Silent Euphony

"The Thing Left Unnoticed."

Chapter 1

.

.

.

Fanfiction of

Axis Power Hetalia

Hidekaz Himaruya

.

.

Starred by:

Roderich Edelstein a.k.a Austria

Gilbert Beilschmidt a.k.a Prussia

Ludwig Beilschmidt a.k.a German

Francis Bonnefoy a.k.a France

Antonio F. Carriedo a.k.a Spain

.

.

.

Klub musik baru saja dibuka 15 menit lalu dan Roddy—dengan amat sangat terpaksa, harus membebaskan semua anggota klub dari kewajiban latihan hari itu.

Kalau saja bukan karena atas keikut sertaannya sebagai salah satu panitia acara tahunan sekolah, Roddy takkan dibuat sibuk oleh jadwal rapat yang telah ditentukan oleh Ludwig—siswa berdarah Jerman tersebut nyatanya amat sangat disiplin, dan Roddy yang lebih menaruh prioritasnya pada klub musik tentu harus merelakan jadwal latihan hari ini kosong.

Tercetak jelas pada wajahnya, air muka sebal nampak begitu kentara—Roddy menghela napas saat menutup pintu ruangan klub dari luar.

Membiarkan anggota klub berlatih bersama senior lain di dalam.

Roddy menyingkap pergelangan kemejanya sedikit lalu melirik jam tangan silver yang melingkar di sana. Rapat sudah dimulai 5 menit lalu—Ludwig pasti sudah memulai agenda rapat.

Dengan langkah yang sama sekali tidak ia paksakan untuk bergerak lebih cepat, Roddy berjalan menyusuri koridor kelas—menuju ruangan rapat yang telah disebutkan Kiku lewat pesan singkat.

Koridor hari ini tampak lebih ramai dari biasanya. Dijadwalkan setiap hari sabtu, semua murid dibebaskan dari kegiatan belajar untuk melakukan kegiatan ekstrakulikuler yang telah dipilih masing-masing murid.

Termasuk klub musik dengan Roddy sebagai ketuanya.

Baru saja Roddy hendak melangkah menuju lantai 3 gedung sekolah, ia dikejutkan oleh sebuah tawa tak asing yang terdengar—walau wujud sang pemilik tawa tersebut masih belum terlihat namun kedua kakinya dengan refleks menghentikan langkah tepat di anak tangga pertama.

Seolah itu adalah sebuah alarm tanda bahaya.

"Kesesesesese."

Tawa itu lagi—Roddy mengerutkan dahi. Perasaan tak enak mulai menggerayangi.

"Kesesesesese."

Masih ada waktu untuk mengambil rute memutar—bisikan samar menggema di dalam batok kepalanya.

Roddy lantas mengambil langkah mundur, siap kabur namun terlambat sepersekian detik ketika kedua iris violet di balik kacamatanya bertemu pandang dengan kedua bola mata semerah ruby milik seorang siswa berambut keperakan.

Iris merah menyala yang tak asing—juga seringai itu. Semuanya tak asing. Terlalu akrab. Terlalu familiar.

"Yo, stupid aristocrat!"

Dan suara cempreng menyebalkan itu akhirnya terdengar—memekakkan telinga dan dapat Roddy rasakan bila darahnya perlahan mulai menggelegak.

Mendidih.

Dahinya berkedut jengkel saat dengan telak—tak terelakkan, dirinya berpapasan dengan makhluk paling menyebalkan sedunia.

Gilbert Beilschmidt.

Roddy mengerang di dalam hati dan dengan refleks bersikap defensif. Kedua alisnya pun tampak telah sempurna menyatu.

"Akan aku anggap kalau aku tidak sedang melihatmu saat ini." Sahut Roddy tak peduli seraya memalingkan arah pandang dengan tatapan yang tidak bersahabat.

Kalau sudah begini, mengambil langkah memutar pun percuma.

Roddy lalu putuskan untuk kembali melangkah menaiki anak tangga—membunuh jarak yang terbentang di antara ia dan Gilbert.

Di dalam hati, Roddy menghitung anak tangga yang berhasil ia naiki tanpa berniat untuk mengubah air muka jengkelnya—juga tanpa keinginan sama sekali untuk balas memandang Gilbert yang tengah heran menatapnya.

