"Senpai...ohayou-"
Teguran halus dibarengi lambaian tangan tak pernah absen mengawali setiap pagi anak tunggal keluarga Miyaji. Tiap-tiap ia selesai mengunci pagar rendah yang menghubungkan antara jalan dan pekarangan rumahnya, seorang gadis dengan surai merah menyala pasti akan menyambutnya diseberang jalan. Dengan tawa ekspresif tanpa suara yang bisa memperbaiki suasana hati Miyaji Kiyoshi yang selalu buruk.
Namun pria dengan rema kuning emas hanya mengembalikan sapaan itu dengan mengukir senyum simpul di bibirnya. Ia senang, sudah pasti. Tapi terlalu sulit untuknya menunjukkan perbedaan antara senang, bahagia, dan rasa berterimakasih.
Dara manis dengan fisik mungil dan terlihat rapuh, menyelempangkan tas nya hingga jatuh di pinggulnya yang kecil. Ia terlihat berbicara dengan seseorang yang duduk didepan kemudi, sepertinya ia sempat menumpangi mobil hitam mengkilat itu sebelum akhirnya turun dan menyapa Kiyoshi.
Tak mau terlalu memikirkan, Kiyoshi menaiki sepeda berkarat yang juga selalu menemaninya berjualan koran setiap subuh. kakinya mulai mengayuh pedal dan roda-roda sepeda membawanya pergi meninggalkan gadis yang kini mengejar sambil menyerukan namanya.
"Senpai! Kiyoshi-senpai, berhenti!"
Sedikit terkejut, Kiyoshi menarik rem sepedanya dan berhenti di dekat tiang listrik. Dalam sekejap, gadis itu sudah ada dihadapannya dengan dadanya yg kembang kempis.
"Akashi-san...kau baik-baik saja?"
Kiyoshi bertanya dengan sedikit sekali nada khawatir. Membuat akashi seira-nama gadis itu- memberungut kesal. Ia berjalan mendekati sepeda Kiyoshi lalu duduk di jok belakang membuat pemuda itu hampir kena serangan jantung yang kedua.
"Hey hey...kenapa duduk disitu?" Hardiknya spontan. Jujur saja, gadis ini seolah membuat kemajuan dibanding hari-hari sebelumnya. Kemajuan untuk membuat Kiyoshi ingin menghilang dari dunia ini lebih awal dari kiamat.
Tanpa berniat menjawab, Seira beranjak dari jok belakang, sempat membuat Kiyoshi menghela napas lega. Hingga aroma kayu manis yang menguar dari tubuh mungil itu mengusik penciuman Kiyoshi . Seira menyelinap masuk ke dalam kukungan lengan kekar Kiyoshi yang masih mencengkram stang sepeda.
"A-akashi.."
Iris delima yang baru pertama kali menyoroti matanya tajam mengintip dari balik kelopak mata yang memicing.
"Senpai bilang jangan duduk dibelakang. Kalau didepan berarti boleh, kan?" Tuturnya lugu dan sedikit mendesak.
"B-bukan begitu..kenapa harus naik sepeda? Bukannya tadi kau diantar mobil?"
Kiyoshi berusaha menyamarkan aura gugup yang menghiasi roman wajahnya. Tapi seira seolah ditutupi sehelai sutra lembut yang membuatnya tak tersentuh pengaruh apapun. Paras cantik yang hanya diolesi bedak tipis itu tampak merona dibagian pipi.
"A-aku ingin merasakan naik sepeda. Aku bosan. Aku bosan pulang pergi dengan kereta roda empat itu! Aku berat ya, senpai? Kalau begitu aku saja yang mengayuh sepedanya-"
"tidak, akashi-san..aku tidak mengataimu berat. Dasar cewek terlampau peka! Kalau begitu duduklah dibelakang."
"Apa boleh?"
"Tentu saja. Aku tadi hanya bertanya, bukan melarang. Karena kau terlalu tiba-tiba, siapa yang tidak terkejut?"
Delima itu seketika bercahaya dengan kelopak cantik yang terbuka lebar. "Arigatou, Kiyoshi senpai :-)"
Gelombang neuron seorang Miyaji Kiyoshi mengisyaratkan untuk membalas kata terimakasih dari Seira . Tapi apa daya, bibirnya seolah terkunci rapat bahkan digembok kuat dan sekarang kuncinya hilang entah kemana. Ia hanya memfokuskan diri pada kayuhan pedal tanpa menghiraukan sepasang tangan cantik yang berpegangan erat pada dua sisi jaketnya.
