Bulan purnama bersinar terang, udara dingin serasa menembus hingga ke tulang. Suasana hutan Yasushi sangat sunyi dan tenang, sampai suara derap kaki terburu-buru milik beberapa orang merusak ketenangan hutan dan membuat beberapa makhluk hutan terbangun karena kaget.

"Percepat larimu, Nanami!" bisik seorang pemuda bersurai baby blue sambil sedikit menarik paksa tangan seorang gadis yang berada di belakangnya.

"Gomen, Nii-san" lirih gadis yang memiliki surai yang sama dengan pemuda didepannya. Tiba-tiba gadis itu berhenti berlari dan membuat pemuda didepannya juga ikut berhenti.

Pemuda itu berbalik kebelakang. Menatap manik biru muda yang senada dengan manik matanya. Sejenak pemuda itu memperhatikan penampilan adiknya yang acak-acakan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Mulai dari sepatu butsnya yang kotor dipenuhi lumpur, gaun one piece selututnya yang berwarna ungu muda yang sudah sobek dibagian bawah dan lengannya, rambut biru panjang sepunggungnya yang sedikit kusut dan lepek karena keringat, deru nafas adiknya yang berat dan tak beraturan, serta wajah pucat sang adik yang jadi semakin pucat karena terpaksa berlari terus selama beberapa jam tanpa henti.

"Aku sudah tidak kuat. Gomen, Nii-san" lirih gadis itu lagi.

Pemuda didepannya mengelus pelan surainya. "Sedikit lagi Nanami, kita sudah hampir sampai. Ayo!" ajak pemuda itu sambil membalik badannya dan mulai menarik tangan gadis yang dipanggil Nanami itu.

Nanami tetap diam ditempatnya, tidak bergeming. "Tidak, Nii-san. Aku tau batas tubuhku dengan baik. Sebaiknya Nii-san pergi. Sebelum orang-orang itu menangkap kita. Aku akan tetap disini, Nii-san pergilah ke tempat yang dikatakan Tou-san dan Kaa-san. Aku akan baik-baik saja" Nanami menatap manik kakakknya, yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya.

"Tapi Nanami, aku sudah–"

"Cepatlah, Nii-san! Jangan buat hasil jerih payah Tou-san dan Kaa-san jadi sia-sia!" potong Nanami sambil menggenggam tangan kakaknya. Pemuda itu masih ragu, apa dia harus mengikuti keinginan adiknya atau tetap dengan keinginananya untuk membawa serta sang adik ke tempat tujuan mereka. "Cepatlah, Nii-san!" Nanami sedikit meninggikan volume suaranya. Dia tidak ingin kakaknya masih terjebak dalam kebingungannya sendiri.

Pemuda itu menatap adiknya, meminta pengertian agar adiknya juga mengerti tentang keinginan sang kakak. Nanami menatap tajam kakaknya. "Tidak, Nii-san. Nii-san harus kesana. Sendirian. Jangan perdulikan aku, aku hanya akan menghambat larimu. Tenang saja, aku pasti bisa menyusul Nii-san" Nanami kembali meyakinkan kakaknya.

Pemuda itu pasrah, susah juga kalo dua orang yang keras kepala saling mempertahankan pendapat seperti ini. Dia mengalah. Mengikuti keinginan sang adik demi menyenangkan adiknya itu. "Baiklah. Tapi kamu harus menyusul Nii-san. Secepatnya! Ingat, kamu harus menyusul Nii-san!" kata pemuda itu sambil menekankan kalimat terakhirnya. Nanami membalas kakanya dengan tersenyum sambil mengangguk mantap.

"Jaga dirimu" pesan pemuda itu sambil memeluk Nanami. Nanami juga balas memeluk kakaknya, mengunci kehangatan yang mungkin tak akan dia dapatkan lagi nanti.

"Nii-san" panggil Nanami sambil menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik kakaknya, menghirup aroma vanilla yang sangat dikenalnya. "Aku sayang Nii-san" lanjutnya, lalu wajahnya menatap wajah kakaknya yang biasanya selalu datar itu, tapi kini tersirat kecemasan yang sangat besar di kedua manik biru mudanya. "Makanya, coba buka mulutmu, Nii-san"

Pemuda itu memandang heran kearah adiknya. Tapi dia tetap melakukan apa yang diperintahkan adiknya. Saat dia membuka mulutnya, dia merasakan tangan adiknya memasukkan sesuatu kedalam mulutnya dan menutup mulutnya. "Telanlah, Nii-san" pemuda itu menelan entah apa yang dimasukkan adiknya kedalam mulutnya. Sesuatu itu terasa pahit, setelah itu terasa sedikit manis. Mata pemuda itu lalu terbelalak saat pikirannya memprediksikan apa yang baru saja ditelannya.

