkin hari itu bisa dihitung dari beberapa hari ke belakang. Banyak yang terjadi dalam sepekan ini. Puncaknya adalah kemarin malam. Tepat saat seseorang yang teramat sangat ditunggunya untuk pulang ke rumah datang dengan bau alkohol dan parfum wanita. Seseorang itu tidak terlihat tengah mabuk baginya, karena ia tahu bahwa orang yang ditunggunya itu tidak akan mudah mabuk meski sudah menghabiskan berbotol-botol wine.

Petra Ral, itulah nama si gadis caramel. Dengan pandangan hampir kosong menatapi setiap pecahan kaca yang berserakan di lantai ruang tengah, ruang yang dulu menjadi tempat favoritnya menghabiskan waktu bersama dia. Ya, dia. Dia yang sejak setengah tahun lalu mengikat janji suci dengan Petra, di altar gereja, disaksikan para tamu yang turut berbahagia, berbalut pakaian putih yang terjuntai elegan di tubuh sempurna seorang Petra Ral.

Kembali teringatlah bagaimana gelas-gelas yang tadinya berada di atas meja berubah menjadi pecahan tak teratur seperti ini. Kembali terbayang wajah pria yang teramat ia cintai tampak frustasi kemarin malam, Levi Ackerman.

Semakin banyak hal terbayang kembali di kepalanya, semakin jelas bulir air membanjiri manik gadis itu. Sampai pandangannya terhalang dan menjadi tidak fokus saat membereskan satu per satu pecahan kaca disana. Bukan lagi rasa sakit di hatinya yang terasa, tangannya yang tergores oleh pecahan itu juga turut serta melengkapi keperihannya. Ia meringis. Menyesap semua suguhan yang ia dapat dengan cuma-cuma ini.

Matanya bahkan tidak berani untuk melirik pintu kamar tamu yang berada tepat di samping kanannya, tempat dimana Levi berada sekarang. Mereka berdua hanya perlu waktu untuk saling menyendiri. Tidak saling menyapa seperti dulu, tidak saling memberikan kehangatan seperti dulu, semuanya terhenti dengan sendirinya, semakin hari dari usia pernikahan mereka.

Jujur saja, Petra ingin sekali menemui Levi sekarang. Dan kembali membicarakan hal yang kusut ini. Ia ingin hubungan mereka kembali seperti dulu. Tidak ada yang mengharapkan ini tentu saja. Tapi apa yang bisa ia lakukan hanyalah diam, membiarkan emosi menguasai dirinya, merenggangkan dekatnya jarak yang telah ia buat. Semuanya berubah.

Flashback

Tepat jam 11 malam. Petra masih setia duduk di ruang tengah. Teh yang ia nikmati sejak satu jam yang lalu sudah tak bersisa. Yang tersisa hanyalah cangkir berisi kopi yang sudah dingin karena tidak disentuh sama sekali. Malam yang hening. Dan Petra tetap menunggu kepulangan Levi dari tempatnya bekerja. Tempat yang juga merupakan tempat Petra bekerja. Ya, Levi sebagai CEO dan Petra sebagai salah satu model yang bekerja di sana. Managemen artis. Itulah tempat mereka bekerja.

Petra dan Levi sudah menjalin hubungan sejak di bangku SMA. Tak bisa disangka memang bahwa mereka akan bertahan sampai menikah seperti sekarang. Dan awalnya memang berjalan baik tanpa masalah apapun. Namun sejak 2 bulan terakhir, awal dari kecurigaan dan kekhawatiran Petra muncul tanpa diminta. Banyak yang mengatakan bahwa Levi sering bertemu dengan model baru yang bergabung dengan managemennya. Dia bernama Mikasa, gadis berkarisma dan elegan. Petra tidak perna bertegur sapa secara langsung dengan Mikasa. Ia hanya cukup dengan tahu wajah dan bagaimana sosok Mikasa di mata orang lain. Dan hampir semua orang yang ia tanyai tentang Mikasa, Petra selalu mendapat jawaban bahwa Mikasa adalah sosok gadis idaman yang sesungguhnya. Oh baiklah, mungkin model baru itu memang memiliki banyak kelebihan. Petra tak bisa melakukan apapun. Ia bukanlah orang picik yang akan menggulingkan lawannya dengan kejam. Lagipula ia juga tadinya tidak tertarik dengan kehadiran si model baru, sebelum tahu kalau Levi sering menemui gadis itu.

