Neutrality

.

Characters disclaimer to Masashi Kishimoto

.

Story by Wifa Rara

.

.

.

.

Warning! OOC, weird, typos, drama, many more mistake =))

Semoga suka, selamat membaca!

Prolog

Hari ini, Sakura―seorang gadis dengan rambut merah muda yang panjangnya melewati bahu―nekat dating ke sekolah bahkan sebelum arloji di tangan kirinya menunjukkan pukul 06.00. Gadis itu turun dari mobil dan berjalan memasuki gerbang sekolah yang masih―sangat―sepi. Dengan sweater belang-belang dan rambut yang diurai gadis itu berbelok ke jalan kecil di samping parkiran guru, melewati jalan yang jauh lebih dekat untuk sampai di kelasnya.

Setelah melewati koridor dekat lapang yang terbuka, Sakura memilih berhenti untuk membaca salah satu artikel yang terpampang di mading. Dengan bangga gadis itu mengembangkan senyumnya sambil berkacak pinggang, dilihatnya rubrik berita itu lama-lama baru kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Satu helaan napas keluar dari bibir gadis itu, menaiki tangga di pagi hari bukanlah kesukaannya. Sayangnya, kegiatan itu harus ia lakukan setiap hari karena kelasnya berada di lantai 2. Sakura duduk di bangkunya, kedua telinganya ia sumpal dengan earphone dan tangannya lincah mengetik sesuatu di ponselnya. Sesekali ia terkikik dan menyeringai.

Sakura: Aku sudah sampai di kelas, sekarang siapa yang mau cepat-cepat menyusulku?

Cepol Beruang: Kau gila, Saku! Ini baru jam enam lebih sepuluh!

Pig: Bagus jidat, lakukan sesuai rencana! Aku sudah di jalan, mungkin 10 menit lagi sampai.

Sakura: Okay! Cepat pig, kau cepol beruang, dan Hinata juga, atau kalian akan kehilangan kesempatan melihat kejutan di pagi hari.

Hinata: Kalian yakin akan melakukannya?

Pig: Tentu saja!

Sakura: Mau bagaimana lagi?

Cepol Beruang: Tidak ada salahnya dicoba!

Setelah merecoki groupchat itu Sakura bangkit dari kursinya, ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Setelah merasa yakin, ia berjalan menuju bangku paling depan di barisan kedua. Glue stick yang baru dibelinya kemarin dan satu plastic kecil berisi oli ia buka dan ditumpahkannya cairan lengket dan bening itu ke kursi di depannya sampai habis. Kemudian gadis itu buru-buru keluar kelas, membuang bukti fisik atas perbuatannya pagi itu.

"Apa yang kau tumpahkan disini?"

Sakura berhenti di ambang pintu, matanya memandang seseorang di dalam kelas dengan terkejut. Ditatapnya laki-laki yang sedang berdiri di posisi yang sama sepertinya sebelum keluar kelas tadi. Setelah memastikan mata laki-laki itu focus padanya, Sakura hanya menunjukan cengirannya dengan dua jari diacungkan.

"Bukan apa-apa, kok."

Laki-laki itu menatap Sakura datar, dengusan kecil terdengar begitu matanya menangkap cengiran dari gadis merah muda di depannya. "Jangan kau pikir apa yang kau lakukan ini adalah sebuah candaan, pinky." Kata-kata laki-laki itu dengan penuh penekanan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, ia bersandar pada meja dan matanya masih tetap focus pada seseorang di depannya.

"Ini tidak serius, kau saja yang tidak pernah bercanda dengan orang lain."

"Hn?"

Sakura memutus kontak mata mereka, ia membuang pandangannya begitu tersadar kalua sekarang ia gemetaran. "Sudahlah, lupakan apa yang kau lihat. Ini bukan pertama kalinya dia dikerjain, kan?" Sakura mengatakannya dengan santai membuat Sasuke mendengus lagi, tapi kemudian laki-laki itu berdiri tegak dan berjalan menuju bangkunya sendiri.

Sakura hanya memandanginya, sampai Sasuke sudah duduk dengan nyaman di bangkunya barulah ia melangkah masuk dan duduk di bangkunya sendiri. Dengan earphone yang masih terpasang, tangannya yang juga ternyata gemetar mulai mengetik sesuatu di keypad ponselnya.

Sakura: Girls, gawat! Aku ketahuan!

Tak lama setelah pesan itu terkirim suara langkah kaki yang berjalan rusuh terdengar dari kejauhan.

Sakura melepas earphone-nya dan menatap ke pintu, menunggu sosok yang ia yakini adalah pemilik langkah kaki yang rusuh itu dating ke kelasnya. Dan benar saja, pintu kelasnya di gebrak hebat seiring munculnya seorang gadis dengan rambut pirang dikucir kuda, mata aquamarine-nya melotot pada sepasang emerald bening milik Sakura.

.

.

.

.

.

"KAU KETAHUAN SASUKE?!"

