—私はあなたと、ここにいるよ。—
(Watashi Wa Anata To, Koko Ni Iru Yo.)
All of characters are belongs to Masashi Kishimoto and the several unknown characters belong to mine.
But this story is belongs to mine.
.
.
.
.
Shikamaru kembali menguap bosan. Ia benar-benar malas mendengar ocehan Godaime Hokage beberapa menit yang lalu. Kupingnya pun masih terasa panas. Langkah kakinya kini kembali tergerak menuju rumahnya, dengan menaruh kedua lengannya di belakang kepalanya.
Pagi hari yang masih gelap tadi, dengan wajah yang masih setengah tertidur, ia dibangunkan oleh 'kicauan' ibunya karena seorang suruhan sang Hokage menyuruhnya menemuinya saat itu juga. Segera saja semua keluhan menggema di pikirannya.
Dengan langkah ogah-ogahan—karena baru beberapa jam yang lalu ia baru menyelesaikan misi solonya— pemuda bermarga Nara ini berjalan menemui sang Hokage.
Baru saja Shikamaru hendak mengetuk pintu berkayu coklat itu, sudah terdengar suara 'masuk' dari dalam ruangan.
Setelah membungkuk hormat, Shikamaru langsung bertanya , "ada apa anda memanggil saya, Hokage-sama?—"
"Misi solo untukmu, ranking B, desa Suna," cerocos wanita berusia kisaran 50 tahun itu. Ia memandang Shikamaru yang hendak menyela, "jangan berkomentar. aku juga tidak tahu kenapa mereka memilihmu," ucapnya lagi ketus.
Shikamaru memasang wajah malasnya lagi, mendesah sebelum ia bicara to the point, "bukan maksudku untuk menolak. Tapi, kan, masih banyak chunnin atau jounnin yang sedang kosong—"
Tsunade melotot, "sudah kubilang mereka hanya memilihmu. Itu saja!"
Shikamaru menunduk, memperhatikan lantai di bawahnya yang tampak menarik.
Sesaat kemudian air muka Tsunade melunak—menampilkan senyuman sembari menopang dagunya, "ah, sepertinya aku tahu alasan kenapa mereka memilihmu."
Shikamaru mendongak menginginkan kalimat berikutnya.
Tangan lain Tsunade terlihat sedang mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, "mungkin, Kazekage itu merindukanmu."
Shikamaru melongo. Mulutnya yang terlihat mengatup, lalu terbuka. Sesaat kemudian terdengar kekehan dari Tsunade.
"Ah! Bukan—bukan Kazekage itu maksudku," Tsunade memberi jeda sejenak, "atau mungkin saja kakak tertua Kazekage itu yang merindukanmu, sehingga memberikan misi ini padamu."
Di sela-sela tawaan 'garing' Tsunade menggema, Shikamaru masih sempat-sempatnya menggumamkan kata 'mendokuse' nya itu. Alasan yang sangatlah tidak masuk akal.
"Ya—ya, baiklah. Ini dokumennya, " Tsunade menyerahkan sebuah gulungan yang langsung di terima Shikamaru, "Kazekage memintamu untuk tiba di Suna dalam waktu 3 hari."
"Ah, mendokuse..." keluhnya kini yang telah sampai di kamar tidurnya, hendak menyiapkan barang-barang apa saja yang akan ia butuhkan di Suna nanti. Disela-sela itu, pikirannya kembali mengawang.
'Buat apa Gaara mengirimku misi tingkat B ini...' sedari tadi kata-kata itulah yang ia dengungkan. Setahunya, desa lain akan membutuhkan shinobi dari desa luar jika di dalam desa itu sedang berada dalam situasi yang sangat-sangat genting. Tapi menurutnya, misi tingkat B itu bukankah bisa diselesaikan dengan shinobi desa itu sendiri.
'Apa Tsunade-sama salah memperhatikan tingkatan misi...?'
Tidak—tentu tidak. Tsunade-sama bukan orang yang seceroboh itu.
Pikirannya kembali mengawang. Benar juga, sudah hampir tiga bulan ini ia tidak menemui gadis merepotkan itu.
Kangen, eh?