"Nanami!" kata pemuda itu tajam.

Nanami melepas pelukannya dari sang kakak dan menjauhkan dirinya. "Nii-san kira aku tak tau? Jangan pernah kira bisa menyembunyikan sesuatu dariku" kata Nanami sambil membelakangi kakaknya. "Sekarang pergilah, Nii-san. Mereka sudah semakin dekat"

Pemuda itu sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Gendang telinganya menangkap suara derap kaki yang sudah semakin dekat kearah mereka. Pemuda itu berbalik lalu berlari sekuat tenaga. Sebelum dirinya terhalang pohon besar didepannya, dia menoleh kearah sang adik. Matanya seketika kembali terbelalak.

Sekarang adiknya sedang menatap kepergiannya sambil tersenyum. Senyum yang sangat disukai oleh pemuda itu. Senyum yang hangat bagai matahari. Senyum bak seorang malaikat. Tetapi dipelupuk mata adiknya, terlihat genangan air yang berkilau karena terpaan sinar rembulan. Matanya semakin terbelalak lagi saat bibir adiknya menggumamkan sesuatu.

"Sayonara, Nii-san"


HEALERS

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi-sensei

Story and OCs belongs to Miho Haruka

Rated: T+

Pairing: AkaKuro, etc.

Warning: BL, OOC, typo(s), gaje, OC, abal-abal, etc.

Genre : Adventure, Supernatural, little bit Romance

Summary: Kuroko hidup di hutan terpencil bersama beberapa orang yang memiliki nasib yang tidak seberuntung dirinya. Setelah berhasil mencapai ketenangan yang selama ini diimpikan oleh orang disekitarnya, tiba-tiba Kuroko menerima tamu yang tidak diduga di desa kecilnya. Kuroko di hadapkan oleh pilihan berat, belum lagi kepingan masa lalunya yang terus saja menghantuinya. Mampukah Kuroko melewati rintangan didepannya dan menemukan seseorang yang selama ini terus dicarinya?/Badsummary/BL/First Publish in FFn/


Pemuda bersurai baby blue itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan langsung mengambil posisi duduk. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya, dan tak sedikit yang berhasil membasahi baju tidurnya. Dia terdiam sejenak sambil mengatur nafas yang sempat terasa berat beberapa saat yang lalu. Pandangannya menatap sekeliling ruangan yang sudah sangat dikenalnya. Dia lalu menatap jendela yang terletak di samping kanan tempat tidurnya dan tertutupi gorden putih. Seberkas cahaya matahari berhasil menembus sela-sela kain gorden itu.

Pemuda itu lalu menyibakkan selimutnya, mengabaikan bedhair-nya yang sudah seperti sarang burung diatas kepalanya. Dia kembali terdiam di tepi tempat tidur sambil kakinya sedikit menyentuh lantai. Sepertinya dia masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang masih melayang di alam mimpi.

Suara ketukan pintu yang tiba-tiba membuat kesadaran pemuda itu sepenuhnya kembali. Dia lalu menatap pintu kamarnnya yang terbuat dari batang pohon jati yang berukiran simple di depannya.

"Oey, Tetsu! Cepat bangun!" sahut seseorang dari balik pintu sambil sesekali menguap malas. "Satsuki mencarimu!" sahutnya lagi.

Pemuda itu sedikit menaikkan sebelah alisnya, bingung. Tumben teman perempuannya yang bersurai pink itu mencarinya pagi-pagi begini. "Ha'i" sahut pemuda itu singkat. Dia lalu berlari ke kamar mandi yang terletak beberapa meter didepan tempat tidurnya.

Beberapa menit kemudian, pemuda itu keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Bedhair-nya juga sudah dia atasi. Pemuda itu kemudian menatap heran pemuda bersurai biru tua didepan kamarnya. "Kenapa Momoi-san mencariku, Aomine-kun?" tanya pemuda itu kepada pemuda berkulit tan didepannya, Aomine Daiki.

"Entahlah. Dia hanya memberitahuku untuk memanggilmu segera ke rumahnya pagi ini" jawab Aomine cuek. Dia lalu balik menatap pemuda berkulit pucat yang lebih pendek darinya. "Kau sudah siap, Tetsu?"

Pemuda itu, Kuroko Tetsuya, hanya mengangguk pelan. Dia lalu mengikuti Aomine menuruni tangga rumahnya dan berjalan keluar rumah.

