Iris blue metal itu begitu memesona. Meskipun begitu dingin, tak kalah dengan dinginnya puncak Mt. Everest.

Surai raven nya yang senada dengan langit malam. Menari-nari lembut ketika angin menyapanya.

Wajah yang begitu damai ketika kedua iris blue metal itu tertutup. Angin bertiup nakal menyapa helaian rambutnya. Postur tubuh ideal untuk anak SMP yang terbaring. Sebuah pemandangan yang tak ternilai di atas atap sekolah Namichuu.

Bagi Sawada Tsunayoshi.

Dirinya yang tak begitu pintar, dan tak pantas dibilang bodoh karena intuisinya yang kuat. Remaja bersurai cokelat dan beriris senada, senang menghabiskan waktu istirahatnya di atas atap ini.

Sedangkan, di sisi lain dari atap ini, terbaring seorang pemuda berperawakan agak kejam, namun belum tentu selalu kejam. Pemuda itu selalu tertidur dengan tenangnya di sana. Mungkin angin yang bertiup membuatnya betah. Tubuh sekuat bajanya, tak akan pernah rapuh hanya karena angin seperti ini.

Dan sepasang mata karamel mengawasinya dengan saksama. Sawada Tsunayoshi juga sudah mengakui bahwa dirinya autis karena tengah menstalk seorang yang segender dengannya sejak satu tahun yang lalu.

"Herbivore-herbivore.", kicauan- kata-kata yang dilontarkan seekor burung kecil berwarna kuning yang mendarat di atas kepala pemuda raven itu, membangunkan si raven dari tidur nyenyaknya. Ia langsung bangkit dan mengawasi sekitar, ia tak mendapati makhluk bernama 'herbivore' itu di sekelilingnya. Ia segera beranjak pergi dari atap itu.

Oh herbivore kecil sedang bersembunyi. Si raven itu tak punya intuisi sekuat Sawada Tsunayoshi. Tsunayoshi yang sudah mendengar kicauan burung itu berintuisi jika ia ketahuan maka ia akan mati. Si raven pun tak menyadari keberadaannya.

Merasa sudah tak ada yang dilihatnya lagi, Tsunayoshi ikut beranjak pergi dari atap sepi itu dan kembali ke kelasnya. Ia memang bukan penyendiri, entah memang dia ini benar-benar autis atau bagaimana, sendiri lebih nyaman baginya.

Berkali-kali Dino mengingatkannya. Carilah teman atau apalah yang bisa membuatmu tidak selalu sendiri.
Bagaimana si pirang itu bisa tahu kalau Tsunayoshi lebih suka sendirian? Tentu saja. Ia adalah pelatih untuk klub aikido di sekolahnya sekaligus kakaknya.

Tsunayoshi tak pernah menanggapinya serius. Ia hanya mengangguk pelan jika kata-kata itu keluar dari mulut Dino. Ia sudah cukup bosan mendengarnya. Lebih baik ia mendengarkan Dino bernyanyi meskipun tak pernah bernada daripada mendengar kalimat itu.

Tawaan selalu memenuhi setiap inchi ruang kelasnya, namun tidak untuk Tsunayoshi. Baginya tawaan itu hanya seperti angin yang berlalu lalang seperti di atap. Kapan ia akan berpikir 'Kapan aku akan tertawa bersama mereka?'? Entahlah.

Sunyi tiba-tiba menghampiri kelasnya. Tawaan yang begitu menggema berubah menjadi sunyi. Saat itu terjadi, Tsunayoshi langsung memalingkan wajahnya ke jendela yang menghadap lorong. Ah betapa memesonanya si raven itu.

Kehadiran si raven itu selalu membawa ketenangan bagi Tsunayoshi. Bagi yang lain, kehadirannya adalah ketegangan akan datangnya bencana.

Langit yang mulai meredup menjadi orange, menandakan kegiatan belajar bagi seluruh pelajar telah usai. Tsunayoshi sangat senang dengan saat-saat ini. Di mana pikirannya sudah menerawang ke kegiatannya di rumah. Kebetulan klub sepak bola tidak latihan hari ini. Sebenarnya Tsunayoshi agak kecewa karena ia tidak latihan, tapi ia juga senang.

Sepak bola bukan hobinya, tapi karena ketentuan sekolah mengharuskannya mengikuti kegiatan klub. Entah pikiran dari mana ia memilih sepak bola. Tapi lama kelamaan ia mulai mencintai kegiatan tersebut.