Sakura hanya bisa menutup telinganya sekuat tenaga, pekikan Ten-ten tidak kalah menyebalkan dengan omelan Ino. Dengan wajah yang dibuat memprihatinkan gadis itu memeluk lengan Hinata, ssatu-satunya orang yang hanya melebarkan mata dan tetap berbicara dengan normal ketika menanggapi hal ini.

Mereka berempat, Sakura, Ino, Ten-ten, dan Hinata sedang berkumpul di ruang ganti yang sudah jarang dipakai. Masih 30 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi nyaring dan hal itu dimanfaatkan oleh Ino untuk menyeret teman-temannya ke markas dadakan mereka.

"Sakura, lebih baik kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang juga."

Mendengar intonasi menyeramkan milik Ino, Sakura hanya bisa bergidik ngeri. Setelah menelan ludahnya gadis itu memulai cerita paginya untuk sahabatnya tercinta.

"Sekarang bagaimana? Apa dia bisa jaga rahasia? Bagaimana kalua dia lapor ke guru? Hei, Saku, kau jangan bawa-bawa namaku, yah!" Wajah panic milik Ten-ten selalu membuat Sakura ingin melemparnya dengan penghapus papan tulis.

"Apa, sih! Tenang saja, kurasa dia tidak sebaik itu untuk repot melaporkan kita. Sasuke bukan orang yang suka mengurusi urusan orang lain." Timpal Ino sebelum Ten-ten semakin jadi.

"Ten-ten, aku setuju dengan Ino. Sasuke tidak akan mau repot-repot melaporkan kita, tidak ada untungnya bagi dirinya." Hinata akhirnya bersuara, dengan lembut gadis itu menepuk-nepuk bahu Ten-ten yang masih terlihat agak panic.

Sementara itu, Sakura lebih memilih untuk ikut dengan Ino, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi seteah ini. Tertangkap basah sedang melakukan hal buruk oleh Sasuke tidak bisa dianggap enteng, laki-laki itu bisa saja tiba-tiba mengatakan hal ini kepada siapapun dan menjamin Sasuke untuk menutup mulut bukanlah suatu perkara mudah.

Sakura memandang Ino, gadis itu memainkan helaian rambut pirangnya, wajahnya terlihat berpikir keras.

"Menurutku, kita tidak perlu memikirkan hal ini. Lupakan saja dan kita lihat saja sendiri apa yang akan dilakukan Sasuke."

Semua mengangguk setuju, tidak ada yang menambahi atau membantah. Lebih baik tidak macam-macam dulu di awal semester 2. Keempat gadis itu tidak mau menjadi pihak yang pertama kali menyalakan api, biar lawan mereka dulu yang melakukannya. Tapi karena 'serangan' pertama mereka sudah diluncurkan, mau bagaimana lagi?

"Hei, Jidat."

Sakura menolehkan wajahnya pada Ino, alis Ino yang berkerut dalam itu menjadi objek menarik bagi Sakura. "Kenapa?"

"Mau tidak mau, kau harus membuat Sasuke tutup mulut!"

Dengan gerakan cepat, jari Sakura menekan layar ponselnya dan terdengar suara cekrek yang membuat Ino membelalakan matanya.

"Ahahahah! Ino, kau harus lihat wajahmu yang seperti ini! Ahahaha!"

"Mana? Lihatkan padaku! Hinata, bawa ponsel Sakura kemari!"

"SIALAN KAU!"

.

.

.

.

.

.

.

.

Sakura menghela napasnya sambil menelungkupkan kepala. Teman-temannya sedang di kantin dan ia memilih untuk tidak ikut karena perutnya sedang sakit. Satu erangan refleks terlontar ketika dirasanya perut gadis itu berdenyut.

"Ugh, sakit sekali."

"Pinky, kenapa kau?" Sakura memaksakan untuk mengangkat wajah, matanya menyipit ketika mendapati Sasuke sedang berdiri di samping mejanya.

"Apa?" tanyanya sebal. Menurut Sakura, perutnya tambah nyeri ketika berhadapan dengan seorang Sasuke.

"Mau ikut rapat redaksi hari ini?" Sakura berpikir sebentar, keningnya berkerut dengan mata tertutup. "Ng, aku tidak tahu," jawabnya sambil kembali menatap Sasuke. Laki-laki itu menajamkan tatapannya pada Sakura.

"Kau mau bolos lagi?" Sakura menggeleng. "Perutku sakit sekali, aku tidak yakin bisa ikut rapat nanti sore. Aku ingin pulang," jelasnya sambil meremas perutnya. Ia sedang mengalami siklus bulanannya yang selalu seperti ini.

"Hati-hati, wajahmu pucat."

Sasuke berbalik dan berjalan keluar kelas, sedang Sakura hanya bisa memandanginya dari tempat duduknya dan gadis itu menyadari kalau ternyata dirinya merasa senang tiap kali berinteraksi dengan teman sekelasnya itu.

.

.

.

.

.

Entah sejak kapan tapi Sakura tahu pasti, bahwa saat ini hatinya sudah terpaut oleh laki-laki itu. Sasuke.

.

.

.

.

.

―dan karena itu, sebuah senyum simpul kemudian tergaris di bibirnya.

Prolog ends

Neutrality: To Be Continue