Saat keluar rumah, Kuroko disuguhkan pemandangan yang selalu dilihatnya dari dalam rumah. Interaksi beberapa warga desa, suara sekelompok anak kecil yang bermain sambil tertawa, dan masih banyak lagi. Kuroko berjalan dibelakang Aomine membelah keramaian itu. Sayangnya, karena hawa keberadaanya yang tipis, Kuroko tidak disadari oleh para warga sampai seorang anak kecil tidak sengaja menabaraknya dan mengotori jubah biru mudanya dengan lumpur yang melekat ditangan anak kecil itu.

Anak kecil itu menatap Kuroko takut. Dia tau siapa orang yang ditabraknya, dia semakin takut saat melihat noda coklat dibagian lutut jubah orang didepannya. "G-Gomennasai" lirih anak kecil itu, matanya mulai berkaca-kaca. Suasana tiba-tiba hening dan seluruh warga dilokasi itu menatap kaget kearah Kuroko yang tadinya tidak disadari oleh mereka kehadirannya.

Aomine yang merasa ada kejanggalan berbalik kebelakang. Dia lalu melihat langkah Kuroko terhenti karena anak kecil didepannya. "Oey–"

Teguran Aomine terpotong karena Kuroko langsung menengadahkan tangannya mengisyaratkan untuk berhenti, Aomine hanya mendecak tertahan. Kuroko masih tetap menatap anak bersurai coklat didepannya. Dia lalu berjongkok, menyamakan tingginya dengan anak kecil itu. "Tidak apa-apa" jawab Kuroko lembut.

Anak yang tadinya hampir menangis itu menatap Kuroko masih dengan takut-takut. "Benarkah?" tanyanya, Kuroko hanya mengangguk pelan sambil mengelus surai coklat milik anak itu.

Dari kejauhan terlihat seorang ibu paruh baya berlari pelan menuju Kuroko dan anak kecil itu. "Maafkan anak saya, Kuroko-sama," kata ibu itu sambil menunduk penuh penyesalan. Kuroko kembali berdiri.

"Bukan masalah besar, Furihata-san. Saya justru senang melihat anak-anak bermain dengan bebas seperti ini" Kuroko lalu menatap kembali anak kecil yang sudah berada dalam gendongan ibunya. "Kouki-kun, lain kali hati-hati, ya" Kuroko kembali mengelus surai coklat milik Kouki.

Setelah itu, ibu dan anak bermarga Furihata itu pamit pulang kepada Kuroko. Kuroko menatap kepergian mereka sambil tersenyum samar dan melambaikan tangan.

"Seperti biasa, sikapmu selalu seperti itu pada anak-anak, Tetsu" kata Aomine sambil mengelus surai baby blue Kuroko. Kuroko menatap datar kearah Aomine.

"Bisa hentikan itu, Aomine-kun? Kita sedang berada di depan umum dan kau bisa mengacaukan rambutku" tegur Kuroko agak kesal meski tetap saja wajahnya datar. Apa Aomine tidak tau sebera keras usaha Kuroko untuk merapikan bedhair-nya tadi pagi.

"Baiklah" Aomine menurunkan tangannya dari kepala Kuroko. "Ayo kita jalan" lanjutnya.

Rasanya Aomine ingin sekali melenyapkan sekelompok orang yang tengah berjalan kearah desanya beberapa meter didepannya itu. Pasalnya, karena kedatangan tamu yang tak diundang itu, dia terpaksa meninggalkan tumpukan makanannya diatas meja makan dirumah Momoi.

Flashback

Kuroko hanya bisa berekspresi datar didepan meja makan dirumah milik salah satu temannya itu. Meja makan berbentuk persegi panjang dan dikelilingi beberapa kursi itu sudah dipenuhi berbagai macam hidangan yang terlihat sangat enak. Belum lagi sang pemilik yang sepertinya masih asyik menyiapkan beberapa hidangan lagi di dapur. Kuroko hanya menatap malas, berbeda dengan reaksi Aomine yang sepertinya ingin segera melahap habis semua hidangan itu.

Langkah kaki seseorang terdengar mendekat kearah mereka yang masih berdiri didepan pintu masuk ruang makan. "Ara, Tetsu-kun dan Dai-chan sudah datang. Silahkan duduk" sambut Momoi Satsuki, si pemilik rumah, sambil meletakan beberapa hidangan terakhir diatas meja.

Aomine dan Kuroko lalu duduk dikursi yang bersebelahan dan Momoi mengambil kursi didepan mereka berdua. "Ano, Momoi-san. Ini maksudnya apa?" tanya Kuroko masih tidak terima.