.

.

.

Tsunayoshi memasuki sebuah ruangan berisi kanvas yang ditutupi kain putih namun tak pernah berdebu. Apa ia sedang masuk ruang seni? Tidak ini bukan ruang seni seperti di sekolahnya. Lihat di sudut ruangan yang lain terdapat tempat tidur dan meja belajar. Itulah kamar pribadi Sawada Tsunayoshi.

Ruangan yang cukup luas untuk kamar berpenghuni satu orang. Terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dari pintu masuk, kalian akan melihat betapa banyaknya kanvas yang ditutupi kain putih. Di sudut bagian pertama ini terdapat lemari kaca berisi alat-alat melukis. Lalu belok ke kanan dari bagian pertama kalian akan memasuki bagian kedua dari ruangan ini. Di sana terdapat tempag tidur, meja belajar dan lemari pakaian. Ya seperti kamar tidur pada umumnya di bagian kedua ruangan ini. Tak lupa sebuah pintu geser berbahan kaca seluruhnya yang menghubungkan antara kamarnya dengan balkon. Ingat kamarnya ada di lantai dua rumahnya.

Kenapa banyak kanvas berserakan di kamarnya? Apa Tsunayoshi sorang kolektor lukisan? Atau seorang pelukis? Bukan. Lagi-lagi itu hanya hobi. Ia bahkan masih tak tahu ia ingin menjadi apa saat dewasa nanti.

Tsunayoshi memang hobi menggambar dari kecil dan terus mengembangkan hobinya sampai melukis. Belakangan ini, tangannya sangat gatal untuk mengotori kanvas putih nan bersih dengan kuas. Hanya untuk menggambar keindahan si pemuda raven.

Sudah ada tiga lukisan pemuda raven dengan berbagai pose yang di ingatnya dalam labirin memori. Sekarang, ia ingin mencoba mebuat lukisan keempat. Tanpa pikir panjang, ia langsung melaksanakan apa yang diinginkan hati kecilnya.

Jika sudah mengotori kanvas dengan goresan indahnya, Tsunayoshi jadi lupa diri. Bahkan ia tak ingat sudah makan atau belum. Jika saja Dino tidak memanggilnya untuk makan malam.

Dino lagi? Kenapa bukan ibunya atau ayahnya barangkali? Oh ibu dan ayah mereka sudah tiada sejak lima tahun yang lalu.

Dino memang anak laki-laki, anak laki-laki yang baik. Ia yang melakukan semua pekerjaan rumah demi adiknya. Ia tidak ingin mengganggu Tsunayoahi dengan pekerjaan rumah. Toh mereka hanya tinggal berdua jadi tak terlalu berat. Ia ingin Tsunayoshi belajar dengan rajin agar bisa menjadi orang hebat. Seperti ayah mereka.

Nyatanya Tsunayoshi jarang belajar. Ia membuka buku pelajaran karena ada tugas atau jika ujian. Keberuntungannya tak pernah berjalan di bidang pendidikan. Jika ia belajar, ia bisa. Jika ia tidak belajar, ia tidak bisa.

Di malam yang santai ini, karena besok hari sabtu. Mereka suka menonton film bersama di ruang tengah. Sambil memakan cemilan yang memang selalu mereka stok.

Film tentang kakak beradik yang berprofesi sebagai pemburu penyihir jahat, menjadi salah satu film favorit mereka. Hansel and Gretel. Entah mengapa mereka berpikir kehidupan mereka yang sekarang, sama seperti yang digambarkan Hansel and Gretel.

Perbedaannya hanya Hansel dan Gretel hanya ada di dunia fantasi. Mereka ada di dalam realiti.

Hari semakin malam. Kantuk yang menyerang. Membuat kedua malaikat kecil ini tertidur pulas di sofa. Dengan saling memberikan sandaran satu sama lain. Kakak adik yang rukun memang. Tapi berapa lama kerukunan ini akan berjalan? Hn, entah.

.

.

.

Mentari tidak memperlihatkan wujudnya. Padahal sudah pukul tujuh pagi. Langit mendung yang agak gelap menutupi wujudnya. Tak lama kemudia titik-titik air berjatuhan dengan teratur dan semakin lama semakin tidak beraturan. Sabtu pagi diawali dengan hujan deras.

