Airplane

KimbabiKONIC Present

.

.

.

.

Rate : T

Pair : SasuFemNaru

Naruto MK

Family, Hurt Comfort

PROLOG :

New York, August 11th 20XX

Stop for a moment,

if we keep this up we won't ever see each other again after the airplane leaves

~ Airplane iKON English Translation ~

Naruto duduk sendiri di salah satu kursi tunggu di dalam bandara. Kepalanya tertunduk lesu. Satu koper berukuran besar berdiri tegak di samping tempat duduknya. Matanya menatap tanpa minat selembar tiket yang akan dia jadikan alat untuk melarikan diri. Masih tersisa waktu lima belas menit sebelum loket check-in di buka. Pikirannya kembali berkecamuk, keraguan itu tetap saja ada, menggerogoti relung hatinya. Benarkah ini keputusan yang terbaik? Hatinya mulai ragu. "Apa aku tidak berhak untuk bahagia?" gumamnya dengan bibir bergetar.

Terdengar suara langkah kaki bergerak mendekat. "Aku berhasil menemukanmu." Disusul suara berat seseorang yang menjadi alasan utamanya untuk pergi melarikan diri. Tangannya mengalami tremor ketika suara itu kembali mampir ke dalam gendang telinganya. Memberikan efek luar biasa untuk setiap persendian di dalam tubuhnya. Tubuhnya kaku, tidak mampu bergerak hanya dengan melihat laki-laki itu berdiri di hadapannya. "Apa kau harus melarikan diri seperti ini?" Tenggorokannya tercekat. Tidak mampu untuk mengatakan satu patah kata pun sebagai sanggahan.

"Apa kau tidak ingin hidup bersamaku? Kita bisa memulainya dari awal. Kita bisa menjelaskan kepada Almira bahwa kita saling mencintai." Laki-laki itu mengangkat dagunya. Memaksanya untuk memandang langsung dua bola mata yang kini menghipnotisnya –lagi.

"A-aku tidak bisa." Suaranya mencicit. Hampir tidak terdengar. "Tolong biarkan aku pergi."

"Kau tetap akan pergi?" Kepalanya mengangguk. Sekalipun dia tidak ingin pergi, dia harus tetap pergi. Bukan hanya untuk melarikan diri, sekalipun itu adalah tujuan utamanya. Ada alasan lain yang membulatkan tekatnya untuk tetap pergi. Sebuah alasan yang membuat dia kembali memiliki tujuan untuk terus melanjutkan kehidupannya yang berantakan.

"Maafkan aku." Hanya permintaan maaf itu yang sanggup untuk dia ucapkan. Tidak ada satu kata pun yang mampu mendeskripsikan perasaan yang kini bergejolak di dalam hatinya. "Aku harus pergi. Selamat tinggal."

Keputusannya sudah bulat. Menghapus keraguan yang sempat menghantuinya. Dia akan pergi, sekalipun laki-laki itu menangis untuk memaksanya tetap tinggal, dia akan tetap pergi. Tidak ada lagi tempat untuknya tetap disini.

To Be Continue...

.

.

.

Q : Next or Delete?