Momoi cengengesan. "Gomen, Tetsu-kun. Aku meminta Dai-chan untuk menjemputmu kesini karena aku ingin memperkenalkan menu baru buatanku kepala kalian" jawab Momoi sambil tersenyum lebar.

Keluarga Momoi adalah keluarga yang ditunjuk sebagai keluarga pengelola bahan makanan didesa ini. Ngomong-ngomong, Aomine Daiki adalah Kepala Desa ini setelah Ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Selain itu, teman Kuroko yang bersurai merah dan memiliki badan yang hampir sama besarnya dengan Aomine adalah Kepala Keamanan di desa ini. Bisa dibilang, teman –teman Kuroko adalah orang-orang penting didesa ini.

Kuroko masih menatap datar kearah Momoi. "Kalo ingin mencicipi resep baru, Aomine-kun dan Kagami-kun saja cukup kan, Momoi-san?" Kuroko sepertinya mulai bad mood. Dia seperti mencium niat tersembunyi milik Momoi.

Momoi terdiam sejenak, menatap kearah Aomine untuk meminta pertolongan. Tapi si Kepala Desa sekaligus teman masa kecilnya itu malah tidak memperhatikan percakapan mereka dan memilih menatap hidangan-hidangan diatas meja. Momoi menghela nafas. "Aku juga khawatir sama Tetsu-kun. Belakangan ini sepertinya Tetsu-kun kurang sehat. Badanmu sepertinya makin hari makin bertambah kurus"

Kuroko akhirnya mengerti. Dia juga memang merasa agak lelah dan kurang makan beberapa hari ini. Ini semua berkat mimpi itu. Mimpi yang seolah-olah melarangnya melupakan kejadian malam itu. Mimpi yang selalu membuat dirinya terbangun dengan muka pucat dan peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Membawa rasa takut kedalam dirinya.

Saat Kuroko hampir kembali larut dalam kepingan-kepingan mimpinya, Momoi segera menepuk tangannya pelan. Membuyarkan lamunan Kuroko dan menarik perhatian Aomine. "Saa, sekarang waktunya kita makan, sekalian sarapan pagi. Tetsu-kun, kali ini kumohon dengan sangat agar kau makan dengan porsi yang agak banyak, ya" Momoi lalu menyodorkan piring kearah Kuroko dan Aomine.

Kuroko memandang beberapa hidangan sambil menerima piring dari Momoi. Dia bingung mau makan yang mana. Sementara Aomine lancar mencomot satu persatu hidangn didepannya. Pilihan Kuroko akhirnya jatuh pada sepotong roti dan sup buatan Momoi. Dia lalu makan dengan tenang. Berbeda sekali dengan orang yang disebelahnya yang makan dengan terburu-buru.

"Aomine-kun, tak perlu makan seperti dikejar hantu begitu. Kalau kau tersedak, aku tak akan bantu" tegur Kuroko sambil melirik Aomine.

Gerakan tangan Aomine berhenti, digantikan gerakan mulutnya yang sibuk mengunyah. Aomine menggumamkan sesuatu, tapi karena mulutnya dipenuhi oleh makanan, Kuroko jadi tak bisa menangkap jelas maksud Aomine.

"Telan dulu makananmu, Dai-chan" kali ini Momoi yang bersuara.

"Tenang saja, Tetsu. Aku tak akan tersedak" setelah mengatakan itu, tangan Aomine kembali bergerak cepat bersamaan dengan mulutnya yang terus saja mengunyah.

Tiba-tiba pintu rumah Momoi dibanting keras oleh seseorang. Membuat ketiga orang yang berada diruang makan kaget dan segera menoleh kearah asal suara. Momoi dan Kuroko mendapati Kagami sedang bersandar di pintu sambil masih memegang kenop pintu dengan nafas memburu, sedangkan Aomine masih sibuk mencari air karena tersedak saat Kagami membuka pintu tadi.

Nafas Kagami tak beraturan dan keringat membasahi wajahnya. Kuroko yang khawatir segera menghampiri Kagami dan meninggalkan makanannya diikuti Momoi.

"Ada Apa, Kagami-kun?" tanya Kuroko. Kagami tidak menjawab, dia masih sibuk mengatur nafasnya.

"Itu…. Ada… sekelompok… orang…" lapor Kagami sambil sesekali menarik nafas.

"Minum dulu, Kagami-kun" saran Momoi sambil menyodorkan segelas air putih.