Mengetahui cuaca yang sangat tidak menguntungkan, Tsunayoshi dan Dino mengurungkan niatnya untuk pergi. Mereka adalah penikmat film layar lebar. Kebetulan musim ini ada film yang wajib ditonton. Namun Tuhan sepertinya belum memberi mereka kesempatan untuk menonton film itu. Lagipula masih ada hari esok.

Daripada hanya diam sambil melihat hujan yang tak kunjung berhenti, Tsunayoshi mulai menggerakkan tangannya lagi untuk mengotori kanvas. Baru sadar pekerjaannya kemarin belum tuntas.

Dengan sabar ia mewarnai bagian terpenting dari si raven itu. Surai hitam legamnya yang sangat halus. Sangat sempurna, baginya. Ia selalu berusaha untuk menggunakan cat terbaik, agar lukisannya lebih hidup. Jika lukisan itu terlihat hidup, ia merasa pemuda raven itu selalu ada di sekelilingnya.

.

.

.

Sudah hampir siang dan Tsunayoshi masih menggeluti kegiatannya sedaritadi. Sampai bunyi ketukan pintu menyadarkannya dari dunia imajinasinya.

"Tsuna, kau selalu mengunci pintu ya?"

Dengan sabar Tsunayoshi meletakkan kuasnya dan berjalan menuju pintu. Membuka kunci pintu dan membuka pintunya.

"Ada apa?", tanya Tsunayoshi agak malas.

"Sudah waktunya makan siang, ayo turun.", ucap Dino.

"Aku akan segera turun."

Tsunayoshi kembali ke tempatnya sedaritadi. Merapikan alat lukisnya yang berantakan. Lalu pergi meninggalkan kamar menuju ruang makan.

Sampai di ruang makan, ia melihat Dino sudah menyantap makan siangnya. Sepertinya ia lapar. Tsunayoshi langsung menempatkan dirinya di kursi seberang Dino.

"Kelihatannya nanti malam tidak akan hujan. Kau masih mau nonton hari ini?", tanya Dino di sela-sela kegiatan makannya.

"Um.. aku harap aku bisa menonton film itu secepat mungkin.", ucap Tsunayoshi tanpa mengalihkan pandangannya dari santapannya.

"Baiklah. Sore nanti kau harus sudah siap."

Tsunayoshi hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.

Seusai makan siang, keduanya pun mengundurkan diri dari ruang makan. Ah bukan, hanya Tsunayoshi saja yang pergi. Dino masih harus membersihkan piring-piring kotor bekas makan mereka.

Tsunayoshi sudah mulai bosan dengan suasana kamarnya. Ia memutuskan untuk menonton tv di ruang tengah, sekali-kali ia mengetahui apa yang terjadi di dunia luar.

.

.

.

Sore menjelang, Tsunayoshi bergegas siap-siap untuk pergi bersama kakak tercinta. Ia lumayan tidak sabar untuk segera menonton. Setelah semuanya siap, mereka mulai meninggalkan rumah dan pergi menuju bioskop.

Sampai di bioskop, dengan segera mereka membeli tiket. Untungnya jam tayangnya mulai sepuluh menit lagi. Mereka hanya tinggal menunggu di theater.

Di sepanjang pemutaran film, tak jarang Tsunayoshi menyandarkan kepalanya di pundak sang kakak. Dino pun tak melempar komplain dan tetap menikmati filmnya.

Dua jam berlalu, akhirnya film berakhir pada pukul delapan malam. Di perjalanan pulang mereka agak heran kenapa jalanan sedikit ramai. Mereka baru sadar ini sabtu malam.

Di jalan, tak sengaja Tsunayoshi menemukan sebuah kotak kecil sejangkauan jari berwarna merah pucat bermotif skull.

Tiba-tiba seorang remaja laki-laki bersurai perak menghampirinya.

"Maaf, box itu milikku.", ucapnya.

Tsunayoshi sempat bingung, tapi ia segera menyadari bahwa yang dimaksud remaja itu adalah kotak kecil itu.

"Ini..", ucap Tsunayoshi sambil memberikan kotak itu kepadanya.

"Terima kasih.", ucap remaja itu ramah.

"Jangan dihilangkan lagi ya.", ucap Tsunayoshi sambil tersenyum manis. Ia baru saja berintuisi kalau kotak kecil itu adalah barang penting untuk remaja itu.

Remaja di depannya hanya membatu dan meronakan pipinya. Iris hijau emeraldnya melebar kagum. Melihati senyuman remaja karamel di depannya.