Keheningan sejauh ini mengambil alih. Tak ada satupun dari mereka berdua yang berani membuka dialog terlebih dahulu. Padahal di sekolah mereka sudah pernah beberapa kali mengobrol mengingat Kiyoshi adalah ketua di klub bahasa yang juga diikuti Seira .
"Kenapa diam?" Akhirnya, Kiyoshi menemukan kembali suaranya yang sempat hilang terbawa angin.
"Tidak boleh?"
"Bukan tidak boleh..ya..setidaknya ekspresikan sesuatu..tentang apa yang kau lihat di sepanjang jalan-"
Hening lagi. Kiyoshi menyerah. Mungkin gadis ini sama sepertinya. Tidak mudah memuji tapi sekalinya tersenyum bisa membuat gunung es di antartika meleleh hingga ke dasar-dasarnya.
"Senpai tidak lelah?" Pertanyaan pertama meluncur dari mulut dara berusia 17 tahun tersebut.
"Hanya segini tidak cukup membuatku berkeringat-"
"apa aku tidak berat?"
"Kau seringan kapas. Aku ragu apa aku tidak sedang membonceng siapa-siapa ?"
Ia tertawa kecil dan Kiyoshi mendengarnya seperti gemerisik daun terseret angin. Mau tak mau membuahkan garis tipis melengkung diwajahnya.
"Senpai ternyata bisa cerewet juga."
Entah itu pujian atau sindiran. Ironis bahwa Kiyoshi baru melakukan hal itu -berbicara dengan nada menggebu- ketika berusaha mengajak Akashi Seira mengobrol . Kenyataannya ia bukanlah tipe orang yang senang mengomentari. Ia lebih memilih bersikap apatis dalam memandang masalah yang terjadi disekitarnya.
Lima belas menit terlampaui diselingi percakapan basa-basi menghantarkan mereka berdua ke depan gerbang sekolah. Kiyoshi menyentak rem hingga timbul suara decit antar ban sepeda dengan jalan beraspal.
"Yosh! Sampai.."
" Arigatou.."
bergumam kecil, Seira turun dari sepeda yang ditumpanginya dengan paksa lalu menepuk-nepuk rok selututnya yang agak kotor karena kejatuhan daun yang berguguran. Kiyoshi menuntun sepedanya melewati gerbang yang 24 jam senantiasa diawasi satpam sekolah. Pria tua dengan kumis tebal yang menutupi lubang hidungnya serta perut buncit dan tubuh tinggi membuat siapapun enggan berurusan dengannya. Kecuali Akashi Seira. Sekali lagi gadis itu bermurah senyum kepada orang-orang yang sama sekali diluar dugaan.
"Ohayou, satpam-san^^ kumismu kelihatannya semakin lebat."
"Ohayou gozaimasu, akashi-ojou sama-"
"jangan memanggilku begitu-"
"apa ada yang salah dengan itu, ojou-sama?"
Seira berdecak kesal. "Aku tidak suka. Jadi panggil aku Sei saja.."
"m-mana mungkin.."
"pokonya aku tidak mau dipanggil o-jou".
Sei menekankan diakhir kalimat tentang ketidaksukaannya atas panggilan itu. Rasanya kurang manusiawi. Ia ingin dianggap sama dan setara dengan teman-temannya disekolah.
Terlebih lagi di mata seorang Miyaji Kiyoshi. Kakak kelas yang diam-diam ia kagumi semenjak bergabung dengan klub bahasa karena kemahiran pemuda itu menggubah puisi.
Setiap kata yang membentuk kalimat. Dan setiap kalimat yang terjalin menjadi berbait-bait syair, hanyalah poin pertama yang berhasil menarik perhatian seorang nona muda Akashi. Mungkin butuh berjam-jam untuk merinci apa saja yang membuat Seira sangat mengagumi Kiyoshi.
Pikiran gadis itu kembali ke waktu dimana Kiyoshi memboncengnya. Jantungnya berdegup seolah berkejar-kejaran. Masa bodoh dengan tatapan sinis bercampur heran gadis-gadis yang berlalu lalang.
/makin sini ff gw makin jelek..aaaaa