Sejak saat itu Petra terlihat banyak pikiran. Ia tak pernah absen dalam memerhatikan Levi yang selalu berada dalam jarak pandangnya di rumah. Sebenarnya jika mau ia bisa langsung bertanya tentang hubungan suaminya dengan Mikasa. Namun membutuhkan keberanian yang sangat ekstra untuk bisa melakukan itu.

Pernah sekali ia melihat Levi berjalan berdua dengan Mikasa di suatu sore, di saat Petra tidak memiliki jadwal pemotretan seperti biasa. Mereka berdua tampak akrab dimatanya. Meskipun tidak ada kontak fisik sedikit pun, namun Petra bisa menyadari raut kenyamanan yang Levi tunjukkan saat berada disamping gadis itu. Saat itu juga Petra ingin sekali berteriak, melimpahkan segala perasaan yang berkecambuk di benaknya. Itu adalah hari yang berat. Dimana Petra lebih memilih pulang dan mendekam di kamar. Tidak peduli jika Levi pulang dan mengajaknya makan malam. Ia akan tetap berpura-pura tidur dan menghindari segalanya. Meskipun nyatanya Petra tetap membuka matanya di balik selimut, menunggu Levi pulang.

Dan malam ini ia melakukan hal yang sama. Rasa sakit terbentuk kembali. Entah perasaan darimana yang membuatnya begitu yakin bahwa Levi tengah bersama Mikasa saat ini, menghabiskan waktu berdua entah dimana. Petra semakin mengeratkan tautan tangannya. Ia sudah menahan rasa sakit itu cukup lama. Hatinya mungkin sudah dipenuhi duri. Ia terbelenggu.

Denting jam yang terdengar nyaring seirama dengan degup jantungnya. Bukan lagi kecemasan yang bersarang di pikiran Petra. Rasa muak dan sakit yang mendalam menguat saat pintu yang ia tunggu untuk terbuka akhirnya memunculkan orang yang ia pikirkan.

"Tadaima.."

Tiba-tiba Petra menegang. Ia langsung mengusap-usap kedua tangannya yang mendingin entah sejak kapan.

"Kenapa belum tidur? Ini sudah malam."

Petra tak menjawab. Ia hanya memerhatikan pantulan wajah Levi di piring-piring hias yang disimpan di atas meja nakas tak jauh dari sofa yang ia duduki.

Sedetik kemudian Levi menarik Petra kedalam pelukannya. Sangat erat. Akibat kedekatan itulah Petra mulai menyadari bau alkohol yang sangat tajam. Juga bau lain yang sangat berbeda dari bau maskulin Levi selama ini. Parfum. Sebagai seorang wanita, tentu saja Petra tahu beberapa merek parfum terkenal dan bagaimana baunya. Salah satunya ini. Parfum itu adalah parfum yang biiklankan oleh Mikasa beberapa minggu lalu. Sebagai model tentu Mikasa akan memiliki produk sponsornya bukan?

Tapi kenapa bau itu ada juga di tubuh Levi?

Petra memejamkan matanya sejenak. Dan tak lama ia langsung melepaskan pelukan yang mengunci pergerakkannya. Tentu saja Levi merasa heran dengan sikap Petra yang seperti ini. Ia langsung mengangkat sebelah alisnya.

Dengan wajah yang serius Petra menatap manik biru kelabu yang turut memandangnya dengan penuh keheranan.

"Bau alkohol.." Petra mengeluarkan suaranya yang terdengar serak karena perasaan yang tertahan.

"Aku memang baru minum beberapa gelas tadi."