Suara Dino menyadarkan Tsunayoshi. Ia langsung membungkuk sopan kepada remaja di depannya dan beranjak pergi dari hadapan remaja itu.

"Aku ingin melihat senyuman itu lagi.", ucap si remaja perak di dalam benaknya.

.

.

.

"Namaku Gokudera Hayato, mohon kerja samanya.", seorang remaja bersurai perak tengah membungkukkan badannya di depan kelas 2-A.

Sudah hari senin kembali, kelas 2-A Namichuu kedatangan murid pindahan. Tsunayoshi hanya menatapi anak baru itu dari tempat duduknya. Entah keberuntungan atau apa, Gokudera mendapat tempat duduk tepat di sebelah Tsunayoshi. Sepertinya yang menganggap ini keberuntungan hanya Gokudera.

Guru yang mengajar pun memulai pembelajaran. Para murid memerhatikan sang guru dengan seksama. Termasuk Tsunayoshi yang memerhatikan guru itu dengan rasa enggan. Ia cukup bosan dengan pelajaran bahasa Inggris, padahal dirinya belum pintar berbahasa Inggris.

.

.

.

Cukup lama Tsunayoshi duduk di kelasnya. Mendengarkan penjelasan guru yang sangat monoton membuat kepalanya panas. Ia juga lapar. Akhirnya bunyi bel istirahat menyelamatkannya.

Seperti biasa ia menyantap bekalnya di atap sekolah. Betapa ajaibnya dia memasuki area atap sekolah tanpa suara, demi tidak membangunkan sosok yang sedang tertidur di sisi lain atap ini.

Tsunayoshi agak sedikit bersyukur sosok itu masih betah untuk tidur di sana. Karena jika sosok itu tidak betah lagi tidur di atap, ia tidak tau harus mencari sosok itu ke mana.

Sosok remaja SMP yang satu tahun lebih tua darinya. Sosok bersurai raven dan memiliki iris blue metal yang tajam, begitu sih kata orang-orang. Tsunayoshi sudah mengincar sosok ini sejak setahun yang lalu. Sejak ia masuk ke sekolah ini.

Tiba-tiba datang sosok lain dari pintu masuk menuju atap. Ia melihat remaja perak sekaligus anak baru di kelasnya, Gokudera. Hebatnya ia bisa berjalan ke arah Tsunayoshi tanpa membangunkan sosok yang sedang tertidur itu.

"Tsunayoshi-san, boleh aku bergabung?", tanyanya dengan suara pelan namun masih terdengar oleh Tsunayoshi.

"Tentu.", ucap Tsunayoshi dengan suara pelan juga.

Mereka memakan bekal bersama di atap sekolah. Tanpa sadar dua iris tajam sedang melihati mereka. Entah mengapa intuisi Tsunayoshi tak berjalan, sehingga ia tak menyadarinya.

.

.

.

Pukul setengah lima sore.

"Teman-teman, hari ini kita kedatangan anggota baru. Baik-baik ya dengannya.", ucap kapten tim sepak bola Namichuu itu.

"Mohon kerja samanya.", remaja bersurai perak itu membungkuk sopan kepada anggota klub yang lain.

Lagi-lagi Tsunayoshi melihati anggota baru itu dengan heran. Tentu ia agak heran, anggota barunya itu adalah murid pindahan yang kebetulan ditempatkan di kelasnya, Gokudera Hayato namanya jika Tsunayoshi tak salah ingat.

Latihan pun segera mulai. Tsunayoshi dan Gokudera saling melihati satu sama lain. Tsunayoshi berpendapat cara bermain sepak bola Gokudera tidak buruk, dibilang bagus sekali juga tidak. Begitupun Gokudera yang juga melontarkan pendapatnya dalam benaknya.

Pukul enam sore.

Latihan usai. Tsunayoshi mengganti pakaian olahraganya dengan seragam sekolahnya di ruang ganti yang telah disediakan untuk klub sepak bola. Setelah itu, ia mengambil barang-barang yang ada di dalam loker. Betapa terkejutnya ia saat menutup pintu loker, di balik pintu loker itu sudah ada Gokudera.

"Boleh aku pulang bersamamu, Tsunayoshi-san?", tanyanya.

"Panggil Tsuna saja.", jawab Tsunayoshi singkat sambil mengambil tasnya dan meletakkannya di pundaknya.

"Baiklah, Tsuna. Jadi bolehkah aku..?"

"Tentu.", pertanyaan Gokudera sudah dijawab dengan cepatnya oleh Tsunayoshi.

