"Tolong," pinta Daniel, tersandung ke depan dan hampir menabrak meja ruang tengah, "Tolong pertimbangkan lagi, mbak. Nanti gajinya akan saya naikkan!"
Pintu itu dibanting tepat di depan wajahnya.
Beberapa detik hening di dalam ruangan itu, sampai akhirnya Daniel membalikkan badan dan menatap dua makhluk kecil di depannya. "Apa," mulainya pelan, "yang kalian lakukan kali ini?!"
"Semua idenya Jinyoung!" teriak Woojin sambil menangis keras.
.
.
.
"Ini sudah babysitter ke-empat yang berhasil mereka usir dalam selang waktu—berapa, tiga bulan?" Jisung mengerutkan dahi, ia meletakkan cangkir kopi yang satunya ke depan Daniel. "Ada apa sih dengan anak-anakmu?"
"Aku tak tau," ucap Daniel lelah, ia memijat keningya dengan tangan. Bahkan aroma kopi hangat di pagi hari tidak bisa mengurangi rasa sakit kepala yang ia rasakan. Kerjaannya banyak yang belum rampung sementara deadline nya sudah dekat, dan untuk menambah penderitaan, babysitter yang mengurus anak-anaknya baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya. "Mungkin mereka sedang dalam masa-masanya bertingkah, mereka kan cuma anak-anak.."
Jisung tersenyum iba, ia menepuk pundak Daniel. "Aku bisa menjaga anak-anakmu sementara waktu, selagi kau mencari pengganti babysitter yang baru. Aku yakin anak-anakmu juga nyaman dengan teman dekat ayahnya."
"Aku tak bisa merepotkanmu," kata Daniel, menggelengkan kepalanya. Ia berencana menitipkan anak-anaknya pada abang nya saja untuk beberapa hari, sampai ia mendapatkan pengganti babysitter yang baru. "Kau juga punya banyak kerjaan, hyung. Aku akan baik-baik saja."
"Baiklah," kata Jisung sambil melemparkan koran hari ini ke pangkuannya. "Aku pergi dulu, semangat!" lalu ia meninggalkan Daniel sendirian dengan kopi dan pusing yang masih mendera kepalanya.
Daniel membuka koran itu, membaca beberapa berita sampai matanya berhenti di halaman iklan lowongan pekerjaan. Huh, pikirnya, mungkin dia bisa memasang sebuah iklan juga disini, daripada harus mencari pengganti babysitter kesana kemari tanpa hasil.
Tiba-tiba handphone nya berdering, menunjukkan nama yang sudah sangat dikenalnya. Nomor telepon wali kelasnya Jinyoung. Daniel menghela nafas, apa lagi ulah yang dibuat oleh anak itu.
"Halo bu, iya benar dengan saya sendiri. Ah, iya iya bu, saya mengerti," Daniel bangkit dan mengemasi barang-barangnya, lalu dengan susah payah ia mengenakan jasnya sementara handphone masih menempel antara telinga dan bahunya. "Baik bu, saya akan segera kesana."
.
.
.
Daritadi Jinyoung hanya diam di dalam mobil.
Mata Daniel tetap fokus ke jalanan, jarinya mengetuk-ngetuk setir, "Kamu tidak perlu bilang apapun ke ayah kalau kamu tidak mau. Ayah cuma ingin dengar ceritanya dari sisi kamu," kata Daniel, dan dari kaca spion tengah, ia bisa melihat ekspresi Jinyoung berubah masam. "Bae Jinyoung."
Jinyoung tetap diam sepanjang perjalanan hingga mereka tiba di rumah, Daniel memarkirkan mobilnya di halaman dan mematikan mesin, menunggu Jinyoung untuk bicara.
Jinyoung baru menginjak usia 9 tahun ini, tapi anak itu bisa jadi sangat keras kepala kalau dia mau. Dan ini bukan pertama kalinya Jinyoung terlibat masalah di sekolah. Semester ini sudah tiga kali Daniel harus menjemputnya pulang dari kantor kepala sekolah. Daniel sudah menyerah, tidak tau lagi harus berbuat apa.
Ada pergerakan di sampingnya, lalu terdengar suara Jinyoung bergumam lirih, "Bukan aku yang mulai."
"Tidak penting siapa yang memulai duluan," kata Daniel, ia membuka pintu mobil. "Ayolah, nak, kita bicara di dalam."
Anak lelaki itu mengikutinya masuk ke dalam rumah, wajahnya masih merengut. Ia mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.
"Sekarang cerita," kata Daniel, duduk disebelahnya. "Kenapa berkelahi?"
Bibir Jinyoung bergetar sambil ia bercerita, "Mereka mengejekku, mengata-ngataiku dengan bahasa kasar.. aku benci mendengarnya, jadi aku pukul mereka."
"Jinyoung, yatuhan," ucap Daniel pelan. "Ayah sudah bilang kalau kekerasan itu bukan jalan untuk menyelesaikan masalah."
"Jadi aku harus bagaimana?" Tanya Jinyoung, matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis. "Mereka terus-terusan meledek dan mengejekku, mereka juga mengejek woojin dan mengata-ngatai ibu.."
Tubuh Daniel menegang, tapi ia menahan suaranya agar tetap tenang. "Mengata-ngatai seperti apa, Jinyoung?"
"Mereka bilang," mulai Jinyoung, air matanya mulai turun membasahi pipinya, dan sambil sesegukan ia berkata, "Mereka bilang ibu pergi karena ibu benci kami dan tidak mau mengurusi kami lagi, dan—"
Cukup itu yang perlu Daniel dengar, ia seketika memeluk tubuh Jinyoung, mengabaikan pekikan kaget anaknya. "Jangan dengarkan mereka," kata Daniel tegas, "Jangan dengar apa yang mereka katakan, ya, nak? Ibumu sangat menyayangi kalian, kamu harus ingat itu, oke?"
"Oke," kata Jinyoung sambil sesegukan, tangan kecilnya meremat kemeja Daniel. "Ayah?"
"Ya, nak?" gumam Daniel sambil mengusap-usap punggung anak sulungnya itu. Jinyoung jarang memanggilnya 'ayah', jadi ia mempersiapkan diri untuk pertanyaan yang akan diajukan Jinyoung padanya.
"Kalau ibu sayang kami, kenapa dia pergi?" Tanya Jinyoung sambil berbisik, ia mulai menangis lagi. air matanya membasahi kemeja Daniel. Daniel hanya diam dan mengeratkan pelukannya pada anaknya yang terisak dan terus bertanya, mengulang dua kata itu, "Ibu dimana.. hiks.. ibu dimana.."
Sayangnya Daniel tidak punya jawabannya.
.
.
.
Lowongan kerja:
Dibutuhkan baby sitter part-time untuk 2 anak, gaji tinggi, tdk ada syarat khusus kec berpengalaman, sabar, dan bs ttp tenang di segala situasi. Mohon hubungi kontak dibawah ini utk detail lebih lanjut.
.
.
.
from ong_seongwoo
to danielkang
halo!
sy tertarik utk mengajukan lamaran kerja yg anda muat di koran, sbg baby sitter anak! Nama sy Ong Seongwoo, dan di bawah sini sdh sy lampirkan CV nya. Sy tunggu balasan anda scptnya! ヾ(´・ω・`)
.
.
.
to be continue.
.
.
.
Haiii!
di part ini belum ada ongniel nya yah hehe
Seongwoo bakal muncul di part selanjutnya!
btw gimana, tertarik dengan ceritanya? lanjut?
pls do comment! ;)