'Mendokuse...' ia gumamkan kata itu lagi. Mencoba menyingkirkan kata 'kangen' dari pikirannya. Tapi keputusan ini ia rasa benar. Kapan lagi, kan, ia mendengarkan ocehan nan merdu dari gadis itu. Menunggu ujian chunnin tahun depan?
Sudah sangat kangen, kah?
"Haahh!" ia banting tubuhnya sendiri di atas ranjangnya dengan kasar, sembari mengusap wajah tampannya itu dengan kasar. Frustasi? Mungkin saja.
Langkah kakinya kini sedang menyusuri jalanan yang di sebelah kanan-kirinya sudah ramai kedai-kedai malam yang hendak menutup tokonya. Sesekali Shikamaru membalas sapaan orang-orang yang sekedar menyapanya. Ia pasang kembali tangan-masuk-kantongnya.
"Oi, Shikamaru! Misi baru lagi, eh?" seru Kotetsu ramah yang hanya di balas gerakkan bahu Shikamaru.
"Titip salam ke Temari, ya!" seru Izumo yang memberhentikan langkah Shikamaru, hanya beberapa meter lagi melewati gerbang utama. Beberapa detik kemudian, terdengar gelaan tawa dari dua penjaga Konoha ini, "kami tidak menyangka akhirnya hubungan kalian direstui," gelak tawa yang semakin keras kembali terdengar.
Shikamaru menghela napas berat lagi, dan melanjutkan langkahnya.
Seketika itu juga angin musim gugur beserta helaian daun menghempaskan tubuhnya, meninggalkan sensasi tidak enak di bagian dada kirinya, lalu memengangi vest jounnin bagian dada kirinya. Entah perasaan tidak enak apa yang melandanya, tapi sepertinya sesuatu yang tidak bagus akan terjadi—atau sedang terjadi.
—oOo—
Tiga hari kemudian...
Hawa gersang segera menyentuh permukaan kulitnya. Sudah terbiasa memang, tapi ia rasa hawa panasnya seaakan menurun saat ini. Hendak memasuki musim gugur, mungkin?
Setibanya pagi hari di Suna, ia segera di sambut oleh seorang pengawal Suna yang hendak mengantarnya ke gedung Kazekage. Pemuda berusia 20 tahun itu tentu saja tidak menolak. Sebaliknya, ia sudah hapal—sangat hapal seluk beluk jalanan di Suna. Jangankan gedung Kazekage, Shikamaru juga sudah hapal betul jalan menuju sebuah oasis tersembunyi di Suna—yang tentunya tidak banyak orang tahu— dikarenakan oleh Temari.
"Apa anda mau di carikan penginapan dulu, Shikamaru-san?" tanya seorang pengawal yang berada di depannya.
"Tidak usah, itu merepotkan. Aku akan langsung menemui Gaa—maksudku, Kazekage-sama."
"Baiklah, Shikamaru-san. Saya akan menunjukan jalannya."
Di depan sebuah lorong, terdengar lebih dari tiga kali ketukan pintu dari sebuah kamar. Frekuensi ketukannya juga tidak terlalu besar. Seorang pelayan wanita terlihat mengetuk-ngetuk pintu ber-cat putih itu. Karna tidak ada respon, ia buka perlahan pintu itu dan memasuki ruangan itu.
"Temari-sama, ini saya siapkan bubur untuk anda," ucap seorang pelayan yang tidak dihiraukan.
Gadis bersurai pirang itu tetap mengeratkan selimutnya yang hampir menutupi separuh badannya yang tampak lebih kurus. Gadis itu tetap memeluk lututnya dan napasnya terlihat memburu, di beberapa bagian wajahnya terdapat bekas air mata yang mengering. Selang infus itu terlihat tetap setia menempel di pergelangan tangan kirinya.
Pelayan itu sudah sepenuhnya masuk dan terkejut mendapati kamar itu sudah berantakan—karena sebelumnya sudah ia rapihkan, "Temari-sama, apa anda baik-baik saja?" pekik si pelayan bersurai hitam itu. Dengan sigap ia taruh baki berisi bubur dan teh hijau panas kesukaannya di meja samping tempat tidur.