Tsunayoshi berjalan keluar dari ruang ganti diikuti Gokudera. Tsunayoshi tak mengerti apa maksud Gokudera ingin pulang bersamanya dan rasanya ia tidak ingin tahu. Di sepanjang perjalanan tak ada yang angkat bicara, sampai di depan kediaman Sawada. Tsunayoshi semakin curiga kenapa Gokudera mengikutinya.

"Gokudera-kun, rumahmu di mana?", tanya Tsunayoshi.

"Rumahku di sana, tak begitu jauh dari sini.", ucap Gokudera.

"Kalau begitu, hati-hati. Jaa.", Tsunayoshi berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Gokudera sempat terdiam sebentar sampai Tsunayoshi benar-benar sudah masuk ke dalam rumahnya, ia melanjutkan perjalanannya ke rumahnya.

.

.

.

"Tadaima.", ucap Tsunayoshi sambil membuka sepatunya.

"Okaeri, Tsuna.", seseorang menjawab salamnya yang bersumber dari dapur.

Tsuna langsung melangkahkan kakinya ke dapur. Dilihatnya Dino sedang menyiapkan makan malam.

"Hari ini kau latihan?", tanya Dino.

"Ya begitu. Kau tidak mengajar."

"Tidak. Hari ini libur. Aku jadi bisa membuatkan makan malam untukmu, kan?"

"Baiknya..", ucap Tsunayoshi lalu meninggalkan Dino.

Mungkin jika ia mandi rasa lelah bisa menghilang dari tubuhnya. Setelah mandi ia menyantap makan malam bersama Dino. Malam yang tenang, kebetulan malam ini ia tidak disibukkan dengan PR. Ia boleh sedikit lebih santai, kan?

.

.

.

Keesokan paginya ia bangun seperti biasa. Ingat hari ini masih hari selasa dan Tsunayoshi tak boleh terlambat masuk sekolah. Setelah mandi pagi, berseragam, dan menyantap sarapan, Tsunayoshi langsung pamit kepada kakak tercinta,

"Aku berangkat.", ucap Tsunayoshi.

"Tsuna, nanti selesai latihan temui aku di ruang klub aikido ya.", ucap Dino.

"Kau melatih hari ini?"

"Ya tentu saja."

"Baiklah, sampai bertemu nanti.", Tsunayoshi menghilangkan wujudnya dari balik pintu.

Baru saja Tsunayoshi melangkahkan kakinya beberapa meter dari pintu gerbang rumahnya, seseorang menyapanya dengan nada gembira. Ia langsung menoleh ke sumber suara.

"Ohayou, Tsuna.", sosok remaja perak tertangkap pengelihatannya.

"Gokudera-kun? Ah, ohayou."

"Ingin jalan bersama ke sekolah?"

"Tentu."

Akhirnya mereka berdua berjalan berdampingan menuju Namichuu. Senyuman terukir kembali di bibir Gokudera. Tsunayoshi yang diam-diam melihat ekspresinya itu beranggapan bahwa dia orang gila. Tapi itu tidak mungkin.

Sampai di sekolah, Tsunayoshi mengikuti pelajaran seperti biasa hingga pukul empat sore. Seperti biasa saat sedang jam makan siang, ia menghabiskan bekalnya di atap. Tapi sekarang agak berbeda, semenjak kedatangan Gokudera, Tsunayoshi terlihat sering bersama dengannya. Termasuk saat makan siang.

Sebenarnya Tsunayoshi lumayan terganggu dengan kehadiran Gokudera. Ia tidak bisa menikmati dengan nyaman pemandangan indah yang ada di atap. Gokudera selalu saja membicarakan hal yang baginya tidak penting, itu yang selalu membuat Tsunayoshi kehilangan fokus saat memandang pemandangannya.

.

.

.

Pukul setengah lima sore. Seperti biasa Tsunayoshi melakukan kegiatan klub. Kali ini ada sesuatu yang menjanggal pikirannya. Anggota barunya yang bernama Gokudera, tak hadir dalam kegiatan klub hari ini. Padahal sedaritadi ia tak pernah jauh-jauh dari remaja perak itu. Bukan ia yang tak pernah jauh-jauh, tapi Gokudera yang selalu mendekatinya, entah apa tujuannya. Ia sudah berusaha mengabaikannya tapi tetap saja mengganjal pikirannya.