Setelah meneguk habis cairan putih bening itu, Kagami langsung berdiri tegak dengan nafas yang lebih stabil. "Mana Aomine?" tanya Kagami sambil mengedarkan pandangannya.

"Dia sedang di ruang makan" jawab Kuroko. "Memangnya ada apa?"

"Aku harus secepatnya melaporkan ini pada Aomine"

"Kenapa mencariku, Kagami?" tanya Aomine sambil berjalan menghampiri ketiga temannya. Momoi, Kuroko, dan Kagami yang langsung menatap kearah Aomine seketika terbelalak. Lalu Momoi dan Kagami langsung menutup mulut mereka sambil memegang perut mereka. Sepertinya mereka sedang menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak. Aomine menatap kedua temannya bingung.

"Mereka kenapa, Tetsu?"

Kuroko menatap Aomine datar. "Aomine-kun, beberapa potongan wortel masih tertinggal di pipimu" suara yang dikeluarkan Kuroko datar seperti hal itu adalah hal biasa, membuat kedua orang disebelahnya tak bisa menahan tawa lagi dan tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul lantai.

Aomine seketika blushing dan dengan cepat membersihkan kedua pipinya. Setelah merasa bersih, Aomine berdehem sebentar lalu menatap Kagami tajam. "Apa yang ingin kau laporkan Kagami?"

Kagami berusah berdiri tegak sambil menahan tawanya. Setitik air mata terlihat disudut matanya. Kagami berdehem sedikit, berusaha untuk kembali serius. "Baru saja kami mendeteksi sekelompok orang tak dikenal berjalan menuju ke desa ini. Selain itu, sepertinya itu bukan sekelompok pedagang atau pengelana. Mereka menunggangi kuda dan beberapa diantaranya membawa senjata" Laporan Kagami membuat ketiga orang didepannya terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kenapa orang-orang itu menuju ke desa ini? pikir Kuroko. Dia mulai merasakan firasat buruk.

Aomine terlihat tenang, tapi kedua manik biru tuanya tak menyembunyikan kebingungan yang dirasakan si pemilik. "Baiklah, kita akan menyambut mereka. Persiapkan beberapa prajurit lalu beritahu warga untuk masuk kedalam rumah dan jangan kaluar sebelum diperintahkan" perintah Aomine, Kagami mengangguk. Dia lalu berjalan keluar dari rumah Momoi.

"Dai-chan…" lirih Momoi, Aomine berbalik dan menatap Momoi yang sepertinya kembali mengingat kenangan pahitnya ketika masih kecil dulu. Dia lalu menatap Kuroko yang tetap setia dengan ekspresi datarnya.

"Satsuki, kau tetaplah disini bersama Tetsu. Dan ingat, jangan keluar sebelum diperintahkan!" Momoi mengangguk.

Flasback End

Dan disinilah Aomine sekarang, berdiri didepan pintu masuk desa sambil memperhatikan rombongan yang sudah mulai terlihat diujung jalan sana. Disebelahnya berdiri Kagami yang siap siaga dengan senjata panahnya.

Hening beberapa saat sampai kelompok berkuda itu berhenti tepat beberapa meter di depan Aomine. Seseorang dengan cepat turun dari kudanya. Aomine dan Kagami tidak bisa melihat wajah orang itu karena tertutup helm armornya.

"Wah! Disini benar-benar ada desa-ssu! Ternyata dugaan Akashicchi benar!" pekik orang itu sambil berjalan santai kearah Aomine dan Kagami yang justru memasang pose siaga.

"Siapa kalian? Dan mau apa kalian kesini?" tanya Aomine mengabaikan orang yng berjalan kearahnya dan justru menatap orang yang masih menunggangi kuda dan berada dibarisan paling depan kelompok itu. Aomine berpikir orang itu adalah pemimpin mereka.

Orang yang ditatap Aomine turun dari kudanya diikuti seorang lagi yang tepat berada dibelakanganya. Kedua orang itu berjalan mendekati Aomine dan berdiri tepat didepannya, disamping orang yang pertama turun tadi. Ketiga orang didepan Aomine memakai armor yang berbeda dari sekelompok orang dibelakang mereka. Yang paling ujung, orang yang pertama turun memakai armor yang memiliki ukiran berwarna kuring dibagian dada sampai perut, yang ditengah berwarna merah yang letaknya juga sama dengan yang berwarna kuning tadi, begitu pula yang disebelahnya lagi, hanya saja ukirannya berwarna hijau.

Orang yang berada ditengah membuka helmnya menampilkan surai merah menyala yang hampir mirip dengan milik Kagami. Orang disebelah kanan juga mengikuti, dan menampilkan surai berwarna kuning emasnya, sedangkan yang disebelah kiri memiliki surai berwarna hijau lumut.