Dua anak tangga lagi dan ia bisa melewati Gilbert. Roddy membatin seraya masih terus melangkah naik. Napasnya tertahan. Ada kegugupan di balik sikap dinginnya.

Sama sekali tak ingin berurusan dengan siswa paling bengal di sekolah—Gilbert, yang adalah kakak dari Ludwig.

Sedikit lagi—Roddy menggumam dan cekalan pada lengan ringkihnya seketika membuat ia lagi menghentikan langkah.

Roddy menoleh cepat dengan kedua iris violet-nya yang membulat. Air muka pada wajahnya terlihat campur aduk.

Kaget. Marah. Heran. Paranoid.

Dan Gilbert masih memajang seringai paling angkuh pada wajah albinonya sambil menggenggam erat lengan kurus milik Roddy—sukses menghentikan langkah si maniak musik dan mematahkan usahanya untuk tidak mengacuhkan eksistensi si siswa bengal.

Gilbert menarik Roddy untuk mendekat dan Roddy yang tak siap akan hal itu nyaris tersungkur—nyaris menubruk tubuh Gilbert kalau saja ia tak mampu mengendalikan laju diri.

Roddy lalu menarik lengannya dengan kasar—cepat, namun cengkraman Gilbert nyatanya sangat kuat. Sangat erat.

"GILBERT!" Roddy berseru marah dengan wajahnya yang memerah akibat gelegak emosi, namun respon yang diberikan Gilbert justru semakin membuat darahnya mendidih—bak lava di dalam kawah.

Gilbert tertawa lagi. Bahkan lebih keras. Terbahak.

Roddy hanya bisa mematung di tempat dengan wajah terheran-heran sedang lengannya masih dicekal oleh pemilik tawa paling aneh yang pernah Roddy dengar—Gilbert si monyet albino, Roddy menyebutnya.

"Kau memekik seperti anak perempuan! Benar-benar tidak berubah!" Ujar Gilbert di sela tawanya. Nampak geli sekali.

Wajah Roddy memanas. Aliran amarah telah sampai di ubun-ubun bersamaan dengan wajahnya yang nampak semakin memerah.

Merasa begitu terhina akan ucapan Gilbert barusan.

Dan Roddy hanya bisa terdiam sambil menggigit bibir dengan keras hingga ujung gigi taringnya sedikit melukai daging lunak tipis tersebut—bibirnya.

Gilbert—dengan dramatis, menyeka ujung matanya. Seolah-olah ada air mata dari gelak tawanya di sana. Lantas keduanya kembali saling melempar tatapan.

Roddy dengan tatapan marahnya dan Gilbert dengan tatapan angkuhnya.

Ingin rasanya Roddy melayangkan tinju ke wajah albino yang sangat menyebalkan itu namun dengan kondisi koridor yang cukup ramai begini, jelas ia tak ingin menciptakan opera gratis.

"Lepaskan." Roddy mendesis tajam dengan nada mengancam dan Gilbert hanya terkekeh ringan.

"Akan kulakukan asal kau beritahu aku kemana kau akan pergi." Balas Gilbert santai. Satu tangannya yang bebas lantas ia surukkan ke dalam saku jaket merahnya.

Nyaris habis kesabaran, Roddy hanya bisa mendelik tajam dari balik kacamatanya. "Gilbert, aku serius. Lepaskan aku." Roddy mendesis lagi dan yang ia terima hanyalah tanggapan acuh tak acuh dari Gilbert.

"Sudah kubilang, beritahu dulu kemana tujuanmu kepadaku yang awesome ini. Kesesesese." Gilbert terkekeh lagi—seolah perkataan Roddy barusan bukanlah ancaman.

Buku-buku tangan Roddy nampak memutih saking begitu kuatnya ia mengepalkan tinju. Ingin sekali ia buat bonyok wajah albino di hadapannya saat ini. Roddy mendengus pendek—masih dengan kejengkelan yang belum surut.

Dan sepertinya takkan surut.

"Ruang komite nomor empat." Jawab Roddy dengan separuh menelan harga dirinya.

Entah permainan macam apa yang sedang disusun Gilbert, Roddy tak ada niat untuk mengikuti namun celah untuk kabur sepertinya masih bias.