Sudah pukul enam sore, kegiatan klub sepak bola sudah berakhir begitu juga dengan klub aikido. Tsunayoshi baru ingat kalau ia disuruh menghampiri Dino setelah latihan selesai. Sehabis berganti pakaian, ia segera pergi ke ruang klub aikido.

Ia melihat pintu ruangan itu terbuka, tanpa ragu ia mengintip ke dalam. Ia mendapati kakaknya sedang berbicara dengan seseorang. Siapa seseorang itu? Tsunayoshi agak penasaran. Tsunayoshi tak bisa menyembunyikan wajah meronanya lagi saat melihat sosok orang yang sedang berbicara dengan kakaknya. Sosok raven yang selalu ia kagumi tengah berbicara dengan kakaknya. Artinya Dino mengenali si raven itu, bukan?

Tiba-tiba saja adegan yang tak ingin dilihat Tsunayoshi terjadi dan dilihat oleh mata kepalanya sendiri. Saat itu juga Tsunayoshi merasa dadanya terasa sangat sesak. Paru-parunya seakan tak berfungsi, tidak ingin melakukan pertukaran udara dengan teratur. Ia berusaha bernafas, namun hasilnya nihil.

'Sial…', batinnya.

'Seakan aku lupa bagaimana cara bernafas..'

Ia terduduk lemas sambil memegangi dadanya. Rasanya ia seperti dicekik, padahal tak ada yang mencekiknya. Tsunayoshi hampir kehilangan kesadaran, untungnya ada seseorang yang menghampirinya, membuatnya terus terjaga.

"Tsuna, kau tidak apa-apa?", Tsunayoshi mendapati Gokudera dengan wajah sangat khawatir.

"Ka… Kakak…", Tsunayoshi berusaha berbicara tanpa bernafas.

"A-apa..?"

"Panggil… Kakak ku…", Tsunayoshi menunjuk ke dalam ruangan dengan lemas.

Gokudera cukup lambat bereaksi karena ia juga panik.

Salah satu orang yang ada di ruangan itu, tampak melihat Gokudera yang sedang panik. Tentu saja ia bisa melihatnya, pintu ruangan itu terbuka dengan lebarnya. Merasa ada sesuatu yang tak beres,

"Dino, apa adikmu datang menjemputmu?", tanyanya.

"Iya, apa dia sudah datang? Kau melihatnya?", tanya Dino.

"Sepertinya ada yang tidak beres di sana.", ucap seseorang itu sambil menunjuk ke arah pintu keluar.

Untungnya Dino tak lambat mencerna. Saat ia melihat murid barunya yang bernama Gokudera sedang dalam kepanikan, ia segera berlari ke pintu keluar. Alhasil ia mendapati Tsunayoshi yang sudah terduduk lemas sambil berusaha bernafas.

"Astaga, Tsuna! Kau lupa bawa obatmu?", tanya Dino yang jadi ikutan panik.

Tsunayoshi hanya menggeleng. Badannya sudah sangat lemas.

"Gokudera, tolong ambilkan obat asma di ruang kesehatan! Cepat!", suruh Dino kepada murid barunya.

Gokudera langsung berlari menuju ruang kesehatan secepat ia bisa. Hingga ia bisa kembali dalam waktu lima menit. Ia langsung memberikan obatnya kepada Dino dan Dino memakaikan obatnya untuk Tsuna. Lambat laun nafas Tsunayoshi menjadi teratur. Dino sangat lega, begitu juga dengan Gokudera.

Gokudera membantu Tsunayoshi berdiri. Dino kembali ke dalam ruangan hendak mengambil tasnya.

"Aku pulang duluan, Kyoya..?"

Yang dipanggil pun tak menyaut dan entah ada di mana ia. Ternyata ia sudah meninggalkan ruangan lebih dulu. Entah apa yang ia pikirkan, ia merasa sangat tidak enak badan saat melihat sosok 'itu'.

.

.

.

To be continued.


Selamat membaca karyaku yang ke… empat!

Hehehe padahal masih ada utang satu fic lagi, tapi inspirasi yang meluap-luap ini tak mampu ku bending.

Padahal udah bersikeras pengen bikin fic fantasi atau apa kek yang penting bukan romance tapi ujung-ujungnya berakhir di romance.

Haft yasudahlah.. yang pentin reader senang!

Review please..? meskipun hanya satu karakter sangat diterima baik oleh author ini :')

Sampai bertemu di chapter berikutnya..!

Jaa~