"Bersama siapa?"

Levi tidak langsung menjawab. Ia melihat sebuah emosi tersembunyi di manik Petra yang tampak lelah.

Petra tidak mau menunggu lama. Ia menghiraukan segala cara Levi agar nama yang menjadi jawabannya tidak membuat Petra kecewa padanya.

"Mikasa?"dan akhirnnya nama itu keluar dari bibir Petra.

Levi terkejut.

Pria itu langsung memalingkan wajahnya dari Petra, mengacak rambut kelam miliknya dengan kasar.

Petra yang sudah tahu maksud gerak tubuh yang Levi berikan turut memalingkan pandangannya. Rasa sakit yang tidak pasti itu sekarang menyeruak ke permukaan. Menekannya untuk mengeluarkan segala emosi yang terpendam sejak nama Mikasa itu datang ke dalam kehidupan mereka.

"Jadi ini yang membuatmu tampak berbeda akhir-akhir ini? Mikasa?" Petra tersenyum miris mendengarkan perkataannya sendiri yang tidak terkontrol. Baru ia melanjutkannya lagi.

"Baiklah, aku memang tidak setinggi Mikasa. Aku tidak secantik dia. Aku juga tidak berkarisma dan bisa berbagai hal sepertinya. Aku masuk ke dunia model hanya karena bantuan ayahku sebagai pemilik managemen sebelum kau. Aku tidak punya bakat apapun. Bukankah begitu?"

Levi masih bungkam.

"Mungkin saja segala kebahagiaan yang aku dapatkan selama ini hanyalah kebetulan. Aku bertemu denganmu hanyalah kebetulan. Kau mau bersamaku hanyalah kebetulan. Pernikahan kita hanyalah kebetulan. Kebetulan itu terdengar seperti kutukan jika mengingat ada hal lain yang berada di luar keberuntunganku. Hal yang sesunggunhnya."

"Petra."

"Sebenarnya aku menunggu penjelasan darimu sejak pertama kali ada yang melihatmu bersama gadis itu. Tapi aku rasa sekarang sudah jelas. Aku akan berusaha tidak terkejut jika bahkan keberuntunganku akan berhenti disini. Aku tidak akan terkejut mendengar seperti apa hubungan seorang CEO dengan modelnya sampai pulang selarut ini."

"Dengarkan aku."

Tepat saat Petra akan kembali berucap, Levi dengan sigap menahan perkataan gadis itu dengan genggaman erat di tangannya. Itu memang tidak akan membantu banyak disaat seperti ini.

"Jadi kau mengkhawatirkan masalah ini? Jadi ini yang membuatmu mengurangi senyumanmu padaku setiap harinya? Sungguh.. sepele."

Terasa petir menyambar saat itu juga. Sepele?

Dengan tegas Petra melepas tangan yang menahannya. Pandangannya kembali mengarah pada Levi.

"Kau bilang sepele? Aku bahkan hampir tidak bisa tidur mengingat adanya kehadiran gadis itu di hidupmu sekarang."

"Hey, ayolah kau bahkan tidak kenal padanya kan? Untuk apa kau cemburu berlebihan seperti ini? Dia bukan-"

"Bukan siapa-siapa bagimu? Itu yang akan kau katakan kan? Aku tidak peduli dia siapa untukmu, tapi lihat saja, nyatanya waktumu bersamanya lebih banyak daripada denganku, nyatanya kau pulang malam karena sudah bersamanya."

"Aku kan masih pulang kesini, untuk apa kau khawatir?"

"Jadi aku harus menunggu sampai kau pulang ke rumahnya baru aku boleh khawatir, begitu? Kau bisa melakukan itu kapan pun! Atau mungkin kau memang pernah ke rumahnya, merasakan kopi buatannya dan membiarkan kukunya yang mengkilap menyentuh kulitmu? Atau kau melakukan apa yang belum pernah kau lakukan denganku sebagai istrimu?"

"Petra, kau sudah keterlaluan."