Bibir Gilbert membulat, lantas mengangguk-angguk seolah paham. "West juga sedang berada di sana." Sahutnya yang sama sekali bukan hal yang diinginkan Roddy sebagai tanggapan. Lantas Gilbert menyeringai lagi. "Baiklah. Biar aku yang awesome ini mengantarmu ke sana. Kesesesese."

Roddy mengerjap. Air muka jengkel itu seketika luntur—kini berganti dengan rasa heran tak berujung.

"Ha?" Roddy menganga—nyaris tak mempercayai pendengarannya sendiri atas kalimat absurd yang baru saja ia dengar meluncur manis dari celah bibir Gilbert.

Sedang Gilbert masih pada posisinya—berdiri tegak dengan seringai angkuh yang begitu awet. Sorot matanya nampak begitu percaya diri.

Nyatanya Gilbert bukan sedang memberikan tawaran. Gilbert tak butuh jawaban—juga persetujuan, maka dengan begitu saja, Gilbert menarik lengan Roddy dan tubuh ringkih sang ketua klub musik tersebut nyaris terhuyung ke depan jika saja Roddy tak segera menyeimbangkan tubuh.

"Gilbert!" Roddy kembali berseru—kali ini sedikit ia tahan ketika mereka berdua berpapasan dengan murid lainnya yang sedang berjalan menuruni tangga.

Roddy tak habis pikir—bingung sebingung-bingungnya dan kedua iris violet miliknya tersebut hanya bisa menatap punggung Gilbert yang berjalan di depan.

Memimpin.

"Hei, Gilbert!"

Suara tak asing lainnya terdengar menyapa. Gilbert dan Roddy refleks menoleh secara bersamaan.

Antonio—siswa berdarah Spanyol yang adalah karib kental Gilbert nampak tersenyum lebar menatap keduanya.

Tidak, menatap Roddy lebih tepatnya dan dapat Roddy rasakan bila Antonio tengah menatapnya seolah-olah ia adalah tawanan perang.

Roddy mendengus lalu memalingkan wajah. Tak ingin memuaskan karib Gilbert yang juga tampak mencemoohnya.

Gilbert dan Antonio lalu terlibat percakapan singkat—yang tak begitu Roddy perhatikan, dan berlalu begitu saja. Dilanjutkan dengan langkahnya yang terburu-buru akibat harus mengikuti langkah Gilbert yang lebar dan cepat.

Dasar orang Jerman!

Dan Gilbert nyatanya tak main-main—laki-laki itu memang benar tengah membawanya berjalan menuju ruangan yang dimaksudkan Kiku.

Sedang Roddy berjalan mengekor di belakang dengan satu tangan masih dicekal dan ditarik oleh si siswa bengal—ia merasa begitu malu. Terhina.

Hingga langkah mereka terhenti saat keduanya tiba di depan sebuah pintu besar berdaun dua.

Ruang komite nomor 4.

Gilbert menatap puas pintu yang tertutup di hadapannya. Samar dapat terdengar suara bariton milik adiknya yang menggelegar dari dalam ruangan.

Rapatnya sudah dimulai.

Roddy menghela napas—separuh pasrah, separuh enggan.

Enggan karena ia harus mengetuk pintu tersebut lalu melangkah masuk dengan sorot mata semua panitia yang telah hadir tertuju padanya—pada keterlambatannya.

Dan semua kekacauan ini disebabkan oleh Gilbert. Roddy mengutuk di dalam hati dan baru saja dirinya hendak bersuara—bermaksud untuk menyudahi permainan konyol Gilbert, tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara keras yang berasal dari sol sepatu Gilbert yang menghantam pintu tersebut hingga menjeblak terbuka.

Gerakan itu cepat dan keras hingga menimbulkan suara 'bedebam' kuat yang mengagetkan semua penghuni ruangan—dengan serta-merta menoleh ke sumber suara dengan kedua bola mata nyaris melompat keluar.

Tak terkecuali Ludwig sendiri.

"YO!" Sapa Gilbert dengan suara nyaring—seolah tanpa dosa atas kegaduhan yang baru saja ia ciptakan dengan menerjang pintu ruangan.

Roddy yang masih dikuasai keterkejutan hanya bisa mengekor—lagi, saat Gilbert berjalan masuk sambil menyeretnya ke dalam ruangan.