"Kami pasukan kerajaan dari Ibukota. Kami kesini sedang mencari seseorang" jawab pemuda bersurai merah yang berdiri didepan Aomine. Mata berbeda warna miliknya mengeluarkan aura intimidasi.

Aomine dan Kagami sempat menelan ludah sejenak. Mereka lalu kembali berdiri tegap dan menatap balik si surai merah menyala itu. "Orang yang kalian cari tidak ada di desa ini. Semua orang didesa ini adalah orang-orang buangan dari ibukota. Jadi lebih baik kalian pergi mencari ke desa lain" perintah Aomine.

Pemuda bersurai merah didepannya tiba-tiba menyeringai lebar. "Hoo, kau berani memerintahku" kata-katanya barusan bukan pertanyaan melain pernytaan yang penuh dengan hawa intimidasi yang sangat kuat.

Aomine dan Kagami hanya bisa bergidik ngeri sambil menatap si surai merah yang masih setia dengan seringainya. Pemuda bersurai hijau lumut maju selangkah, membuat perhatian keempat pemuda didepannya teralih kepadanya.

"Maaf menginterupsi nanodayo. Tapi kami sudah tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi karena langit sudah mulai gelap. Dan kami belum mendirikan tenda untuk berlindung nanodayo. Jadi jika kalian berkenan, kami ingin mendirikan tenda disekitar sini nanodayo?" izin pemuda itu sambil memperbaiki letak kacamatanya yang tidak melorot. "Bu-bukan berarti aku ingin tetap disini nanodayo" lanjutnya kemudian.

Aomine dan Kagami menatap pemuda aneh itu. Tidak, lebih tepatnya ketiga pemuda yang berdiri didepan mereka ini semuanya aneh. Yang bersurai kuning dari tadi entah kenapa terus mencoba mengintip kedalam desa sambil nyengir, yang bersurai merah masih terus saja mengeluarkan hawa yang bikin bulu kuduk merinding, sedangkan yang surai hijau terus saja mengelus pot kecil berwarna merah ditangannya (lucky item mungkin).

"Boleh saja" jawab Aomine setelah berpikir sejenak. Jawaban itu berhadiah tatapan tidak setuju dari Kagami yang hanya diabaikan oleh Aomine. "Tapi sebelum itu, perkenalkan dulu diri kalian"

"Aku Akashi Seijuurou, dia Kise Ryota, lalu Midorima Shintaro" jawab si surai merah sambil menujuk surai kuning dan hijau berurutan.

"Baiklah, Akashi-san. Aku Aomine Daiki dan dia, Kagami Taiga" balas Aomine lalu menunjuk Kagami yang berdiri disampingnya.

Awan hitam terlihat semakin bergerak menuju Hutan Yasushi tempat Desa Yasushi yang dikepalai oleh Aomine. Aomine ingin segera mneyelesaikan urusannya dan kembali ke rumah Momoi untuk melanjutkan acara makannya.

"Kalian boleh mendirikan tenda disini, dengan syarat jangan pernah menyentuh wilayah desa!" sesudah mengatakan itu, Aomine hendak berbalik tetapi si surai hijau lumut, Midorima Shintaro, menginterupsinya dengan berdehem agak keras. "Ada apa Midorima-san?" tanya Aomine setelah berbalik dan menatap heran Midorima.

"Sepertinya kami tidak bisa menerima syarat itu nanodayo. Persedian makanan kami habis dan kami berencana membelinya di desa ini nanodayo" Kagami merasa ada maksud tertentu dari perkataan Midormia tadi. Dia lalu menarik paksa Kepala Desanya menjauhi ketiga pemuda berarmor itu.

"Aku rasa kita jangan terlalu percaya dengan mereka! Mereka mencurigakan!" Kagami masih menatap sinis kearah ketiga pemuda yang memandang mereka dengan tatapan heran.

"Tapi kau dengar sendiri kan? Mereka kehabisan bahan makanan"

"Tapi–"

"Sudahlah, Kagami. Mereka hanya ingin mendirikan tenda dan membeli bahan makanan didesa kita. Bukannya itu menguntungkan kita. Lagi pula aku ingin urusan ini cepat-cepat selesai. Aku masih lapar dan ingin kembali ke rumah Satsuki" Aomine terlihat sudah tidak sabar. Dia kembali mengingat hidangan dimeja makan rumah Momoi. "Tenang saja, kalo mereka berulah, kita yang mengatasinya" Aomine terus meyakinkan Kagami, hingga Kagami akhirnya mengangguk pasrah.