"Aku keterlaluan? Siapa yang lebih keterlaluan dariku? Aku hanya mencoba menjadi yang terbaik untukmu. Tapi kau malah mencari yang baru dan menghiraukanku seenaknya."

"kau berubah, Petra."

"Kau yang merubahku."

Levi kembali mengacak rambutnya. Seolah dengan cara itu ia akan menemukan jalan keluar dari apa yang ia hadapi saat ini.

"Baiklah, aku memang dekat dengannya." Aku Levi pada akhirnya.

Perkataan itu sukses membuat Petra kehilangan batasan emosi yang meluap dan langsung meraih cangkir teh miliknya untuk dilemparkan. Suara cangkir yang membentur lantai itu terdengar memekakan telinga.

"Tenanglah.."

"Ya.. aku memang berusaha tenang. Aku berusaha tidak terkejut dan sudah mempersiapkan mental untuk mengetahui hal itu. Tapi tetap saja.. kau tau? Rasanya sakit sekali..."

"Aku merasa terlalu terikat denganmu. Tidak seperti saat kita masih sekolah, sekarang rasanya beda.. jadi aku-"

"Mencari yang baru, mencoba menyingkirkanku, dan saat waktunya tepat akan menceraikanku. Begitu?"

"kau sedang tidak dalam keadaan baik, sebaiknya kita bicarakan besok. Istirahatlah."

"Bahkan kau tidak mau membicarakan apapun padaku. Dia memang jauh lebih baik dariku ternyata. Sangat jauh.."

"Terserah, terserah, aku tidak peduli apa yang akan kau katakan tentangnya. Aku lelah, biarkan aku sendiri."

Petra terduduk dengan kedua tangan yang menutup telinganya. Ia mulai berteriak frustasi, untuk menyamarkan perkataan Levi yang sangat menyakitkan baginya. Ia juga memejamkan matanya sekuat tenanga agar tidak melihat punggung Levi yang menjauh dari hadapannya dan mengilang di balik pintu kamar tamu. Ia benar-benar sedang tidak terkendali, sampai apapun yang bisa ia jangkau terjatuh dan pecah berserakan di lantai. Keputusan apa yang ia lakukan ini, sejak kapan ia memegang prinsip bahwa hal yang menyakitkan adalah yang terbaik. Satu hal yang bisa ia dapat dari percakapan penuh emosinya dengan Levi tadi adalah bahwa pria itu lelah bersamanya. Ada sesuatu yang salah, dan Petra tidak tahu kesalahan itu berasal dari mana, kesalahan yang membuat seorang Levi jenuh dan memutuskan mendekati gadis lain meski masih dalam ikatan hubungan yang dilambangkan dengan cincin perak elegan yang dikenakan keduanya.

Baginya ini sudah bagaikan akhir.

.

.

Darah yang menghiasi tangannya sudah berbaur dengan pecahan kaca. Persetan dengan rasa sakit dari jarinya, ia sungguh tidak peduli. Air matanya hampir mengering.

Petra membawa pecahan kaca di tangannya menuju tempat sampah, dan ia melirik sekilas bunga mawar di atas meja nakas yang mulai layu, tak lagi memperlihatkan keindahannya yang biasa. Tak terlihat berbeda dengan hubungan yang merenggang ini.

Ia tahu pagi ini adalah pagi yang suram. Ia tahu bahwa dalam dirinya ada perasaan egois yang membuatnya terus bertahan untuk berdiam diri dalam situasi seperti ini. Ia tahu bahwa seharusnya ia mau kembali berbicara tanpa meluapkan emosi yang telah membelenggunya. Ia harus bicara, dan disanalah ia sekarang, di depan kamar tamu, tempat Levi berada.

Tangannya yang masih berdarah terlihat kaku saat hampir menyentuh permukaan pintu. Ia masih tampak ragu meski dengan berdirinya dia disana sudah menunjukkan tekadnya untuk menemui Levi.

Dan satu ketukan terdengar. Hanya satu.