Pelayan itu menaruh selimut cadangan, bantal, dan bingkai foto di tempat semula. Kemudian membuka satu-satunya jendela besar yang berada di ruangan itu, membetulkan posisi bed cover Temari, dan yang terakhir membetulkan posisi sanggahan infusnya.
"Umaru-san, a—apa dia sudah datang?" tanya Temari dengan suara parau yang terbata-bata, tanpa mengalihkan pandangannya.
Pelayan bersurai hitam itu tersenyum lembut, "dia pasti datang, Temari-sama."
"Tapi a—aku takut kalau itu benar-benar terjadi—" kata-kata Temari terpotong karena tubuhnya kembali bergetar hebat. Air matanya kembali meluncur dengan derasnya. Dengan lembut, pelayan bernama Umaru itu memeluk tubuh tuannya.
Shikamaru mengetuk pintu besar berwarna putih di depannya sehingga ada suara 'masuk' menyuruhnya dari dalam. Shikamaru membuka pintu itu dan mendapati sang Kazekage tengah menatap jendela kecil yang membelakanginya, dan kakak laki-lakinya, Kankurou, sedang memainkan jari-jarinya cemas.
"Syukurlah kau tiba tepat waktu, Shikamaru," ucap Gaara dingin dan berbalik berjalan ke arah Shikamaru. "Ikut aku."
Shikamaru, Kankurou, dan Gaara berjalan di depan. Mereka bertiga berjalan dengan langkah cepat melewati sebuah lorong-lorong terang khas rumah ini. Langkah mereka bertiga terhenti mendadak pada sebuah kamar. Gaara mengetuk pintu itu.
"Nee-san, ada yang mau bertemu denganmu."
Daun pintu itu itu terbuka memperhatikan sebuah kamar khas perempuan yang tampak berantakan. Shikamaru terkejut, mendapati sosok yang berada di pikirannya saat ini terduduk meringkuk di bawah selimut dengan tubuh yang sangat kurus. Perempuan itu masih menatap jendela yang berada di sampingnya, tidak menyadari kehadiran mereka bertiga.
Dengan mulut masih sedikit terbuka, Shikamaru duduk di pinggiran tempat tidur itu dan menepuk pelan bahu Temari. Terasa sekali kalau sekarang tubuh itu hanya tulang yang berbalut kulit, "Temari."
Suara berat itu membuyarkan lamunan Temari sehingga menoleh cepat. Tubuh Temari kembali bergetar dan tangannya terlihat mengepal kuat-kuat setelah melihat sosok yang berada di sampingnya kini. Mulutnya hendak mengucapkan sesuatu, "i—ini bukan genjutsu, kan?" bisiknya pelan.
Shikamaru menoleh ke arah dua laki-laki bersudara itu dengan pandangan bingung. Terlihat Gaara mengangguk dan tersenyum kecil. Ternyata benar, kakaknya hanya membutuhkan orang ini.
Tangan Temari berusaha menyentuh Shikamaru dan dengan cepat berhasil memeluknya erat. Temari menangis sejadi-jadinya di bahu kiri Shikamaru, seakan-akan melampiaskan seluruh perasaan kecemasannya saat ini pada air matanya. Pemuda itu juga secara perlahan membalas pelukan Temari dengan mengelus-elus pelan punggung Temari. Shikamaru mencoba menenangkan dengan berbisik di telinga Temari, "ya, aku disini, nyata. Bukan genjutsu," Shikamaru terus mengelus pelan punggung Temari. Terdengar isakan Temari mulai mereda.
Shikamaru mengulang kata-kata tadi dengan nada yang lebih lembut.
Gaara yang mengerti kemudian mengisyaratkan Kankurou dan Umaru untuk meninggalkan ruangan ini, yang sebelumnya mendapat anggukan dari Shikamaru. Kini hanya tinggalah mereka berdua.
"Hei, ada apa denganmu?" ucap Shikamaru berbisik pada Temari mencoba menenangkan.
Temari melepaskan pelukannya tapi lengannya masih bertautan dengan lengan Shikamaru, menggeleng lemah. Shikamaru melihat air matanya yang masih menggenang, lalu ia usap dengan ibu jarinya, "apa terjadi sesuatu—"
Shikamaru merutuki dirinya karena melontarkan pertanyaan itu yang membuat tubuh Temari kembali gemetaran dan mengepal kedua telapak tangannya erat pada lengannya. Shikamaru beralih menggenggam pergelangan Temari yang mulai melunak, "tak apa."