Mereka lalu kembali menemui ketiga pemuda tadi. "Baiklah, kalian diperbolehkan masuk desa. Tetapi hanya kalian bertiga saja. Dan kalian hanya boleh membeli keperluan kalian lalu keluar dari desa secepatnya"

"Asiiikk-ssu!" sorak Kise sambil berlari memasuki desa. Belum sempat kakinya melangkah memasuki desa, dia merasa armornya ditarik seseorang.

"Ingat! Kalian hanya boleh berbelanja keperluan kalian. Setelah itu langsung keluar desa!" kata Kagami sambil menatap tajam Kise yang sedikit lebih pendek darinya. Kise hanya diam, dan beberapa detik kemudian, Kagami berani yakin kalo Kise menyeringai sambil melihat kearah desa. Dia kembali bergidik ngeri meski tak semengerikan seringai Akashi tadi. Firasatnya kembali mengatakan hal buruk akan terjadi. Kise lalu melepaskan pegangan Kagami, seringainya sudah digantikan dengan ekspresi riang biasanya. "Kagamicchi hidoi-ssu!" pekik Kise sambil memanyunkan bibirnya.

"Ap–? Kagamicchi?" Kagami hendak protes tetapi Kise malah berjalan pergi meninggalkan Kagami dan kembali berdiri disamping Akashi.

Merasa urusannya sudah selesai, Aomine berbalik lalu berjalan memasuki desa diikuti Kagami. Sebelum memasuki desa, Aomine teringat sesuatu. "Ah! Satu lagi! Kalian jangan pernah mendekati pohon besar yang berada di ujung desa! Ingat, jangan pernah berani mendekati pohon itu!" pesan Aomine lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Akashi, Kise, dan Midorima menatap kepergian Aomine dengan seringai yang terpampang jelas di wajah mereka.

Akashi berjalan menelusuri desa Yasushi yang kembali ramai karena larangan keluar rumah sudah dicabut. Dibelakangnya mengekor Midorima dan Kise. Mereka sudah mengganti armor mereka dengan pakaian biasa. Pakaian mereka mirip seperti pakaian yang digunakan bangsawan arab jaman dahulu dilengkapi jubah hitam bertudung. Mereka tidak memakai tudungnya membuat surai warna warni mereka terekspos dan selalu menarik perhatian warga desa yang mereka lewati.

"Desa ini tidak seperti desa yang berisi orang-orang buangan nanodayo" komentar Midorima saat melihat beberapa warga desa melakukan aktivitas seperti biasanya.

"Mereka seperti baik-baik saja-ssu!" lanjut Kise setuju.

Akashi tetap diam sibuk mengobservasi seisi desa dengan manik beda warnanya. Matanya lalu menangkap sekumpulan gadis yang berdiri didepan sebuah toko. Gadis-gadis itu masih belum menyadari kehadiran Akashi dan dua teman-budak-nya. Midorima yang juga melihat arah pandang Akashi seketika melirik Kise yang masih senyum-senyum sambil menyapa warga desa yang melihatnya.

Ini akan menimbulkan keributan, nanodayo, batin Midorima masih tetap melirik Kise. Pasalnya, di ibukota, Kise selalu dikerumuni gadis-gadis dari semua kalangan dan usia. Jadi dia berpikir pasti gadis-gadis yang akan mereka lewati bertingkah sama seperti gadis-gadis di ibukota. Soalnya mereka sama-sama makhluk Tuhan yang disebut 'wanita'.

"Akashi?" panggil Midorima.

"Aku tidak perduli. Jika itu terjadi tinggalkan saja Ryouta" Akashi tau apa yang dipikirkan Midorima. Makanya dia langsung berkata seperti itu. Otaknya masih disibukkan mengobservasi desa ini. Dia juga tak habis pikir dengan tindakan Aomine dan Kagami yang dengan gampangnya memperbolehkan mereka masuk tanpa penjagaan. Sepertinya warga desa ini begitu naïf karena memperbolehkan kedua orang bodoh itu yang menjaga keamanan desa ini. Selain itu, dia juga penasaran dengan pohon yang dimaksud Aomine tadi.

Tanpa Akashi sadari, rombongan kecilnya telah melewati kumpulan gadis tadi tanpa sedikit pun masalah. Kise juga masih menampakkan wajah bodohnya sambil terus mengagumi pemandangan disekitarnya. Sedangkan Midorima masih tetap tenang.