Sesudahnya hanya terdengar helaan napas dari mulut gadis itu. Ia mulai berpikir kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk bicara. Petra hendak berbalik dan menjauh dari kamar itu sampai tiba-tiba pintunya terbuka.

Petra yang berdiri membelakangi pintu sontak mematung di tempat, merasakan aura keberadaan seseorang di belakangnya. Napasnya seakan tertahan.

Tiba-tiba Petra merasakan sentuhan dingin di tangannya yang berdarah.

"Kau menyakiti dirimu sendiri lagi." Suara serak itu terdengar.

Air mata yang mengering sukses mengalir kembali. Entah perasaan apa yang berkecambuk di pikiran Petra saat ini. Namun sentuhan ringan di luka yang tak seberapa di tangannya itu membuatnnya merasakan adanya kepedulian yang samar. Rasa dingin nan bermakna yang sudah ia rasakan sejak pertama mereka bertemu.

Wakatteta yo kokoro no oku soko de wa

(Aku sudah tahu jauh di dalam hatiku)

Motto mo tsurai sentaku ga besuto

( Bahwa hal yang paling pahit akan menjadi yang terbaik)

Saat Petra sudah bisa menguasai dirinya, barulah ia mengeluarkan suaranya yang tak kalah serak.

"Kau bersikap seolah tak terjadi apa-apa."

"Itulah caraku untuk bisa bicara denganmu."

Sentuhan ringan ditangannya tak terasa lagi. Kini ia merasakan rambut sebahunya dimainkan dengan lembut, seolah akan cepat rapuh jika disentuh seenaknya.

"Kau tidak tahu masalah ini datang dari siapa kan? Sesuatu yang tidak ada, menjadi ada, sesuatu yang ada, tiba-tiba tak dianggap ada. Menurutmu bagaimana?"

"Apa itu artinya bahwa aku sudah mengada-ada?"

"Menurutmu?"

Deg!

Hening sesaat.

"Ada sebuah pertentangan di dalam diriku, dan aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang."

"Aku tidak akan menyuruhmu percaya padaku, aku akan berhenti.. memberimu paksaan."

Petra menghela napas sebelum merespon, senyuman miris pun terlihat.

"Paksaan ya? Siapapun tidak akan mau dipaksa, bukankah.. kau yang terlihat dipaksa olehku? Aku merasakan itu."

"Entahlah.. kemampuanku untuk mengerti dirimu mulai menurun setiap harinya."

Dengan sengaja Petra menjauhkan tangan yang masih memainkan rambutnya. Tanpa berbalik, dan hanya menengok sedikit, ia menunjukkan senyuman mirisnya pada Levi.

"Kau tahu? Perkataanmu menyakitkan.."

Dan percakapan mereka di pagi itu berakhir tanpa penyelesaian.

TBC

.

.

Yaaaap untuk pembukaan segitu aja dulu (sebenernya bingung chapter ini berhenti dimana, tapi yasudahlah...)

Ginama nih? Greget ga? Author sih... (JANGAN TANYA) nyesek, suer TvT

Chapter 2 nanti mungkin author kasih Live side-nya dulu. Atau tamatin dulu yang Petra side ya? Mending gimana? Bagusnya gimana? Enaknya gimana? Bantu author yaaaaa

Review kalian sangat berguna bagi pertumbuhan fict author minna TvT

Author suka tiba-tiba terharu kalo inget ada yang nunggu kelanjutan cerita bikinan author yang ngetiknya pake 4 jari ini...

Maapkan kalau ada typo nyempil yaaa

Inget pesan bijak author, 'typo itu manusiawi', udah gitu aja ._. buahahahahaha XD

Rencananya author mau bikin akun fb spesial author Shigeyuki, karena sebenernya author juga suka bikin ilustrasi fictnya hehe, tapi itu nyusul ya~ kalo udah ada pada add eaaaa da baik ^^

Yaudah deh ya, author mau hibernasi dulu bentar biar bisa ngetik cepet dan lanjutin fict yang lain juga ~_~

Ja neeeee

With love

-Author shigeyuki-