Shikamaru menoleh ke arah meja di samping tempat tidur, yang di atasnya terdapat semangkuk bubur dan teh hijau panas, "sekarang kau makan, ya?" tawar Shikamaru lalu langsung mengambil baki itu dan menaruhnya di atas pangkuannya. Sebelumnya ia betulkan dahulu posisi duduk Temari, dengan menaruh tumpukan bantal di kepala tempat tidur.
Ah, ia merasa sedang mengurus seorang bayi besar.
Merasa bubur itu sudah terlampau hangat, ia sendokkan bubur itu langsung ke arah bibir Temari yang ia perhatikan sekilas tampak pecah dan ada darah yang mengering. Temari menerima suapan pertama itu dan langsung menelannya. Shikamaru menyodorkan teh hijau hangat itu ke arah bibirnya lagi, yang langsung di terimanya.
Begitulah seterusnya sampai satu mangkuk bubur itu habis.
Shikamaru kini hendak beranjak meminta obat ke Umaru, namun pergelangan tangannya di halang oleh Temari. Temari terlihat menggeleng, "aku mau tidur saja," ucapnya pelan. "Kumohon...tinggalah disini."
Shikamaru kembali duduk di pinggir tempat tidur, "aku akan menunggumu sampai kau tertidur." Ucapnya lembut dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya.
Pemuda itu kembali membetulkan posisi bantal hingga membuat Temari nyaman. Ia betulkan juga posisi selimut Temari hingga menutupinya sampai dada. Shikamaru kembali membetulkan posisinya dengan duduk bersandar di kepala tempat tidur, membuat Temari tertidur di antara lengan dan perutnya. Sesekali ia betulkan rambut pirang sebahunya yang tampak berantakan.
Tidak lama, terdengar suara dengkuran halus dari Temari. Mencoba bangkit tanpa mengganggunya tidur tidaklah sulit. Kentara sekali karena ia lihat Temari tertidur dengan pulas. Setelah bangkit dari posisinya, ia perhatikan raut tenang dan polos dari wajah gadis Suna itu. Samar-samar, ia melihat lingkaran hitam di area -matanya. Memperlihatkan kalau akhir-akhir ini gadis itu kurang tidur.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengannya?" tanya Shikamaru yang sudah berada di ruang utama, dengan nada kekhawatiran jelas di setiap nada ucapannya, "apa Temari terkena sebuah genjutsu?"
Gaara yang berada di mejanya terlihat mengangguk pelan—hampir tak terlihat. Shikamaru mengusap wajahnya lagi. "Kau boleh duduk, Shikamaru."
Shikamaru menghempaskan tubuhnya di sofa putih gading yang terdapat di tengah ruangan. Raut wajahnya terlihat setengah depresi. Ia meminum segelas air yang ada di hadapannya lalu kembali bangkit, "aku akan mencari penginapan."
Kankurou menyela, "tidak usah, bocah, kau akan tinggal di rumah ini sampai kakak kami benar-benar sembuh."
Shikamaru kembali duduk, memainkan jari-jarinya. Suasana kembali tenang di ruangan itu beberapa saat, sampai sebuah suara pekikan menggema.
"Temari-sama, anda baik-baik saja?!" pekik Umaru menggelegar yang melihat Temari memuntahkan seluruh isi perutnya di wastafel kamar mandi. "D-darah!"
Ketiga pria yang berada di ruang tengah berlarian dengan raut wajah penuh was-was menuju kamar Temari.
"A-aku tidak apa-apa, Umaru-san," ucap Temari di barengi dengan posisi Temari yang berjalan sambil menyeret kaki kanannya—menahan rasa perih yang kembali menjalar ke tempat tidurnya. Setelah memapah tuannya sampai ke tempat tidur, Umaru kembali berlari ke luar kamar untuk mengambil baskom yang berisi air hangat. Shikamaru kembali menghampiri Temari.
Ia berikan lagi pelukan yang sama—yang ajaibnya membuat Temari tenang, "tenanglah."