Perhatian semua penghuni ruangan lantas terpecah—kaget oleh sosok si siswa bengal yang tiba-tiba merusuh, juga kehadiran sang ketua klub musik di belakangnya.

Ada apa ini?

"Bruder!" Suara bariton Ludwig terdengar—namun tidak dengan nada membentak walau air muka jengkel begitu kentara terlihat pada wajahnya.

"Yo, West!" Gilbert balas menyapa lalu menarik lengan Roddy hingga tubuh ringkih itu limbung ke depan—sukses menubruk tubuh tinggi dan kekar milik Ludwig.

Roddy mengaduh marah. Batang hidungnya nyeri akibat tubrukan yang ia dapat dengan dada bidang Ludwig.

"Selamat sampai tujuan tanpa lecet sedikitpun." Gilbert bersuara lagi dengan seringai angkuh pada wajahnya—memaksudkan kalimat tersebut untuk Roddy.

Roddy mendelik marah—hendak mengumpat namun urung ketika Ludwig berdeham seraya menyangga tubuhnya.

"Danke, Bruder. Kau bisa tinggalkan ruangan ini." Ucap Ludwig dengan raut maklum yang tercetak pada wajah seriusnya.

Maklum akan kebengalan sang kakak.

Dan Roddy menangkap sesuatu yang janggal—aneh, dari sikap Ludwig atas tindakan Gilbert yang semena-mena. Terdiam ia. Tercenung seorang diri.

"Yo, stupid aristocrat." Gilbert menyapanya—Roddy refleks berjengit kaget seraya melemparkan delikan tajam.

Mau apalagi kau?! Batin Roddy begitu berang—separuh frustasi akibat rasa malu yang ia dapat akibat ulah Gilbert.

Dan Gilbert hanya menatapnya selama beberapa detik—tanpa suara dan tanpa kata hingga laki-laki berambut keperakan itu membalikkan tubuh—membuat Roddy gagal memahami maksud siswa bengal itu.

Roddy hanya bisa mengerjapkan mata memandang punggung Gilbert—sibuk dengan pikirannya sendiri hingga sebuah suara siulan terdengar dari arah panitia lainnya.

Francis nampak tengah melambaikan tangan sambil mengedipkan mata—bergantian ke arahnya dan Gilbert. Membuat Roddy bergidik atas kelakukan siswa berdarah Perancis tersebut.

Gilbert hanya membalas siulan karib kentalnya tersebut—selain Antonio, dengan seringai bangga seraya mengacungkan ibu jari, dan tak lama Gilbert pun berlalu meninggalkan ruangan dengan pintu yang kembali ditutup dari luar.

Sepeninggal Gilbert yang telah berlalu pergi, ruangan rapat masih diselimuti kabut kesunyian yang pekat hingga Ludwig kembali berdeham lalu mengalihkan fokus ke figur Roddy yang malang.

"Kau bisa tempati kursi yang kosong." Ujar Ludwig.

Roddy mengerjapkan matanya lagi—masih separuh sadar tak sadar akan kejadian barusan, lalu menoleh ke arah deretan kursi yang nyaris terisi penuh oleh semua panitia yang hadir dan lagi-lagi kesialan menghinggapinya.

Hanya ada satu kursi kosong dan kursi itu terletak di samping Francis.

Pelipisnya berkedut jengkel—marah! Dan Francis hanya tersenyum manis ke arahnya seraya melambaikan tangan.

Mengundangnya untuk segera duduk di sisi salah satu dari semua antek-antek milik Gilbert—dan Roddy bersumpah takkan melupakan hari ini seumur hidupnya.

.

.

.

To be continued.

Author's note: Evening~ this is another Hetalia fanfiction i wrote after Liebestraum, die Niederlande which is still in progress and I, as the author, want to deeply apologize for the tardiness. I also want to announce that Liebestraum, die Niederlande is currently in hiatus mode due to writer's block (how unprofessional, i know i'm so sorry) so i hope you guys enjoy another story i made and i plan to divide this story into 2 or 3 chapters until the end. Happy reading~ and don't forget to leave any comment for supporting me in developing this story. Thanks!

Used picture belongs to its respective artist, picture is not mine.