rating. T
genre. Romance/Drama
disclaimer. Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime.
summary. AU; kata-kata yang menari tanpa arah, hujan yang selalu turun, musim panas yang absen manusia dan kopi. Pemilik manik cokelat itu tengah membuang masa lalunya ketika dara bermanik biru itu datang, tanpa suara. YmirxKrista.
warnings. fluff eksesif dan manis, tema ringan-mungkin-berat.


Suara bising menandakan air tengah matang di dalam wadah yang tengah dipanaskan. Sang wanita mengibaskan surai pirang yang menutupi manik-manik biru bulat yang tengah menatap dengan jelas teko air panas tersebut. Tangan kecilnya lalu bergerak untuk memutar kenop untuk mematikan kompor gas dan menyisihkan wadah dari muka api.

Dua mug besar tengah ada di meja terdekat, masing-masing berisi dua sendok makan kopi. Senyum terkembang ketika ia berhasil menempatkan takaran volume yang cukup di masing-masing mug.

Semoga hari ini adalah hari yang cerah, bukankah begitu?


Kepada langit aku akan berpulang,
Kepada senja aku akan mengadu,
Kepada laut aku akan mengerang,
Kepada hutan aku akan tersedu,

Siapa aku, katamu?

[Aku hanyalah debu.]

x x x

hologram summer

2013 © Kuroi-Oneesan


{I. Hitam selaput}

Tetes-tetes kehidupan mulai turun membasahi dunia, meninggalkan jejak-jejak air di sisi kota yang selalu hidup. Shiganshina merupakan kota yang cukup memiliki pamor, terutama predikatnya sebagai kota dengan bangunan-bangunan tua yang bisa dijumpai di kanan dan di kiri. Silih-berganti jalanan mengosong, absen dari keberadaan manusia yang beraktivitas karena datangnya permaisuri yang disebut sebagai hujan. Mereka yang tidak berpayung mencari tempat berteduh, sementara mereka yang memiliki payung terus berjalan, terus mencari tempat untuk berada.

Disanalah ia tengah berada, pada tengah hujan yang sepi.

Manik cokelatnya menatap seraya ia menyesap kopi di sebuah kedai Latte terkenal milik keluarga Braun, membiarkan hangat menjalar seraya ia terus berpikir di atas sehelai kertas dan sebatang pena berdarah hitam. Jarinya mengetuk-ngetuk, antara kehabisan ide atau memang tidak punya apapun untuk ditulis.

"Kopi keduamu, Ymir."

Waiter bertubuh tinggi dengn surai hitam menghampirinya, senyumnya sedikit terkembang melihat apa yang wanita muda itu tengah lakukan di tempat itu.

"Terima kasih."

Sang pelayan tetap berdiri di sampingnya, alih-alih menunggu.

"—Kau tidak puas dengan volume terakhir Murder Hall, kurasa?"

Bertholdt Fubar menelan ludah, ia lalu berbicara seraya berdehem membersihkan suaranya. Manik cokelat itu memang benar bisa membaca dirinya seperti sebuah buku.

"Tidak, aku hanya ingin menyampaikan pesan dari Annie; katanya 'kau bodoh'."

Senyum menyeringai kini menghiasi palet yang tadinya miskin ekspresi, matanya pun kembali ke atas kertas setelah Bertholdt melayangkan salam perpisahan.

Nama wanita itu memang hanya Ymir, satu kata yang cukup melukiskan pribadinya secara sempurna. Ia lebih terkenal dengan sebutan Kaschunnus, seorang pengarang novel terkenal yang selalu mengangkat tema misteri sebagai jiwa karya-karya yang ia terbitkan. Banyak yang beranggapan karyanya terlalu berat, ada juga yang menyebut semua adalah mahakarya; lagi ia adalah seorang pengarang yang tak pernah diketahui jati dirinya. Salah satu novel terbitannya yang tengah membludak adanya adalah Murder Hall, novel mini-seri yang tebalnya seratus halaman setiap kali menumpuk di etalase best seller per empat bulan. Baru minggu lalu jilid kelimanya masuk dalam jajaran penjualan sebanyak lima ratus ribu kopi dalam waktu sebulan.

Lagi, tidak ada yang benar-benar mengetahui bahwa seorang di balik karya yang megah ialah seorang wanita urakan yang sekilas tak terlihat dari dirinya makna bersahabat atau sopan santun.

Matanya menerawang, terus memperhatikan jalan yang semakin lama tertutup warnanya oleh derai hujan yang meramai datang melebihi jumlah manusia. Pandangannya mengabur sejenak dalam dinginnya keheningan sebelum akhirnya ia ingat ada yang harus ia selesaikan—draft untuk volume keenam novelnya.

Ketika ingin disentuh cangkir keduanya, terdengar suara ketukan di seberang tempat duduknya.

"—Sasha."

Ia mendecih, jelas terdengar di telinga gadis dengan dandanan setelan serba hitam di hadapannya itu. Gelagat wanita itu begitu khas di mata Ymir, lagi ini adalah kali pertama dalam sekian tahun terakhir ia bertemu dengan seorang 'pengantar surat' seperti Sasha.

"Untuk apa kau kemari? Aku sudah mundur dua tahun lalu!"