Ada apa ini, nanodayo? Apa yang terjadi, nanodayo? Tumben Kise tidak dikerumuni gadis-gadis saat melihatnya, nanodayo, batin Midorima tidak percaya. Meski memasang tampang tenang, ternyata pikirannya tidak tenang sama sekali. Dia tadi sudah bersiap-siap saat mata gadis-gadis itu memandang mereka. Dia pikir mereka akan langsung berlari kearah Kise tapi ternyata tidak. Mereka hanya memandang sejenak lalu kembali sibuk dengan aktivitas mereka. Ada yang aneh, nanodayo, batin Midorima lagi.

"Apa pohon itu yang dimaksud Daiki?" gumam Akashi.

Midorima tau Akashi sedang tidak bertanya, tapi dia ingin menyuarakan pendapatnya juga. "Aku rasa begitu, nanodayo. Tapi pohon besar itu sama sekali tidak terlihat saat kita memasuki desa ini, nanodayo"

Tiba-tiba dari arah belakang mereka mendengar beberapa anak berlari kearah mereka, lebih tepatnya kearah pohon besar yang sedang mereka pandangi.

"Ayo cepat! Tetsuya-sensei pasti sudah menunggu kita!" sahut seorang anak dengan riangnya dan berusaha berlari lebih cepat dibandingakan teman-temannya. "Tunggu!" sahut teman-temannya yang lain.

Saat rombongan anak kecil itu sudah berlari melewati rombongan kecil Akashi, Akashi merasa sesuatu menubruk kakinya dari belakang. Dia lalu menoleh dan melihat seorang anak kecil bersurai coklat baru saja menabraknya dan sekarang sedang menatapnya takut.

"Go-gomennasai!" pekik Kouki sambil berlari menjauhi Akashi. Malang sekali nasib Kouki hari ini.

Akashi hanya menatap kepergian anak bersurai coklat itu dengan seringai tipis. Dia sempat melihat raut ketakutan diwajah anak itu. Dia merasa puas, karena hanya dengan menoleh saja, dia berhasil membuat seseorang takut, meskipun itu hanya anak kecil.

"Kamu memang menyeramkan, Akashi" gumam Midorima. Akashi tidak menggubris, dia merasa kata-kata Midorima tadi adalah pujian buat dirinya.

Akashi dan Midorima tiba-tiba di kagetkan dengan suara pekikan heboh dari si surai kuning yang dari tadi ternyata perhatiannya teralihkan kearah lain. "Akashicchi! Midorimacchi! Doshiou? Sepertinya aku baru saja melihat malaikat berjalan kearah pohon itu"

Perkataan Kise membuat Akashi dan Midorima kembali memfokuskan pandangan mereka ke pohon besar didepan mereka, tetapi 'malaikat' yang dilihat Kise tidak tertangkap mata mereka. Beberapa detik kemudian, hujan turun membasahi bumi. Membuat Akashi, Midorima, dan Kise yang masih berdiri beberapa meter dari pohon besar itu basah terkena hujan.

"Kita berteduh dimana nanodayo?" tanya Midorima. Tanpa menjawab, Akashi berlari kearah pohon besar itu, mengabaikan peringatan Aomine beberapa menit yang lalu.

"Akashi! Bukannya kita dilarang kesini nanodayo?" tegur Midorima saat mereka bertiga sudah berdiri dibawah pohon yang ternyata adalah rumah itu. Mereka sempat terbelalak kaget beberapa detik kemudian wajah mereka kembali seperti biasa, kecuali Kise tentunya yang makin tertarik dengan rumah yang berkamuflase jadi pohon itu.

"Pakai tudung kalian!" perintah Akashi. Setelah mereka memakai tudung jubah mereka, mereka mendengar suara langkah kaki dibelakang mereka. Saat ini mereka memang sedang berada didepan pintu rumah atau lebih tepatnya teras. Dan saat mereka berbalik mereka mendengar pekikan tertahan dari dalam rumah dan beberapa saat kemudian suara benda jatuh menyentuh lantai kayu diikuti pekikan anak-anak dari dalam rumah tertangkap gendang telinga mereka.

"TETSUYA-SENSEI!"


Domo, Minna-san to Senpai tachi, Miho Haruka desu

Saya newbie, so yoroshiku onegaishimasu…. /bow/

Maaf jika ff ini abal-abal, nggak seru, dan bikin bingung plus bosan…

Sekali lagi, I'm a newbie, jadi di mohon untuk pengertiannya….
Saya juga senang jika Minna-san to Senpai tachi mau memberikan saran dan kritikan yang membangun….

So, mind to review?

TBC or DELETE?