Shikamaru menoleh ke arah belakang lalu menangguk, meminta meninggalkan mereka berdua saja. Sesaat kemudian Umaru membawa baskom berisi air hangat dan obat-obatan yang dibutuhkan. Shikamaru memberi syarat lagi agar dia saja yang melakukannya.
Selepas Umaru pergi, Shikamaru kembali mengelus-elus punggung Temari.
"T—tadi aku bermimpi kau terpenggal lagi," kata Temari di sela-sela napasnya yang tampak engos-engosan. Shikamaru sedikit terbelalak. "Semuanya—semuanya tampak nyata bagiku—"
Shikamaru tampak terdiam memandangi gorden kuning lemon yang berada di depannya, tampak berpikir, 'separah itu ya,' batinnya memelas.
Cukup lama Shikamaru memeluknya, menaruh kepalanya di bahu kurus Temari, kemudian ia kembali melepasnya dan mengambil baskom yang tadi Umaru siapkan. Di usapkannya kain yang terkena air hangat itu di wajahnya, lalu di bersihkannya bekas-bekas noda yang terselip di bibir Temari. Shikamaru dengan sangat jelas melihat bekas luka di pelipis kanan Temari.
Setelah membujuknya cukup lama, akhirnya Temari mau meminum semua obatnya hingga akhirnya Shikamaru kembali menemani Temari hingga tertidur.
Shikamaru kembali memasuki ruang utama setelah merasa Temari tertidur pulas. Pemuda itu hendak meminta penjelasan lebih ke kedua adiknya setelah melihat keadaan Temari yang makin parah.
"Kau memintaku menjelaskan apa yang terjadi?" seru Gaara terlebih dahulu. Shikamaru mengambil tempat duduk di sofa putih gading itu sembari memainkan jari-jarinya.
Gaara mulai menjelaskan sedetil-detilnya ke Shikamaru hingga sesekali iris grey itu melebar mengetahui kenyataan sebab Temari menjadi seperti ini. Di akhir cerita, akhirnya Shikamaru bangkit dari duduknya dengan alasan ingin mencari angin segar—yang dilarang oleh Kankurou karena kenyataannya di luar sedang terjadi badai pasir ringan.
Shikamaru memukul kasar tembok yang berada di depannya dengan amarah yang menyelimutinya, 'sialan ninja itu!' batinnya. Kini ia kembali hempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang sudah di sediakan Gaara. Ia pejamkan lama matanya, kembali berpikir.
Raut wajah cemas, khawatir, frustasi dan ketakutan Temari kembali membayang di pikirannya.
'Genjutsu sialan! Persetan dengan ninja itu!'
Shikamaru yang tadinya hendak tertidur kembali bangkit dan pergi menuju kamar Temari. Ia dudukan dirinya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara sedikitpun di samping tempat tidur. Ia singkirkan beberapa helai rambut blonde Temari yang menutupi wajahnya. Wajahnya masih pucat seperti tadi pagi.
Dengan mengambil salah satu bantal, ia gunakan bantal itu untuk dirinya bersandar di kepala tempat tidur. Ia ambil posisi di samping kanan Temari, dengan tangannya yang melingkar di antara kepala Temari.
Tangannya tergerak untuk mengelus pelan bahu Temari—Shikamaru dapat merasakan kulitnya serasa menyentuh langsung tulangnya. Dikarena hawa yang panas untuk seukuran dirinya, ia buka vest jounnin hijaunya dan kemudian menaruhnya di sisi samping lainnya dari Temari. Perlahan juga mata Shikamaru mengatup—mengikuti kegiatan Temari.
—To Be Continued—
.
.
.
.
.
Hihihi... sebenernya ini fic udah lama banget nginep di laptop dan belum sempet aku sentuh sama sekali—ya karena tangan gatel mau ngedit-ngedit beberapa draft di lepi sekaligus nge-refresh kepala gara-gara 'ujian eksekusi' itu. *sekalian curhat boleh lah ya* *ditimpuk botol*
Yosh, minna-san, apa ada typos dan salah kata berkeliaran? Um... kalo ada mohon kritik dan sarannya di kotak review di bawah atau PM ya...^^ #plakss
Arigatou Gozaimasu yang udah ngerelain waktunya buat baca fic abalku ini *bow*
Review please...