Beruntung karena hujan, kafe itu absen dari pemandangan orang lain ketika satu orang berteriak sekencang-kencangnya. Sasha Braus, wanita serba hitam itu, hanya tersenyum sambil dilanjut dengan tawa kecil. Wanita bersurai cokelat itu mengeluarkan buku bersampul putih dari saku jasnya dan menaruhnya di atas meja.

"Saya kesini karena rekomendasi dari Reiner." ucapnya, matanya berkilat tenang lagi terang.

Mendengar nama si pemilik kafe, tangannya tengah mengepal dan siap untuk memukulnya di kali lain.

"Aku tidak tertarik. Pergi."

Sasha, yang jarang sekali melepas ekspresi bisnis menuju ekspresi tidak-enakannya, menghela nafas panjang sebelum akhirnya pergi dari hadapan Ymir yang memuram. Niatannya untuk memulai halaman baru gugur sudah, rutuknya dalam hati. Melihat hujan mulai mereda dari dera, Ymir merapikan kertas dan beberapa bahan referensinya.

Tangannya menangkap buku putih itu masih ada di sana—dan benar saja, isinya kosong melompong. Pasti itu akal-akalan dari seseorang bernama Jean Kirchstein untuk membawanya kembali ke sana.

Ia mempercepat langkah sebelum akhirnya suara tubrukan menghentikannya dari sejenak emosi yang terkumpul akibat kejadian tadi.

Sosok kecil, sangat kecil, terpelanting ke aspal jalanan yang berkubang akibat bersinggungan dengan tubuhnya yang jauh lebih besar. Sosok kecil itu adalah seorang wanita dengan kemeja putih dan rok panjang berornamen kotak-kotak berwarna merah—tampak jelas ia kedinginan dan basah sempurna oleh hujan, dan ia tengah mencari tempat berteduh sebelum akhirnya Ymir membuatnya kembali basah.

"Maaf."

Dengan dingin Ymir memberikan tangannya.

Ekspresi sang wanita terlihat enggan.

"—Rileks, aku bukan orang jahat."

Tangan itu begitu kecil dan dingin, ia membantu wanita tersebut berdiri dan berjalan pergi meninggalkan kafe.

x x x

Hujan tak juga berhenti di saat Ymir membuka mata untuk melihat esok hari.

Hidupnya menjadi seorang penulis lebih kurang santai dan jauh lebih bebas dibanding pekerjaan sebelumnya, sehingga ia bisa bangun kapan saja atau bahkan melewatkan sehari untuk tidur saja. Keberuntungannya cukup besar di kancah literatur, entah apa yang membuatnya sedemikian cepat melejit dan karyanya selalu dinanti, walau ratusan fan-letters ia biarkan menumpuk di kotak pos apartemen tidak dibacanya.

Diliriknya jam, kebetulan jam enam tepat di pagi hari dengan hujan membuat mentari tertutup dan dunia menggelap. Diacak-acaknya rambutnya sendiri, mencari sedikit penyegaran mata sebelum dengan gontai ia menyiapkan kopi untuk dirinya sendiri dibarengi dengan keberadaan koran pagi di luar pintu apartemennya.

Apartemen milik Ymir cukup besar, dan terletak di lantai bawah memudahka aksesnya menuju kemanapun ia mau. Terkadang writer block akan menghantuinya dan ia mencoba mencari udara segar dengan berjalan ke taman terdekat atau membayar Cafe au Lait atau Vienna Coffee dari kafe milik keluarga Braun.

Membuka pintu dengan sedikit kuap, Ymir menemukan bahwa korannya telah dipakai untuk alas tidur oleh sesosok wanita muda.

—Bahkan, wanita itu tidur membulat, seperti kucing.

Ia kenal dengan sosok itu. Sosok yang ditemuinya kemarin tengah berada dalam hujan, melawan arus orang-orang yang sudah menepi.

Dengan pelan Ymir membawa wanita tersebut di pelukannya dan membawanya masuk ke dalam bersama dengan koran-koran yang ia pakai sebagai alas. Membaringkannya di sofa ruang tengah, serta merapikan koran yang seharusnya menjadi bacaan pagi itu, Ymir kebingungan kini.

"Err ..." ia berputar otak sejenak. Sang penulis pun berjongkok, menepi di dekat sofa, menepuk pipi yang dingin itu dua kali. "Bangun."

Kedua tirai kelopak terbuka, menampilkan iris biru terang tengah menatapnya setengah terbuka, benar-benar masih mengantuk. Wanita muda itu lalu duduk dari posisinya berbaring, sejenak membersihkan matanya dengan kedua tangan.

Seperti kucing.

"Siapa kau? Kenapa kau tidur di depan rumahku? Apa kau ini homeless?"

Tiga pertanyaan pertama lagi tidak ada jawaban, wanita itu tetap menatap tanpa usaha membuka mulut.

Wanita itu mengambil koran-koran yang telah Ymir rapikan, alas tempatnya tertidur, Ymir hanya meratapnya dengan penasaran juga kebingungan terus melanda. Wanita muda tersebut tampak mencari sesuatu di sana sebelum akhirnya ia menarik lengan Ymir untuk menyita perhatiannya.

[Aku bisu.]

.

.

.


{tbc.}